Minggu, 17 Februari 2013

MEDAN #Part 3 : A Drama Queen

Hari Jumat adalah hari yang istimewa dan mendapat tempat khusus di hati mayoritas individu. Pertama, untuk umat Muslim, hari Jumat tergolong hari yang utama untuk beribadah shalat Jumat berjamaah di masjid dan ibadah lain serta doa yang diijabah oleh Allah SWT. Kedua, untuk mayoritas perusahaan mewajibkan karyawannya untuk menggunakan pakaian batik, pakaian lain dengan tujuan tertentu, atau pakaian bebas agar terkesan sersan, serius tapi santai. Demikian halnya dengan perusahaan tempat saya bekerja. Hari Jumat adalah hari dengan pakaian bebas, bebas berekspresi sesuka hati, namun masih dalam koridor tanggung jawab pekerjaan yang harus segera ditunaikan. Contohnya adalah meeting setelah dilakukan audit internal untuk mengumumkan gap antara persyaratan audit dengan kondisi riil lapangan. Meeting ini dimulai pada pukul 10.00 dan berakhir pada pukul 12.00, tepat saat semua orang beristirahat, shalat Jumat, dan makan siang. Hari Jumat ini adalah hari terakhir saya bertugas. Saya dan rekan diajak makan siang sebelum pulang. Restoran yang dipilih adalah restoran seafood bertajuk Kim-Kim yang pastinya terjamin halal karena mengajak serta saya. Apabila tidak, rekan saya dan teman-teman di Medan yang mayoritas non-muslim akan menjamu hidangan BPK (Babi Panggang Karo) yang konon terkenal seantereo Medan.
Setelah selesai makan, kami berkemas kembali ke pabrik, kemudian sesuai rencana, kami pamit dan langsung menuju ke Bandara Polonia, Medan. Sambil berlalu, kami menepi sebentar untuk membeli kue Bika Ambon merk Majestik, Bolu Meranti, dan manisan jambu madu. Ketiga tempat tersebut jaraknya berdekatan satu sama lain. Selain itu, karena paket kami yaitu duren dan aksesoris masih ada di rumah teman saya di Jl. Surabaya, maka kami bermaksud sekalian lewat ambil paket lalu langsung lanjut ke bandara. Namun, ternyata kondisi jalanan di luar prediksi kami, macet dan tak bergerak barang sesenti pun. Hal ini karena imbas dari persiapan perayaan Tahun Baru Imlek yang menjadi tradisi sebagian besar warga Tionghoa di Medan. Saya yang awam dengan kondisi jalan, hanya bisa tercengang kaget melihat kendaraan tak mau kalah dan saling mengunci. Jarum jam pun semakin lama semakin mendekati pukul 16.00 sedangkan jadwal pesawatnya yaitu pukul 16.25. Sang supir berkata bahwa disini tak ada jalan alternatif lain selain jalan yang sedang dilewati. Namun, lanjutnya, ketika sampai di persimpangan jalan, kita punya dua opsi. Pertama, jalan lurus, tetap mengambil paket, dan pasti tertinggal pesawat. Kedua, tinggalkan paket, kita belok kiri dan langsung tancap gas ke bandara. Karena tak mau beresiko keluar uang lagi, maka diputuskan langsung tancap gas ke bandara. Jantung serasa mau copot. Tak ada olahraga yang dapat memacu jantung semaksimal ini kecuali sport-jantung kala mengejar jadwal penerbangan. Di tengah jalan menuju bandara, teman kami menelepon, menanyakan tentang paket kami, apakah mau diantar oleh karyawan tokonya ke bandara, atau ditinggal saja dan dipaketkan untuk paket aksesoris dan makanan ringan. Untuk paket duren, ya ikhlaskan sajalah, teman saya berencana membelinya saja. Namun, saya bilang bahwa tolong ganti sajalah, belikan duren anyar saat dia pulang kembali ke Jakarta. Keputusan sudah deal, bertepatan dengan kami tiba di bandara yaitu pukul 16.30. Kami membagi tugas. Saya merapikan barang-barang, teman saya menuju tempat check-in. Ya siapa tahu, pesawatnya delay, jadi kami tidak masuk kategori terlambat. Harapan akan selalu ada untuk orang yang bersabar, walaupun tetap, jantung ini berderu sekencang angin laut yang bertiup kala senja.
