Sabtu, 28 April 2012

My #1 Blood-Donation

"How to make your life worthy and meaningful is being useful with helping each other"

Salah satu hal yang membuat hidup kita lebih bermakna adalah menjadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain. Demikianlah prinsip hidup yang diajarkan oleh semua ajaran agama. Dalam ajaran agama yang saya anut, hal tersebut tertuang dalam istilah Habluminannas (hubungan dengan manusia), yaitu berbuat baik kepada sesama manusia yang merupakan manifestasi dari tolong menolong dan bersifat vertikal. Perbuatan baik harus didukung oleh perasaan ikhlas, tanpa pamrih. Maka, perbuatan baik yang kita lakukan tidaklah sia-sia dan akan menghasilkan kebahagiaan luar biasa yang secara tidak langsung mempengaruhi mood dalam menjalani aktivitas menantang sekalipun. Hal inilah yang ingin saya share kepada readers sekalian yang mungkin tidak sengaja sedang blog-walking dan membaca tulisan ini.
Hari itu hari Senin, 23 April 2012. Hari dimana saya biasa berangkat dengan berpeluh-peluh sebelum subuh, bercerita dalam kereta, dan berjibaku dalam debu. Tak dinyana ketika saya sampai di meja, saya mendapati adanya pengumuman akan diadakan donor darah di tempat saya bekerja yang diselenggarakan oleh PMI Kramat Raya. Saya pun berpikir sekaligus berniat untuk ikut serta dalam amal tersebut. Namun, saya memiliki trauma masa lampau terhadap adegan tusuk menusuk jarum infus yang saya bayangkan lebih ngeri dibandingkan putus dengan pacar *kidding :) Salah satu cara untuk menghilangkan trauma dari suatu hal adalah dengan terlibat dalam aktivitas traumatik tersebut. Dan saya melakukannya untuk pertama kali dalam catatan histori hidup saya.
24 April 2012 pun datang dengan cepat. Saya menyiapkan diri dan mental agar tidak pingsan ketika donor darah. Setelah mendaftar, peserta donor darah dipanggil satu persatu untuk diperiksa hemoglobin, tekanan darah, dan golongan darahnya. Beberapa peserta banyak yang gugur sebelum berjuang. Kebanyakan karena Hb mereka dibawah 12,5. Akhirnya giliran saya pun datang. Setelah diperiksa ternyata saya lolos seleksi menjadi pendonor yaitu Hb = 14,1 ; tekanan darah = 110/70 ; Golongan darah = AB (jenis golongan darah resipien yang hanya dapat menerima transfusi dari golongan darah lain dan hanya bisa mendonorkan ke sesama AB saja). Perjuangan pun dimulai. Saya berbaring, lengan kiri saya mulai diberi alkohol, dan dicari pembuluh darahnya. Karena pembuluh darah saya kecil dan jarumnya berukuran all-size (sepenglihatan saya, ukuran jarum tersebut sebesar mata pena!), maka petugas PMI harus berusaha keras mencari pembuluh darah yang entah bersembunyi dimana. Semenit kemudian, saya sudah dipasangi selang dan saya saksikan hemoglobin-hemoglobin yang berlari bebas dan mengalir kencang, bagai seseorang yang telah menemukan jati dirinya lalu kabur mencari asa yang tersimpan di tengah jalan. Saya pun berpikir, betapa berharganya setetes darah yang saya sumbangkan mengingat golongan darah saya termasuk langka. Mungkin besok ataupun lusa, hemoglobin ini sudah mengalir di pembuluh darah lain sebagai media untuk bertahan hidup.  15 menit sudah saya menahan perih. Kata petugasnya, darah saya kental karena saya kurang minum air putih sehingga aliran darahnya lambat. Deg. Terbongkar sudahlah kemalasan saya. Saya malas minum air putih dan hal itu berdampak pada kekentalan darah. Petuah dan saran yang dilayangkan seakan menjadi tamparan yang cukup menyadarkan saya akan pentingnya hidup sehat. 8 gelas perhari bukanlah persuasi iklan semata, namun pengingat kita agar tubuh ini tidak aus sebelum waktunya.
Jarum sudah dicabut dan selang pun diikat kuat bersama kantong darah, AB positif, siap disimpan dan didistribusikan. Saya bangkit duduk dan berjalan ke kerumunan. Agak pening dan sempoyongan, namun setelah asupan gula sederhana masuk bersama secangkir teh panas, badan terasa agak segar. Minyak 2 liter bersama susu pasteurisasi dan mie instan kemasan stereofoam pun menjadi hadiah kecil sebagai pejuang hidup orang lain. Dalam perjalanan kembali ke meja kerja, saya berpikir begitu dahsyatnya hari ini. Saya mengalahkan ketakutan satu ketakutan saya pada jarum dan aktivitas ditusuk oleh jarum yang ukurannya lebih besar dari jarum infus ketika harus diopname karena terserang DBD. Sambil tertawa kecil, saya pun bersyukur atas keberanian yang Allah bangkitkan dalam diri saya untuk menjadi pendonor dan saran akan pentingnya kebiasaan hidup sehat dari petugas donor darah. Apabila saya tidak menjadi pendonor, mana peduli saya dengan kebiasaan minum 8 gelas perhari dan saya pun tidak bisa merasakan sensasi bahagia menjadi seseorang yang darahnya akan bermanfaat bagi orang lain. Apalagi darah adalah soal hidup dan mati.  Memang ada harga yang harus dibayar dari sebuah pengorbanan. Pengorbanan menjadi individu bermanfaat bagi orang lain dan peduli akan kesehatan diri sendiri sekaligus menjadi salah satu ladang amal bagi saya kelak di kemudian hari.


