Rabu, 26 September 2012

Rainbow Effect

“Mere color, unspoiled by meaning, and unallied with definite form, can speak to the soul in a thousand different ways. ” oscar wilde
"Why do you fret for tomorrow? Why are you heavy with care?Wrapping your heart in sorrow, a garment too somber to wear?Faith has a brighter color, home has a rainbow hue, and trust links them both together in a background of heavenly blue. You can weave these lovely colors into a garment so light will penetrate every shadow and shine through the darkest night."- Beverly Enderby Kimzey
"One of the great exercises you can do is to stop and acknowledge the colors around you. If you're constantly distracting yourself, then you're never really experiencing anything fully. It can cause you to feel like you have no center, like nothing is grounding you." - Sheryl Crow, Ladies Home Journal, April 2003
"All colors are the friends of their neighbors and the lovers of their opposites." - W.H. Auden
"Have faith in your dreams and someday your rainbow will come shining through. No matter how your heart is grieving, if you keep believing, the dream that you wish will come true." - Cinderella
“Sometimes it's important to work for that pot of gold. But other times it's essential to take time off and to make sure that your most important decision in the day simply consists of choosing which color to slide down on the rainbow.” - Douglas Pagels
"Paint a rainbow inside of you, paint a rainbow, let your smile shine through. When it's cold and gray, push the clouds away, paint a rainbow in your heart."- thinkexist.com




Minggu, 23 September 2012

Keretamu (juga) Keretaku

             Aku berjalan tergopoh-gopoh turun dari kendaraan umum dan dengan mata siaga serta gerakan tergesa menyebrangi jalan padat di suatu belahan ibukota. Tak ada palang pembatas antara pengguna kendaraan bermotor dengan kaum pejalan kaki. Status mereka disamakan. Sama-sama berpotensi menabrak, tertabrak, atau ditabrak. Hanya tingkat keparahan dan kerugiannya yang berbeda jauh. Kendaraan bermotor baik roda dua, empat, dan enam layaknya raja jalanan. Tak peduli ada pejalan kaki yang melintas didepan atau disebelahnya, mereka hanya ingat bagaimana caranya agar cepat sampai di tempat tujuan. Walaupun harus menonjolkan keegoisan. Akrobat jalanan pun dimulai. Saling menancap gas dan memberikan rem sesekali untuk menghindari tergoresnya kendaraan teranyar mereka pun dijabani. Nyawa pun tergadaikan, bila perhitungan kurang semili. Nurani dipaksa terkikis, melebur bersama asap knalpot pekat dan polusi udara.
             Aku berjalan lunglai dengan tempo melambat. Keringat mengucur sebutir-sebutir sebagai manifestasi ketegangan melawan arus kendaraan. Aku bersama salah satu teman sejawat berjalan menuju stasiun. Namun, ternyata ia dijemput teman lelakinya di perempatan jalan. Tahu begitu, aku tak lewat situ. Karena bila tak hati-hati, bisa saja kita tersambar beragam tipe kendaraan yang dipastikan tak ada yang mau tanggung jawab. Semenit kemudian, tiket sudah ada di tangan. Aku mencari jalur kereta dan masuk ke gerbong tiga. Tak ada tempat duduk yang kosong. Menyelip pun rasanya sulit. Karena penasaran aku menyusuri gerbong ke gerbong. Aku perhatikan wajah orang per orang. Jalan terakhir adalah berdiri di depan orang yang menurut feelingku turun di stasiun sebelum Bogor. Aku pun berdiri di hadapannya. Dia adalah bapak setengah baya, dua orang yang saling mengenal. Stasiun demi stasiun aku lalui dan orang pun semakin banyak yang berjejalan masuk ke dalam kereta. Tidak berimbang dengan jumlah orang yang turun. Namun karena kereta yang aku naiki berangkat setelah magrib, maka jumlah jejal orang tiap gerbong masih manusiawi bila dibandingkan dengan kereta yang berangkat sekitar pukul lima sore. Udara ac yang disuguhkan dalam fasilitas gerbong terasa kurang signifikan dengan tiket senilai 7 ribu rupiah. Mungkin, bila ingin nyaman, tarif tiket harus dinaikkan seperti rencana kenaikan tarif kereta yang sedang marak diperdebatkan. Mungkin juga kenaikan tarif tak ada hubungannya dengan pelayanan kenyamanan penumpang kereta. Entahlah. Namun satu yang pasti bahwa hati mana yang tak ingin diperlakukan adil bila kita sudah menukarkan pundi rupiah dengan sehelai kertas bertajuk tiket commuter line?