Anda kurang beruntung. Demikian jawaban dari mata sang petugas. Kalau kereta atau bus sih bisa ditunggu, kalau pesawat? Ya sudah kobong-lah tiketnya.  Mau dirayu setengah mati pun tak ada toleransi, telat ya telat. Beli tiket lagi. Ya pasrahlah sambil harap-harap cemas, ya kali aja ada yang murah, dibawah 500 ribu. Kalau diatas itu, mending naik pesawat lain saja. Toh tujuannya kan tetap sama. Kami mengantri di depan loket. Ternyata, tak hanya kami saja korban kemacetan yang membabi buta tersebut. Ada sekitar 7 orang yang bernasib sama. Orang pertama, dia cerita bahwa dirinya harus nombok senilai 800 ribu untuk penerbangan selanjutnya. Orang kedua ketiga keempat kelima keenam sekitar 300-500 ribu-an. Orang ketujuh, nombok 378 ribu. Wow! Oke, berarti masih ada kesempatan emas pulang dengan tiket tombokan yang lumayan terjangkau. Dengan tatapan penuh harap, kami datangi petugasnya, kami diminta untuk menunggu sebentar, dan hasilnya kami pun bernasib sama dengan orang tadi, walau lebih mahal sedikit, yaitu 383 ribu untuk jadwal pukul 18.35. Alhamdulillah!! Allah hears our pray!
Nah, urusan tiket sudah beres. Sekarang tinggal urusan paketnya nih. Karena tahu bahwa kami ketinggalan pesawat, teman saya langsung mengutus karyawan tokonya untuk mengantarkan paket ke bandara via becak-motor alias bentor. Setelah gelisah selama satu jam, akhirnya, kami dapatkan paket masing-masing walaupun harus bercapek ria dulu, berjalan kurang lebih 700 meter ke gerbang depan untuk menjemput paket. Dengan sisa tenaga, saya angkut semua paket hingga check-in dan masuk ke bagasi. The power of kepepet pun terbukti ampuh menyelamatkan semua rencana awal kami walaupun dengan jalan berkelok, menyebrangi sungai kecemasan, dan melewati lembah cobaan. Jalan yang kami tempuh memang harus seperti ini. Saya harus pulang dengan membawa paket duren titipan orang tua dan kopi Kok-Tong terkenal di Medan yang saya beli secara tak sengaja, yaitu saat sedang diam menunggu datangnya paket persis di depan kios kopi Kok-Tong. Rekan saya pun harus pulang dengan membawa paket berisi aksesoris dari toko teman untuk dibagikan ke para teman kerja di Jakarta serta oleh-oleh titipan teman dan saudaranya.
Pukul 18.35. Pesawat take-off dari Tanah Sumatera. Membawa pelajaran dan pengalaman tak terhingga serta sedikit buah tangan bagi keluarga dan teman. Mungkin, karena kami memang niat memberi, walaupun sedikit, ada saja jalan yang Allah berikan. Tak peduli cara dan jalan yang pelik, namun pada akhirnya akan berbuah manis, berakhir bahagia. Bagi saya, khususnya, saat pergi kemanapun, oleh-oleh adalah wujud kenangan nyata terbaik sebagai ungkapan perhatian sekaligus dapat mempererat tali silaturahmi antar pribadi, walaupun dengan jumlah yang kecil. Tak bermaksud riya, hanya  sebagai sarana bersuka. This Friday was surprisingly complicated and magnificent. Starting with a drama-queen, ending with a big-grin.
Thanks and Goodbye, Medan. See you, later!

