Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 Maret 2015

Sepotong Senja

Genggaman jarimu menjadi saksi sebuah pertemuan yang berkembang menjadi sebuah ikatan
Sejenak hening mengisyaratkan adanya sebuah penantian. Tak seberapa lama, terasa hembusan lembut mengusap wajahku seraya perlahan mengganti semburat jingga menjadi pekat malam. Sebelum senja terlanjur habis, maka segera kupotong bagianku dan kumasukkan ke dalam kotak kecil, untuk dinikmati nanti. Ada yang sedang berbaik hati memberiku sesuatu. Ya, Tuhan sedang berulang tahun.

                Hallo! Selamat pagi, kamu. Apakah masih sendu? Atau sedang malu-malu? Ah, aku berharap kamu masih seperti yang dulu, menggebu namun kadang tersipu. Aku punya sesuatu untukmu. Tidak mahal sih, malah aku tidak mengeluarkan sepeser pun untuk mendapatkannya. Sengaja aku memberikannya kepadamu karena aku tahu bahwa kamu adalah penikmat senja yang jingga. Pesanku, simpan di tempat khusus ya, sebab ia akan selalu memancar, membawa sebagian relung hatimu jauh ke sana, ke ujung penantian kita bertemu.

                Apakah sebuah rasa dapat tetap sama dan menjadi abadi? Aku pikir tidak, sebab seperti halnya nyawa yang bisa tercerabut dari raga, demikian halnya rasa yang bisa hilang dari hati yang sama. Bedanya, rasa bisa mengganti, diganti, atau terganti oleh rasa yang lain, namun tidak pada nyawa. Bagaimana untuk mempertahankan sebuah rasa? Mudah saja, rasa itu seperti bibit tanaman yang harus dirawat agar bertumbuh dan bertambah hingga menghasilkan buah kepercayaan untuk pergi sejenak, mencari pupuk di tempat lain. Apakah kita sudah memenuhi kaidah rasa tersebut? Aku pikir sudah, hanya karena kamu pergi terlalu lama untuk mencari entah pupuk atau apapun itu namanya, sehingga rasaku mulai layu dan mungkin bisa terganti dengan rasa yang lain. Uh, kamu merengut. Oh, jadi tidak bisa abadi rasamu untukku? Tidak ada sesuatu yang abadi, adanya sejati. Oh, kamu setengah setuju.

                Aku ingat pada sebuah senja di pinggir kota. Kala kamu berceracau tentang kegemaran mengoleksi foto senja di berbagai tempat. Katamu, senja itu mahal. Aku tak percaya. Katamu, senja yang sempurna itu hanya bisa didapat di tempat dan waktu yang tepat. Aku tak setuju. Katamu, suatu saat nanti, kamu akan membuktikannya dengan berkunjung ke ujung Barat untuk mendapatkan senja sempurna yang dimaksud. Aku tak sepakat. Untukku, senja yang sempurna bisa didapat di manapun saat suasana hati gembira dan suka cita. Apalagi ditemani oleh kamu. Kata sempurna saja tidaklah cukup untuk menggambarkan makna kesempurnaan itu sendiri. Katamu, aku berlebihan.

                Tak berapa lama, aku bertanya padamu tentang sebuah rasa. Kamu linglung dan balik bertanya tentang ritual yang jamak. Katamu, aku kurang menyimak pergaulan masa kini, pergaulan anak kota yang kamu anggap modern. Padahal, menurutku, itu terlalu umum, hanya menggapai yang permukaan bukan kedalaman, hanya menjadi konsensus yang diimani sebagian besar insan muda. Seperti halnya pernyataan cinta dalam acara Katakan Cinta di awal tahun 2000-an, itulah yang kamu harapkan. Boneka di tangan kiri untuk penolakan dan sebuket bunga mawar merah di tangan kanan untuk persetujuan. Saat itu pula, kamu harus memilih. Bayangkan, seseorang yang tidak kamu kenal dekat secara tiba-tiba menyatakan perasaannya kepadamu dan saat itu juga kamu wajib menjawabnya, tanpa opsi pertimbangan terlebih dahulu. Sadarkah kamu, kalau alam bawah sadar sedang diintimidasi secara sengaja dan dipaksa untuk mempertaruhkan hak hati untuk bersuara? Seperti sesuatu yang biasa, perasaan dan hati dijadikan objek permainan untuk menghasilkan materi. Lalu, kamu meninggalkan sebuah tanda tanya besar, menyuruhku untuk berpikir tentang jawabannya. Kataku, kamu berubah. Katamu, aku kampungan.

                Jingga senja mulai meredup, laksana pelita yang kehabisan sumbu dan minyak, menyisakan bau dan abu kehitaman. Katamu, kau akan datang di ujung jalan paling Barat sesuai janji yang sudah disepakati. Kutunggu sambil berjalan lamat-lamat. Tuhan sudah akan menutup petang. Namun, kau tak kunjung muncul jua. Mana janjimu tentang senja yang sempurna? Perlahan tapi pasti, gradasi langit telah berganti. Demikian pula dengan rasaku yang kini mencelat entah kemana, tersapu ombak dan terombang-ambing tak tentu arah.



                Genggaman itu kulepaskan dengan segera. Rasa ini terpaksa kuhapus dari memori hati. Mungkin, akan kutunggu beberapa waktu lagi hingga Tuhan berulang tahun dan meminta potongan senja yang sempurna, untuk diberikan bagi kamu yang lain. 


DVS. 8 Maret 2015.

Kamis, 13 Maret 2014

Padamu

Teruntukmu, duhai sahabat malam yang selalu mengontaminasiku dengan jutaan hipotesis dan postulasi liar di tengah keteraturan yang kian menunjukkan kuasanya. 

..Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal hidup. Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam cinta tak bermuara. Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara. Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian. Gerakmu tiada pasti. Namun, aku terus disini. Mencintaimu. Entah kenapa..
(Ksatria, putri, dan bintang jatuh - Dewi Lestari)

Rabu, 05 Maret 2014

Biru.

Pagi ini mentari bernyanyi lirih dengan lirik yang sinis. Seakan menyuarakan pertanda yang entah bermakna apa. Lalu lalang orang memaksaku untuk berhenti berderap. Angin datang membawa pesan. Ia menyergap kesadaranku sehingga aku hanya dapat diam membisu dan membeku. Biru. 

Satu menit yang lalu, seorang ibu paruh baya bersama pengikutnya melantangkan makian kepadaku, anak muda yang sedang berasyik masyuk melanglang ke dunia mimpi, di kereta. "Hey! Masih muda berdiri donk! Tuh kita-kita butuh duduk. Gak kasian apa?!" Ada pula yang bertingkah menyindir. "Biasa deh, di kereta semua pada pura-pura pingsan". Tetap tak bergeming. Aku di pihak yang benar karena tidak memakai fasilitas tempat duduk prioritas. Namun tetap, aku salah. Dipukulnya bahuku dengan segenap raga. Aku diarak dan dipermalukan dengan penuh kebencian. Aku dosa? Aku hina? Lalu dia? Kamu? Mereka?

