Minggu, 18 Agustus 2013

17 Agustus : Merdeka atau Seremonial Belaka

          Hembusan angin kian menusuk kulit. Hawa dingin berpadu dengan kilau malu sang mentari yang bersiap menampakkan diri menambah warna sebagai isyarat musim kemarau telah datang menjelang. Dengan langkah gontai, aku keluar dari peraduan, membuka pintu depan dan menghirup udara baru, udara kebebasan. Ya, bebas dari rutinitas serta bebas dari polusi yang memuakkan.
          Pancaran matahari kian meruncing, pertanda yang baik untuk menyusuri pagi eksotis di selatan Jawa Barat. Destinasi pertama adalah taman bunga pribadi. Ragam warna dan rupa, membuat syahdu syair sang pujangga. Segera kubidik dari jendela kamera, dan Klik! Tiba-tiba aku dikagetkan dengan gemuruh angin yang lumayan keras. Srrrhh..Suara kibaran terdengar jelas di telinga. Kutengok keatas. Sang Saka, berkibar gagah, menawan rupa, meluapkan asa. Birunya langit dengan awan putih bergerombol menjadi latar belakang yang sangat aduhai. Aku terkesima dibuatnya. Mataku tak dapat terdistorsi oleh apapun jua. Dan Klik! Sungguh gagahnya modelku ini. Lama aku memandangi, semakin aku jatuh hati dibuainya. Kaulah, merah putihku, lambang keberanian, semangat juang yang tak terelakkan, serta kesucian hati yang abadi.
           Sabtu, 17 Agustus 2013. Disini, saat mimpi masih menggantung di depan mata, aku dengar suara gemerisik bocah-bocah di luar rumah. Dengan pakaian adat tradisional serta persiapan upacara nan sakral, mereka bergerak setengah berlari, tak mau telat menjadi peserta seremonial kemerdekaan ke 68 ini. Aku hanya menonton, tidak secara langsung, namun hanya dari depan televisi. Detik demi detik menjelang proklamasi menjadi momen berharga untuk dilewatkan. Kenangan sejarah panjang bangsa menuju kemerdekaan, kebebasan dari penjajah pun menjadi bukti kekuatan besar yang terkuak ke dunia. Termenung aku mengingatnya. Pelajaran sejarah kala di bangku sekolah pun terpanggil kembali. Perjanjian Rengasdengklok,Penjahitan bendera pertama, Perumusan naskah proklamasi. Pengibaran bendera merah putih pertama. Saat-saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Haru biru membuncah, darah dan air mata dibayar sudah. Lunas? Tentu belum. Ini adalah awal dari perjuangan yang sebenarnya. Menjadi merdeka yang hakiki.
            Upacara kenaikan Sang Saka, dihadiri seluruh pejabat pemerintahan, dibawakan dengan khidmat oleh paskibraka nasional. Suasana semakin bertambah syahdu saat Indonesia Raya dikumandangkan kembali. Namun, bedanya, haru biru tak tampak lagi di pelupuk mata, mungkin dirasa sudah biasa. Entah. Namun, salah satu lagu perjuangan membuat saya terenyuh. Saat refrain dinyanyikan, 'Sekali merdeka tetap merdeka! Selama hayat masih dikandung badan. Kita tetap setia, tetap sedia, mempertahankan Indonesia..Kita tetap setia, tetap sedia, membela negara kita..' Bila ditilik agak dalam, timbul pertanyaan, apakah kita sudah merdeka sepenuhnya? Apakah kita tetap setia, tetap sedia, mempertahankan dan membela Indonesia? Coba tanya nurani. Ada suatu anomali. Lihat ke depan, kenyataan. 17 Agustus ini, yang punya kuasa, dengan gagahnya berdiri menghormati dan berjanji setia pada Sang Saka. 17 tahun yang lalu, tanpa malu, ia praktikan segala jurus kebal hukum untuk mendapatkan tahta dan harta melimpah ruah hasil kerja keras sang profesional dalam bidang perKKNan. 