Minggu, 10 Februari 2013

MEDAN #Part 2 : Welcome to Medan, North Sumatera! (2)

Seminggu di Medan, tak menyisakan kebosanan yang berarti untuk saya. Bukan hanya karena pekerjaan yang jumlahnya banyak dan secara parallel dikerjakan terus menerus, namun karena beberapa hal unik yang saya temui selama di Medan. Selama di Medan, saya dihadapkan dengan banyak hal yang membuat saya mengernyitkan dahi hingga tertawa lebar. Mulai dari mayoritas penduduknya hingga makanan yang dimakan pun unik, menarik, dan menggelitik. Tak dinyana, Indonesia ternyata kaya sekali. Beruntung bisa berkunjung, memandang heran hingga mencicipi panganan. Semua lengkap di Medan.
Di sepanjang jalan menuju pabrik di Lubuk Pakam dari Bandara Polonia, kemudian pulang kembali ke hotel yang terletak di kota Medan, saya terheran-heran dengan suasana jalanan yang lengang. Baik pagi, siang, hingga malam, jalanan sangat bersahabat. Macet pun paling karena lampu merah yang mengantri. Itu pun paling lama 30 menit saja. Jumlah penduduk yang seimbang menjadi salah satu alasannya. Kalau di Jakarta, macet 30 menit itu adalah keajaiban, walaupun tak sebanding memang bila membandingkan Jakarta dengan Medan. But, it’s okay just for hope. Pertokoan pun hanya beroperasi hingga pukul 18.00 saja. Pada malam hari, hanya toko makanan saja yang buka dan emperan toko pun banyak disewakan untuk menjual berbagai jenis makanan, dari yang khas hingga yang impor dari pulau atau negeri seberang, dari yang halal hingga non-halal semua lengkap dijajakan sampai tengah malam. Sepanjang hari selama seminggu, saya merekam banyak aktivitas unik ala Medan. Karena saya belum sempat berkunjung ke wisata sejarah seperti istana Maimoon, Tjong A Fie, Brastagi, hingga Danau Toba, maka pengalaman saya hanya terbatas dari Lubuk Pakam hingga Medan saja. Mungkin suatu saat bisa berkesempatan mengunjungi wisata lain.
Keunikan pertama yang saya rekam adalah penduduk. Penduduk Sumatera Utara sangat beragam, bahkan kakek saya pernah mengklaim bahwa Sumatera Utara adalah pulau yang paling kaya dengan ragam penduduknya. Dari suku melayu yang mayoritas muslim, suku Batak dengan bermacam jenis marga, tradisi, makanan, face-looking, dan agama, serta suku campuran dan pendatang dari pulau lain. Watak mereka pun agak keras dan agak sulit untuk mengikuti pendapat atau faham orang lain, namun apabila mereka sudah menumbuhkan rasa saling percaya diantara kita, maka mereka mudah diajak kerjasama.