Satu jam yang lalu, beberapa gadis cantik dengan bulu mata lentik tergopoh datang ke arahku. Mereka mengambil tempat tepat di sebelahku. Alasannya, karena kami mahasiswi, intelek muda dan calon pengabdi masyarakat, butuh stop kontak untuk menyalakan laptop teranyar, demi mengerjakan tugas busuk itu. Saat kursi ditarik dengan ganas, saat itu pula dua kursi beradu dadu. Kain pakaian yang aku biarkan terurai ke belakang menjadi korban egosentris megapolis. Kesantunan telah memudar, hilang, dan terkubur dalam-dalam. Layaknya, priyayi dan pribumi saat kolonialisasi, disitulah aku. Menjadi saksi roda dunia yang berputar kembali untuk dijajah-menjajah. Lagi. Aku tak peduli, tetap pada posisi. Ini reformasi. Liberalisasi. Lepaskan status sosial dan atribut yang carut marut. Ayo berdiri, hadapi dengan aksi. Hitam adalah hitam. Putih adalah putih. Aku tak peduli, tetap pada posisi. Geram telah karam, merubah terang jadi padam dengan teriakan kecil nan suram. Bergegas ku menghilang dalam sapuan malam ditemani geliat cahaya nan kelam. 

Satu hari yang lalu, aku berjalan pelan menuju restoran melewati pintu gerbang. Di kiri dan kanan, para pria berseragam pembela kebenaran dan keadilan berkumpul, saling merangkul. Tak berapa lama, terdengar suara yang terlalu keras untuk disebut sebagai bisikan menghampiri gendang telinga. "Gue pikir, orang berkerudung pasti jaminan alim, ternyata sama aja bejatnya. Hahaha!" Puas membuas. "Liat aja tingkahnya. Parah banget. Pantesan dia kos, balik malem terus" Kejam merajam. Angkara membara. Emosi meninggi, namun hati tetap merendah tapi tak kalah. Sejurus kemudian, pria necis datang menghampiri. Dengan lidah menari kata basa-basi, lalu mengantongi amplop beserta minuman tutup mulut. "Gue pikir orang berseragam dengan titel sekuriti bersih semua, ternyata bisa dibeli sama duit. Hahaha." Perang diakhiri. Menang secara nurani. 

Mentari digiring dengan paksa oleh angin yang mengusung awan hitam menguasai langit. Layaknya seorang tahanan yang diperlakukan tak hormat, ia menitikkan tetes demi tetes air mata dunia ke permukaan. Makin lama, kian deras. Hingga semua tenggelam. Hilang bersama jutaan goresan luka yang tak kan pernah pupus. Selamanya, membiru.

Jakarta, Maret 2014
di tengah gejolak emosi yang (akhirnya) dapat damai diakhiri. 

Selasa, 04 Maret 2014

Teritori yang sendiri

Ketika teritori dicabut dengan paksa, jutaan mata menghakimimu dengan gila, seolah kau satu-satunya manusia yang melakukan dosa nan nista. Pikiranmu berkecamuk, mengamuk. Hatimu bergejolak, menggolak. Jiwamu ingin menumpas kesah, marah. Matamu nanar mengular, sangar. Tapi, tubuhmu malah dingin, menahan ingin. Lalu membeku, diam bersekutu. Entah apa yang bisa memuaskan rasa buas para hakim pembela keadilan di depan sana. Entah apa yang bisa menyumpal seringai buruk perangai di belakang sana. Entah apa yang bisa menghentikan langkah serakah di belahan kiri dan kanan sana. Bila batin ini ibarat bensin, mungkin sudah sedari tadi membara dan membakar raga karena terpercik api angkara. Bila jasmani ini bagaikan kayu bakar, mungkin sudah menjelma menjadi sang rahwana yang menjilat tiap jengkal ragawi, menjadi arang untuk menggerang. Ah. Sudahlah. Semua hanyalah asa semu yang dibungkus dengan kertas koran kumal bekas penadah gorengan. Pun bila manusia dapat membelah diri, minoritas selalu ada di bawah. Kecuali jika deret ukur diberi kesempatan yang sama dengan deret hitung dan hukum adat dibangunkan untuk kembali berjaya.

Jakarta, Maret 2014
di tengah kultur modern yang makin mencekik dan komunitas yang mengusung homogenitas.

         (dicomot dari : techfly.co.uk)

Senin, 03 Maret 2014

Sepi. Sendiri. Mati.

Senja menua di sudut kota. Mengantarkan hari menuju gerbang sepi hingga sendiri. Bersandiwara dengan warna. Membujuk tanpa merajuk, mengajak tanpa bisa ditolak. Ia mainkan gradasi menawan hati sampai menghipnotis diri sendiri. Ia kuncupkan tunas yang telah layu, ia rekahkan tunas yang akan berbunga. Kemudian, perlahan ia hapus menjadi pupus. Ia hilangkan ketertarikan menjadi keterpurukan. Ia tutup suka, ia hidupkan duka. Ia bawa cahaya dan menggantinya dengan marabahaya. Ia selimuti dengan kegelapan. Kelindan dengan malam. Menipu tiap penipu dengan nafsu yang tak kan bisa beku. Hingga mereka kaku dan biru. Kembali pada sepi sampai sendiri. 

Sabtu, 01 Februari 2014

Kebiri

      Sejenak pikiran tersita oleh kenangan masa lalu yang tiba-tiba menghampiri. Tentang sesosok makhluk mungil tak berdaya yang hidup atas kebaikan Tuhan, yang menjadi korban eksploitasi pengetahuan, yang menjadi pahlawan pemuas rasa penasaran manusia. Berkelindan dengan semesta, ia berusaha untuk melupakan haknya yang kini dirampas. Bukan oleh oknum tak bertanggung jawab, namun oleh hati yang selalu dipandang sebelah mata, tak bisa apa-apa. Sahabatnya serupa dengannya. Makhluk mulia, itu yang jadi pembedanya. Di tengah rimbunnya hujan dan dinginnya udara malam, datang sumber cahaya lain yang menghangatkan dahaga. Namun itu hanya sementara, hanya sebagai hadiah semu pengikis pilu yang kemudian hadir menyayat di kedalaman. Kilatan pisau terpantul di ujung mata. Teriakan tercekat di tenggorokan. Tiba-tiba blast! dunia nyata hilang di pelupuk mata, digantikan oleh raga maya yang terpental keluar dari kesadaran. 
      Aku seperti berada di dalam sebuah kantung tipis. Di luar sana ada sesosok makhluk aneh dengan mata besar sedang memilin jalinan benang menjadi jaring-jaring rapat. Ia tersenyum kepadaku. Inginku berbisik tentang sebuah tanya. Siapa dirimu? Dimana aku? 
      Kidung mengalun pelan, mengantarku pada lorong hitam tak berujung. Tersengar sedu sedan yang menggema nyaring menyambutku saat aku membuka mata. Aku tak menemukan siapapun disana. Yang ada hanya rupa baruku dengan kain putih melingkupi bagian bawah tubuh. Aku tak dapat merasakan birahi, apalagi hasrat dasar hati. Aku bagaikan singa yang telah digunduli dan tinggal menunggu giliran untuk dikuliti. Aku merasa dikhianati hingga tak berharga lagi. Hidupku hanya berjalan sangat lurus. Tak ada lagi loncatan-loncatan listrik dalam diri yang kadang datang memberi inovasi dan inspirasi. Tak ada lagi kebebasan yang membangkitkan jiwa-jiwa lelah dan tak bergairah. Tak ada lagi kesadaran untuk menguasai raga diri dalam kelindan hati makhluk lain. Prestise telah dikebiri oleh standar kepuasan lain yang hidup mengakar, bertumbuh, merimbun, dan menguasai hajat diri dalam hiruk pikuk dunia surgawi.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Pada Suatu Malam