             Ketika hatiku sedang berdebat mengenai tarif tiket dan pelayanan kereta api, aku perhatikan sekeliling. Kebanyakan penumpang adalah pekerja kantoran yang berangkat saat matahari baru berniat untuk bangun dari peraduan dan pulang ketika matahari telah lelah berpijar. Posisi mereka adalah berdiri di depan penumpang yang beruntung mendapat tempat duduk. Untuk menghilangkan kejenuhan, rasa pegal, sekaligus membunuh waktu selama kurang lebih satu setengah jam, mereka sibuk dengan gadget anyar masing-masing. Satu tangan memegang handle, satu lagi berolahraga jari sibuk mengetik pesan dan membuka beragam situs sambil mendengarkan musik. Multi tasking. Demikianlah kebiasaan baru masyarakat urban dewasa ini. Aku pun mau tak mau mengikuti tren tersebut. Karena bapak setengah baya di depanku pun tak jelas kapan turunnya, maka aku menyibukkan diri dengan membaca macam informasi dan status teman di beragam media sosial sambil sesekali mencuri pandang memperhatikan tingkah laku penumpang di hadapanku. Tak sengaja aku memandang papan informasi yang menempel di depanku. Ternyata, lembar informasi tersebut adalah komik ala KAI berwarna menarik yang berisi cerita tentang kenaikan tarif kereta api. Pada komik kecil tersebut diawali dengan cerita tentang penumpang yang mengajukan protes tentang kenaikan tarif tiket sebesar dua ribu rupiah, kemudian muncul petugas baik hati yang meredam amarah penumpang, ia memberitahu bahwa kenaikan tarif kereta ini bukan karena tanpa alasan, namun karena akan adanya penambahan sebanyak 238 kereta karena penumpang yang bertambah setiap tahunnya lalu akan ada rangkaian khusus wanita (bukan hanya gerbong) serta akan ada layar infomasi kereta di tiap gerbongnya. Bayangkan. Rencana yang lumayan fantastis bukan?  Entah tahun berapa rencana tersebut dapat benar-benar terwujud. Kita tunggu saja janji manisnya KAI.
             Satu jam telah aku lewati dengan berdiri sabar sambil menggenggam gadget di tangan. Ketika gerik sang bapak telah menampakkan rasa gelisah dan sesekali melihat ke arah jendela, aku telah siap untuk bertukar tempat dengannya. Asam laktat memang sudah menjalar ke atas betisku. Dan gayung pun bersambut. Sang bapak dengan kesadaran tinggi bersedia bertukar tempat denganku. Perkiraan aku adalah dia akan turun di stasiun setelah ini, namun ternyata tidak. Ia benar-benar bertukar tempat denganku. Aku duduk dan ia berdiri. Bergiliran duduk, berbagi kenyamanan. Ia turun di tiga stasiun setelah dia berdiri. Aku sangat terapresiasi dengan kebaikannya. Masih ada orang yang mau bergantian duduk dengan orang lain walaupun tak saling kenal. Karena aku pernah memiliki pengalaman pahit seputar posisi duduk dan berdiri yang seolah terkasta di dalam kereta.