Keunikan kedua yang saya temui adalah bahasa dan logat bicara. Saat saya sampai di Medan, logat bicara sang supir yang khas dengan penekanan di tiap katanya serta suaranya yang keras membuat kita, orang Jawa, harus banyak beradaptasi dengan budaya tersebut. Kemudian, kecenderungan untuk mempertahankan pendapat dan mempersuasikan situasi agar kita setuju dengan opini mereka. Karena saya pun memiliki teman kuliah yang berasal dari Medan, maka rasa adaptasi saya pun sudah timbul saat pertama kali bercengkrama mereka. Selain logat, hal yang membuat saya kaya akan kosakata baru adalah bahasa. Sebenarnya, bahasa yang digunakan masih sama-sama Bahasa Indonesia, namun ada beberapa istilah yang artinya jadi lucu dan rancu bila dibandingkan dengan bahasa sehari-hari kita di Jakarta/Jawa Barat. Terdapat lebih kurang 15 kosakata yang maknanya berbeda dengan bahasa sehari-hari saya :
Ikan = Ayam ; Minyak = Bensin ; Galon = Pom bensin ; Kereta = Motor ; Pajak = Pasar ; Bontot = Bekal ; Semalam = Kemarin ; Sikit = Sedikit ; Klean = Kalian ; Plaza = Mall ; Jalan darat = Jalan biasa (bukan Toll) ; RBT (Rakyat Banting Tulang) = Ojek ; Sudako = Angkot, Bemo ; Ganyang = Gado ; Dayung = Kayuh
Kalimat 1 : “Semalam, aku mengisi minyak kereta di galon”
Kalimat 2 : “Gaji 1,5 juta dapat dipakai untuk menyicil kereta”
Coba kita terjemahkan dengan Bahasa Indonesia yang kita gunakan. Pada kalimat pertama, berarti bahwa tadi malam aku membeli minyak (goreng) yang diisi menggunakan galon (air mineral) untuk dipergunakan oleh kereta. Kalimat kedua berarti, dengan gaji 1,5 juta kita dapat menyicil untuk membeli kereta. Banyak kejanggalan yang terjadi bukan? Yup!! Pertama kali saya mendengar kata-kata tersebut, rasanya lucu. Masa minyak goreng di taruh di galon? Untuk kereta pula? Menyicil kereta? Hahahaha. Namun, bila kita membuka kamus kata yang digunakan oleh warga Medan, maka baru masuk akal bahwa kemarin, aku mengisi bensin untuk motor di pom bensin dan gaji 1,5 juta dapat digunakan untuk menyicil motor. Memang, butuh paling tidak dua hari untuk mengadaptasikan telinga dan membiasakan lidah untuk mendengar dan mengucapkan kata-kata tersebut. Sering kali beberapa kali harus berpikir dalam menerjemahkan istilah asing yang baru saya dengar. Setidaknya, saya bisa berbaur dengan mereka.
Lain ladang lain belalang, lain pula adat istiadatnya. Di lingkungan pabrik dan sekitar hotel, suasana dan bahasa yang digunakan lain sekali. Karena mayoritas warga adalah keturunan Tionghoa, maka bahasa yang digunakan pun bahasa Hokkian. Logatnya cepat, seperti menonton film mandarin dan korea yang ditayangkan di televisi. Entah apa artinya. Mau menggosip dan membicarakan pun, saya tetap tak mengerti. Namun, selama seminggu itu, saya dapatkan 2 istilah Hokkian, yaitu Teh Tong (teh pahit panas) dan Bo-Kang-Kau (menambah kerjaan saja!). Lumayanlah. Untuk menambah referensi ketika curi dengar Tionghoa mengobrol, walau tak mumpuni juga. Hehehe.
Satu minggu, Dua keunikan. Mungkin bila berkesempatan untuk berlibur di Medan, menyusuri tempat unik disana, terdapat puluhan keunikan lain yang akan tereksplor. Tak bermaksud SARA, hanya sekedar sharing pengalaman saja. Syukur saya dapat mencicipi secangkir keindahan alam Indonesia. Sambil memandangi sawah yang masih terhampar luas bak permadani, burung-burung yang berbaris rapi kala senja menjelang, serta langit senja yang cerah mendukung tiap langkah menyusuri jalan tanpa hambatan, dengan ditemani lantunan lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki, saya merasa sangat beruntung dapat merasakan udara di belahan Indonesia lain. Lirik Indonesia Pusaka, sungguh menggetarkan jiwa, merasuk ke dalam sukma, dan tanpa sadar menyatukan kembali semangat lama yang terpencar berkeping-keping, menjadi kristal semangat baru, semangat muda Indonesia!!