       Pada Suatu Malam
       Kutermenung di balik jendela kamar ini ditemani kerlingan bintang yang seolah melirik perih serta sepoi angin yang menyapu memori singkat nan memikat. Sebuah alunan lagu pun menjadi refleksi suara hati yang entah menyiratkan apa. Lagu cinta yang istimewa. The star lean down to kiss you. And I lie awake I miss you...But I'll miss your arms around me. I'll send a postcard to you dear, cause I wish you were here.
         Masih tergores dalam ingatan, saat pertama kali melihatmu. Awalnya memang tak ada perasaan apa-apa tentangmu. No hard feeling. Apalagi dengan kesibukan kita yang menyita perhatian. Berkenalan denganmu pun hanya selewat, bagaimana mau dekat? Tak terpikir apalagi diniatkan.
         Dia adalah salah satu pria terdingin yang pernah aku temui selama hidup. Bahkan, menyapa saja tidak pernah. Aku sih ya tidak mempermasalahkan. Kalau dia butuh, barulah dia bertanya. Kalau tidak, ya jangan harap ada suara dia yang tertangkap di telinga. Namun, semua seolah berbalik seratus delapan puluh derajat saat hari itu tiba, dimana sebuah senyuman mampu memecahkan kerasnya batu karang menjadi kerikil kecil. Inilah awal mulanya.
          Hujan di Kamis sore, membuat raga ini dipaksa untuk menunggu lebih lama lagi dalam ruangan. Daripada memaksakan untuk pulang tepat waktu dengan kondisi hujan lebat ditemani amuk angin yang menggebu, aku putuskan untuk kembali duduk memandangi layar monitor dengan getir. Walau, badan ini sudah mengirimkan sinyal lemahnya, namun hujan tak jua mengerti. Ia malahan membuatku tersentak karena sebuah suara tak terduga yang sontak membangunkanku dari lamunan.
          Dia, ya dia. Siapa lagi. Lelaki yang dengan seluruh pesonanya mampu membuat orang dengan suksesnya menjadi apatis. Pun diriku. Hingga detik ini, aku tak percaya dengan fenomena ini. Ini mimpi atau imaji belaka?
          "Na, yuk balik!" Aku tercengang. Ini mengajak atau hanya pamitan?
          "Yuk balik bareng, koq malah bengong?" Wah, dia membuat pernyataan yang berarti     ajakan. Deg! Tanpa banyak tanya, takutnya malah jadi berubah pikiran, aku bergegas mengikuti sosok tegap depanku. Agak terburu-buru memang. Namun, lumayanlah mengurangi resiko masuk angin. Hehe.
           Sepanjang jalan, aku yang membuka obrolan. Dari mulai pertanyaan ringan seputar alasannya mengajakku pulang hingga kesibukannya yang makin menumpuk dari hari ke hari. Entah, aku merasa nyaman. Bukan karena perhatiannya, bukan pula karena kehangatan secangkir teh cammomile yang disuguhkan pramusaji restoran ini. Namun, karena tatapannya yang berbeda saat memandangku. Kata orang, laki-laki yang sedang jatuh cinta itu dapat dilihat dari matanya sedangkan wanita dari senyumnya. Tapi, aku memposisikan diri untuk tidak GR dulu, karena nanti bila suatu saat jatuh, sakitnya..lumayan.
           Kami dekat. Dan terus dekat. Dia pun mengakui bahwa dia nyaman bila bersamaku. Namun, hingga detik ini, belum ada pernyataan perasaan terucap darinya. Sebagai wanita, ya aku hanya menjalani peranku saja, sebagai pengirim sinyal terbaik. Keputusan akhir ya tetap ada di pihak lelaki karena bila wanita yang menyatakan terlebih dahulu, nanti kalau ditolak, malunya luar biasa. Apalagi bertemu tiap hari. Mau ditaruh dimana muka ini? Hehe.
          Akhir musim penghujan menjadi babak baru yang menaungi segalanya. Di akhir minggu yang cerah, di bawah payung canopy yang dihiasi bunga-bunga, dengan sorotan rembulan dan alunan musik instrumen dari Beethoven, akhirnya ia memberikan keputusan konkrit padaku. Ia menyatakan perasaannya kepadaku. Tidak dengan adegan reality show 'katakan cinta', namun sudah membuat hatiku melonjak riang dengan efek persis seperti naik wahana roaler coaster dan kora-kora di Dufan. Inilah, awal cerita cinta yang tak terbayang sebelumnya.
         Kami jalani hari demi hari bersama. Ia bagaikan pangeran berkuda putih yang ada di novel klasik. Romantis sekali. Satu hingga dua bunga selalu terselip di balik meja, menerbangkan rasa hingga ke langit ketujuh. Oh! Bukannya terlalu berlebihan sih, namun demikianlah realitanya. Bunga-bunga telah tertanam di hati, puluhan kilometer dijelajahi, ratusan kata cinta telah mengakar dalam jiwa, dan ribuan pesan puitis memenuhi memori. Rasa nyaman pun sudah naik kelas menjadi rasa cinta. If any this feeling will be everlasting, I'll take you away to my kingdom, being my prince forever.
        
