Minggu, 25 November 2012

a Friday Tale

It was Friday night and I frightened of something unpredictable before. A transportation mode which always brings me to my home has been crashed. Suddenly, I hate the system. 

Beberapa hari kebelakang beredar kabar buruk tentang kondisi perkeretaapian Jabodetabek yang menjadi moda transportasi pilihan warga sipil seperti saya ini.  Kondisi buruk tersebut dipicu oleh hujan lebat disertai petir yang menyambar sistem perlistrikan. Hujan dan petir itu musuh bebuyutannya kereta. Kalau hujan dan petir datang bersamaan, doa Rombongan Kereta alias RoKer adalah sama yaitu berharap kereta tidak ada gangguan sinyal yang menyebabkan jadwal kereta menjadi telat bahkan sampai dibatalkan. Anehnya, perusahaan tunggal empunya si kereta ini tidak tanggap sehingga selalu jatuh ke lubang yang sama dan pastinya membuat para RoKer kesal hingga ubun-ubun.Kejadian ini tak hanya terjadi satu dua kali. Namun, karena tak ada pilihan lain, para RoKer hanya bisa mengumpat kesal dan protes sekenanya saja. Toh mau protes hingga mogok naik kereta pun si empunya tidak rugi. Sikap setengah masa bodo dan setengah tidak peka perusahaan empu kereta memang membuat sengsara.  Salah satu yang merasa nelangsa adalah saya.
           Siang hari, hati saya sudah ketar-ketir tak karuan. Apalagi kabar yang beredar adalah jalur kereta api yang putus antara Cilebut dan Bojong Gede akibat longsor. Entah bagaimana nanti pulang ke Bogor. Satu-satunya kendaraan yang paling cepat dan nyaman adalah kereta. Saya dapat duduk dengan damai dengan waktu yang relatif cepat yaitu satu sampai dua jam, saya  sudah bisa bercengkrama dengan keluarga. Memang, ada pilihan lain yaitu naik bis. Namun, dengan kepadatan jalan yang semakin parah, mustahil dengan satu hingga dua jam saya bisa sampai rumah. Saya pun agak bergeming tapi penasaran juga. Antara kereta atau bis, saya pilih kereta saja yang hanya berhenti hingga Bojong Gede, walaupun saya belum pernah ke Bojong Gede, tapi modal nekad sajalah. Toh masih ada angkot 07 yang rutenya sampai Bogor. I think I’ll be safe.
          Awan hitam mulai memekat. Angin menderu, mengadu pohon hingga berguruh. Kilat menyambar, petir menampar.  Hujan dan angin seakan telah berkonfrontasi untuk berputar ke segala arah hingga sebentuk uap hujan membasahi baju para RoKer yang menunggu di stasiun. Saya adalah salah satu RoKer mingguan yang ikut menunggu. Sesuai dugaan, butuh waktu satu jam untuk bersabar pasrah dan naik kereta. Dan, masuklah kami ke dalam kereta.
Perjalanan dua jam membawa saya ke stasiun yang asing bagi saya, Bojong Gede. Ini adalah kali pertama saya turun disana. Setengah Sembilan malam, hujan lebat, dan banjir. Dengan sangat percaya diri saya ikuti saja kemana orang-orang keluar dari stasiun. Suasana di luar stasiun sangat mirip dengan stasiun Bogor. Padat karena pasar tumpah tak terkendali dengan jalan raya yang dilalui banyak kendaraan. Sangat rawan apabila kita kelihatan seperti orang yang tak tahu arah. Dengan bawaan tas yang agak repot ditambah satu tangan membawa payung, saya beranikan diri bertanya ke orang sekitar. “Mbak, Mas, angkot 07 ke Bogor ada dimana ya? Saya harus jalan ke arah kiri atau kanan?” Itulah kira-kira pertanyaan yang saya ajukan ke 4 orang secara random. Mereka jawab “Oh, ikuti saja jalan ini. Ke kanan, Mbak”. Oke, dengan PD saya berjalan terus menerobos hujan bersama puluhan orang lainnya, berjibaku melawan motor yang tak mau mengalah. Setelah satu kilometer lebih saya berjalan dan tak menemukan satu pun angkot 07, saya agak ragu. Sampai sejauh inikah pencarian angkot? Hati saya agak mencelos, namun karena masih banyak orang yang juga berjalan ke arah yang sama, maka saya paksakan kaki untuk terus melangkah. Entah sampai mana ujungnya.