17 bulan yang lalu, dengan tanda seru, ia perintahkan stafnya untuk memalsukan tanda tangannya, menyuap para penguasa elite demi bisnis, dan menuliskan nama anaknya di lembar pengumuman kelulusan sebagai pegawai negeri sipil berkelas. 17 hari yang lalu, dengan dalih tujuan sosial masyarakat, ia meniru gaya Jokowi, blusukan, membagikan sembako dan layanan kesehatan gratis, untuk berpromosi diri dan kampanye partai, berjanji manis dan demikian mudah melupakan semuanya. 17 jam yang lalu, ia menghabiskan dana entah berapa untuk menjamu para elite, membuang muka pada gelandangan di seberang, dan menutup rapat-rapat pertanyaan mengenai asal sumber pembiayaan hidupnya bersama para konco tercintanya. Dan 17 menit yang lalu, dengan muka jauh dari layu, memandang ke depan, ke atas dimana bendera merah putih berkibar bersamaan lagu nasional Indonesia dikumandangkan. Dengan sanggul meruncing, kebaya perlente, tas merk terkenal, sepatu keluaran terbaru, dan parfum yang tak pernah menguap. Pasangan hidup, pasangan praktik politik. Tanpa jiwa, mereka upacara. Tanpa rasa, mereka berbangga. Karena mereka, kami jadi tak merdeka. Karena mereka, sistem menjadi penuh nestapa. Inikah kemerdekaan sesungguhnya yang ingin diciptakan oleh kita? Tak malukah dirimu, bila Bung Karno dan Bung Hatta menyaksikan fakta Indonesia zaman ini? Korupsi bertebaran seperti semut mengerubungi gula serta kolusi dan nepotisme yang tak ada matinya melenggang kangkung bagai model di catwalk. Inikah wajah bangsa di abad 21?
             'Tanah air ku tidak kulupakan..kan terkenang, selama hidupku..biarpun saya pergi jauh..tidak kan hilang dari kalbu..tanah ku yang ku cintaii..engkau kuhargaii..' Walau potretmu carut marut. Walau bingkai negaramu seringkali tak adil bagi kami. Namun, bukan kau yang salah. Yag mudalah yang harus bergerak. Mungkin, untuk menggerus kekuasaan semu mereka, menghempaskan kebohongan, menguak fakta. Walau harus sampai menimba alasan hingga ke Roma, namun selalu ada alasan untuk kembali. Menginjak kembali tanah pertiwi. Bernafas kembali walau dengan sedikit polusi. Bergerak dan melakukan sesuatu, sesuai cita-cita mulia, berkontribusi bagi sesama. Walau hanya dengan secarik pemikiran, asalkan benar dan halal, itulah kemerdekaan yang sebenarnya. Merdeka yang hakiki, tanpa pura-pura, apalagi hanya seremonial.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Pada Suatu Malam

       Pada Suatu Malam
       Kutermenung di balik jendela kamar ini ditemani kerlingan bintang yang seolah melirik perih serta sepoi angin yang menyapu memori singkat nan memikat. Sebuah alunan lagu pun menjadi refleksi suara hati yang entah menyiratkan apa. Lagu cinta yang istimewa. The star lean down to kiss you. And I lie awake I miss you...But I'll miss your arms around me. I'll send a postcard to you dear, cause I wish you were here.
         Masih tergores dalam ingatan, saat pertama kali melihatmu. Awalnya memang tak ada perasaan apa-apa tentangmu. No hard feeling. Apalagi dengan kesibukan kita yang menyita perhatian. Berkenalan denganmu pun hanya selewat, bagaimana mau dekat? Tak terpikir apalagi diniatkan.