Sabtu, 21 April 2012

Sedang Apa?

Sedang apa dan dimana dirimu yang dulu ku cinta
Ku tak tahu tak lagi tahu seperti waktu dulu
Apakah mungkin bila kini ku ingin kembali
Menjalani janji hati kita (
by Sammy)

Aku memulai awal minggu dengan kecemasan tak bertepi dan keringat dingin yang mengalir di pipi. Hari ini adalah hari pertamaku meninggalkan rumah dengan sejuta kewaspadaan akan keadaan di dalamnya. Bukan, bukan karena rumahku berada di kawasan elite yang menjadi incaran oknum-oknum nakal yang lazim dipanggil dengan sebutan maling. Bukan pula karena chip yang disembunyikan di dalam rumahku seperti kisahnya Macaulay Culkin di film Home Alone. Namun, ada satu hal yang membuat pikiranku tak tenang menghitung hari untuk kembali lagi ke hari Sabtu. Dia. Karena dia.
Aku pun tak tahu persisnya aku bisa berkenalan akrab dengan dia. Seingatku, pada saat aku masih duduk di bangku kuliah, kala itu subuh menjelang dan aku masih masih terjaga mengerjakan tugas-tugas yang membuat kepalaku mau pecah dan mataku pedas. Sayup-sayup terdengar suara memelas dari arah depan rumahku. Suara tersebut lambat laun makin keras dan berulang sehingga mengganggu konsentrasiku, namun aku masih bertahan karena biasanya lama kelamaan suara gangguan tersebut akan hilang dengan sendirinya. Namun, ibuku gemas mendengar suara tersebut dan menyuruhku untuk melihat kondisi depan rumah. Aku pun bergegas membuka pintu rumah dan terlihat dia malu-malu mengintip dari balik semak belukar dengan tatapan ketakutan. Ibu menyusulku dan berniat mengambilnya. Aneh, tidak ada perlawanan darinya. Dia menurut ketika ibuku menggendong, membawanya masuk, dan memberi sedikit kudapan untuk mengganjal perutnya. Dia sarapan dengan lahap. Aku hanya memperhatikan dan menganggapnya lalu.
Hari berganti dan bulan pun berlari. Dia semakin besar, sehat, dan lincah. Tingkah lakunya  semakin membuat gemas. Aku yang tadinya tidak terlalu memperhatikan dengan seksama, mulai merubah cara pandang dan sikapku padanya. Aku yakin sebenarnya ia ada pemiliknya. Ia punya ibu dan saudara. Namun, karena di dekat rumahku banyak penghuni nomaden yang menurutku tidak berperi kebinatangan dan anak-anaknya dibiarkan memiliki kebiasaan memainkan atau lebih tepatnya menganiaya hewan maka analisisku pun tertuju kepada anak-anak iseng yang sengaja membawa dia main jauh dari area rumahnya. Tujuannya ya hanya sebagai mainan layaknya benda mati. Aku ulangi sekali lagi DIA MENJADI MAINAN. Hati mana yang tidak terenyuh menyaksikan fenomena mencengangkan tersebut. Seperti terpanggil, aku pun mencoba merajut asa untuknya.  
Dia bukanlah jenis perkawinan silang yang menjadi primadona di setiap pet shop  dengan harga jual tinggi dan perawatan mewah. Bukan pula turunan dari ras negara lain yang disukai kaum kelas gedongan. Dia hanyalah golongan marginal yang haus akan kasih sayang sebenar-benarnya. Bukan hanya mengagumi keindahan warna, kehalusan bulunya, serta kelucuan tingkah lakunya. Tak seperti yang kubayangkan sebelumnya, dia tumbuh dan menjelma menjadi yang terfavorit di tengah-tengah keluargaku. Semua tingkah polahnya seolah mengandung magis yang dapat menyerap semua energi negatif dan memancarkan kobaran semangat untuk melanjutkan sisa waktu dalam satu hari. Ajaib dan fantastis. Baru kali ini aku memiliki seorang sahabat beda spesies yang dapat mengerti aku apa adanya. Dia tahu kapan harus membangunkanku saat adzan subuh akan berkumandang, kapan akhir minggu akan berakhir, kapan ia mendapatkan kasih sayang utuh di tengah hangatnya keluarga, dan kapan ia harus berburu makanan tambahan demi mencukupi kebutuhan perutnya saat adikku pergi kuliah. Bulat dan hijau matanya memancarkan semangat, kekuatan, dan pertahanan terhadap musuh ; Halus bulunya mencerminkan reaksi tubuhnya terhadap macam makanan dan suplemen yang diberikan untuknya ; Tegap badannya menggambarkan sosok yang tak kenal lelah ; Keras dengkurannya mendendangkan suasana hati yang senang mendapatkan kasih sayang tulus dari orang sekitarnya ; Wajah imut tanpa dosa mengobati kepenatan pikiran setelah lelah beraktivitas. Sebagai si empunya, aku pun banyak belajar darinya tentang ketabahan dan kemandirian. Ia tabah tatkala ia harus berpisah hidup dengan orang tua dan saudaranya serta ia pun menjadi sosok mandiri ketika majikannya memiliki urusan masing-masing sehingga tidak memungkinkan untuk memberinya makan ideal 3 kali sehari. Aku pun tertegun, apakah aku sudah bisa tabah dalam menghadapi tantangan dan masalah yang silih berganti? Apakah aku bisa hidup mandiri tanpa mengeluh ketika sedang diliputi kesendirian menghadapi masalah baru yang tak disangka-sangka?