             Saat itu hari Jumat, hari dimana aku biasa pulang ke Bogor menggunakan transportasi kereta. Ketika aku naik, kondisi kereta sudah sangat penuh. Sebagian besar penumpang pasti naik di stasiun sebelum Kota. Tak adil memang, tapi mau bagaimana lagi. Petugasnya pun tak menghiraukan modus tersebut. Aku masuk ke gerbong yang tak banyak penumpang berdiri karena aku takut terjepit dan sesak di dalam gerbong yang penuh. Posisiku adalah berdiri di depan lelaki yang aku taksir berumur 30-an yang tidur dengan menggunakan masker. Walaupun keadaan gerbong agak panas, dia tetap terlelap nikmat tanpa kekurangan oksigen. Aku berdiri terus sambil menikmati suhu gerbong yang berangsur memanas oleh derasnya penumpang. Maklum memang. Hari Jumat pukul setengah enam pula. Hari dimana jadwal orang mendadak penuh dengan rencana menghabiskan uang bersenang-senang. Agak jenuh memang. Karena baterai gadget sedang sekarat, ditambah posisi berdiri yang agak terjepit oleh penumpang yang berdiri di belakangku dan yang duduk di depanku. Satu jam sudah aku berjibaku dengan keringat dan kejenuhan. Penumpang di depanku pun tak ada tanda-tanda untuk turun. Ia masih sibuk dalam episode bunga tidurnya. Tiba-tiba ia terbangun. Ia menengok perrlahan ke jendela. Setelah terkumpul semua kesadarannya dan kereta berhenti, ia pun bersiap turun.  Fiuh, akhirnya tiba saatnya bergantian duduk, pikirku. Namun,ternyata semua tidak berjalan sesuai perkiraanku. Sebelum bangkit, ia memanggil ibu yang membawa anak usia lebih dari balita -tapi masih digendong- untuk duduk di tempatnya. Kontan aku kaget setengah mati. Aneh sekali, bukannya ia memberikan tempatnya kepadaku yang ia tahu sudah berdiri di depannya dari stasiun pertama, tapi malah menyuruh ibu yang baru saja naik untuk duduk menggantikannya. Padahal posisi ibu itu sangat jauh darinya. Ketika ia akan bangkit, ia berkata ketus kepadaku, "jangan harap gua bakal kasih tempat ke loe ya. Ga sudi gua. Masih muda sih berdiri aja donk. Gua tau loe kuat!" dengan nada sinis mengejek. Aku yang juga sudah lelah dengan asam laktat hampir sampai puncaknya pun sontak terkejut dan ingin sampai hati untuk menampar mukanya dan menendang mulut harimaunya agar ia merasakan akibat perkataan 'asal-bunyi' yang ia lontarkan tanpa etika. Namun, aku teringat kata mutiara bahwa orang bijak berpendidikan adalah orang yang kepalanya tetap dingin sekalipun hatinya panas. Memang, darahku saat itu mendidih, tenggorokanku tercekat, dan mataku memanas. Itulah tanda bahwa aku sedang dirundung amarah menjadi. Tetapi, aku tak banyak kata, anggap saja orang tidak waras yang naik kereta. Aku tak menghiraukannya, aku duduk saja di tempat yang menjadi hakku. Ibu tadi pun duduk di sebelahku. Perkataan orang tak waras tadi masih terngiang jelas di memoriku, bagai teriris sembilu, air mata tak dapat terbendung lagi. Amarah yang tadi tidak tersalurkan, memuncak dan meleleh dalam aliran air mata di pelupuk mata yang aku biarkan menetes hingga kering dan menyisakan kelegaan dalam rongga dada.
             Akhirnya, sampailah aku di stasiun akhir. Aku turun dan bersiap menaikkan endorphin dengan paket value meal ditawarkan sebuah restoran siap saji di tengah kota Bogor. Sambil membalas blackberry messanger, aku tumpahkan semua emosi ke dalam nyanyian angkara murka sebagai wujud manifestasi yang tak tersalurkan. Sang teman hanya menanggapi dengan tertawa renyah untuk mencairkan suasana hati sambil sesekali mengutuki dia yang tak waras. Sungguh pengalaman baru untukku. Bertemu dengan spesies orang macam demikian. Kerasnya zaman memang dapat mengubah orang menjadi berbagai pribadi. Bila tak kuat mental, ia dapat saja jatuh ke dalam lubang emosi tak terkendali dan memberikan ruang lebar untuk beragam penyakit masuk ke dalam jiwa raganya. Ya, seperti lelaki tadi.

Minggu, 09 September 2012

Amateur Photography

*ISO 200 - F/5,6 - Speed 1/200 secon*



..sedekah..