         Dia adalah salah satu pria terdingin yang pernah aku temui selama hidup. Bahkan, menyapa saja tidak pernah. Aku sih ya tidak mempermasalahkan. Kalau dia butuh, barulah dia bertanya. Kalau tidak, ya jangan harap ada suara dia yang tertangkap di telinga. Namun, semua seolah berbalik seratus delapan puluh derajat saat hari itu tiba, dimana sebuah senyuman mampu memecahkan kerasnya batu karang menjadi kerikil kecil. Inilah awal mulanya.
          Hujan di Kamis sore, membuat raga ini dipaksa untuk menunggu lebih lama lagi dalam ruangan. Daripada memaksakan untuk pulang tepat waktu dengan kondisi hujan lebat ditemani amuk angin yang menggebu, aku putuskan untuk kembali duduk memandangi layar monitor dengan getir. Walau, badan ini sudah mengirimkan sinyal lemahnya, namun hujan tak jua mengerti. Ia malahan membuatku tersentak karena sebuah suara tak terduga yang sontak membangunkanku dari lamunan.
          Dia, ya dia. Siapa lagi. Lelaki yang dengan seluruh pesonanya mampu membuat orang dengan suksesnya menjadi apatis. Pun diriku. Hingga detik ini, aku tak percaya dengan fenomena ini. Ini mimpi atau imaji belaka?
          "Na, yuk balik!" Aku tercengang. Ini mengajak atau hanya pamitan?
          "Yuk balik bareng, koq malah bengong?" Wah, dia membuat pernyataan yang berarti     ajakan. Deg! Tanpa banyak tanya, takutnya malah jadi berubah pikiran, aku bergegas mengikuti sosok tegap depanku. Agak terburu-buru memang. Namun, lumayanlah mengurangi resiko masuk angin. Hehe.
           Sepanjang jalan, aku yang membuka obrolan. Dari mulai pertanyaan ringan seputar alasannya mengajakku pulang hingga kesibukannya yang makin menumpuk dari hari ke hari. Entah, aku merasa nyaman. Bukan karena perhatiannya, bukan pula karena kehangatan secangkir teh cammomile yang disuguhkan pramusaji restoran ini. Namun, karena tatapannya yang berbeda saat memandangku. Kata orang, laki-laki yang sedang jatuh cinta itu dapat dilihat dari matanya sedangkan wanita dari senyumnya. Tapi, aku memposisikan diri untuk tidak GR dulu, karena nanti bila suatu saat jatuh, sakitnya..lumayan.
           Kami dekat. Dan terus dekat. Dia pun mengakui bahwa dia nyaman bila bersamaku. Namun, hingga detik ini, belum ada pernyataan perasaan terucap darinya. Sebagai wanita, ya aku hanya menjalani peranku saja, sebagai pengirim sinyal terbaik. Keputusan akhir ya tetap ada di pihak lelaki karena bila wanita yang menyatakan terlebih dahulu, nanti kalau ditolak, malunya luar biasa. Apalagi bertemu tiap hari. Mau ditaruh dimana muka ini? Hehe.
          Akhir musim penghujan menjadi babak baru yang menaungi segalanya. Di akhir minggu yang cerah, di bawah payung canopy yang dihiasi bunga-bunga, dengan sorotan rembulan dan alunan musik instrumen dari Beethoven, akhirnya ia memberikan keputusan konkrit padaku. Ia menyatakan perasaannya kepadaku. Tidak dengan adegan reality show 'katakan cinta', namun sudah membuat hatiku melonjak riang dengan efek persis seperti naik wahana roaler coaster dan kora-kora di Dufan. Inilah, awal cerita cinta yang tak terbayang sebelumnya.