Ketika kaki telah lelah melangkah dan hati telah penuh dengan cemas, titik terang pun datang. Terlihat orang menyerbu angkot 07. Saya tak mau kalah. Basah kuyup dan dingin. Dalam hati, saya mengumpat sistem perkeretaapian Jabodetabek. Mengapa tidak ada perubahan sistem yang lebih baik? Mengapa tidak dipikirkan metoda yang efektif untuk mengatur jadwal agar tidak ada kata telat lagi? Sudah tahu jalur Jabodetabek sering dilanda hujan lebat dan petir namun mengapa tidak ada sistem penangkap petir yang mumpuni? Mengapa si empunya kereta tidak mengacuhkan laporan warga tentang longsor pada rel? Mengapa preventive maintenance untuk kereta dan rel terlihat tidak efisien karena masih banyak saja kereta yang mogok dan rel yang rusak? Banyak sekali kata mengapa untuk melampiaskan bentuk protes yang tak didengarkan. Namun, kata mengapa takkan menemukan ujungnya bila tidak dipasangkan dengan kata karena. Bukan umpatan dan keluhan yang diharapkan saat ini. Problem solver-lah yang dibutuhkan. Sistem penjadwalan, mapping jumlah RoKer versus jumlah kereta dan jalurnya, transmisi sinyal, perawatan dari kereta-jalur rel-hingga gardu dan jalur listrik yang aman dari cuaca ekstrim seperti petir, risk management dan prosedur keadaan darurat apabila terjadi bencana, pengembangan sumber daya manusia, dan saling menjaga fasilitas umum. Dari kacamata saya, seorang awam, itulah PR yang harus dikerjakan bersama si empu kereta, pemerintah, serta masyarakat untuk mencapai misi pemerintah yaitu pengurangan titik kemacetan di Jabodetabek dan pengendalian jumlah kendaraan yang berlalu lalang di jalanan.
Sambil merenung, tetiba saya melihat beberapa setengah baya dengan tubuh lelah dan kening berkerut memasuki angkot. Saya yakin, mereka adalah sekelompok masyarakat Bogor yang juga merasakan efek pahit dari rel anjlok. Dari pembicaraannya, mereka adalah RoKer harian yang sangat bergantung pada kereta. Kalau pun tarif kereta naik, mereka rela merogoh kocek untuk membayarnya. Kalau pun kereta telat, mereka rela menunggu berjam-jam. Kalau pun kereta hanya beroperasi mulai dari Stasiun Bojong Gede, mereka akan mengejarnya. Semua demi kereta yang membawa mereka pergi ke kantor dan pulang kembali ke Bogor. Mereka adalah pelanggan setia kereta yang menyukseskan program pemerintah dalam mengurangi kemacetan dengan tidak membawa kendaraan pribadi. Entahlah apakah kereta mendengar semangat mereka atau tidak. Merekalah pejuang hidup yang sebenarnya. Berlelah dan basah kuyup setiap hari demi sesuap nasi. Membawa raga pergi dan pulang dengan transportasi publik yang seadanya. Dalam hati, saya malu sendiri. Di atas langit masih ada langit. Dibalik kesulitan kita yang dirasa cukup pelik, ternyata terdapat kesulitan orang lain yang jauh lebih besar. Satu kata yang sering saya lupa. Syukur. Inilah obat mujarab penenang hati.
Syukur. Satu kata, sejuta makna. Tak dapat dihitung dengan angka, hanya dapat dirasakan oleh nurani. Sontak, dia langsung memperingatkan. Sudahkah dirimu bersyukur? 

Minggu, 18 November 2012

Critic, anyone?

