Minggu, 26 Januari 2014

Per.temu.an

     Kadang, pertemuan yang tak terduga malah meninggalkan tanda pada relung pikiran. Seperti Sabtu ini. Dua kejadian tak berhubungan, namun memiliki kesamaan. Sebuah pertemuan alam bawah sadar yang kini menemui takdirnya dalam kenyataan.

      Sabtu siang di pelataran sebuah pusat hiburan kota. Beberapa pasang mata memandang aneh pada dua orang yang sibuk sendiri. Entah apa yang ada di imajinasi dua orang ini. Mereka berdiskusi seolah dunia milik berdua, menggunakan istilah sempit yang tak mudah dimengerti oleh manusia berpikiran luas. 

      Pertama. Cake discussion. Temanya kue. Topiknya brownies. Bahasan yang umum bila dipandang dengan biasa. Namun, imajinasi dua orang ini sungguh terlalu berlebihan. Istilah asing, istilah akademik, hingga istilah baku yang tak banyak orang tahu keluar begitu saja dari mulut mereka. Kegilaan yang kurang berguna, begitu mereka disebut. Persetan dengan pikiran orang. Yang penting, tepung premix dengan balutan coklat Hersey's dan Reese peanut butter sudah ditangan. Waktunya membayar dan buktikan bahwa brownies kami istimewa. Hahaha. Mau bukti yang bukan janji? Silakan lihat hasil imajinasi kami: 

      Kedua. Turkish ice cream (Dondurma). Dua orang ini kini berjalan di koridor menuju pintu keluar. Mereka asik bercakap tentang harga batik etnik di salah satu stand yang harganya jauh dari kata masuk akal. Empat mata saling bertumbukan pada satu kios berbeda dari yang lain. Di tengah kios pakaian, terselip satu kios cemilan khas negeri kesultanan Ottoman. Dengan penasaran, didekatilah kios sepi tersebut. Mereka pun langsung setuju untuk mencoba kuliner satu ini. Es krim tahan leleh nan kalis seperti permen karet, Dondurma Turki. Dua puluh lima ribu untuk satu cup berisi tiga rasa, coklat- vanilla-strawberry. Satu cup, dua sendok, tiga warna.  Dalam sekejap, bukit es krim yang menjulang telah dipahat masuk ke dalam ruang cecapan bersamaan dengan neurotransmitter yang mengirim sinyal dengan cepat, membangunkan endorphin hingga maksimal. Inilah dia, sang Dondurma pilihan : 
    Disadur dari wikipedia, Dondurma berasal dari bahasa Turki yang berarti Membeku. Pada dasarnya, Dondurma ini berasal dari kota yang berbeda yaitu Kahramanmaras dengan nama Maras Ice Cream. Dondurma terbuat dari 4 komposisi utama yaitu susu, gula, salep, dan mastic. Susu dan gula merupakan komponen yang juga digunakan pada es krim pada umumnya. Namun yang membedakan adalah bahan salep dan mastic yang memberi efek chewy dan melting resistance. Salep berasal dari akar umbi genus orchis yang mengandung polisakarida dengan nama glukomanan. Fungsi salep adalah untuk memberi rasa manis dan kental pada produk. Sedangkan mastic berasal dari getah tumbuhan Pistachia Lentiscus atau pohon mastic dan dikenal dengan arabic gum. Penampakan mastic ini berupa kepingan mudah rapuh berwarna putih kekuningan. Saat mastic diproses, tekturnya berubah menjadi kenyal seperti gum dengan rasa yang agak manis. Dalam dunia kedokteran, mastic berkhasiat sebagai antioksidan, antibakteri, dan anti jamur sehingga dimanfaatkan sebagai obat sakit lambung, pilek, bronkhitis, pelega tenggorokan, pemutih gigi, dan penurun kolesterol. Pada industri pangan, mastic digunakan sebagai pengental seperti halnya gelatin namun memberi efek berbeda pada produk yaitu menjadikannya lebih kenyal, bertekstur layaknya permen karet, dan bila digunakan pada es krim, menghasilkan melting resistance yang tinggi sehingga tidak mudah meleleh pada suhu kamar. 

     Pertemuan dua makanan. Perjamuan dua imajinasi yang terjerembab dalam bisu waktu. Menghadirkan jawaban dari tiap tanya yang terpilin dalam labirin, tak pernah terucapkan. 

Anda hamil, koq saya yang repot?