Sedang apa dan dimana, hei Pussy? Apakah dirimu baik-baik saja di rumah? Apakah dirimu kelaparan, kehausan, dan kehilangan kasih sayang? Aku harap dirimu sedang dalam keadaan sehat dan senang hari ini hingga seterusnya. Aku hanya bisa berdoa untuk keselamatanmu. Rindukan aku ya. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi di akhir pekan. Jangan sampai lagu Sedang Apa dan Dimana milik Sammy yang aku tulis di atas terjadi pada kehidupan kita ya..Baik-baik disana, kenangan indah dan kehangatan dirimu akan selalu membawa energi positif untuk aku disini.

Warmest Regards, 

your truly partner-in-crime

Selasa, 17 April 2012

Seratus

“Kakaaaa!! Ayo cepat makannya, nanti kamu telat. Hari ini kan ulangan matematika sama bahasa indonesia”
“Nyam..nyam..Iya ma..”
“Pokonya mama ga mau tau. Kamu ga boleh lagi dapat nilai 80! Gara-gara teledor, nilai kamu jadi turun ke 80. Dulu kan kamu dapet 100.”
“Tapi kalo soalnya susah gimana?”
“Pokonya 100. Se-ra-tus! Ga ada tapi-tapian”
“hemm..huff..” sambil menyiapkan kertas-kertas kecil sebagai senjata untuk melancarkan serangan contek-mencontek.
Fakta nyata yang ada di depan mata. Ibu atau anakkah yang sebenarnya ujian? Sang ibu sibuk mewanti-wanti sekaligus mengultimatum anaknya agar dapat nilai sempurna sedangkan anaknya berpikir keras menyiapkan strategi agar “selamat” sampai di rumah sehingga langganan paket blackberry, tv kabel, internet, dan playstation tidak dihentikan untuk sementara waktu hingga selamanya.
Apakah seratus itu? Sedemikian hebat dan agungnya angka 100 sehingga semua orang mengelu-elukan hingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya? Jawaban simpelnya adalah ya. Absolutely yes! “Aku dapat rangking 1. Nilai matematikaku 100 loh, ngalahin yang lain” kata pelajar. “Penjualan kita harus naik hingga mencapai presentase 100% dari tahun lalu” kata bussinessman dan sales manager. “Apabila anda berbelanja 100 ribu rupiah atau kelipatannya, anda akan mendapatkan point reward yang dapat diakumulasikan hingga jumlah tertentu dan dapat ditukarkan dengan hadiah” kata pengumuman di salah satu department store. Hingga “Cepe dulu donk” kata polisi cepek alias pak ogah yang selalu siap sedia mengatur lalu lintas di tiap perempatan, pertigaan, atau belokan jalan. Nilai seratus memang tidak dapat dipisahkan dari keseharian kita. Uang 99 ribu sembilan ratus pun tidak akan genap menjadi 100 ribu apabila tidak ada jasa pecahan 100 perak. Tukang angkot pun akan meneriaki kita apabila ongkos kita kurang 100 perak, tapi kalau kembalian mereka kurang 100 perak, mereka akan tancap gas, melengos pergi. Ya, saya sekarang mengerti akan arti dari nilai seratus ini. Namun, apakah seratus selalu berarti positif dan sempurna?
...
Seratus. Banyak orang mencari dan terus mencari, berusaha menemukan arti kehidupan dari nilai seratus ini. Tiap hari, di tiap perempatan jalan. Pasti ramai dilalui oleh kendaraan baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum yang berimbas pada kemacetan yang tak berperi. Apa yang mereka cari? Nilai 100. Sang pelajar, karyawan, pedagang, polisi cepek, dan seluruh profesi membutuhkan dan mencari bulir-bulir 100 ini. Mereka akan menempuh jarak ribuan kilometer demi mengecap manisnya nilai seratus.
Seratus. Begitu banyak kata yang dapat mendefinisikan dirimu. Aku kesulitan merangkum kata-kata untuk mendeskripsikan keagungan dan kemewahan dirimu sehingga orang-orang merelakan kehormatannya demi mendengar gemerincing dirimu. Aku tidak bisa berkata-kata tatkala kompetisi hidup demi meraih pialamu menjadi kontroversi. Tak tahu mana halal dan mana haram. Tak tahu arti dirimu yang sebenarnya. Tak tahu tujuan dirimu. Dirimu begitu memabukkan.
Seratus. Sahabat dirimu adalah kesempurnaan. Perfect dalam bahasa tetangga. Yang aku tahu adalah kesempurnaan hanyalah milik Sang Pemilik Semesta Alam. Bukan aku. Bukan kamu. Bukan dia. Bukan kita. Aku tahu kau lelah terhanyut dalam permainan fana ini. Arta dan nilai seakan menjadi saksi bisu keganasan dan kebuasan manusia. Tanpa palang penghalang dan benteng pertahanan, dirimu menjadi penguasa bagi individu yang candu.
Terima kasih wahai, seratus. Aku telah diperkenalkan kepadamu. Aku yang fana ini, terjebak dalam lingkaran dirimu, di tengah dahsyatnya gurun panas nan kering, tak ada tempat berteduh, tak ada air yang menyegarkanku, bila dirimu yang terus menerus jadi raja, bisa apa aku selain rehat sejenak dan merenung. Sudah pantaskah diriku bersanding denganmu? Bersebelahan dan saling berangkulan. Menjadi pasangan setiamu yang dapat mengingatkan dirimu saat kau khilaf, saat kau berpikir bahwa kau penguasa dan raja. Namun, bila kau tak terpatahkan, hukum rimba pun akan bertindak tegas. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.