         Kami jalani hari demi hari bersama. Ia bagaikan pangeran berkuda putih yang ada di novel klasik. Romantis sekali. Satu hingga dua bunga selalu terselip di balik meja, menerbangkan rasa hingga ke langit ketujuh. Oh! Bukannya terlalu berlebihan sih, namun demikianlah realitanya. Bunga-bunga telah tertanam di hati, puluhan kilometer dijelajahi, ratusan kata cinta telah mengakar dalam jiwa, dan ribuan pesan puitis memenuhi memori. Rasa nyaman pun sudah naik kelas menjadi rasa cinta. If any this feeling will be everlasting, I'll take you away to my kingdom, being my prince forever.
        
         Minggu kelabu. Saat rindu sulit untuk berlabuh. Hati ini terasa beku. Jiwa hampa berbalut sendu. Menghiasi pagi yang berkabut. Dengan langkah lunglai ku hidupkan ponsel. Satu pesan masuk.
         'Ada yang mau aku omongin nih sama kamu. Aku jemput kamu ya!'
         Perasaan aneh menyelimuti. Tumben sekali dia mengajakku pergi. Dia bilang kalau minggu ini dia tidak bisa diganggu sama sekali. Banyak urusan, harus mengurusi bisnis bengkelnya, katanya. Belum sempat aku bersiap, dia sudah mengetuk pintu rumahku. Berdiri di depanku seraya tersenyum simpul, senyum yang dipaksakan. Aku tak beranjak dari depan pintu. Aku pandangi ia lamat-lamat. Harusnya ia tahu kalau pandanganku menyiratkan suatu sinyal negatif, sebuah pertanda buruk.
         "Ada apa, sayang? Koq tumben ke rumah?" Aku membuka pembicaraan dengan suara tertahan.
         "Kamu belum siap-siap? Kan aku udah mesej kamu!" Suaranya lain, seperti bukan dirinya yang dulu.
         "Aku ga mau siap-siap. Aku tahu, kamu mau ngomong sesuatu yang mungkin penting buat kamu, atau kita. Ngomong aja sekarang!" Hatiku tak rela bila pertanda buruk yang akan terjadi
         "Oh, yaudah. Aku cuma mau bilang kalau aku belum siap untuk serius sama kamu. Aku ga bisa kalau kamu terus menerus mengintimidasi biar aku jadi pasangan setiamu sampai akhir hayat. Aku belum punya target kearah situ, ke arah pernikahan. Aku masih pengen berkarir dulu, muasin semua hobiku."
         "Maksudmu?"
         "Ya, kita putus!"
         "Ha? Secepat itu? Kamu koq gitu sih? Salah aku apa? Atau kamu punya cewe lain?" Aku tak sabar, tak terima dengan alasan klise itu.
         "Iya, aku ga kuat kalau kamu terus menerus nanya kapan kamu dikenalin ke orang tuaku. Lagian, kamu banyak sekali menuntut. Aku ga kuat dengan tuntutan kamu, dengan target kamu. Makanya aku butuh waktu untuk sendiri dulu"
         "Jadi, kamu ga serius sama aku?" Nada suaraku makin memburu, mencari jawaban pasti
         "Niatku emang pacaran. Bukan untuk nikah" Nadanya datar. Tanda ingin segera mengakhiri.
        "Aku ga nyangka aja, kamu tega berbuat kaya gini ke aku. Kenapa dulu kamu tembak aku kalau kamu memang ga niat untuk nikah? Kenapa kamu bilang kamu ga akan ninggalin aku kalau akhirnya kita putus juga? Kenapa kamu ga jujur sama aku dari dulu, sebelum rasa sayang ini bertambah besar ke kamu? Hsshh..shhh.." Setengah teriak aku keluarkan semuanya. Nafasku tersengal, air mata bertambah deras.
        "Ya, karena aku ga tau kalau bakalan jadi kaya gini"
        Aku teruskan tangisan ini. Aku tak tahan melihatnya membisu didepanku. Segera, aku berbalik dan membanting pintu. Biar dia tahu kalau hatiku sudah pecah berkeping. Sulit untuk dicari apalagi dikumpulkan kembali. Aku masuk ke dalam kamar, menghempaskan diri di kasur, dan membenamkan wajah penuh lara di dalam bantalan. Seperti disambar petir mendengarnya datang untuk meminta untuk berpisah, entah sampai kapan.