          Kalau mau kaya dan berkah, perbanyaklah sedekah.  Tagline yang sering saya lihat dan dengar diberbagai media. Tiap kali saya mendengarkan ceramah, tema sedekah adalah tema yang sering disampaikan oleh ustadzh karena merupakan topik sederhana namun sarat akan makna yang sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Baik tua maupun muda, semua berlomba-lomba menanam kebaikan lewat sedekah. Nominalnya tak ditentukan. Seikhlasnya saja. Waktunya kapan? Ya, kapan saja. Sesuka hati. Apabila ada kesempatan, maka bersedekahlah wahai kawan!
          Saya mengenal sedekah ketika saya masih duduk di bangku sekolahan. Ketika itu, pelajaran agama adalah suplemen yang wajib dipelajari dan amalkan karena menyangkut akhlak budi anak tersebut. Sedekah dan zakat pun masuk ke dalam satu bab bahasan tersendiri. Kebiasan orang tua pun menjadi cikal bakal saya dalam membangun fondasi agama yang kuat. Saya pun memiliki keinginan untuk merasakan sedekah. Dan kesempatan itu pun tiba. Kala itu, saya bersekolah di SD negeri yang masih dalam kompleks perkebunan teh dengan latar belakang teman-teman dari keluarga petani, pemetik teh, dan buruh pabrik. Kondisi finansial mereka pun bermacam-macam. Ada yang mampu namun banyak pula yang kurang mampu sehingga untuk membeli buku dan LKS (lembar kerja siswa) yang berisi soal latihan pun harus dicicil hingga lima kali. Tiba-tiba hati seorang anak usia sembilan tahun pun tergerak untuk membelikan LKS untuknya. Dan keinginan itu pun berwujud nyata. Berkali-kali ia mengucap kata terima kasih kepada saya. Campur aduk rasanya. Ternyata nominal tiga ribu lima ratus rupiah menjadi sangat berharga bagi orang yang kekurangan sepertinya. Sedekah pertama saya membawa ketenangan batin yang luar biasa khususnya bagi bocah ingusan kala itu.
           Pengalaman bersedekah setelahnya tak menjadi buah pikiran saya. Ya, biasanya setelah bersedekah, saya lupakan nominal dan waktunya karena apabila diingat-ingat saya takut hati saya berbalik menjadi tidak ikhlas. Buah dari sedekah pun tak saya hitung karena lagi-lagi takut menjadi bumerang bagi saya, menjadi orang yang perhitungan apalagi dengan Allah. Tidak tahu diri sekali saya sebagai hamba Allah. Kesehatan, perlindungan, dan kecukupan rejeki terus berlimpahan, tapi mengapa saya tidak bersyukur dan malah jadi perhitungan? Mudah-mudahan saya dijauhkan dari sifat tercela tersebut. Amin.
          Ketika suatu hari saya kebetulan membuka recent updates blackberry messanger seorang teman, saya terkesima dan langsung tertegun dengan foto profilenya yang menampilkan foto ustadz kawakan yang sedang naik pamor karena konsep matematika sedekah. Pada foto tersebut terpampang konsep pasti matematika dibandingkan dengan konsep sedekah. Pada matematika : 10-5=5 ; 10-9=1 sedangkan pada matematika sedekah : 10-5=55 ; 10-9=91. Artinya adalah setiap satu harta yang kita sedekahkan maka akan diganti dengan balasan sepuluh kali lipat. Ganjil dan ajaib? Cobalah tengok QS Al-An'am :160 yaitu "Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak di beri pembalasan melainkan seimbang denga kejahatannya sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)". Allah akan membalas tiap kebaikan walaupun itu hanya setitik debu. Apalagi bersedekah. Allah akan mengganti tiap kebaikan termasuk sedekah dengan cara bermacam-macam. Namun yang pasti adalah urusan kita akan dimudahkan dan doa kita akan diijabah, dapat dibalas secara kontan, dengan cara sedikit demi sedikit, ataupun disimpan sebagai tabungan amal di akhirat kelak. Demikian halnya dengan bersedekah. Tidak akan menjadi miskin orang yang bersedekah. Sebaliknya, sedekah dapat memperlancar aliran rejeki kita sekaligus menambah tabungan energi positif kita yang sewaktu-waktu kita butuhkan ketika sedang dilanda masalah. Tapi, perlu diingat, ketika bersedekah harus dengan hati ikhlas dan tidak riya agar tidak menambah daftar dosa kita karena pada dasarnya, fitrah manusia adalah menginginkan status sosial tinggi dengan harta melimpah, hidup dengan nyaman, serta berprinsip ekonomis yaitu ingin meraih sesuatu dengan cara (yang kalau bisa) instan. Ketiga prinsip tersebut merupakan ujian bagi manusia. Apakah manusia terlena dengan nafsu saja atau berpikir dengan kepala dingin dan bijak?  