         Minggu kelabu. Saat rindu sulit untuk berlabuh. Hati ini terasa beku. Jiwa hampa berbalut sendu. Menghiasi pagi yang berkabut. Dengan langkah lunglai ku hidupkan ponsel. Satu pesan masuk.
         'Ada yang mau aku omongin nih sama kamu. Aku jemput kamu ya!'
         Perasaan aneh menyelimuti. Tumben sekali dia mengajakku pergi. Dia bilang kalau minggu ini dia tidak bisa diganggu sama sekali. Banyak urusan, harus mengurusi bisnis bengkelnya, katanya. Belum sempat aku bersiap, dia sudah mengetuk pintu rumahku. Berdiri di depanku seraya tersenyum simpul, senyum yang dipaksakan. Aku tak beranjak dari depan pintu. Aku pandangi ia lamat-lamat. Harusnya ia tahu kalau pandanganku menyiratkan suatu sinyal negatif, sebuah pertanda buruk.
         "Ada apa, sayang? Koq tumben ke rumah?" Aku membuka pembicaraan dengan suara tertahan.
         "Kamu belum siap-siap? Kan aku udah mesej kamu!" Suaranya lain, seperti bukan dirinya yang dulu.
         "Aku ga mau siap-siap. Aku tahu, kamu mau ngomong sesuatu yang mungkin penting buat kamu, atau kita. Ngomong aja sekarang!" Hatiku tak rela bila pertanda buruk yang akan terjadi
         "Oh, yaudah. Aku cuma mau bilang kalau aku belum siap untuk serius sama kamu. Aku ga bisa kalau kamu terus menerus mengintimidasi biar aku jadi pasangan setiamu sampai akhir hayat. Aku belum punya target kearah situ, ke arah pernikahan. Aku masih pengen berkarir dulu, muasin semua hobiku."
         "Maksudmu?"
         "Ya, kita putus!"
         "Ha? Secepat itu? Kamu koq gitu sih? Salah aku apa? Atau kamu punya cewe lain?" Aku tak sabar, tak terima dengan alasan klise itu.
         "Iya, aku ga kuat kalau kamu terus menerus nanya kapan kamu dikenalin ke orang tuaku. Lagian, kamu banyak sekali menuntut. Aku ga kuat dengan tuntutan kamu, dengan target kamu. Makanya aku butuh waktu untuk sendiri dulu"
         "Jadi, kamu ga serius sama aku?" Nada suaraku makin memburu, mencari jawaban pasti
         "Niatku emang pacaran. Bukan untuk nikah" Nadanya datar. Tanda ingin segera mengakhiri.
        "Aku ga nyangka aja, kamu tega berbuat kaya gini ke aku. Kenapa dulu kamu tembak aku kalau kamu memang ga niat untuk nikah? Kenapa kamu bilang kamu ga akan ninggalin aku kalau akhirnya kita putus juga? Kenapa kamu ga jujur sama aku dari dulu, sebelum rasa sayang ini bertambah besar ke kamu? Hsshh..shhh.." Setengah teriak aku keluarkan semuanya. Nafasku tersengal, air mata bertambah deras.
        "Ya, karena aku ga tau kalau bakalan jadi kaya gini"
        Aku teruskan tangisan ini. Aku tak tahan melihatnya membisu didepanku. Segera, aku berbalik dan membanting pintu. Biar dia tahu kalau hatiku sudah pecah berkeping. Sulit untuk dicari apalagi dikumpulkan kembali. Aku masuk ke dalam kamar, menghempaskan diri di kasur, dan membenamkan wajah penuh lara di dalam bantalan. Seperti disambar petir mendengarnya datang untuk meminta untuk berpisah, entah sampai kapan.
        Deru mobil mendengung pilu di telinga. Ia pergi. Dari kehidupanku. Tanpa ucapan terima kasih apalagi kecupan terakhir. Semua seakan lari tanpa jejak. Hanya meninggalkan bekas luka yang dalam, entah kapan dapat sembuh dan kembali.
        Perpisahan, sembilu yang menusuk dan merajam sukma, menggoreskan ribuan sayatan, hingga menenggelamkan segala pikiran dan keinginan. Seakan tercekik, terperangkap dalam sakit, terjerembab dalam jurang gelap. Aku terbius sepoi angin, terbenam dalam lautan biru, dan tersihir pada kilau pasir di pagi hari. Kini, semua telah menua. Meninggalkan istana pasir yang perlahan pudar tergerus ombak. Air mata ini tak kunjung surut, seakan mengalir teratur bermuara ke sungai kepedihan. Mungkin ini balasan terhadapku, wanita yang sulit jatuh cinta. Kecuali pada dia.
        Dan, pekatnya malam menjadi saksi bisu pergulatan batin yang mengguratkan noktah merah nan membekas. Inilah akhir babak lalu yang menyekap kalut berpadu lidah yang semakin kelu. Ketulusan cinta terbelah disini. Di minggu kelabu, pada suatu malam.

Minggu, 21 Oktober 2012

Ruang dan Waktu

Ruang...
Sepi menggelayuti hati, laksana rumah tak berpenghuni
Ku duduk sendiri, menyesapi aroma kopi
Sambil berharap kau cepat datang mengisi kekosongan kursi
Ruang ini terasa hambar tanpa kau di sisi
Temaram lampu dan buku harianmu seolah menjadi teman berdiskusi
Kelebat bayangmu berloncatan indah dalam ruang otak ini
Membuat ruang pembuluh mendesirkan darah tak terkendali
Berharap dalam sekejap, kau cepat menepi dan menemani
Akankah pagi selalu berbalut sunyi tanpa menyisakan rasa rindu yang masih bertepi?
Akankah benih janji bertumbuh menjadi tunas cerita yang terealisasi?
Akankah ruang rindu selalu terbuka tanpa tereliminasi menjadi mimpi?  
Kopi ini sudah dingin
Kursi ini pun hanya disinggahi angin
Mungkin, dirimu lupa akan angan yang pernah merekah menjadi ingin
Rasa yang beku, jiwa yang terperangkap abstraksi labirin
Ruang yang hampa berselimutkan mungkin
Kutunggu kau di pelataran ruang hati yang mendingin
Waktu...
Kala memulai sebuah cerita
Dengan senja sebagai perantara
Detak waktu berjalan mengiringi bersama
Menunggu penantian fakta bahagia
Bahwa pada momen ini, kau menggenapi perasaan kita
Menghapus keganjilan masa
Merangkai kata, menyatukan frasa, dan mematrikan cinta
Demi kita berdua
Kini, aku terdiam membisu di antara jarak yang terpisah dan detik yang menari
Diri ini tak mampu untuk berlari mengejar janji
Seolah terperangkap dalam dentingan waktu yang melesat tanpa henti
Bertarung memperebutkan sebuah posisi
Terlena dengan kesibukan pribadi
Tanpa aku sadari
Membiarkan perasaannya untuk layu sendiri
Mengikis kasihnya sedikit demi sedikit hingga ke inti hati
Membekukan rasa rindunya hingga tiada berperi  
Ruang dan Waktu...
Mungkin, kita memang tak berjodoh dengan waktu
Mungkin, hati kita tak terperangkap dalam ruang yang sama  
                                ......
Senja menjingga, menarik hatiku untuk tersenyum
Mengganti rasa yang semu menjadi baru
Menunggu detik dalam ruang berpetak
Ia yang dulu pergi, kini datang kembali
Membawa asa yang tak kunjung tiba
Ia pun berbisik pelan,
Do you still love me?