Minggu, 08 April 2012

Drawstring Bags Attack!


        Have you ever heard about drawstring bag? It's one of vintage style bag that ever exist in 40's and 50's centuries and had developed in 60's and 70's centuries. Actually, I am not an up to date fashion lover, but since I've read fashion blogs and magazines, I realized that fashion always changing and rotating from old era to new era. If we concern to the modern fashion, we can find the newest and the most wanted fashion come from 70's-80's centuries. It's happened to bag fashion. As we know, drawstring bag is a geek and old-school-bag. But, since 2008, drawstring bags in various material, size, and model have been spreading to the fashion market. Females hunted and used it. Including me. I am one of the huge fans of drawstring bag. For me, drawstring bag is cool, sexy, and vintage fashion bag. Year 2008 is my first time buying drawstring bag in one wholesaler in Bogor and fortunately, I bought it  with my own money. My first drawstring bag was an orange one, it has a medium-size, and well-made materials especially its sling-cord-belt. I've ever brought a laptop and organizer inside my bag in several times and guess what? After 3 years of using, my bag haven't broken yet. Because of the first impression was really meant to me, I do become a drawstring bags lover. When I travel alone in a mall, I always be alerted to see various bag displayed. If there's a drawstring bag among them, I have to stop and see it. Yeah, I realized that it just kinds of desire mind to buy drawstring bag because I don't need it urgently but it never be charged if we just to see, touch, fondle, or cuddle it even if it displays in a famous-expensive counter. Maybe, the Sales Promotion will come to you and offer it persuasively. Will you let your saved-money go away or hold it? I bet, your heart will win the hardest battle of women choices. Buying or saving.
        Okay, by the way, when your heart is beating to spent money for a cute drawstring bag, don't be rushed to decided. Always check its whole bag condition. You have to make sure that the sling belt is comply with the size of bag body and its sewed strongly. Concerned of the materials and accessories, if able. Touching it carefully and don't forget to string the cord to make sure the bag is well condition. 
       To complete my story about the drawstring bag attack, I want to share the history of fashion bag which I've read from http://www.randomhistory.com/2008/10/01_handbag.html. Let's check it out, drawstring bag lover!

Fashion Is in the Bag
A History of Handbags
From the ancient beaded bags of African priests to the haute couture tote of the modern lady of leisure, handbags have historically been both the carriers of secrets and the signifiers of power, status, and beauty. As the keepers of the equipment of daily life, handbags have been strongly influenced by technological and societal changes, such as the development of money, jewelry, transportation, cosmetics, smoking, cell phones, and the role of women in society.
Embracing its paradoxical role as both signifier and concealer, the handbag gestures toward a myriad of tantalizing psychological interpretations. The contents of a handbag have been seen as representing part of the Freudian unconscious, and the bag itself (as an empty receptacle) can be interpreted as female genitalia or even the womb. Indeed, the word “purse” was a slang word for the female pudenda from the seventeenth century (Steele and Borrelli 1999). Ancient, symbolic, and indispensable, the handbag has been a chameleon object, expressing (and carrying) the needs and tastes of both its wearer and its time. 

Purse Precursors
Purses, pouches, or bags have been used since humans have needed to carry precious items. While “handbags” as a term did not exist until the mid-nineteenth century, ancient pouches made of leather or cloth were used mainly by men to hold valuables and coins (Foster 1982). Ancient Egyptian hieroglyphs show men wearing purses around the waist, and the Bible specifically identifies Judas Iscariot as a purse carrier. 

Fourteenth and Fifteenth Centuries: Girdle Pouches
In the fourteenth and fifteenth centuries, both men and women would attach pouches to the most important feature of medieval garb: the girdle. Because pockets would not be invented for several hundred more years, wearers would also attach other valuables to their girdle, such as a rosary, Book of Hours, pomanders (scented oranges), chatelaines (a clasp or chain to suspend keys, etc.), and even daggers (Wilcox 1999). The drawstring purse would hang from the girdle on a long cord and would vary according to the fashion, status, and lifestyle of the wearer. Women particularly favored ornate drawstring purses which were known as “hamondeys” or “tasques” (Foster 1982).
Medieval purses were not strictly used for carrying money, but were also associated with marriage and betrothal, often depicting embroidered love stories. Purses, known as “chaneries,” were also used for gaming or for holding food for falcons. Ecclesiastical purses were highly significant and were used to hold relics or corporals (line cloth used in mass). The most important bag at this time was the Seal Bag which was made for the Keeper of the Great Seal, later known as the Lord Chancellor (Wilcox 1999). 