           Konsep matematika sedekah pun diingatkan kembali oleh ustadz lain pada halal bihalal kemarin. Ustadz Ahmad Hadi Wibawa berceramah tentang sedekah dan cinta kepada orang tua serta orang yang kita kasihi. Namun, yang menjadi cetak tebal dibenak saya adalah mengenai sedekah tersebut. Saya pun merenung, mengingat momen ketika saya bersedekah. Bukan bermaksud riya dan pamer, namun ini adalah kisah nyata yang saya alami kemarin lalu. Pagi itu, saya berkemas untuk pergi menunaikan shalat Ied di lapangan dekat rumah. Sebelum berangkat, saya menyelipkan selembar uang kertas berwarna hijau bergambar tokoh nasional di saku celana saya. Saya pun segera bergegas.  Menempati tempat di shaf tengah. Mengikuti ritual shalat Ied yang dilaksanakan setahun sekali. Setelah selesai, kami pun duduk mendengarkan khotbah. Tak lama, kotak berbahan kardus yang dibalut dengan kertas minyak warna coklat menghampiri saya. Sambil merogoh,  saya pun melipat uang menjadi kecil dan memasukkannya. Mudah-mudahan digunakan untuk semestinya. Demikian rapalan doa singkat. Waktu pun terus berlari secepat sinar mentari yang sudah berpijar tepat di atas ubun-ubun. Saya bersama keluarga pergi bersilaturahmi ke rumah nenek. Salaman,bermaafan, makan, bersenda gurau, dan foto bersama. Hangat dan berbekas. Petang hari, ketika panas masih melelehkan keringat, dimulailah acara pembagian angpau (meminjam istilah Imlek). Entah kebetulan atau kelupaan, paman saya memberikan sebuah amplop dan jumlahnya pun ditambah oleh paman saya yang lainnya. Saya pun tertegun dan bertanya, apakah benar ini untuk saya mengingat saya sudah mendapatkan THR sekali gaji oleh perusahaan? Dan jawabannya adalah ya, sekedar untuk memeriahkan hari lebaran, jawab beliau. Wah,alhamdulilah. Rejeki. Setelah sampai di rumah saya buka dan hitung nominalnya. Subhanallah! Janji Allah tak pernah ingkar. Hanya manusia yang seringkali kurang bersyukur. Sepuluh kali lipat dari jumlah yang saya sedekahkan tadi pagi. Matematika sedekah memang benar adanya. Tepat perhitungannya dimana 10-2=28. Ketika saya menyedekahkan dua harta, maka dua puluh delapan hartalah yang akan saya dapatkan, dan seterusnya. Inilah balasan kontan yang Allah berikan kepada saya. Satu dibayar sepuluh, sepuluh dibayar seratus. Apabila semua orang paham makna sedekah maka, tidak ada lagi kemiskinan di muka bumi ini. Kesejahteraan pun merajalela serta energi positif dari kejujuran dan ikhlas berpendar layaknya cahaya matahari yang menerangi alam semesta.
          "Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan" (QS Al-Baqarah :245)
           Mau kaya dan berkah? Ya, sedekah.