Kamis, 18 Oktober 2012

Wahai angan

Wahai angan, detik ini aku berkenalan denganmu.
Berjabat tangan, menerawang masa depan
Wahai angan, menit ini aku memimpikanmu
Membuat jantungku selalu berdegub kencang ketika kau memandangku
Wahai angan, genap waktu ini aku memberanikan diri berbincang denganmu
Bersenda gurau menghabiskan hari melewatkan dentingan jam dinding bersama
Wahai angan, siang hari ini aku janji bertemu denganmu
Merencanakan pertemuan dengan masa depan
Wahai angan, senja ini aku duduk berdua denganmu
Merenda masa depan mencoba peruntungan
Wahai angan, dewi malam telah menampakkan sinarnya
Tak henti kurapalkan doa dan harapan atas dirimu dan perjuanganku
Wahai angan, mentari membangunkanku fajar ini
Memberikan berita tak terduga, melenakan masa demi fakta sehasta yang tak urung tiba
Wahai angan, ternyata pagi tak mengizinkan kita bertemu kembali
Ia menyesapkanmu ke dalam lubang terdalam planet ini. Inti bumi.
Wahai angan, tahukah kamu bahwa hatiku teriris tatkala berhadapan dengan kenyataan bahwa aku harus menghadapi penantian yang tak berujung ini sendirian
Bagaikan putus hubungan dengan kekasih hati. Sukma ini tertusuk dengan bambu runcing yang membara.
Wahai angan, apabila dirimu terlalu jauh dariku mengapa kau memperkenalkan diri dan mengajakku bertemu muka?
Mengapa pula harus ada pertemuan apabila berujung pada perpisahan?
Wahai angan, katamu sinar kapalku tak pernah padam walaupun dengan derasnya arus, aku masih dapat mengarungi bahtera mimpi, membelah lautan hambatan
Namun, apakah aku masih memiliki secercah keberanian untuk menembus batas, memaksa semesta mendukungku?
Entahlah, wahai angan. Namun, satu yang pasti dan harus kuakui bahwa aku masih merindukanmu datang kembali kepadaku, memberikan sebuncah semangat jiwa untuk menghempaskan kerikil tajam dalam pencapaian tujuan
Wahai angan, izinkan aku terlelap mendekapmu tiada batas hingga datang sang waktu menciumku mesra membangunkanku dari serpihan mimpi imajinatif.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Imaji

          Hari ini layaknya hari kemarin dan kemarinnya. Sinar mentari mengalahkan hembusan angin dini yang menembus rusuk. Menyesapkan rasa hangat ke dalam sukma. Kuhembuskan nafas dalam-dalam sambil melangkah keluar. Aku rebahkan badanku ke sofa coklat yang menjadi saksi bisu percakapan sunyi pagi hari. Kupandang dunia dengan penuh tanya tak bermakna. Mencari jawaban tak bertepi. Mencari pembenaran diri. Tentang fakta yang mengisi labirin pikiranku. Tentang rasa yang luar biasa yang terbang tak tentu arah tanpa menyisakan serpihan rindu. Pikiranku melayang memikirkan bingkai kenangan yang menjanjikan. Saat itu di perimpangan jalan. Aku melihat sekelebat sosok yang asing bagiku. Entah mengapa ia seolah menarikku. Beradu tatap menggetarkan jiwa. Membendung hening membekukan ingin. Semburat jingga melenakan masa. Sinarnya menebar hingga menorehkan cerita di benakku. Aku terpaku. Tak dapat berkata-kata. Pesonanya terlalu kuat bagai magnet. Namun aku tak dapat beranjak dari tempatku. Aku seperti patung yang tak bertuan. Sendiri menyesapi rasa yang entah kapan terucap. Tiap jengkal langkah adalah sebab. Namun aku tak berani memulai karena aku tak mengerti bagaimana cara mengakhirinya. Aku hanya berputar di antara semak belukar pikiran yang tak tentu arah. Mungkin dapat ke kanan atau ke kiri. Entahlah. Mengapa dia yang membuai hatiku? Apakah karena dia yang menjadi primadona kehidupanku? Atau dia adalah pilihan? Ah.. Aku tak mengerti. Aku jadi senang menerka-nerka. Apalagi kalau bukan tentang episode rindu itu. Rindu yang terserak membukit. Tanpa ada yang peduli.
         Aku beranikan diri untuk mengirimkan sinyal rasa. Walaupun aku tahu hanya ada dua pilihan. Ya atau tidak. Mungkin rasa ini terlalu berlebihan. Karena kasihnya terurai berlabuh di dermaga tiap hati. Menggelorakan harapan untuk menjadi kenyataan. Mendewakan rasa diatas logika. Ketika rasa ini diterjemahkan lewat kata. Mata-mata beradu kembali. Memaksa diafragma untuk mengeluarkan suara dan otak kanan untuk mengumpulkan frasa. Aku tak kuasa menahan jantung ini untuk tidak mengeluarkan gemuruh denyut yang bertubi-tubi. Otakku panas dan pening. Aku terlalu jauh berlari. Namun, apabila berhenti, apakah itu sama saja membunuh hatiku, membohongi pikiranku, menggantung rasa penasaranku, dan membakar mimpiku?  Ia membidikku cepat. Memberhentikan derap langkahku. Meninggalkan jejak kejut hingga ubun-ubun. Memecahkan kaca hatiku yang penuh dengan tanda tanya. Rasa panas tiba-tiba merasuk masuk ke dalam mataku. Kerongkonganku panas. Aku tercekat.
         Kalau boleh aku terjemahkan arti dari tatapanmu, aku ingin kau memberikan sebuncah rasa yang terserak abstrak dalam hatimu untuk aku torehkan menjadi konkrit.

