Jumat, 28 Februari 2014

Kata bijak kisanak #1

Saya terkenang ucapan seorang filsuf Inggris, seorang Cardinal yang mendirikan catholic university of Ireland, John Henry Newman, beliau berkata : Semua yang berguna belum tentu baik, tapi yang baik pasti berguna. Baik tak sekedar baik, baik adalah merek produk dari kebaikan. Sekilas klise, namun bila ditilik lebih jauh lagi, ucapannya banyak kita alami di keseharian. Layaknya batu yang dapat tergerus membentuk cekungan, demikian halnya dengan kebaikan. Walau, kadang, kebaikan yang dilakukan dinilai sangat tak berguna namun percayalah, ia akan menorehkan noda di dada. Percayalah bahwa seburuk-buruknya sebuah kebaikan, masih lebih baik daripada keburukan itu sendiri.

Sabtu, 01 Februari 2014

Kebiri

      Sejenak pikiran tersita oleh kenangan masa lalu yang tiba-tiba menghampiri. Tentang sesosok makhluk mungil tak berdaya yang hidup atas kebaikan Tuhan, yang menjadi korban eksploitasi pengetahuan, yang menjadi pahlawan pemuas rasa penasaran manusia. Berkelindan dengan semesta, ia berusaha untuk melupakan haknya yang kini dirampas. Bukan oleh oknum tak bertanggung jawab, namun oleh hati yang selalu dipandang sebelah mata, tak bisa apa-apa. Sahabatnya serupa dengannya. Makhluk mulia, itu yang jadi pembedanya. Di tengah rimbunnya hujan dan dinginnya udara malam, datang sumber cahaya lain yang menghangatkan dahaga. Namun itu hanya sementara, hanya sebagai hadiah semu pengikis pilu yang kemudian hadir menyayat di kedalaman. Kilatan pisau terpantul di ujung mata. Teriakan tercekat di tenggorokan. Tiba-tiba blast! dunia nyata hilang di pelupuk mata, digantikan oleh raga maya yang terpental keluar dari kesadaran. 
      Aku seperti berada di dalam sebuah kantung tipis. Di luar sana ada sesosok makhluk aneh dengan mata besar sedang memilin jalinan benang menjadi jaring-jaring rapat. Ia tersenyum kepadaku. Inginku berbisik tentang sebuah tanya. Siapa dirimu? Dimana aku? 
      Kidung mengalun pelan, mengantarku pada lorong hitam tak berujung. Tersengar sedu sedan yang menggema nyaring menyambutku saat aku membuka mata. Aku tak menemukan siapapun disana. Yang ada hanya rupa baruku dengan kain putih melingkupi bagian bawah tubuh. Aku tak dapat merasakan birahi, apalagi hasrat dasar hati. Aku bagaikan singa yang telah digunduli dan tinggal menunggu giliran untuk dikuliti. Aku merasa dikhianati hingga tak berharga lagi. Hidupku hanya berjalan sangat lurus. Tak ada lagi loncatan-loncatan listrik dalam diri yang kadang datang memberi inovasi dan inspirasi. Tak ada lagi kebebasan yang membangkitkan jiwa-jiwa lelah dan tak bergairah. Tak ada lagi kesadaran untuk menguasai raga diri dalam kelindan hati makhluk lain. Prestise telah dikebiri oleh standar kepuasan lain yang hidup mengakar, bertumbuh, merimbun, dan menguasai hajat diri dalam hiruk pikuk dunia surgawi.

Obral.

      'Obral baju sudah biasa, obral buku baru luar biasa' 
- a bookworm -


      Senja menutup hari dengan manis, semanis temu yang tiba-tiba hadir layangkan tawa. Obral buku adalah kesempatan yang ditunggu layaknya kata cinta yang terucap spontan dari hati sang idaman. 
       Obral abrik! Aktivitas itulah yang saya lakukan bersama seorang teman di salah satu pusat perbelanjaan utara Jakarta. Tak banyak pengunjung yang tertarik datang menengok. Kebanyakan hanya mengerling sejenak melihat tulisan 'Diskon Gede-gedean' kemudian berlalu begitu saja bagai angin sepoi yang membelai wajah. Menganalisis kesempatan manis itu, kami langsung menghambur, memilah milih semua jenis buku yang terhampar di empat bak besar. Bayangkan, waktu yang terbuang. Untuk orang yang menganggap setiap detik berharga untuk dibuang percuma, obral abrik adalah aktivitas sangat melelahkan. Nah, pemikiran orang kebanyakan menjadi kesempatan emas bagi kami. Tanpa pikir berapa harganya, kami langsung ambil semua buku yang menurut kami bagus. Perjuangan kami membuahkan hasil. 7 buku dengan total hanya seratus ribu rupiah berhasil kami kantongi. Rasanya bangga, seperti berhasil meraih juara pertama dalam sebuah pertandingan prestisius. Ah! 
      Obral buku, book fair, midnite sale, atau apakah istilahnya, adalah saat yang paling ditunggu-tunggu. Seperti seorang shopaholic yang sangat menantikan midnite sale barang-barang bermerek terkenal mahal, demikian pun saya. Seorang bookworm yang hobi belanja buku namun sering kehabisan waktu untuk melahap isinya. Momen diskonan seperti inilah yang membuat toko buku menjadi ramai. Otomatis, aktivitas transaksi pun makin mengular. Prinsip simbiosis mutualisme pun tumbuh pesat. Uang mengalir lancar, pelanggan tak dikecewakan. Itulah diskonan, potret market kebanyakan. 
       Saya katakan obral buku kali ini menerbitkan sebuah guratan besar di relung kepala. Sebuah misionarisasi pencucian otak telah sukses digelar. Berbagai pengetahuan dan opini pengarang membaur jadi satu, memenuhi sebagian besar memori dan membangunkan syaraf simpatis yang lama tertidur. Minat meluas, alam bawah sadar berkuasa. Ingatan pun mundur teratur ke zaman sekolah menengah dimana idealisme telah mengalahkan suara hati belia. Tanpa sadar, perlahan membunuh dan mengubur namun rohnya ternyata masih bergentayangan di relung terdalam kejiwaan. Dunia sastra, rupa, dan budaya. Ekspresi dinamis yang tak kenal kebakuan. Bagai sebuah keyakinan, ia akan terus mengalir dalam darah, mengisi kekosongan kalbu dan bermuara di poros hidup, axis mundi.
       Obral buku,menghapuskan kebakuan, menjauhkan jurang pemisah antara pasak dan tiang, serta mendekatkan manusia gila aksara dengan ragam karya yang maha. Berani mencoba?