Sixteenth and Seventeenth Centuries: Pockets and "Swete Bagges"
During the Elizabethan era, women’s skirts expanded to enormous proportions. Consequently, small medieval girdle purses were easily lost in the large amounts of fabric. Rather than wear girdle pouches outside on their belt, women began to wear their pouches under their skirts, and men would wear pockets (called “bagges”) made of leather inside their breeches (Foster 1982). Peasants and travelers might wear large satchel-like leathers or cloth bags diagonally across the body, as in Peter Brueghel’s painting, “The Elders Two Peasants” (Wilcox 1999).
In addition, in a time when personal hygiene was lacking, many aristocrats in the sixteenth century would carry what was called “swete bagges” or bags that were filled with sweet smelling material. Just as pomanders hung from the girdle in the fifteenth century, these swete bagges were filled with powder from sweet-smelling herbs and spices, such as lavender, or with perfumed balls of cotton. Swete bagges might also be stored with clothes and linens or set among sheets and pillowcases (Wilcox 1999).
Like their immediate predecessors, both men and women in the seventeenth century rejected the obvious use of bags and preferred to hang long embroidered drawstring purses under their skirts and breeches (Foster 1982). Purses were not only functional but they were also often used as conspicuous decorative containers for gifts, such as money, perfume, or jewels (Steele and Borrelli 1999). Toward the end of the century, purses became increasingly sophisticated, moving from a simple drawstring design to more complex shapes and materials. 

Eighteenth Century: The Revolt against Underwear and Pockets
After the French Revolution, the full skirts of the ancient regime became less popular in favor of a more slender and narrow dress. These slender dresses left no room beneath for pockets and, consequently, pockets were discarded. Purses came back out into the open in the form of “reticules” or “indispensables” as the English tended to call them, suggesting that women had already largely developed a dependence on their handbags (Steele and Borrelli 1999). The French often parodied the women who carried the delicate bags that resembled previously hidden pockets as “ridicules” (Wilcox 1999). 

Nineteenth Century: The Rise of the Handbag
Developments in science and industry during the Victorian era created a vast array of styles and fabrics which women could coordinate with the rest of their outfits. Though pockets returned in the 1840s, women continued to carry purses and spend an enormous amount of time embroidering them to show off for potential husbands, often marking the date and their own initials on their bags (Wilcox 1999). In keeping with the ideals of domesticity of earlier times, many women wore chatelaines that attached to the waist belt by a large decorated clasp (Foster 1982).
However, with the advent of the railroad, bags were about to experience a revolution. In 1843, there were nearly 2000 miles of railway lines in Great Britain. As more people traveled by train and more women became more mobile, professional luggage makers turned the skills of horse travel into those for train travel, and soon the term “handbag” emerged to describe these new hand-held luggage bags. Indeed, many of the top names of today's handbags got their start as luggage makers (in contrast to the previously made purses and pouches which were made by dressmakers). For example, Hermes bags were founded in 1837 by Thierry Hermes, a harness and saddle maker, while Loius Vuitton was a luggage packer for the Parisian rich. Modern handbags still allude to luggage with their pockets, fastenings, frames, locks, and keys (Steele and Borrelli 1999). 

1900-1920s: The Swinging Pochette and Egyptomania
Handbags in the early twentieth century became much more than just hand-held luggage. Women could choose from small reticules, Dorothy bags (now called dotty or marriage bags) with matching robes, muffs, and fitted leather bags with attached telescopic opera glasses and folding fans. Working women often used larger handbags, such as the Boulevard bag, leather shopping bags, and even briefcases which could be worn around the shoulder (Wilcox 1999). Handbags also included folders for the newly invented pound note which replaced the gold sovereign in 1914 (Foster 1982).
After WWI, and as more activities and travel opportunities became available for women, the long constricting layers and rigid corseting disappeared. Perhaps the most important development during this period was the “pochette,” a type of handle-less clutch, often decorated with dazzling geometric and jazz motifs, which women would tuck under their arms to give them an air of nonchalant youth. Rules for color coordination grew lax and novelty bags, such as doll bags, which were dressed exactly like the wearer, became popular. The discovery of King Tutankhamun’s tomb in 1923 inspired Egyptomania and purses began to reflect exotic motifs (Wilcox 1999). 

1930s: Art Deco
By the 1930s, most of the bags used today had been invented, including the classic handbag which had a handles and a clasp frame, the clutch (a variation of the pochette), the satchel, and the shoulder bag. The 1930 bag reflected the Art Deco style which highlighted abstraction and celebrated new industrial materials, such as plastic and zippers (Wilcox 1999). 

1940s: WWII and the Rise of Shoulder Bags
The war saw the smooth contours of the 1930s fashion change to a more military look. Bags became larger, squarer, and more practical, reflecting a desire to appear self-sufficient. As zippers, mirrors, and leather became scarce, designers turned to wood or plastic for frames and employed new synthetics such as rayon. The drawstring bag reappeared and was often homemade. Bags in Great Britain were made both to carry gas masks and to match an outfit. In France and America, as more women entered the workforce, they turned to shoulder bags (Foster 1982). After the war, the shoulder bag was relegated to country and travel features until its revival in the 1970s (Wilcox 1999). 

1950s: Handbags Reach Cult Status
The post war economic boon of the 1950s catapulted handbags into cult status. Major designers such as Vuitton, Hermes, and Channel enjoyed a culture where accessorizing and color coordinating were held to an almost moral standard. In addition, Christian Dior’s new style, introduced in 1947, emphasized long skirts and tiny waists. As the antithesis of the military style, this new look signaled a new decade of femininity where a very small bag implied beauty and sophistication. The tiny handbag, like Cinderella’s tiny shoe, represented femininity and submission. Indeed, a woman holding a smaller handbag sends a different sexual message than a woman carrying a huge shoulder bag (Steele and Borrelli 1999). 