Rabu, 15 Agustus 2012

Tentang Kita

 
          Hari itu hari senin. Aku melewati hari sendiri. Tanpa dirinya di sisi. Entah mengapa aku merasa sepi. Padahal aku pun tak tahu perasaan ini. Apakah ini cinta? Ataukah hanya bentuk pelarian semata? Atau aku hanya mengaguminya? Entahlah. Mungkin desiran angin dapat menyampaikan pesan abstrakku ini. Bahwa aku tak ingin segera pergi menyepi. Meninggalkan sejuta harapan akan kehangatan hati.
           Entah memang perasaan ini begitu menyiksaku..tiap malam hanya lagu yang menjadi teman kesendirianku..kadang aku seperti di persimpangan jalan,apa yang harus aku lakukan..apakah aku harus mengatakan semuanya ataukah akan aku simpan semua perasaan ini sendiri di dalam hatiku,yang tak tahu kapan akan meledak seperti bom waktu..
            Sendiri dan menunggu. Entah sampai kapan aku harus menyembunyikannya. Kata orang perempuan adalah makhluk yang pandai menyimpan perasaan. Mungkin ia tahu atau pura-pura tahu. Entahlah. Masih segar diingatanku tentang kenangan masa itu. Ketika aku pertama kali mengenalmu. Kamu menggetarkan hatiku dan seolah memberiku harapan besar akan kisah cinta. Namun, hingga detik ini aku tak tahu apakah kisah itu akan menjadi kenyataan manis? Atau kenyataan pahit yang aku dapatkan? Aku hanya ingin hatiku ada dihatinya.
             Aku kadang2 bertanya2 dalam hati, kenapa ada pertemuan, kalau ternyata perpisahan itu begitu menyakitkan..jawaban itu sampai sekarang belum pernah aku ketahui,tapi yang selalu aku sesalkan adalah bertemu dgn kamu,karena akhir yang harus aku alami dengan kamu hanyalah sebuah perpisahan..kau semakin menjauh,lama sekali lama tidak terlihat dan akhirnya menghilang bagaikan debu2 di udara..
             Kamu. Namamu selalu mengisi relung hatiku. Kau hadir di setiap nafasku, menggetarkan sendi-sendi ini, dan merasuk ke dalam sukmaku. Tiap hari denganmu adalah hadiah terindah dalam hidupku. Aku ingin sekali menggapaimu, berjanji 'tuk selalu ada di sisimu, dan menorehkan tinta bahagia diantara lembaran-lembaran hidupku yang kini abu-abu. Kalau saja dirimu memberikan kesempatan untukku sekali lagi. Aku ingin selalu ada disisimu dan memeluk hatimu. Sekali lagi.
             Kata orang,kau adalah anugerah terindah bagi diriku dan aku sangat percaya terhadap yang orag-orang  katakan..tidak ada yg dpt menggantikan engkau di dalam otak,pikiran dan hatiku setiap hari..tapi semua nya begitu cepat menghilang seperti desiran angin di padang gurun..sekarang aku hanya dpt memandang kosong orang-orang yg begitu luar biasa memuji pasangannya,karena engkau sudah tdk bersama aku lagi..
            Senja itu, aku duduk bersama dirimu. Memandang semburat jingga yang perlahan memudar. Sambil menatap lekat wajahmu, hatiku berharap dapat mengikat hatimu erat hingga akhir hayat. Senyum hangatmu berkilauan terpantul sinar lampu jalanan. Kenangan itu masih tersimpan manis di relung hatiku yang paling dalam. Aku harap dirimu pun begitu. Walau ikatan hatiku sudah kau lepas, namun memori tentang dirimu masih terbingkai indah di dalam hatiku yang paling dalam. Tak akan pudar. Hingga akhir waktu.
            Cinta,kata tersebut selalu saja sulit diartikan..segala sesuatu yg berhubungan dengan cinta,selalu saja orang menganggapnya itu indah..tapi,kenapa bagiku,cinta selalu berakhir dengan sesuatu yg tidak indah..aku setuju dengan pendapat orang lain,yang bilang cinta itu indah,manis,selalu berbunga-bunga..how sweet..itu awalnya..semakin cinta tumbuh menjadi besar,maka prinsip timbangan yang berlaku..yang indah dikalahkan oleh keributan,ketidakpercayaan,kebosanan dan hal-hal lain yg sangat tidak mengenakkan..kesimpulan akhirnya adalah semuanya berakhir dengan kesedihan..
            Pilu berbalut luka. Inilah kisahku. Tanpa banyak orang tahu bahwa aku masih mencintainya. Aku pendam segala rasa tentangnya yang luar biasa. Indah dikenang namun pahit diingat. Cinta memang memuakkan apabila memori tentang kesedihan dan perpisahan membuncah ruah memenuhi isi kepalaku. Aku tak ingin mengulang hari itu. Hari dimana dia meninggalkanku. Walaupun aku tahu nihil harapannya untuk menemuimu lagi, namun kelebat bayanganmu masih dapat menghibur masa  sepiku tanpamu.
            Jakarta, 15 agustus `12 (featuring @arandatk)

Sabtu, 21 April 2012

Sedang Apa?

Sedang apa dan dimana dirimu yang dulu ku cinta
Ku tak tahu tak lagi tahu seperti waktu dulu
Apakah mungkin bila kini ku ingin kembali
Menjalani janji hati kita (
by Sammy)

Aku memulai awal minggu dengan kecemasan tak bertepi dan keringat dingin yang mengalir di pipi. Hari ini adalah hari pertamaku meninggalkan rumah dengan sejuta kewaspadaan akan keadaan di dalamnya. Bukan, bukan karena rumahku berada di kawasan elite yang menjadi incaran oknum-oknum nakal yang lazim dipanggil dengan sebutan maling. Bukan pula karena chip yang disembunyikan di dalam rumahku seperti kisahnya Macaulay Culkin di film Home Alone. Namun, ada satu hal yang membuat pikiranku tak tenang menghitung hari untuk kembali lagi ke hari Sabtu. Dia. Karena dia.
Aku pun tak tahu persisnya aku bisa berkenalan akrab dengan dia. Seingatku, pada saat aku masih duduk di bangku kuliah, kala itu subuh menjelang dan aku masih masih terjaga mengerjakan tugas-tugas yang membuat kepalaku mau pecah dan mataku pedas. Sayup-sayup terdengar suara memelas dari arah depan rumahku. Suara tersebut lambat laun makin keras dan berulang sehingga mengganggu konsentrasiku, namun aku masih bertahan karena biasanya lama kelamaan suara gangguan tersebut akan hilang dengan sendirinya. Namun, ibuku gemas mendengar suara tersebut dan menyuruhku untuk melihat kondisi depan rumah. Aku pun bergegas membuka pintu rumah dan terlihat dia malu-malu mengintip dari balik semak belukar dengan tatapan ketakutan. Ibu menyusulku dan berniat mengambilnya. Aneh, tidak ada perlawanan darinya. Dia menurut ketika ibuku menggendong, membawanya masuk, dan memberi sedikit kudapan untuk mengganjal perutnya. Dia sarapan dengan lahap. Aku hanya memperhatikan dan menganggapnya lalu.
Hari berganti dan bulan pun berlari. Dia semakin besar, sehat, dan lincah. Tingkah lakunya  semakin membuat gemas. Aku yang tadinya tidak terlalu memperhatikan dengan seksama, mulai merubah cara pandang dan sikapku padanya. Aku yakin sebenarnya ia ada pemiliknya. Ia punya ibu dan saudara. Namun, karena di dekat rumahku banyak penghuni nomaden yang menurutku tidak berperi kebinatangan dan anak-anaknya dibiarkan memiliki kebiasaan memainkan atau lebih tepatnya menganiaya hewan maka analisisku pun tertuju kepada anak-anak iseng yang sengaja membawa dia main jauh dari area rumahnya. Tujuannya ya hanya sebagai mainan layaknya benda mati. Aku ulangi sekali lagi DIA MENJADI MAINAN. Hati mana yang tidak terenyuh menyaksikan fenomena mencengangkan tersebut. Seperti terpanggil, aku pun mencoba merajut asa untuknya.  
Dia bukanlah jenis perkawinan silang yang menjadi primadona di setiap pet shop  dengan harga jual tinggi dan perawatan mewah. Bukan pula turunan dari ras negara lain yang disukai kaum kelas gedongan. Dia hanyalah golongan marginal yang haus akan kasih sayang sebenar-benarnya. Bukan hanya mengagumi keindahan warna, kehalusan bulunya, serta kelucuan tingkah lakunya. Tak seperti yang kubayangkan sebelumnya, dia tumbuh dan menjelma menjadi yang terfavorit di tengah-tengah keluargaku. Semua tingkah polahnya seolah mengandung magis yang dapat menyerap semua energi negatif dan memancarkan kobaran semangat untuk melanjutkan sisa waktu dalam satu hari. Ajaib dan fantastis. Baru kali ini aku memiliki seorang sahabat beda spesies yang dapat mengerti aku apa adanya. Dia tahu kapan harus membangunkanku saat adzan subuh akan berkumandang, kapan akhir minggu akan berakhir, kapan ia mendapatkan kasih sayang utuh di tengah hangatnya keluarga, dan kapan ia harus berburu makanan tambahan demi mencukupi kebutuhan perutnya saat adikku pergi kuliah. Bulat dan hijau matanya memancarkan semangat, kekuatan, dan pertahanan terhadap musuh ; Halus bulunya mencerminkan reaksi tubuhnya terhadap macam makanan dan suplemen yang diberikan untuknya ; Tegap badannya menggambarkan sosok yang tak kenal lelah ; Keras dengkurannya mendendangkan suasana hati yang senang mendapatkan kasih sayang tulus dari orang sekitarnya ; Wajah imut tanpa dosa mengobati kepenatan pikiran setelah lelah beraktivitas. Sebagai si empunya, aku pun banyak belajar darinya tentang ketabahan dan kemandirian. Ia tabah tatkala ia harus berpisah hidup dengan orang tua dan saudaranya serta ia pun menjadi sosok mandiri ketika majikannya memiliki urusan masing-masing sehingga tidak memungkinkan untuk memberinya makan ideal 3 kali sehari. Aku pun tertegun, apakah aku sudah bisa tabah dalam menghadapi tantangan dan masalah yang silih berganti? Apakah aku bisa hidup mandiri tanpa mengeluh ketika sedang diliputi kesendirian menghadapi masalah baru yang tak disangka-sangka?

