Selasa, 05 Juli 2016

Lebaran : Antara Euforia dan Fenomena



Ketika Bulan Ramadhan sudah di penghujung waktu, umat Muslim yang menjalankan ibadah puasa sudah bersiap-siap menyambut hari yang dinanti, hari kemenangan, katanya. Persiapan pertama, tiket mudik pastinya. Kalau tidak menggunakan kendaraan umum, ya persiapan kendaraan pribadi yang akan digunakan untuk bertemu keluarga nun jauh di kampung halaman. Lalu, persiapan sandang dan pangan. Lebaran kurang afdol kalau tidak dilengkapi dengan pakaian baru dan makanan aneka rupa, yang seringkali membuat kantong mendadak tipis. Apalagi kalau masih menjalankan tradisi memberi angpao lebaran ke sanak saudara yang alih-alih berbagi rezeki, malah memaksakan diri atas nama gengsi. Selain itu, tak lupa persiapan fisik dan batin. Bertemu keluarga dan saudara untuk bersilaturahmi seraya saling membisikkan, minal aidin wal faidzin – mohon maaf lahir dan batin, memerlukan penampilan yang rapi dan wangi sehingga perawatan diri pun menjadi salah satu persiapan sebelum lebaran. Kalau fisik sudah pantas, maka batin pun perlu dipulas agar tak kaget bila masuk ke arena diskusi keagamaan hingga kepribadian yang kebanyakan orang dekati bila dirasa sudah cukup percaya diri atau hindari karena jadi ajang rumpi yang kadang menghakimi.

                Seperti biasa, lebaran tahun ini adalah sekian kali dirayakan bersama keluarga dan sanak saudara. Karena orang tua ibu dan/atau ayah masih ada, maka prioritas berlebaran pun akan diselenggarakan di rumah kediaman kakek nenek kita. Lebaran kian terasa lengkap kala paman, bibi, sepupu, hingga keponakan memenuhi ruang keluarga. Pelukan, cium-tangan, dan senyuman kerap menghiasi pertemuan paling lengkap sekali setahun. Ragam makananan dan minuman, kue lebaran, hingga hidangan penutup menjadi perekat temu kangen agar semakin berwarna. Biasanya, tiap angkatan usia memiliki kelompoknya sendiri-sendiri. Anak-anak sibuk bergerombol bereksplorasi permainan gawai. Para remaja sibuk selfie dan memperbaharui sosial medianya. Dewasa muda sibuk mengawasi anak-anaknya bermain sambil berasyik masyuk berdiskusi kehidupan urban yang kian menantang. Para senior hingga mbah buyut pun tak kalah sibuk bertukar pikiran seputar dunia kesehatan sampai keagamaan, bekal untuk mengisi sisa usia, katanya.

Rasanya tidak ada yang istimewa menjadi fenomena dari potret lebaran tersebut. Tahun demi tahun, kegiatan itulah yang otomatis dilakukan oleh hampir tiap keluarga. Namun, ternyata, apabila ditilik lebih jauh, proses berkegiatan dari mulai bertemu, berdiskusi, hingga berpisah menjadi fenomena yang menarik untuk ditinjau. Seperti magnet yang memiliki dua kutub, utara dan selatan, demikian pula saudara yang kita temui pada saat lebaran tiba, ada sisi positif dan negatif yang menjadi ciri khas masing-masing. Mari kita perhatikan. Anggap saja, kita adalah seorang dewasa muda usia setengah abad, seorang lajang, yang masih sibuk berjuang menggapai target pribadi sebagai bekal masa depan untuk mandiri. Saat lebaran, kita bertemu sanak saudara dari mulai kakek, nenek, paman, bibi, lengkap dengan sepupu dan keponakan serta saudara-saudara jauh lainnya. Apabila dalam kebiasaan keluarga, personil yang belum menikah akan mendapatkan angpao  dari yang sudah menikah, maka kita akan mendapatkannya atas nama tradisi. Lalu, dari semua sepupu yang satu angkatan dan yang lebih tua, kita merupakan salah satu atau satu-satunya yang belum menikah atau belum mengenalkan calon pasangannya kepada keluarga. Maka, adegan yang akan terjadi selanjutnya adalah sesi diskusi atau lebih tepatnya menasihati, apabila menghakimi terlampau tidak sopan, terhadap jalan hidup yang sedang dijalani dengan bahagia. Pertanyaan standar yang akan diajukan adalah ‘kapan mengenalkan pasangan kepada keluarga? Kapan menikah? Sudah mau kepala tiga, loh. Nanti kalau punya anak, anaknya masih kecil, kamu sudah tua, sudah pensiun,’ dan lain sebagainya. Jawaban paling aman dan tidak menyulut konflik berkepanjangan adalah ‘doakan saja, ya!’ baik dengan senyum atau dengan wajah datar. Atau berjuang meyakinkan para sanak saudara bahwa sebelum memutuskan untuk menikah, maka perlu bekal yang cukup. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya menyiapkan bekal tersebut, dan lain sebagainya.