1960s-1970s: The Rise of the Youth Culture
During the 1960s, rules of “appropriate” dress relaxed in response to the women’s’ movement and the rise of the youth culture. As the rules of correct dressing began to breakdown, the narrow long clutch was one of the earliest types of handbags to make the transition into the age of informality and youth fashion because it had always been thought suitable for a youthful look. The small and dainty shoulder bag with long chains or thin straps also began to dominate because it kept with informal child-like qualities of the miniskirt (Steele and Borrelli 1999). Such handbags highlighted the 1960 “swinging” fashion that was in stark contrast to the posed 1950s models.
Influenced by young travels to India in the late 1960s, larger satchels and fabric shoulder bags began to be popular. As opposed to machine-made goods, Afghan coats and bags, patchwork and embroidery, and former army shoulder bags also became popular (Wilcox 1999). In less than a decade, individual expression became popular and psychedelic patterns and later “flower power” introduced a romantic and ethnic look to fashion. By the end of the 1970s, slung shoulder bags returned with lots of buckles and zippers, suggesting that women were equipped for anything in the new age of feminism (Steele and Borrelli 1999). 

1980s-1990s: Conspicuous Consumption and the Unisex Bag
The 1980s' handbags became associated with conspicuous consumption--and for the first time, a concern with health and fitness sports bags and shoes were an additional group of accessories that influenced high fashion. In addition, as technology introduced the calculator and filofax, work bags were designed for order and control. In 1985, Miuccia Prada introduced the black nylon knapsack that become the first totally unisex bag, and it remains ubiquitous. One of the brightest stars of the 1980s was the rise of Vera Bradley's classic quilted handbag that reached sales of over $1million in just three years. By the early 1990s, small designer bags with giant Hs and CCs were all over London and New York, and only the trained eye could tell the real from the fake (Steele and Borrelli 1999). 

Twenty-First Century: Anything Goes...Even a "Man Purse"
Handbags are currently made in a bewildering array of styles and materials, such as waterproof canvas, space age synthetics, and faux reptile skins. Designers continue to play with the paradoxes inherent in the handbag with transparent materials that both expose and conceal the contents of the bag. And handbags, which for so long had been associated with the feminine are now becoming more popular with men. Both the modern man and woman can strap on or sling over a hands-free bag and go. Its variety and adaptability highlight the handbag’s extraordinary potency and staying power.

References
Foster, Vanda. 1982. Bags and Purses. London, UK: B.T. Batsford, LTD.
Steele, Valerie and Laird Borrelli. 1999. New York, NY: Rizzoli International Publications, Inc.
Wilcox, Clair. 1999. Bags. London, UK: V&A Publications.

March 2012: The Longest Training Ever! #3


#3 : Farewell
HARI TERAKHIR. Pukul 15.00 WIB, pihak Premysis yaitu Bu Silfa mengajak kami semua untuk mengadakan perpisahan di sebuah tempat karaoke. Sebenarnya, saya pribadi malas untuk ikut karena 4 orang yang juga tidak ikut, ada urusan pekerjaan katanya. Tapi, saya tidak ada urusan apa-apa dan saya pun malas untuk mengada-adakan alasan. Terpaksalah saya ikut berkaraoke ria yang akhirnya diputuskan di tempat karaoke Family, Plaza Semanggi. Perkiraan saya adalah saya bakal mati gaya. No singing for me because of I was no comfortable to express myself amidst them. Benar saja. Saya hanya terbengong-bengong sambil berpura-pura menikmati. Padahal, nothing! I was so bored! Bayangkan saja, semua pemilihan lagu dimonopoli oleh kaum adam dengan genre rock, dangdut, dan lagu-lagu jawa serta sunda. OH I trapped  in a wrong path. That was NOT my type. Ditambah lagi beberapa hal yang tidak saya duga sebelumnya yaitu mereka merokok dalam ruangan AC; pesan minuman keras tanpa menghiraukan saya, sang minoritas; dan melewatkan waktu beribadah begitu saja. Tapi anehnya mereka biasa saja. Saya yang tidak biasa dengan sikap mereka. Ya, mau memberitahu pun sulit ya, kondisi saya terjepit. Untung saja ada teman sebangku saya yang bernama Pak Sentot, dia dijemput oleh supir kantornya. Kebetulan sekali, saya pun ikut sampai ke stasiun Cawang. Kami keluar dari “perangkap” tersebut pukul 18.00 WIB. Kami menunggu supir dan karena macet, supirnya pun baru sampai hampir jam 19.00 WIB. Kami pun tancap gas, namun kemacetan memerangkap kami di tengah lautan kendaraan. Kemacetan sudah menjadi suatu musibah bagi semua pengguna jalan. Bayangkan saja, waktu yang kata pepatah adalah uang, rela dibuang-buang secara cuma-cuma. 1 jam kami terperangkap hingga akhirnya pukul 20.00 WIB, kami tiba di Cawang dan setelah turun mobil, saya tancap gas membeli tiket dan masuk dengan penuh perjuangan ke dalam gerbong wanita. Rasanya sungguh WOW, campuran antara pegal di seluruh badan, sakit pinggang, sakit punggung, dan pusing ditambah saya berdiri sampai Bogor. Lelah? Pasti. Senang? Pasti, tidak. Farewell party yang tidak akan pernah saya lupakan dan keminoritasan saya yang terlupakan.
Yeah. Banyak hal yang saya dapat petik dari training 3 minggu ini diantaranya adalah saya menjadi semakin kaya akan pengetahuan dan cara menghadapi orang dengan berbagai karakter, apalagi gender laki-laki. Dalam suatu pertemanan, prinsip dasar kita tidak boleh tergoyahkan dan jangan sampai terpengaruh prinsip yang berseberangan, namun hal yang perlu dikembangkan adalah tetap baik, bersilaturahmi, dan saling berbagi informasi positif.
          Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan seseorang, suatu grup, atau kelompok. Tulisan ini hanya sebagai sharing ekspesif antara saya, tombol-tombol keyboard, layar laptop, modem, microsoft word 2007 version, dan tentu saja blogspot sebagai pilihan virtual diary pribadi saya. Mostly, my days will be SUPERB! 'cause of much stories among "strange" but funny and smart people. Hope we'll get the best for our next project ahead :)
 