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa

Reff :
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

Sungguh indah tanah air beta
Tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
Bagi bangsa yang memujanya
Reff :
Indonesia ibu pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi

MEDAN #Part 2 : Welcome to Medan, North Sumatera! (1)

Matahari sudah agak tinggi, udara panas langsung menyergap ketika saya dan rekan saya keluar dari pesawat dan melintasi landasan. Bandara Polonia adalah awal mula perjalanan dinas sekaligus wisata ke Medan. Tiba di bandara, kami langsung dijemput oleh supir kantor, Pak Narto, panggilannya. Setelah mengemasi barang ke dalam mobil, kami melaju satu jam menuju ke Lubuk Pakam, pabrik cabang di Medan. Tiba di pabrik, kami langsung masuk ke dalam ruangan rekan sejawat. Disana kami berkumpul terlebih dahulu berdiskusi akan rencana yang akan kami lakukan selama seminggu di Lubuk Pakam. Setelah istirahat, kami langsung mengeksekusi pekerjaan hingga selesai.
Pukul 17.00. Dengan diantar oleh sang supir, kami menuju ke Medan untuk check-in hotel. Hotel Swiss-Bellin yang berlokasi di Jl. Surabaya adalah tempat kami menginap selama 4 malam. Mengapa kami pilih hotel tersebut? Alasan pertama karena hotel tersebut sesuai budget perusahaan untuk karyawan junior seperti kami. Alasan kedua adalah dekat dengan ruko tempat teman kami, yang dahulunya bekerja diperusahaan dan  sekarang sudah resign untuk merintis usaha toko aksesoris, sehingga kami dapat bercengkrama dengannya. Alasan ketiga adalah karena dekat dengan penjual makanan dan relatif dekat juga dengan toko oleh-oleh. Ya, semua alasan yang sangat menguntungkan kami karena dapat istirahat sambil berwisata. Hehehe.
Setelah mandi dan merapikan barang-barang, kami langsung janjian berwisata kuliner di Medan bersama seorang teman yang telah 9 bulan tinggal di Medan. Destinasi pertama kami adalah penjual nasi goreng kaki lima. Penyajiannya unik, tak biasa. Satu piring nasi goreng lengkap dengan telur dadar serta ditaburi daging bumbu kari yang diiris kecil-kecil. Satu piring kecil disajikan bersamaan berisi nasi goreng dan satu piring lagi terdapat sate kerang. Penyajiannya mirip dengan nasi padang di restoran padang. Bumbu nasi gorengnya mengandung kari sehingga terasa berbeda di lidah. Dipadu dengan sate kerang yang manis dan lagi-lagi berbumbu kari, kami makan dengan lahapnya. Sayangnya, kari yang ada di nasi goreng tersebut terasa agak hambar. Mungkin itu alasannya kaki lima ini agak sepi bila dibandingkan dengan penjual nasi goreng di seberangnya. Kami pun berencana untuk mencicipi nasi goreng yang ramai tersebut lusa hari. Malam itu, ditutup dengan rencana-rencana wisata kuliner yang membuat air liur tak berhenti menetes.
Tiap pagi, kami mendapat sarapan di hotel. Menu sarapan yang ditawarkan pun beragam. Selama seminggu kami selalu mencicipi hampir semua menu yang ditawarkan. Tentu saja sesuai kapasitas perut, yaitu jumlahnya sedikit tapi beragam. Dari keseluruhan, menu yang membuat saya rindu untuk sarapan adalah pancake dengan topping olesan coklat, taburan kacang mete, sirup maple, dan keju melimpah di piring. Pancake-nya pas, tak terlalu manis. Bila dimakan saat masih hangat, luarnya garing dan dalamnya lembut. Namun, sayang, kejunya kurang gurih. Bila keju yang digunakan keju sekelas Kraft, saya yakin, satu piring tak akan cukup untuk membuat saya ingat akan kelezatan pancake ala hotel Swiss Bellin. Selain itu, omelet yang disajikan tak terlalu asin, juicy sekali, dipadu dengan saus sambal membuat lidah ini tak berhenti mengeluarkan saliva. Kemudian, nasi goreng, pasta, ikan asam manis, ayam mentega, dan mie goreng/soun goreng yang saya cicipi rasanya lumayan. Pas, sesuai ekspektasi dan selera.