        Deru mobil mendengung pilu di telinga. Ia pergi. Dari kehidupanku. Tanpa ucapan terima kasih apalagi kecupan terakhir. Semua seakan lari tanpa jejak. Hanya meninggalkan bekas luka yang dalam, entah kapan dapat sembuh dan kembali.
        Perpisahan, sembilu yang menusuk dan merajam sukma, menggoreskan ribuan sayatan, hingga menenggelamkan segala pikiran dan keinginan. Seakan tercekik, terperangkap dalam sakit, terjerembab dalam jurang gelap. Aku terbius sepoi angin, terbenam dalam lautan biru, dan tersihir pada kilau pasir di pagi hari. Kini, semua telah menua. Meninggalkan istana pasir yang perlahan pudar tergerus ombak. Air mata ini tak kunjung surut, seakan mengalir teratur bermuara ke sungai kepedihan. Mungkin ini balasan terhadapku, wanita yang sulit jatuh cinta. Kecuali pada dia.
        Dan, pekatnya malam menjadi saksi bisu pergulatan batin yang mengguratkan noktah merah nan membekas. Inilah akhir babak lalu yang menyekap kalut berpadu lidah yang semakin kelu. Ketulusan cinta terbelah disini. Di minggu kelabu, pada suatu malam.

Senin, 12 Agustus 2013

Intermezzo

      A week at home is like nothing. Time has passed fastly, as fast as weight raising after eating kinds of fatty foods while munching cookies. Am gazing out the ceiling of my room, grasping some ideas whirling inside my minds, and imagining what should I have to do spending my holidays. But, Like water flows in a river, my days couldn't be as free as I want. Yeah, helping my parents for preparing foods and making some foods to present Ied. Time is sooo limited. Many books await me to read and this blog too. Seems like I wanna request one week to free my mind. Hehe.
      Intermezzo.
      Before the days will going to be busy, I'll tell you a story, my friend's story, precisely.
      'Ga ada kabar sama sekali. Grrr'
      'Heran gw, ada ya orang kaya ku gitu. Bikin kesel aja!'
      'Makasih sayang, I love you'
      'Ya Tuhan. Sembuhkanlah penyakitnya, berikan kesehatan sepanjang hidupnya. Amin'
      Pernahkah kalian menemukan status seperti di atas di sosial media? Kalau saya pribadi sih sangat sering. Dan selalu deh kalau ada teman memasang status seperti itu, senyum dan kadang tawa pun tak tertahankan. Emang penting banget gitu ya, sampai-sampai seluruh dunia persosialmediaan harus tahu status kita sampe sedetil itu. Ya, ga tau sih, tiap orang kan punya tujuan masing-masing. Mungkin, sedang didaerah yang susah sinyal sehingga kalau kirim pesan lewat jalur pribadi khawatir pending dan tidak sampai atau untuk gegayaan aja, biar teman-teman pada tahu sedang apa dan dimana, kali aja ada yang mau ajakin bisnis bareng mungkin atau nawarin kerjaan baru mungkin atau dapet kenalan baru mungkin, ya siapa tahu aja, namanya juga usaha. Hehe.