     Debar mendebur menunggu kereta yang tak pasti datang karena gangguan. Penumpang telah membludak di pinggiran, berharap dapat terangkut sampai tujuan. Diantara mereka, terselip seseorang berjaket parasut memanggul tas ransel kecil sebanding dengan tubuhnya. Kerut wajahnya semakin berlipat melihat lalu lalang orang yang tak kunjung padam. Dalam hatinya tersita sebuah tanya tentang perjalanan ini, tersiksa atau terlena.
       Sayu menggenapi pertemuannya dengan besi tua panjang laksana ular sawah yang diburu peladang. Degup jantung berderap kencang tatkala pintu gerbong menganga tepat dihadapan. Hanya ada satu fokus yang terlintas, mencari sebundar tempat yang pas dengan badan untuk bersemayan santai sepanjang perjalanan. Harapannya terpenuhi. Seolah nakhoda, ia putuskan untuk membunuh waktu dengan bermimpi untuk mengelabui, seperti yang kebanyakan dilakukan. Sang besi tua terus melaju di lintasan dengan kecepatan konstan. Dua, empat stasiun terlewati, hingga saatnya sampailah di stasiun yang terkenal paling sibuk dan padat. Apalagi di jam-jam pulang. Manusia bagai air bah yang datang menerjang, menenggelamkan dengan sekejap tubuh mungil dalam dekapan dan jepitan, mirip pisang coklat yang diapit oleh dua lembar roti bakar. Disini, hukum rimba berlaku. Egosentris manusia makin menjadi. Saya pun hanyut dalam aliran. Sejenak membutakan mata, menulikan telinga, dan menutup hati. Demi kenyamanan diri yang telah dibeli. 
       Tak sampai setengah jam, panggung sandiwara yang telah susah payah dibangun, hancur sudah. Sejurus kemudian, saya dibangunkan oleh teriakan norak khas perempuan. "Woy..ada ibu hamil nih, bangun donk! Yang pada duduk hamil semua bukan?!" Masih dengan setengah tertidur, saya dibangunkan paksa oleh seratus pasang mata, layaknya terdakwa, saya dihakimi massa. Menutup mata dan singgah sejenak di dunia maya membuat siapapun dipaksa mengaku dosa. Dengan wajah tak rela, saya terpaksa mengalah. Diawali gumaman skeptis, "Kan bisa duduk di bangku prioritas!". Bukan hanya kata dosa yang saya dapatkan namun cacian hina membabi buta dilayangkan dengan sadisnya dari mulut seorang harimau. Tak mau membuang energi lebih banyak hanya untuk mendidihkan kepala dan membuang asap emosi ke sekitar, saya pun berdiri, diikuti dengan kata sinis sang ibu hamil, "Gila ya orang-orang, saya minta duduk dari tadi gak dikasih!". Tak ada ucapan terima kasih, ia duduk seolah ratu. Dalam hati saya simpan sebuah kalimat kritis, 'Udah tahu lagi hamil, masih aja maksain naek kereta. Loe kira gampang apa dapet duduk. Perlu perjuangan tauk! Emang gue rela kasih tempat buat loe?! Taik!' 
      Berbekal ponsel pintar, saya curahkan kalimat sakti penghapus pilu sementara. 'Gila deh kereta! Gerbong wanita, sial banget, cuy! Perjuangan gue nunggu kereta sampe dapet duduk sirna tiba-tiba gara-gara sebuah istilah : mengalah, ikhlas, dan lapang dada' Lama pesan dibalas, sampai saya disadarkan oleh hilir mudik manusia badak yang tak ada habis-habisnya. Posisi tersebut memaksa saya untuk berpegangan gantungan, menahan derasnya aktivitas dorong mendorong di belakang saya, ditambah ada saja manusia yang menyender di punggung dengan alasan tak dapat pegangan. Hati mana yang tak tersulut amarah dengan kondisi seperti itu? Apakah diam ikhlas menyelesaikan masalah? Faktanya, tidak sama sekali. Malah, menimbulkan problem baru, otot kaki yang menegang hebat hingga menimbulkan sensasi tambang yang ditarik regang. Detik itu, saya tak percaya teori di buku pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, bahwa ciri warga Indonesia adalah ramah dan sopan. Entah Indonesia bagian mana yang memiliki ciri seperti itu. Kalau boleh saya merevisi teori, ciri warga Indonesia kecuali warga ibukota dan Jabotabek adalah ramah dan sopan. Silakan rasakan dan tengok bila tak setuju.
      