Saya pribadi menyadari bahwa kenyataannya setiap orang menyukai aktivitas merumpi dan bergosip dalam rangka mengomentari hidup orang lain, baik yang biasa dilakukan maupun fenomena berbeda, mungkin semacam anomali, yang dilakukan sebagian besar orang. Rasanya seperti diri kita paling benar diantara orang lain dan ingin mengecap orang lain aneh bin ajaib. Nah, kebiasaan tersebut secara tidak sadar pun terjadi saat acara kumpul keluarga pada hari lebaran. Entah siapa yang menyebarluaskan paham hidup modern bahwa seseorang dikatakan sukses dan bahagia apabila ia berusia muda kira-kira mulai dari usia seperempat abad, bekerja di perusahaan terkenal, bergaji tinggi, sudah menikah dan memiliki anak, memiliki rumah dan mobil, sering ke luar negeri, hingga memiliki investasi dimana-mana. Semua berkiblat pada materi dan hampir tidak muncul sisi batiniah yang seharusnya menjadi penentu kesuksesan dan kebahagiaan hakiki. Dari sini saja sudah terlihat pembeda antara benang hitam dan putihnya, yaitu sebuah perspektif yang dalam hal ini merupakan cara pandang seseorang terhadap suatu permasalahan. Maka, dalam perspektif saya, hal ini akan berimbas pada kesimpulan prematur yang nirnalar yang diawali dengan pertanyaan menuduh, semacam ‘sudah punya pasangan atau kapan menikah’. Uniknya, apabila jawabannya tidak seperti yang diinginkan, maka akan dikaitkan dengan nilai-nilai agama, seperti menikah karena ibadah dan akan masuk surga. Mungkin, dari sudut pandang Sang Saudara yang bertanya, ia melihat kita berbeda dengan dirinya dan kebanyakan orang sehingga ia merasa perlu membantu kita menemukan jalan yang lurus seperti definisinya. Namun, dalam perspektif kita, hal tersebut justru mengganggu karena mencampuri urusan pribadi orang lain sampai menghakimi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyinggung. Karena hal mendasar, yaitu perspektif yang berbeda, maka ada dua jalan yang dapat dipilih, menghindar karena akan berpotensi menjadi debat kusir, atau berdiskusi berdasarkan opini masing-masing dan secara sadar akan berakhir tanpa ada yang benar atau salah.

Apabila semisal saya yang dihadapkan pada kondisi tersebut, maka saya akan menerapkan kedua pilihan tersebut sesuai dengan lawan bicara yaitu dengan pertimbangan usia dan kondisi kesehatannya. Pada dasarnya, semua yang berhubungan dengan jalan hidup merupakan hak kita untuk memutuskan. Toh, yang menjalani adalah kita sendiri, maka pilihlah jalan yang dicintai, dapat dipertanggungjawabkan oleh diri sendiri, dan tidak merugikan orang lain. Perkara sukses yang digeneralisasi melalui materi tanpa mempertimbangkan makna kesuksesan itu sendiri, itu urusan kita untuk memaknai dan mencapainya. Materi memang perlu, tapi tidak semua materi menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Pembelajaran untuk diri sendiri adalah jangan main hakim sendiri terhadap hidup orang lain. Kalau orang lain kesulitan, memangnya kita mau menolongnya bangkit hingga menjadi sukses seperti definisi kita? Lagi-lagi itu adalah perspektif diri saya dalam melihat fenomena hidup. Apabila ada orang lain yang beropini lain, ya silakan saja. Toh, kita sama-sama manusia yang menumpang hidup di muka bumi, untuk apa saling mencaci, menghakimi, apalagi mengebiri.

Ah, lagi-lagi soal perspektif. Serahkan sajalah kepada orang yang sudah dewasa, dalam laku dan kata. Selamat lebaran, umat manusia yang hidup dalam perspektif. Maknai perspektif dengan arif walau seringkali penuh dengan kontradiktif.