Pada malam kedua dan ketiga, kami ditawari untuk menginap di ruko teman saya tinggal. Karena sudah lama tak bertemu, kami pun menyetujuinya. Pada malam kedua, kami pergi ke kawasan kaki lima. Sepanjang mata memandang, sebagian besar memiliki menu babi dan turunannya. Bukan menjebak, tapi saya toleransi saja dengan rekan kerja saya. Toh, teman tersebut menjamin ada satu makanan halal disitu. Penjualnya muslim sehingga saya tak perlu berpusing ria takut dosa karena terkontaminasi. Saya mencoba menu nasi campur yaitu nasi putih dicampur dengan sayur labu, singkong rebus, kering kentang-kacang, serta ayam goreng yang dipisah dipiring kecil dengan kecap yang rasanya seperti cuko pempek dan sambal cabe rawit yang menggoyang lidah. Teman saya memesan kwetiau ayam di tempat menjual babi yang jelas tak halal bagi saya, dan rekan kerja memesan ca sio, yaitu nasi campur daging babi merah lengkap dengan sayur asin dan sambal hijau. Sang penjual yang saya sambangi, menjual lonting cap gomeh pula. Menu itu saya coba di malam terakhir saya menginap.
Satu hal yang tak biasa bagi saya adalah di kawasan tempat saya menginap, banyak sekali penjual makanan dengan babi dan turunannya. Mulai dari makanan berat seperti nasi, mie, kwetiau, bakso, dan steamboat hingga makanan ringan seperti bakpau, pia, siomay, dan sate. Pembelinya jelas bukan orang melayu. 95% keturunan Chinese makan di daerah ini. Makanya, ketika saya makan di daerah tersebut, semua mata tertuju pada saya. Dapat dikatakan, tiada hari tanpa babi. Itulah tagline orang Medan non-muslim. Bukan hanya di kawasan tersebut, di pinggir jalan, banyak yang menjual BPK (Babi Panggang Karo). Katanya, itulah khasnya. Hal itu didukung oleh ketersediaan peternakan babi yang tersebar dimana-mana, sedangkan untuk ayam, sangatlah jarang. Jadi, janganlah heran apabila harga ayam lebih mahal daripada babi. Mengetahui fenomena tersebut, rekan kerja saya pun bergembira karena dapat makan babi sepuasnya dengan harga miring. Dengan 25 Ribu sudah sepiring daging babi merah melimpah, kalau di Jakarta, mana bisa?
Setelah makan malam, searah dengan jalan pulang ke hotel, terdapat penjual martabak piring yang terkenal karena masuk iklan salah satu produk coklat tabur. Disana saya mencoba martabak tebal dan tipis masing-masing dengan isi keju dan coklat keju. Harganya berkisar 3.500 hingga 6.500 satu buah. Di Medan ini, banyak penjual martabak piring. Dinamakan martabak piring, karena cara membakar adonan martabaknya unik, menggunakan piring kaleng dan tungku untuk membakarnya. Teksturnya pun bisa diatur, tebal atau tipis. Rasanya jangan ditanya. Enak sekali.  Manisnya pas ditambah gurihnya keju yang agak melted. Paling pas, apabila disantap ketika masih panas.
Dihari berikutnya, kami berwisata duren. Ada satu penjual duren yang terkenal karena the taste has never lie in mouth. Penjualnya seorang paruh baya keturunan Tionghoa. Beliau menjual menggunakan gerobak. Namun, karena musim duren sudah lewat, maka sang penjual tidak tiap hari menjajakan duren di kawasan kaki lima tersebut. Hari itu, gayung bersambut, beliau mangkal di tempat biasanya. Saya dan teman langsung kalap memesan. Karena kami pecinta duren, maka kami nikmati bulir demi bulir, daging buahnya sangat tebal, manisnya tiada tara. Medan sungguh surga bagi pecinta duren seperti saya. Rencana saya, ingin membeli oleh-oleh berupa duren. Oleh karena itu, saat itu, saya langsung membeli 3 buah duren dan meminta untuk dikupas serta dimasukkan ke dalam plastik mika. Dengan hanya merogoh kocek 60 ribu rupiah, saya sudah bisa membeli 3 buah duren dengan kualitas super. Kalau di Jakarta/Bogor, 60 ribu hanya dapat 1 buah saja. Itu pun dagingnya kurang tebal. Puas sekali rasanya. Walaupun sepertinya saya ingin membeli segerobak duren untuk memuaskan kehausan saya akan duren enak dan murah. Hahaha.