Sabtu, 25 Januari 2014

Sekilas Intermezzo tentang Jakarta

     Jumat lalu ketika akan menghadiri sebuah acara di bilangan sudirman, tak sengaja telinga ini bertemu dengar dengan siaran salah satu radio sohor di ibukota. Tujuannya sih sebenarnya hanya ingin mencari info lalu lintas, namun ternyata sang penyiar mengoceh sebuah intermezzo tentang ibukota. Kira-kira begini intermezzonya :
"Hari Jumat begini, emang hari yang ditunggu sama warga ibukota yang bekerja. Soalnya kan besok udah libur. Nah ngomong-ngomong soal pekerjaan,  sebenernya saya gerah dengan kondisi Jakarta ini. Banyak banget pendatang yang ngakunya sih pengen jadi warga Jakarta, tapi kenyataannya cuma numpang hidup doank di Jakarta. Tinggal di tanah Jakarta, menghirup udaranya tiap hari, mencari rezeki, tapi herannya membuang sampah di kali! Mereka tuh kebanyakan, kerja di Jakarta, dapet duit, terus balik ke kampung asalnya, petantang petenteng, ngakunya sih punya tanah di Jakarta, hidup mewah, pokoknya jadi orang modern-lah di Jakarta. Padahal, lebih banyak nyusahin Jakarta daripada kasih manfaatnya. Nah, kita nih warga asli Jakarta yang jadi dirugikan, karena secara ga langsung dijajah sama orang lain yang ga bertanggung jawab.."
Dua hari kemudian, seperti biasa saya memulai aktivitas rutin setelah pulang kantor yaitu hunting makan malam bersama sahabat seperjuangan. Malam itu, gerah, gusar, hingga marah bercampur menjadi satu tatkala melihat kenyataan pahit di depan mata. ABG tanggung bersama puluhan pekerja yang entah penduduk asli atau pendatang, sama-sama menyebrangi jalan menuju ke pangkalan angkot dengan santainya membuang sampah bekas bungkus produk instan sekenanya, sembarangan, seolah jalanan adalah tempat sampah. Belum lagi pedagang kaki lima plus pembelinya yang dengan innocent menabung sampah di selokan yang bermuara ke sungai. Spontan, saya teringat keluhan dari penyiar sohor yang saya dengar kemarin. "Lebih banyak nyusahinnya daripada ngasih manfaatnya, buat Jakarta". Mau tidak mau, suka tidak suka, saya mengamini semua perkataan sang penyiar. Bagai dilempari bogem rasanya. Hati terasa panas berkecamuk, kepala pun ikut-ikutan ingin memuntahkan sepatah dua patah kalimat peringatan. Namun, nurani tak mengizinkan. Daripada mencari masalah yang tak berkesudahan, lebih baik saya melenggang kangkung saja, berpura-pura tak tahu, terpaksa menjadi apatis. 

     Ya, Jakarta dengan kompleksitas problematika panjang yang tak berkesudahan adalah sebuah kehidupan      yang dilakoni oleh berjuta-juta tubuh setiap harinya. Kebanyakan dari mereka adalah pendatang. Namun tak sedikit pula yang telah hidup lama di Jakarta, bereproduksi, menelurkan keturunan, serta turut andil dalam menyebarkan pengaruh asimilarisasi kebudayaan. Banyak diantara mereka yang sukses menjadi pemimpin dan pengusaha, menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang sehingga meningkatkan pendapatan perkapita daerah dan devisa negara. Kondisi tersebut cenderung menjadi magnet bagi para penduduk lain di luar Jakarta untuk berbondong-bondong bekerja dan tinggal di Jakarta. Apapun dapat dibarter dengan uang kalau hidup di Jakarta. Kalau kata mereka, ibaratnya Jakarta itu bagai kota emas. Kilaunya memabukkan, nilainya menggairahkan. Hal ini paradoks dengan kualitas sumberdaya manusianya. Kebanyakan, orang daerah luar melihat Jakarta hanya dari sisi luarnya saja, dari kemewahan gedung pencakar langit, mobil yang berseliweran, eksekutif muda berjas, dan mall yang prestise. Padahal, sisi lain Jakarta pun tak kalah ironisnya. Mereka pun akhirnya masuk ke dalam lubang ironis Jakarta, berkutat dalam pekerjaan yang tak pasti, tanpa keahlian yang menjual, tanpa penghasilan tetap, dan tanpa tempat tinggal yang layak. Mereka terus bertahan, tak gentar sekalipun diusir dari tanah Jakarta yang melenakan di awal, menyengsarakan di akhir, terus beranak pinak dan mewariskan kepiluan yang sayangnya tak mau untuk diubah. 

     Fenomena kaum urban Jakarta yang terlihat miris, tidak sebanding dengan gaya hidup yang jauh dari kata simpati. Perilaku mereka sangat tidak layak untuk diapresiasi. Alasannya simpel sekali, karena keadaan yang memaksa. Apakah untuk sekedar selalu membuang sampah pada tempat sampah, bukan di tempat umum dan di selokan / sungai harus dipaksa dengan jalan militer? Bila mungkin di tempat umum kekurangan tempat sampah, apakah sulit bila sampah bekas pribadi ditaruh terlebih dahulu di tas atau kantong sampai menemukan tempat sampah? Aneh memang. Tapi nyata. Sumbangan sampah dirimu akan menambah panjang daftar bencana yang menunggumu di ujung sana, seperti fenomena gunung es, tiba-tiba hartamu ludes seketika gara-gara perilakumu yang tak kau sadari. Susah memang untuk mengubah perilaku karena sudah mengakar hingga ke dalam sukma. Namun, itulah konsekuensi hidup. Bahwa, kau menumpang di tanah orang. Lalu dengan berani kau kotori, kau sumbang bencana, dan kau lepas tangan, tak mau disalahkan. Mungkin hanya segelintir orang yang tak punya malu, namun tak sedikit pula yang menahan ego. Masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang tak layak disebut mungkin. Walau kemungkinan pun dapat sembunyi dalam mungkin-mungkin yang baru.