Berkat Nekat

         Thanks God It's Friday. TGIF. Semua orang mengelu-elukan kata-kata tersebut menyambut datangnya akhir pekan. Semua orang pun berlomba-lomba untuk pulang lebih awal karena tak mau menyia-nyiakan kebersamaan dengan keluarganya. Demikian pula dengan aku. Ya, tiap jumat sore aku berjibaku berlari mengejar kereta pukul setengah enam lebih seperempat. Kereta pertama yang lewat stasiun kampung bandan setelah waktu pulang kantor karyawan tiba. Dapat dibayangkan bagaimana padatnya kereta tersebut bukan? Namun untungnya tidak sepadat apabila kita naik kereta dari stasiun Kota. Ya, tipikal orang Indonesia selalu berpikir untung sekalipun tidak beruntung. Termasuk aku. Namun, Jumat ini adalah Jumat yang berbeda dengan Jumat lainnya karena aku ditunjuk untuk menjadi ujung tombak kesuksesan sebuah acara besar. Ditemani oleh Sang Maestro public speaking pula. Grogi? Sudah pasti.
          Halal Bihalal 1433 H adalah acara tahunan dalam rangka mempererat tali silaturahmi antara pihak manajemen perusahaan dengan para karyawannya. Tahun ini, tema yang diangkat adalah Kebersamaan meningkatkan produktivitas serta membawa keberkahan. Demikianlah. Kebersamaan menjadikan hidup lebih bernilai dan mendatangkan keberkahan. Demikianlah tagline yang terpampang gagah pada backdrop panggung. Semua panitia adalah karyawan yang sudah memiliki jam terbang tinggi dalam bekerja serta ikut serta dalam kepanitiaan. Sedangkan diriku hanyalah anak kemarin sore yang ikut memeriahkan acara dan mencari sebongkah pengalaman. Hanya secuil pengalaman kepanitiaan saat menuntut ilmu di kampuslah yang menjadi dasar aku dalam memulai profesionalitas ini. Sekretaris adalah jabatan pertama yang aku emban. Tanggung jawabnya adalah membuat dokumentasi korespondensi baik internal maupun eksternal serta menjadi notulen dalam setiap rapat kepanitiaan. Aku pun coba-coba menjajalnya. Walaupun kurang lebih aku mengetahui deskripsi tugas yang harus aku kerjakan, namun bahasa formal dalam surat kadang membuat otakku beku tanpa ide berkejaran layaknya aku menulis lepas di media lain. Mungkin, jiwa pemberontakku tak mendapat ruang yang cukup untuk berekspresi. Ya, mungkin.
            Hal lain yang cukup mengejutkan dalam perjalanan pencarian pengalaman ini adalah dengan dimintanya aku untuk menjadi pemandu acara Halal Bihalal bersama rekan yang sudah sering berinteraksi langsung membuat improvisasi mencari gelak tawa di tengah tamu. Kegalauan pun dimulai. Antara ingin mencoba pengalaman baru, ingin mengimplementasikan ilmu otodidak yang telah didapat di dunia kampus, hingga ingin membuktikan bahwa aku mampu berdiri tenang di depan manajemen dan karyawan semua level. Wow sekali apabila diterjemahkan. Semua campur aduk menjadi satu. Entahlah harus menjawab apa. Menolak atau mencoba. Namun layaknya pertandingan, hanya ada satu jawaban dan satu pemenang. Menolak rasanya tak etis. Mencoba dapat berakibat fatal apabila lidah tiba-tiba keseleo. Aku pun berada di daerah abu-abu antara ya dan tidak. Namun, adat ketimuran yang kita junjung memaksa kita yang lebih muda untuk berkata ya dalam pendelegasian tugas. Apalagi sang pemimpin sudah lebih berpengalaman dan memiliki kuasa. Jawaban ya, terlontar demikian cepat dari bibirku. Dan aku pun adalah ujung tombak itu.
