Rabu, 05 Maret 2014

Biru.

Pagi ini mentari bernyanyi lirih dengan lirik yang sinis. Seakan menyuarakan pertanda yang entah bermakna apa. Lalu lalang orang memaksaku untuk berhenti berderap. Angin datang membawa pesan. Ia menyergap kesadaranku sehingga aku hanya dapat diam membisu dan membeku. Biru. 

Satu menit yang lalu, seorang ibu paruh baya bersama pengikutnya melantangkan makian kepadaku, anak muda yang sedang berasyik masyuk melanglang ke dunia mimpi, di kereta. "Hey! Masih muda berdiri donk! Tuh kita-kita butuh duduk. Gak kasian apa?!" Ada pula yang bertingkah menyindir. "Biasa deh, di kereta semua pada pura-pura pingsan". Tetap tak bergeming. Aku di pihak yang benar karena tidak memakai fasilitas tempat duduk prioritas. Namun tetap, aku salah. Dipukulnya bahuku dengan segenap raga. Aku diarak dan dipermalukan dengan penuh kebencian. Aku dosa? Aku hina? Lalu dia? Kamu? Mereka?

Satu jam yang lalu, beberapa gadis cantik dengan bulu mata lentik tergopoh datang ke arahku. Mereka mengambil tempat tepat di sebelahku. Alasannya, karena kami mahasiswi, intelek muda dan calon pengabdi masyarakat, butuh stop kontak untuk menyalakan laptop teranyar, demi mengerjakan tugas busuk itu. Saat kursi ditarik dengan ganas, saat itu pula dua kursi beradu dadu. Kain pakaian yang aku biarkan terurai ke belakang menjadi korban egosentris megapolis. Kesantunan telah memudar, hilang, dan terkubur dalam-dalam. Layaknya, priyayi dan pribumi saat kolonialisasi, disitulah aku. Menjadi saksi roda dunia yang berputar kembali untuk dijajah-menjajah. Lagi. Aku tak peduli, tetap pada posisi. Ini reformasi. Liberalisasi. Lepaskan status sosial dan atribut yang carut marut. Ayo berdiri, hadapi dengan aksi. Hitam adalah hitam. Putih adalah putih. Aku tak peduli, tetap pada posisi. Geram telah karam, merubah terang jadi padam dengan teriakan kecil nan suram. Bergegas ku menghilang dalam sapuan malam ditemani geliat cahaya nan kelam. 

Satu hari yang lalu, aku berjalan pelan menuju restoran melewati pintu gerbang. Di kiri dan kanan, para pria berseragam pembela kebenaran dan keadilan berkumpul, saling merangkul. Tak berapa lama, terdengar suara yang terlalu keras untuk disebut sebagai bisikan menghampiri gendang telinga. "Gue pikir, orang berkerudung pasti jaminan alim, ternyata sama aja bejatnya. Hahaha!" Puas membuas. "Liat aja tingkahnya. Parah banget. Pantesan dia kos, balik malem terus" Kejam merajam. Angkara membara. Emosi meninggi, namun hati tetap merendah tapi tak kalah. Sejurus kemudian, pria necis datang menghampiri. Dengan lidah menari kata basa-basi, lalu mengantongi amplop beserta minuman tutup mulut. "Gue pikir orang berseragam dengan titel sekuriti bersih semua, ternyata bisa dibeli sama duit. Hahaha." Perang diakhiri. Menang secara nurani. 

Mentari digiring dengan paksa oleh angin yang mengusung awan hitam menguasai langit. Layaknya seorang tahanan yang diperlakukan tak hormat, ia menitikkan tetes demi tetes air mata dunia ke permukaan. Makin lama, kian deras. Hingga semua tenggelam. Hilang bersama jutaan goresan luka yang tak kan pernah pupus. Selamanya, membiru.

Jakarta, Maret 2014
di tengah gejolak emosi yang (akhirnya) dapat damai diakhiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?