March 2012: The Longest Training Ever! #2


#2: Being certified General OHS Expert (AK3)
3 minggu bukanlah waktu yang singkat. Namun, kami merasa sebaliknya. 3 minggu benar-benar telah membuat otak kami panas dan berasap. Bagaimana tidak? sehari kami bisa melahap 1 hingga 3 buku plus Undang-Undang serta tugas dan PR yang dikumpulkan keesokan harinya. Suatu beban mental yang cukup pelik ketika kami mengingat akan ujian post-test yang akan diadakan pada minggu terakhir dari training. Ujiannya tidak main-main. Ujian tersebut menentukan nasib kelulusan kami. Apakah kami akan membawa sertifikat kelulusan, lencana, dompet AK3, dan kartu kewenangan AK3 atau hanya membawa seonggok ucapan terima kasih dari Premysis Consulting karena telah “menyumbang” delapan setengah juta untuk kesuksesan training AK3? That’s a stressful matter for me and others of course after we heard an opening speech from the leader of department supervision of labor norms, Mrs. Elizabeth. mau dibawa kemana hubungan kita? oh buku-ujian-nilai-sertifikat..
Minggu pertama dan kedua kami disibukkan dengan mendengarkan ulasan, ceramah, serta menyelesaikan pertanyaan atau latihan dari trainer. Have you imagine that listening to the trainers or teachers would become so tired instead of boring? Yeah. itulah keluhan kami. Namun, trainer dibayar untuk berbicara ya mau boring kek ataupun asyik kek itu urusan mereka, kami kan cuma murid. Dari zaman dulu pun murid membayar untuk mendengarkan guru mengajar. Perkara bosan atau capek itu sudah konsekuensinya. Ya, membayar untuk bosan. But, everything have to be changed! trainer-trainer yang berasal dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengajar dengan baik dan sesuai ekspektasi yaitu semangat dan menarik namun, no body’s perfect. Ada satu trainer bergender wanita yang sudah menjadi ibu (expected from the face, hehe), beliau mengajar mengenai pengawasan K3 terhadap listrik, pemadam kebakaran, dan kosntruksi. First impression, she was so gorgeous, smart, and beautiful.  When she came to the class, our eyes esp. the males couldn’t take of off her. We waited for her presentation. First minutes, she is great. Second minute, she start kinds of a crunchy joking. Another minutes until last, her performance wasn’t as gorgeous as we expected before. She taught very rushing and the presentation was running from one file to another file. hmmm.. no body’s perfect. Thanks ma’am, I know the performance which could make audience unenthusiastic.
Minggu ketiga adalah minggu perjuangan panjang untuk mendapatkan kelulusan. Dimulai dengan Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang diselenggarakan di Hotel Harris kemudian mencoba belajar kelompok dengan mengerjakan contoh-contoh soal tahun lalu serta menandai setiap bab Undang-Undang agar bila kepepet dapat langsung membuka buku tebal perundangan yang kemudian kami namakan “kitab”. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kami ujian. Post-test. WOW. Rasanya campur aduk antara tidak percaya diri dan merasa tidak pantas untuk lulus. Bayangkan saja. 9 buku plus 1 buku perundangan harus kami lahap dalam semalam. Jurus SKS pun dilancarkan. Kita lihat apakah SKS kita berhasil atau menguap. WOOHOO.
Saat pengawas membagikan soal, hatiku berdegub keras, sekeras ketika terlalu banyak mengonsumsi kafein dalam kopi instan segelas mug besar. WOW. 100 soal pertama 1,5 jam. 100 soal kedua 1,5 jam. istirahat. 10 soal essay 2 jam. Semua kami lahap habis bis bis. Di tengah-tengah ujian, ternyata Tuhan mendengar doa kami. Doa kami tidak muluk-muluk. Kami berharap, pengawas ujian mengantuk lalu keluar ruangan untuk sekedar mengobrol dengan tim Premysis atau ke toilet atau kemungkinan terburuknya ya tidur di ruangan. Hehehe. Doa yang buruk mengakibatkan hasil yang sangat buruk. Namun, kami melawan gravitasi. Kami pun melancarkan jurus terakhir untuk mempertahankan diri dari terinjaknya harga diri kami bila dinyatakan tidak lulus. Jurus anak sekolahan hingga jurus anak kuliahan pun berhasil. Tinggal menunggu hasilnya dibacakan besok, apakah kami lulus sehingga tidak perlu ikut tes perbaikan atau sebaliknya. Mari berdoa kembali.
Keesokan harinya…
12 orang = 6 orang lulus + 6 orang tidak lulus. Saya? Alhamdulilah saya lulus!! WOOHOO. Doa saya terkabul. Thanks Allah! Dengan hati dag dig dug serr ditambah tangan yang masih dalam keadaan dingin karena AC yang memang dingin plus kecemasan yang sangat, saya pun keluar ruangan dan mengerjakan tugas kelompok saya untuk presentasi PKL keesokan hari. Setelah istirahat, saya pun dibantu personil kelompok saya yang semuanya kecuali saya mengikuti ujian perbaikan.
Presentasi PKL.
Hari yang santai. Tinggal maju ke depan, mempresentasikan hasil PKL yang yaa seadanya, lalu pulang. WOOHOO. Namun, ternyata waktu berjalan sangat cepat. Pukul 14.00 WIB pihak kementrian baru mengumumkan hasil kelulusan secara formal. Walaupun saya bukan juara 1, namun saya sudah berusaha keras untuk mencapai kata LULUS sehingga tidak sia-sia saya berdesakan dan terombang-ambing dalam derasnya lautan orang di dalam tiap gerbong kereta. Mudah-mudahan kedepannya saya dan teman-teman bisa benar-benar mengimplementasikan semua bahan training dan perundang-undangan dengan baik dan sistematis sesuai amanah dan tanggung jawab yang telah digariskan dalam UU.No 1 tahun 1970, Permenaker No 3 tahun 1978, Permenaker No. 4 tahun 1987, dan Permenaker No. 2 tahun 1992.
“Jangan hanya menang di atas kertas, buktikan dong!” –Pak Rezzy: juara 1-