Sedang apa dan dimana, hei Pussy? Apakah dirimu baik-baik saja di rumah? Apakah dirimu kelaparan, kehausan, dan kehilangan kasih sayang? Aku harap dirimu sedang dalam keadaan sehat dan senang hari ini hingga seterusnya. Aku hanya bisa berdoa untuk keselamatanmu. Rindukan aku ya. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi di akhir pekan. Jangan sampai lagu Sedang Apa dan Dimana milik Sammy yang aku tulis di atas terjadi pada kehidupan kita ya..Baik-baik disana, kenangan indah dan kehangatan dirimu akan selalu membawa energi positif untuk aku disini.

Warmest Regards, 

your truly partner-in-crime

Selasa, 17 April 2012

Seratus

“Kakaaaa!! Ayo cepat makannya, nanti kamu telat. Hari ini kan ulangan matematika sama bahasa indonesia”
“Nyam..nyam..Iya ma..”
“Pokonya mama ga mau tau. Kamu ga boleh lagi dapat nilai 80! Gara-gara teledor, nilai kamu jadi turun ke 80. Dulu kan kamu dapet 100.”
“Tapi kalo soalnya susah gimana?”
“Pokonya 100. Se-ra-tus! Ga ada tapi-tapian”
“hemm..huff..” sambil menyiapkan kertas-kertas kecil sebagai senjata untuk melancarkan serangan contek-mencontek.
Fakta nyata yang ada di depan mata. Ibu atau anakkah yang sebenarnya ujian? Sang ibu sibuk mewanti-wanti sekaligus mengultimatum anaknya agar dapat nilai sempurna sedangkan anaknya berpikir keras menyiapkan strategi agar “selamat” sampai di rumah sehingga langganan paket blackberry, tv kabel, internet, dan playstation tidak dihentikan untuk sementara waktu hingga selamanya.
Apakah seratus itu? Sedemikian hebat dan agungnya angka 100 sehingga semua orang mengelu-elukan hingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya? Jawaban simpelnya adalah ya. Absolutely yes! “Aku dapat rangking 1. Nilai matematikaku 100 loh, ngalahin yang lain” kata pelajar. “Penjualan kita harus naik hingga mencapai presentase 100% dari tahun lalu” kata bussinessman dan sales manager. “Apabila anda berbelanja 100 ribu rupiah atau kelipatannya, anda akan mendapatkan point reward yang dapat diakumulasikan hingga jumlah tertentu dan dapat ditukarkan dengan hadiah” kata pengumuman di salah satu department store. Hingga “Cepe dulu donk” kata polisi cepek alias pak ogah yang selalu siap sedia mengatur lalu lintas di tiap perempatan, pertigaan, atau belokan jalan. Nilai seratus memang tidak dapat dipisahkan dari keseharian kita. Uang 99 ribu sembilan ratus pun tidak akan genap menjadi 100 ribu apabila tidak ada jasa pecahan 100 perak. Tukang angkot pun akan meneriaki kita apabila ongkos kita kurang 100 perak, tapi kalau kembalian mereka kurang 100 perak, mereka akan tancap gas, melengos pergi. Ya, saya sekarang mengerti akan arti dari nilai seratus ini. Namun, apakah seratus selalu berarti positif dan sempurna?
...
Seratus. Banyak orang mencari dan terus mencari, berusaha menemukan arti kehidupan dari nilai seratus ini. Tiap hari, di tiap perempatan jalan. Pasti ramai dilalui oleh kendaraan baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum yang berimbas pada kemacetan yang tak berperi. Apa yang mereka cari? Nilai 100. Sang pelajar, karyawan, pedagang, polisi cepek, dan seluruh profesi membutuhkan dan mencari bulir-bulir 100 ini. Mereka akan menempuh jarak ribuan kilometer demi mengecap manisnya nilai seratus.
Seratus. Begitu banyak kata yang dapat mendefinisikan dirimu. Aku kesulitan merangkum kata-kata untuk mendeskripsikan keagungan dan kemewahan dirimu sehingga orang-orang merelakan kehormatannya demi mendengar gemerincing dirimu. Aku tidak bisa berkata-kata tatkala kompetisi hidup demi meraih pialamu menjadi kontroversi. Tak tahu mana halal dan mana haram. Tak tahu arti dirimu yang sebenarnya. Tak tahu tujuan dirimu. Dirimu begitu memabukkan.
Seratus. Sahabat dirimu adalah kesempurnaan. Perfect dalam bahasa tetangga. Yang aku tahu adalah kesempurnaan hanyalah milik Sang Pemilik Semesta Alam. Bukan aku. Bukan kamu. Bukan dia. Bukan kita. Aku tahu kau lelah terhanyut dalam permainan fana ini. Arta dan nilai seakan menjadi saksi bisu keganasan dan kebuasan manusia. Tanpa palang penghalang dan benteng pertahanan, dirimu menjadi penguasa bagi individu yang candu.
Terima kasih wahai, seratus. Aku telah diperkenalkan kepadamu. Aku yang fana ini, terjebak dalam lingkaran dirimu, di tengah dahsyatnya gurun panas nan kering, tak ada tempat berteduh, tak ada air yang menyegarkanku, bila dirimu yang terus menerus jadi raja, bisa apa aku selain rehat sejenak dan merenung. Sudah pantaskah diriku bersanding denganmu? Bersebelahan dan saling berangkulan. Menjadi pasangan setiamu yang dapat mengingatkan dirimu saat kau khilaf, saat kau berpikir bahwa kau penguasa dan raja. Namun, bila kau tak terpatahkan, hukum rimba pun akan bertindak tegas. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.

Sabtu, 21 Januari 2012

everybody loves LOVE feeling :)



..(cerita ini hanya fiktif belaka apabila ada kesamaan situasi ataupun tokoh itu hanya kebetulan saja)-red.

        Ngomongin tentang cinta, pasti banyak banget kenangan indah dan mengesankan yang gak akan pernah dilupakan seumur hidup. Semua kenangan cinta tersebut akan selalu terbingkai manis di dalam piramida hati yang senantiasa mekar seiring dengan waktu yang mendewasakan kita. Tapi, gak semua pengalaman cinta itu berbuah manis dan indah loh..contohnya pengalaman cintaku yang kalo diinget-inget lagi pasti bikin geregetan dan pengen cepat-cepat terhapus di memori pikiran serta hatiku.. 