       Ngomongin karakter orang memang tidak ada habisnya karena karakter tiap orang itu unik, tidak dapat disamakan satu dengan lainnya. Nah, kali ini saya akan sedikit share tentang pengalaman menghadapi seorang professional senior dengan watak unik, menarik, sekaligus mencekik dan menggelitik.
     Pada hakikatnya, semua orang di dunia ini sangat menyenangi sebuah pujian. Apalagi pujian tersebut disampaikan oleh orang yang kita hormati dan segani. Sebagian besar setuju bahwa pujian dapat mendatangkan rezeki dan manfaat lebih banyak lagi. Namun, bila berlebihan bisa jadi senjata makan tuan, let say, jadi sombong atau egois. Bagai dua sisi mata uang, selain pujian ada pula yang dinamakan kritik. Biasanya disampaikan oleh senior ke junior, atasan ke bawahan. Namun, itu teori kuno. Di era demokrasi ini, semua orang berhak mengeluarkan opininya tanpa terancam akan di hukum oleh pihak tertentu, apalagi dengan telah diberlakukannya UU no. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan mengeluarkan pendapat di muka umum sehingga setiap warga negara RI berhak mengeluarkan opini, saran, dan kritik yang membangun kepada siapapun tak peduli ia atasan, bawahan, teman, atau lawan. Dalam hal kritik atau saran ini memiliki ciri khas yaitu mudah diucapkan, sulit dilakukan, serta apabila terlalu berlebihan akan mengakibatkan dua pilihan : semakin berkembang dan maju atau semakin terpuruk dan memburuk. Bila tak percaya, silakan dicoba.
      Dalam perjalanan ternyata harus singgah untuk memutar otak bersama menghadapi seseorang yang agak alot lagi ngotot. Entah karena pengalamannya yang lebih banyak atau ilmunya yang lebih tinggi namun cara ia negosiasi dan meyakinkan orang sangatlah terampil. Terbukti, dalam banyak hal yang mau tidak mau bekerja sama dengannya dan memberikan saran untuk perbaikan, pada akhir perbincangan dapat membuat hati memanas dan merusak mood untuk menjalani sisa hari. Itu terjadi apabila kita tak pandai mengendalikan diri. Dalam tiap diskusi mengenai suatu hal, kerap kali diisi dengan berdebat. Banyak sekali alasan yang ia kemukakan yang apabila dipikir lebih dalam, alasan tersebut sebagai tameng agar tak menambah pekerjaannya. Cara penyampaiannya pun selalu menggunakan urat alias ngotot dengan mata melotot tajam, seperti hakim mendakwa tersangka. Apalagi apabila kita yang terbukti salah. Dengan pongahnya, ia merasa sebagai pemenang dalam pertandingan. Hal ini yang membuat orang malas berdiskusi panjang dengannya karena ujung-ujungnya akan berakhir tidak mengenakkan kedua belah pihak. Aneh tapi nyata.
      Sebenarnya saya sering tak habis pikir, dengan levelnya yang berkali lebih tinggi dari saya, mengapa saya belum menemukan sosok pemimpin idaman, sesuai teori yang saya pelajari, dalam dirinya? Mengapa pula seringkali ia tak mau menerima saran dari orang lain? Padahal kita sama-sama tahu bahwa saran tersebut untuk kebaikan bersama walaupun kami beda bidang. Entah apa yang ada di benaknya. Entah kapan pula ia akan berubah sikap menjadi pemimpin yang sesungguhnya. Namun, setiap kejadian baik suka atau duka pasti ada hikmah dibaliknya. Saya jadi mengetahui sifat asli dirinya sehingga untuk bekerja sama harus menggunakan teori dan bukti yang valid. Kemudian, saya pun jadi belajar bagaimana cara meyakinkan orang lain dalam bernegosiasi. Bukan dengan ngotot nan alot sambil melotot, namun dengan sikap yang lebih santun. Pasti akan terlihat lebih elegan dan terpelajar, walaupun mungkin ilmu dan pengalaman tidak lebih tinggi darinya.