           Hari itu pukul setengah empat petang. Aku tergopoh-gopoh menaiki lift menuju ke lantai 3. Dengan masih terbaginya konsentrasiku dengan pekerjaan dan hasil audit sertifikasi serta materi acara, aku meminta izin untuk menggunakan waktu kerja demi latihan. Ya, latihan menjadi seorang pemandu acara. Rekan sesama pemandu acara hari itu adalah seorang chef test bakery yang memiliki jam terbang yang sangat tinggi. Dari mulai pengembangan produk hingga tour memperkenalkan produk ke pelanggan adalah makanan sehari-harinya. Setengah berlari aku hampiri sang rekan. Dimulailah latihan menjadi pemandu acara religi dengan tampilan serba formal. Waktu bergulir sangat cepat seakan jarum jam telah mengakselerasi diri menjadi seekor cheetah. Dua jam seakan kurang sempurna untuk latihan. Namun, komitmen harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Siap tidak siap, jurus improvisasi selalu siap sedia memoles tiap kekurangan menjadi obat mujarab anti terlihat grogi. Hal itulah modal kami selain susunan acara yang telah dirombak sedemikian rupa menjadi Q-card ala kami.
            Pukul setengah tujuh. Manajemen belum datang dan para hadirin pun banyak yang masih berceloteh kesana kemari. Disinilah debut pertama suara kami diperdengarkan. Ya, sekalian check sound terakhir kalinya sebelum acara dimulai. Mengumpulkan hadirin dan para tamu untuk masuk dan duduk. Gampang-gampang susah. Hingga akhirnya acara pun diulur setengah jam demi menunggu manajemen khususnya jajaran direksi untuk duduk di barisan depan. Demikianlah karena ada pengalihan arus kendaraan, jalanan menjadi macet dan berdampak pada mundurnya acara. Pukul tujuh, manajemen telah datang dan memenuhi kursi tamu. Acara pun dimulai. Balutan batik formal dipadu dengan untaian kata per kata yang disampaikan secara bergantian menjadi pembuka acara halal bihalal. Kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah anda. Tagline iklan tersebut sangat berlaku disini. Aku pun sebisa mungkin tidak banyak mengimprovisasi diri. Berbicara sesuai dengan alur kalimat yang telah disusun di awal latihan. Ternyata, ada acara yang diubah dan ditukar posisinya. Ceramah agama disampaikan sebelum sambutan. Karena jadwal sang ustadzh sangat padat dengan bayaran yang berlipat dan ultimatum ala anak kelas empat, kami pun mengimprovisasi acara sedemikian rupa sehingga tetap terlihat menarik sesuai harapan di awal. Oke, improvisasi berlaku mulai saat ini. Hingga akhirnya sambutan dan bersalam-salaman antara pihak manajemen dan karyawan mengakhiri acara formal tersebut. Lalu, masuklah ke acara pembagian hadiah. Yup, inilah bagian yang paling dinantikan oleh para undangan. Walaupun kondisi ruangan serbaguna yang digunakan semakin panas karena ac yang di sewa tidak mampu mendinginkan ruangan tanpa ventilasi dan jendela yang dapat dibuka. Seperti akuarium. Panas dan berkeringat dimana-mana. Namun, tak menyurutkan para undangan untuk tetap bertahan berharap rejeki nomplok. Akhirnya, pembagian hadiah pun dimulai. Mulai dari kipas angin, magic jar, mesin cuci, handphone, blackberry, notebook, LCD, hingga samsung galaxy tab 2.
            Satu persatu undian dibacakan. Yang mendapatkan hadiah sebagian besar adalah operator produksi. Tak ada sama sekali dari barisan panitia yang mendapatkan lucky draw tersebut. Hadiah benar-benar diberikan kepada orang yang berhak. Karena tak ada yang tahu nomor berapakah yang keluar sebagai yang beruntung pada malam hari itu. Hadiah utama pun jatuh ke seorang security yang sedang bertugas di shift 2. Mudah-mudahan menjadi berkah untuknya. Karena pada dasarnya tak ada rejeki yang tertukar. Semua sudah diberikan porsi rejeki masing-masing sesuai usahanya.
           Demikianlah. Acara telah selesai dengan lancar. Penampilan hasil coba-coba ditambah pengalaman otodidak sejak kuliah pun berakhir dengan ucapan terima kasih dari pihak manajemen. Ya, mudah-mudahan semua terhibur. Berawal dari nekat dan coba-coba, demam panggung sedikit demi sedikit telah pudar. Walaupun belum sempurna, namun setidaknya menambah jam terbang dan ilmu berimprovisasi.
          Kesan pertama begitu nekat, selanjutnya?