        Namanya braga. Dia adalah cowo paling care selama aku jadi jomblowati. Karena aku dan dia sama-sama aktif di organisasi kampus, jadi kami selalu bertemu setiap hari. Sekretariat adalah tempat favorit kami untuk ketemu, bercanda, ngobrol, curhat, sampai makan bareng. Walaupun dia sebenarnya adalah adik kelasku, tapi gak menghalangi niatan dia untuk deketin aku dan melakukan aktivitas bareng. Hal inilah yang membuat aku salut sama dia. Setiap hari, kita selalu menyempatkan diri buat sekedar sms-an yah at least ngebangunin, ngucapin selamat pagi, dan saling nyemangatin buat ngehadepin hari yang baru. Dia bener-bener care banget sama aku. Selama hidupku, belum pernah aku diperlakukan seistimewa ini apalagi sama makhluk yang berspesies cowok. Tapi, braga bener-bener bisa mengambil hatiku dan membuat aku yang notabene sebagai kakak kelasnya secara formal bisa terhanyut dalam setiap gerak-gerik langkah yang dia persembahkan hanya untukku.

     Dia termasuk salah satu cowok idola di fakultasku. Dia rupawan, organisatoris, friendly, gak sombong, dan pintar. Banyak cewek yang seangkatan maupun adik kelas dia yang menyukai dia. Namun, entah kenapa semua cewek yang mendekatinya selalu dia tolak secara halus. Bahkan, mantannya yang mengajaknya untuk balikan lagi pun ditolaknya mentah-mentah. Ooh.. gimana hati ini gak langsung terpaut dengannya melihat kenyataan ini? Hoho.. Sebenarnya, aku sendiri belum terlalu yakin dengannya. Gila aja..masa aku jadian ama adik kelas? Mau ditaruh dimana mukaku kalo sampai aku jadian ama dia. Dilema ini membuatku hanya diam dan tidak memberikan reaksi apapun pada sinyal yang dia berikan selama ini. Aku pura-pura tidak tahu dan tidak peka. Aku ingin mengetahui seberapa besar dan kuat untuk menungguku serta menyatakan perasaannya padaku.

      Hari terus berganti dan dia terus memberikan sinyal cintanya padaku. Dari mulai memberikan oleh-oleh sebuah t-shirt cantik dengan gambar karakterku, mengajak makan malam, sampai mengajakku nonton di bioskop sambil malam mingguan. Hal ini membuatku merasa bersalah karena telah menyia-nyiakan semua kebaikan dan rasa sayangnya padaku. Aku bingung. Sangat amat bingung. Di satu sisi aku sangat amat nyaman disampingnya, namun disisi lain, aku malu apabila aku jadian dengannya. Egoku berkata bahwa dia adik kelasku dan akan menjadi omongan orang bila kakak kelas cewek jadian dengan adik kelas cowok. Namun, aku akan merasa sangat berdosa bila aku menyia-nyiakan dan mempermainkan perasaannya. Maka, aku bertekad apabila ia menembakku dengan panah cintanya, aku akan menjawab: iya! aku sayang denganmu dan aku mau menjadi pacarmu saat ini dan mudah-mudahan untuk selamanya. Dan aku pun menunggu pernyataan cintanya dengan hati yang berbunga-bunga dan sangat siap.

        Hari yang ditunggu pun akan segera tiba. Hari ini, dia mengajakku untuk makan malam di sebuah resto kecil di kotaku. Dia menggandengku masuk dan memilih tempat duduk yang nyaman untuk kami berdua. Kemudian, kami memesan makanan dan aku berharap setelah ini dia menembakku. Detik demi detik berlalu. Dia tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kalau dia mau menembakku. Dia malahan asik bercerita dan curhat tentang hubungannya dengan adik kelasnya yang juga adik kelasku. Dia bercerita mengenai kedekatan mereka dan orangtua cewek itu dengannya. Huh!! Bete sekali! Tapi yah mau gimana lagi. Cewek cuma bisa menunggu. Cowok yang bertindak. Huh!!! Tiga jam sudah dia bercerita tentang cewek tersebut yang membuatku semakin panas membara. Sepertinya dia tidak akan menembakku malam ini. Ya sudahlah apa boleh buat. Aku pun diam dan mendengarkan sambil sok-sok memberikan saran untuknya. Hmm.. malam semakin larut dan kami pun pulang. Sebelum pulang, dia mengelus kepalaku dan mengucapkan terima kasih atas malam ini. Sebelum aku turun dari kendaraan, dia membuatku terbang dengan kata-kata : luv u. Walaupun ternyata itu bukan kata-kata tembakannya buatku. Tapi aku merasa senang. Hmm…
      Beberapa hari..dia tidak pernah menghubungiku. Tidak ada kabar, apalagi sms. Aku resah. Apalagi sahabatku cerita padaku tentang cewek yang diceritakan braga padaku kemarin. Namanya nana dan dia ternyata disukai oleh banyak cowok di kampusku termasuk sobatku sendiri. Oh no!! nana memang dekat dengan braga tapi braga pun mengaku padaku kalau mereka hanya teman. Tidak lebih dari itu. Apalagi hari itu, sobatku membawa kabar tak sedap yang membuatku murka yaitu braga udah jadian ama nana!! Waaaah!! Tidaakk!! Braga tidak pernah cerita kepadaku tentang hal ini, padahal ini adalah berita yang sangat besar dan bisa membuat siapapun patah hati dibuatnya termasuk aku yang jelas-jelas dekat dengannya. Oh!! Aku pun memberanikan diri untuk sms dia. Awalnya dia berkelit atas berita tersebut dan dia bilang, itu cuma gosip semata. Aku tak percaya. Aku terus korek informasi darinya. Terus dan terus. Dan akhirnya, dia pun mengaku padaku kalo dia memang telah jadian dengan nana. Dunia serasa mau kiamat mendengar berita itu. Aku pun lemas lunglai dibuatnya. Braga yang selama ini mendekatiku, memberikan perhatian lebih kepadaku, sering mengucapkan kata : aku sayang kamu atau luv u kepadaku, serta pernah mencium keningku. Ternyata melakukan hal ini kepadaku. Semua itu ternyata bohong!! Bullshit!! Semua yang ia lakukan kepadaku semata hanya untuk aktualisasi diri bahwa ia bisa membuatku, kakak kelasnya bertekuk lutut dihadapannya. Aku pun sangsi kalo dia benar-benar sayang pada nana. Mungkin karena nana banyak yang menyukai dan nana pun pernah mengaku kalo dia suka sama braga, makanya braga pun mau jadian dengan nana. Yahh.. istilah lainnya sih ditolak sayang. Masa cewek populer di kalangan cowok satu fakultas ditolak gitu aja sama braga yang notabene juga cowok populer. Begitulah.. satu pelajaran yang bisa aku ambil dari kejadian ini, aku tidak boleh terlalu sayang dan percaya begitu saja dengan laki-laki karena dalam lautan bisa dijangkau tapi dalam hati siapa yang tau??