    Tiap kapal yang sedang berusaha mengarungi lautan pasti pernah bertemu dengan ombak ganas. Tiap pengusaha sukses pasti pernah bertemu dengan hambatan pelik. Tidak bermaksud menghakimi sepihak, hanya sebagai sarana perenungan. Anggap saja intermezzo yang numpang lewat. Ambil pelajarannya, buang unsur negatifnya. Just remember that you are what you speak. Beware of your attitude, pals. 
      Critic, Anyone?

                         sumber : en.wikipedia.org

Minggu Kelabu (In Memoriam 14 days)

Ditinggal kucing untuk selamanya itu rasanya seperti diputusin pacar, menyita waktu panjang untuk merenung akan takdir yang tidak diharapkan, menguras air mata, memeras tenaga dan pikiran, menghentikan sementara rasa lapar yang biasanya melanda, dan mengubur harapan untuk mengulang masa indah bersama.

2 minggu sudah saya vakum dari kegiatan tulis menulis per-blog-an. Bukan karena sok sibuk, tapi otak dan jari ini rasanya malas diajak kerjasama. Mungkin pengaruh energi negatif yang tetiba suka menampakkan diri tanpa mau berlalu pergi. Demikianlah. Sedikit kisah sedih di Hari Minggu yang masih membekas dalam hingga pangkalan hati.
4 November 2012 adalah hari bersejarah untuk saya. Sejarah yang berakhir dengan sad-ending dimana tokoh utama dalam kisah tersebut mati meninggalkan bekas luka di benak orang lain, bahkan yang baru mengenalnya lewat dunia maya. Dia adalah sahabat terbaik saya seumur hidup. Baru kali ini saya punya sahabat yang saling pengertian dan saling dukung satu sama lain. Kami memang saling membutuhkan. Bila dia tak ada rasanya ada yang kurang. Layaknya kopi dengan gula, akan terasa manis setelah bertemu dan melebur menjadi satu.
Perkenalan awal dengan dia memang tak terduga. Dia datang di pagi buta dan mengiba. Diberi makan sepiring penuh, kalaplah ia. Kemudian, layaknya anak ayam yang masuk ke dalam sayap induknya, ia tertidur dengan damai. Tanpa banyak kata apalagi cerita, tahu-tahu sudah timbul rasa yang luar biasa antara saya dan dia. Niatnya sih cuma menolong, namun ternyata ikatan batin terlanjur terjalin dan rasa sayang sudah terpilin. Ia dan saya tak terpisahkan.
Hari-hari bersama dengannya bagaikan sepasang kekasih yang baru jadian lagi kasmaran. Ia sudah saya anggap sebagai adik-beda-spesies. Ia selalu menjadi penyemangat kala suka dan duka. Saya yang saat itu sedang menyusun skripsi dengan penelitian yang tak kunjung rampung pun sering dibuat terkejut dengan tingkahnya. Saat saya sedang capek, ia seolah mengaliri energi positif agar saya tetap maju dan pantang menyerah. Wajahnya yang innocent dengan perawakan yang tinggi sedang, perutnya yang buncit, dan kalau tidur persis Garfield. Tak seperti kucing lain, ia sering menghampiri saya saat sedang di kamar dan mengerjakan tugas. Seolah ingin membantu, ia tidur di atas tumpukan kertas dan buku. Ia belum bangun kalau saya belum beranjak atau ia merasa lapar. Dialah sahabat satu-satunya di rumah. Apalagi saya tinggal berdua dengan adik saya dimana dia pun sibuk dengan tugas kuliahnya dan orang tua saat itu masih tinggal di Bandung.