Ada satu supermarket yang khusus menjual produk Malaysia, Thailand, dan produk Asia lainnya. Namanya Brastagi Supermarket. Kami menyambanginya untuk membeli oleh-oleh teman. Banyak orang Tionghoa yang berbelanja disana untuk persiapan Imlek. Beberapa produk camilan lokal pun dijual disana. Lempok duren pesanan papa ada pula disana. Langsung saya ambil 2 kotak. Saya pun berputar-putar mencari produk makanan lain. Coklat merek Ferrero Rocher kesukaan pun hampir saya beli. Namun, setelah saya melihat harganya, ternyata tak terlalu beda jauh dengan Bogor. Produk lain pun demikian. Mendingan, saya beli produk lain yang tak ada di Bogor. Pilihan saya jatuh pada snack asal Malaysia, kopi Naga Salingahe, dan kue kacang. Semua untuk oleh-oleh. Pulangnya, kami lanjut makan malam di nasi goreng kari dekat hotel Novotel. Ini baru enak. Karinya terasa sekali namun tak meninggalkan rasa eneg dilidah. Kemudian, kami pun mencoba sate padang. Bumbunya sudah dimodifikasi yaitu dengan menggunakan bumbu kacang halus dan sedikit aroma kari. Rasanya manis, gurih, dan wangi. Juara sekali menu malam itu.
Nasi goreng kari, nasi campur, lontong cap gomeh, martabak piring, dan duren asli Medan. 5 destinasi wisata kuliner selama saya di Medan. Karena tak punya waktu untuk berwisata alam dan sejarah, maka wisata kulinerlah tujuannya. Dari keseluruhan kuliner yang saya coba, durenlah jagoannya. Ada 3 alasan yang melatarbelakanginya. Pertama karena kualitas rasa, tekstur, dan ketebalan daging yang sangat super baik. Kedua karena harganya yang berkali lipat lebih murah dari duren kualitas baik di Jakarta/Bogor. Ketiga karena kualitas duren bartendernya adalah Tuhan, manusia mungkin dapat memodifikasinya, namun kualitas akhirnya ditentukan oleh Sang Maha Pencipta, bukan manusia, bukan siapapun. Medan, you rock my mouth so badly. Wholeheartedly, I am in love with your Durian!!

MEDAN #Part 1 : Taking-Off

          Seminggu kemarin, saya berkesempatan untuk menyambangi pulau seberang yang berlokasi di utara Indonesia, Sumatera Utara. Kunjungan ini bukan untuk liburan menghilangkan penat sesaat, namun dalam rangka tugas dinas luar kota untuk menyiapkan kondisi pabrik agar audit customer dari Mc Donald’s dapat berlangsung lancar sesuai persyaratan. Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Medan. Sebelumnya, pada 2011 ketika berkesempatan untuk mendampingi para bos saat audit Halal. Kali ini, saya ditemani oleh rekan seprofesi. Karena, hanya ditemani oleh rekan kerja, tanpa bos, maka perjalanan kali ini terasa lebih santai, tanpa harus canggung, waktu pun kami atur sendiri tanpa harus ikut-ikut waktunya para bos. Yah, biasalah. Power Syndrom memang masih kental dalam suasana kerja dan ikut terbawa hingga kemana pun kita melangkah.