March 2012: The Longest Training Ever! #1


#1 : Training impression
Hello!! long time no write in my very own place on virtual world. Where have I been? Have I forgot about my own resolution as a new free blogger? Okay, let me answer the questions. First thing first, I would tell you about my activity last month. Well, since my boss told me to applied and joined Occupational Health and Safety training, my routine was totally changed. Because of the training was held at Hotel Harris, Tebet, South Jakarta, I decided to stay for awhile in Bogor. What a surprise! I could live in Bogor during my training. It was about 3 weeks I stayed in Bogor. Everyday, I went to Harris by train with track Bogor-Tanah Abang-Muara Angke which is left at 6 am. It was so great that I could wake up at 5 am and prepared everything nicely without rushing. But, as we knew the famous train condition, on every station stopped, people were so flooded and crowded. The crowded jostled people inside train-carriage, pushed on the other’s body which made them grumbled and mad. Hell yeah, that was one of morning disaster in every workdays. I got off the Tebet Station and you know, it needs special trick to struggle and being out of the train-carriage. Backpain and stiffness over my body.
OHS Training was held by Premysis Consulting at Hotel Harris, Jl Dr Sahardjo, Tebet, South Jakarta. This training was to produce certified General OHS Expert (Ahli K3 Umum) which will help ministry of labor and transmigration to implement OHS in their own company. My first day training was so wonderful. That was 12 trainees. 2 of them including me are female and 10 persons are male. I am the only one female who work on an FMCG corporation. Others have been working in a construction projects. Another female named Mrs. Novie has been married and her style was so boyish. I am the youngest girl among trainees and trainers. Again, I am the minority during 3 weeks training. Not a big deal but yeah felt like trapped in a man’s world doing and talking. The trainers were from ministry of labor and transmigration and Premysis Consulting, this training organizer. We had a leader in our batch. He has been working for decades and he is the oldest trainee among us. He’s name is Mr. Soenarto. Later, he always come late because he is a HRD manager in one of construction service and his boss push him to go to office before and after training. He’s the funniest trainee who always being crazy when talking and doing activities. He’s our favorite. We have a yel-yel to arouse our spirit : Safety First - yes..yes..yes.. Twice before and after training. 

What did we learned during 3 weeks? 9 training textbooks with 1 super-thick regulations book were being a “gift” from the trainers. First book is about the UU no. 1/1970, basic of OHS, and institutional of OHS. 2nd book is about OHS supervision of steam and pressure vessels, 3rd is about OHS supervision of mechanical, 4th is about OHS supervision of occupational health in work places, 5th is about OHS supervision of construction matters, 6th is about OHS supervision of fire extinguisher, 7th is about OHS supervision of electricity, 8th is about OHS supervision of work place environment, and the last is about OHS System and audit. Accepted many books and knowledge reminds me to being a student in a college again. There were so many active-teaching-methods with tasks and homework in almost everyday. There were a pre-test and post-test in 1st day and last day of training and we held internship at Hotel Harris to knowing about the implementation of OHS in hotel and comparing with all subjects that we’ve learned.
Everyday was like a roller coaster. I felt so busy to do all of the training process. 8 am to 5 pm with twice coffee break and once lunch break. Break time is our refreshing time. We always waiting for break time. 3 petite-four snacks with 3 choice of drinks: coffee, tea, or juice. We always joking or talking about each other OHS implementation then when the time’s over, we were into the classroom again. After 5 pm, the trainer gave us the soft-copies of current subjects then we went to home with a dizzy head condition. I always come back home with Mr. Soenarto. He brought a car and he droves thru the Tebet Station. It was really meant to me because I could catch an early train before much people flooded although I have to stand in front of person and wait her to sit me down. And after 1 hour, voila! Welcome home, Bogor. Sleep tight and wait me tomorrow, hey full-fighting-train!