Selepas kuliah, saya disibukkan dengan rutinitas baru sebagai junior pencari kerja. Masa-masa santai dengan penantian yang tak pasti membuat saya sering berada di rumah. Perhatian saya pun hanya tertuju padanya. Dia menjadi teman di segala suasana. Bercanda, bercerita, hingga makan bersama pun menjadi rutinitas harian kami. Bisa dikatakan kami adalah sepaket. Tak lengkap rasanya apabila di rumah tak ada dia. Demikian halnya dengan saya. Setiap saya pergi, dia selalu menunggu. Saat saya datang, bagai anak kecil yang menanti buah tangan, senangnya luar biasa. HIngga akhirnya masa penantian itu terbayar sudah. Saya pun memulai pengalaman baru sebagai seorang junior professional. Kos dan meninggalkan rumah untuk seminggu adalah pilihan yang harus dijalani. Apa boleh buat, dia saya tinggalkan. Ikatan batin diantara kami ternyata tak main-main. Menurut pengakuan adik saya, tiap malam dia selalu menunggu saya pulang. Pintu kamar saya selalu ia buka dan ia memanggil saya setiap hari. Hati mana yang tak terenyuh dengan hal itu. Alhasil ketika akhir pekan tiba dan saya pulang, ia langsung naik dipangkuan dan mendengkur manja. Saya pun memeluknya erat, tanda permohonan maaf telah membuatnya menanti.
Dia termasuk kucing yang paling ramah. Ketika ada tamu siapa pun itu, tak segan ia berkenalan dengan tamu tersebut. Mulai dari menyambut dari pintu, menggeliat manja, hingga duduk di sebelah tamu tersebut sambil kepalanya disandarkan ke tubuh tamu. Dia memiliki insting yang kuat. Apabila sang pacar datang, seakan cemburu, ia duduk diantara kami dan mencuri perhatian kami. Tingkah inilah yang selalu membuat saya heran sekaligus geli sendiri.
Tiba akhirnya pada hari itu, akhir pekan yang tak saya bayangkan menjadi akhir pekan terakhir bersama dengannya. Saya pulang dan mendapati bahwa dia sakit demam dan tak mau makan. Dengan tekun, ibu saya merawatnya dengan susu kambing, kaldu ayam, dan vitamin. Ia pasrah, tak bersuara, seakan tahu penyakit ini akan membuatnya menderita. Saya dan ibu berusaha untuk merawatnya. Kami pun menghubungi dokter hewan terdekat, ternyata tidak praktek. Karena pada hari itu saya dan ibu harus pergi untuk e-KTP, maka kami meninggalkannya dirumah selama beberapa jam. Pencarian pertolongan pun ternyata bermuara di klinik dokter hewan Taman Cimanggu. Namun, karena sudah tutup, dia baru bisa dibawa keesokan paginya. Kami pulang. Mendapati ia tidur di lantai dan selalu mencari tempat dingin untuk berdiam. Ciri-ciri penyakit yang sebenarnya saya pun masih awam. Pertolongan pertama dan perawatan standar pun kami lakukan demi meghalau penyakitnya sambil berdoa mudah-mudahan dia kuat, kuat, dan kuat. Semalaman saya dan ibu tak dapat tidur. Kondisi tubuhnya semakin turun walaupun setiap sejam sekali kami telah berikhtiar dengan memberinya susu kambing dan kaldu ayam, berharap susu kambing dengan partikel yang lebih kecil dari susu sapi dapat cepat diserap tubuh dan berangsur pulih. Namun, kenyataan berkata lain. Tubuhnya dingin. Kami berusaha membuatnya hangat dengan memyelimutinya dengan seprai kesayangan. Berharap akan ada aliran energi hangat menjalari tubuhnya. Pukul 2 pagi. Ibuku menggendongnya masuk ke dalam kamar. Tubuhnya lemas tak berdaya. Kami peluk dia, mengajaknya berbincang. Dia menatap penuh harap kepada saya. Pandangannya penuh arti, seolah ia tak mau kami berpisah. Satu jam sudah dia kami dekap. Tubuhnya agak menggigil. Kami taruh ia didalam kardus dengan lampu sebagai penghangatnya. Ia tidur dengan gelisah. Ia ingin bangun untuk pindah ke lantai yang dingin. Kami turuti keinginannya, karena malam itu memang udaranya sedang panas. Pandangan mata kami tak dapat