       Kami berangkat pada hari Senin, 4 Feb 2013 dengan waktu take-off pukul 07.55 WIB. Saya berangkat dari Bogor menuju bandara menggunakan Bus Damri pada pukul 04.45 WIB. Saya memang sengaja berangkat lebih pagi karena kondisi jalan yang tidak bisa diprediksi. Apalagi hari Senin. Apabila siang sedikit saja, macetnya sudah gila-gilaan. Kondisi jalan yang masih lengang, membuat saya sampai Terminal 2F pada pukul 06.35 WIB. Sambil menunggu rekan, saya mampir sebentar di salah satu resto fast-food terkenal. Bubur ayam dan teh panas, menjadi pembuka hari saya. Tepat pukul 07.15 WIB, rekan saya datang. Kami pun langsung check-in dan daftar bagasi. Kami mendapat seat di nomor 25 E-F. Saya request untuk duduk di dekat jendela agar dapat lebih dekat dengan ciptaan Tuhan, angkasa dan relief daratan. And the flying journey was begin.
            Langit,awan, udara, dan angin. Selama dua jam perjalanan, mereka yang menemani detik demi detik. Mungkin untuk mereka yang sering bolak-balik naik pesawat, pemandangan langit terasa sudah biasa. Tak ada istimewanya. Namun, untuk saya, seseorang yang sangat jarang dan bisa dihitung jari berkelana naik pesawat, pemandangan seperti ini adalah istimewa. Entah karena ke-lebay-an alam pikiran saya, atau memang kenyataan yang tak terelakkan, namun pagi itu saya merasa sangat dekat dengan Sang Pencipta. Lapis demi lapis awan terlewati, bentuk demi bentuk awan pun tersambangi. Ada satu awan yang menarik perhatian saya. Awan tersebut besar dan berbentuk seperti siluet. Siluet apakah? Tergantung imajinasi masing-masing. Imajinasi saya tersangkut pada bentuk boneka seperti Teddy Bear. Menggemaskan. Tanpa sadar saya tersenyum. Saat pesawat lepas landas dan semakin naik ke atas, mata saya tak berpaling dari kaca jendela. Mula-mula masih terlihat atap bangunan, kendaraan, dan kerimbunan pohon serta tumbuhan, lalu semakin kecil hingga mirip dengan permainan lego versi kota impian saat dilihat dari atas, kemudian semakin menghilang hingga tampaklah bentuk pulau Jawa yang kita tinggali setiap hari, lalu semakin tinggi dan semakin terlihatlah bentuk kepulauan Indonesia persis seperti gambar di peta atau google earth, kemudian daratan tampak seperti titik-titik kecil terus keatas hingga hanya tampak bagai butiran pasir di pantai dan terakhir debu yang sulit untuk ditangkap oleh pupil mata. Tinggallah hamparan awan yang pesawat pijak, bagai permadani kapas di cover album Katy Perry. Ketinggian baru mencapai 1.280 diatas permukaan laut dan daratan sudah tak terlihat. Apalagi manusia. Raga ini sangat kecil bila dibandingkan dengan kemegahan alam dan angkasa raya ini. Apakah kita masih pantas merasa sombong dan ingkar sedangkan ternyata kita masih lebih kecil dari debu bila dibandingkan dengan keagungan-Nya?
         Perjalanan pesawat ibarat perjalanan hati. Perjalanan melewati angkasa raya dan bertemu dengan lapisan awan tak terhingga, menyeruakkan hati untuk segera meneriakkan ucapan ‘Subhanallah!’ Sungguh tak ada alasan manusia untuk menyombongkan diri dan bertakabur atas kelebihan yang ia miliki. Bila Allah menghendaki, tiada daya upaya yang dapat manusia lakukan untuk berlindung, kecuali kepada-Nya. Hati adalah perisai jiwa dan perjalanan mendewasakan hati untuk segera bersujud, mensucikan diri. Pukul 09.45 WIB pesawat landing, mencapai daratan. Alhamdulliah, Bandara Polonia telah kami pijak. And Medan, here we come!