berpaling darinya. Kami terus menjaganya. Sampai akhirnya pukul 4 pagi, saya sudah tak kuat. Saya pun tertidur hingga Adzan Subuh berkumandang, barulah saya bangun. Ia sudah dipindahkan ke dalam kardus dengan posisi meringkuk menahan sakit. Kami pun kelimpungan. Apa yang harus kami perbuat? Susu kambing, kaldu ayam, air putih, oralit, vitamin, dan obat ringan pun sudah diberikan. Rencananya kami akan membawa dia ke klinik pada pukul 8 pagi, karena percuma saja dibawa ke klinik bila tak ada dokter yang praktik. Kami berdoa dan membelainya sambil menangis. Kami tahu, ia kesakitan. Kami tahu, ia menderita. Kami tahu, ia sedang berjuang melawan penyakitnya. Namun, kami tak tahu hal terbaik untuknya yang Allah sedang persiapkan. Menit-menit itu adalah menit penuh air mata. Dalam posisi meringkuk, ia mendengkur dan kejang kesakitan. Aku yakin saat itu Malaikat Izrail sedang mencabut ruh dari tubuh mungilnya. Entah kalimat apa yang dapat menggambarkan perasaan saya saat itu. Campur aduk menjadi satu. Seketika flashback akan memori indah bersama satu persatu bermunculan menyergap. Saat ia datang pertama, bermanjaan tiap waktu, tingkah lucu dirinya untuk merebut perhatian saya, bercanda bersama, menyambut kala saya pulang, dan sifat lain yang membuat air mata menetes bila teringat dirinya. Ketika ia sakaratul maut, kami doakan ia, sambil menangis, saya bisikkan ucapan terima kasih atas kenangan indah yang telah diukir bersama serta permohonan maaf karena saya tak bisa merawatnya dengan baik hingga ia harus menderita seperti ini.
Klik. Saya berinisiatif untuk membuka Google, mencari penyebab penyakit yang saya putuskan menjadi musuh terbesar karena telah merenggut nyawanya. Ia adalah Distemper dengan virus bernama Feline Panleukopenia yang menyebabkan radang usus akut dan bekerja merobek usus kucing/anjing sehingga tak ada makanan yang bisa diserap tubuhnya. Kucing/anjing pun mati seketika. Cirinya adalah kucing/anjing tak mau makan, demam tinggi, ingin berdiam diri di tempat dingin, dan badannya menjadi kurus kering. Perjalanan si virus jahat ini cepat sekali hingga dalam hitungan jam, nyawa kucing/anjing kesayangan tercabut dengan ironisnya. (sumber : kittykrafty.com).
Uraian air mata, rasa tak percaya, dan hati yang terluka mengantar kepergian dia untuk selamanya. Seprai kesayangan saya menjadi pakaian terakhir untuknya, berharap ia tak kedinginan di dalam sana. Lapis demi lapis tanah menyelimuti tubuh kakunya. Derasnya air mata saya dan ibu membanjiri makamnya. Takdir ini sungguh pahit. Namun, mungkin ini yang terbaik untuk dirinya. Kita baru akan menyadari besarnya rasa sayang, apabila kita telah kehilangan. Berat memang, namun ilmu ikhlas dan sabarlah yang coba ia ajarkan kepada saya. 2,5 tahun bersama terasa seperti baru kemarin berjumpa. Selamat jalan, Pussy. Dirimu takkan terganti oleh apapun dan siapapun. Terima kasih atas semua kenangan dan cerita indah yang tergores dalam lembaran hidup kami. Terima kasih sudah jadi bagian indah dari rumah kami. Maaf bila kami sering membuatmu menderita bila seharian pergi. Maaf bila suka memukulmu bila kamu nakal. Maaf bila kami tak bisa merawatmu dengan baik dan berakhir seperti ini.
            Kamu pasti sudah tenang di Surga. Baik-baik ya disana, Pussy sayang. Walaupun kita takkan pernah bertemu muka, namun satu hal yang kau harus tahu bahwa kau takkan terganti di hati. Missing you, my Pussy. We always love you forever and ever.
                       Pussy and his coffee theory
                       Day-Dreaming with Big Tummy
                                A Supermodel
                                   Celebrating Ied together