       Bila diurutkan dari rangking pertama hingga terakhir, status pertama dan kedua menduduki peringkat pertama sejak liburan lebaran ini dimulai hingga hari ini. Status tersebut saya copy-paste dari salah satu teman di dunia nyata yang juga eksis di dunia persosialmediaan. Alkisah, tersebutlah dua insan yang sedang dimabuk asmara. Berawal dari pertemanan, berakhir jadi pacaran. Sang gadis dan pemuda memiliki kepribadian yang lumayan mirip, namun sang gadis yang terlihat lebih mendominasi walaupun sang pemuda yang memiliki watak lebih dewasa. Hubungan keduanya cukup harmonis, terlihat dari perhatian yang selalu dilimpahkan oleh sang gadis kepada pemudanya, dan juga sebaliknya. Memang, karena pada dasarnya wanita adalah makhluk yang menempatkan perasaan diatas logika, maka wjarlah bila sang gadis banyak mencurahkan kata hatinya lewat status sosial media. Tak peduli seberapa banyak teman yang peduli padanya, baik paeduli dengan simpati maupun peduli dengan senyuman penuh arti. Pada suatu hari, karena adanya pemberlakuan cuti bersama, maka aktivitas pun terhenti sejenak untuk pulang berkumpul bersama keluarga. Sang gadis dan pemuda pun pulang ke kampung masing-masing. Pada saat itu, entah karena traffic pesan antar pengguna sosial media sangat membludak atau cuaca yang menghambat transfer gelombang elektromagnetik ke ponsel, sinyal ponsel di tiap provider pun terganggu. Hal ini menyebabkan banyak pesan yang tidak dapat diterima dan dikirim. Otomatis, komunikasi antar pasangan pun sempat terhenti dan tersendat. Inilah yang menjadi cikal bakal masalah. Ya, komunikasi tidak lancar. Akhirnya, miss-understanding pun dimulai. Pertikaian diperparah. Dan mungkin bila tidak sabar, dapat terjadi tindak perpecahan antar individu yang bermuara pada satu sumber : sinyal, oh sinyal. Jadilah, para pengguna sosial media berlomba memasang status. Ada yang marah, sedih, hingga caci maki. Saya tidak membahas mengenai personality based on social media status (maybe next topic), namun dari satu dua kata, satu dua frasa, hingga satu dua kalimat secara tidak langsung dapat mempengaruhi penilaian orang lain terhadap diri kita. Lha wong, ga ada sinyal, koq sampe segitunya marah sama pacar? Emang pacarmu yang punya sinyalnya? Jadi salah pacarmu gitu?! Hehe.
        Kemudian, yang lebih ajaib lagi, sosial media ini dapat secara tidak langsung membuat orang menjadi lebih alim atau malah membuat dosa yang tak disengaja. Okay, kita bahas yang lebih alim saja ya. Coba kita perhatikan status ketiga dan keempat diatas. Status ketiga punya arti rancu. Pertama, mengungkapkan rasa cinta kepada pasangan yang otomatis mempererat hubungan kedua insan, menghalau permusuhan. Kedua, ajang bersyukur secara tidak langsung. Ketiga, ajang pamer atas hadiah yang diberikan. Okay, anggap saja orang-orang memiliki niat yang pertama dan kedua. Abaikan niat ketiga, hehe. Untuk status keempat, jelas, sebagai ajang doa dan harapan kepada Tuhan atas kehidupan yang kita inginkan. Walaupun, setelah kita baca status tersebut, kita jadi merenung, apakah perlu sampai berdoa distatus? Memang Tuhan punya sosial media yang bisa membaca status kita?
         But, afterall, here are just an intermezzo. Sambil nunggu waktu berbuka, mending kita tulis semua ide dikepala, biar tidak hilang dan menguap, diterbangkan angin dan dibisikkan pada mereka, pengguna sosial media. Ups! =D

Balada

       Jakarta dan banjir adalah sahabat karib. Jakarta dan hujan adalah musuh bebuyutan. Dua analogi yang menggambarkan demikian peliknya kondisi ibukota yang mendadak lumpuh tak berdaya diterjang tiga huruf sahabat manusia yaitu air. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, yang pasti air yang seyogyanya menjadi sahabat sekaligus penolong tubuh hidup kita setiap harinya, kini menjadi beringas melawan arus, menjadi media musibah masyarakat.       
         Apa salahku, wahai air? Lima tahun sekali kau datang beserta pasukanmu meluluhlantakkan harta benda sampai nyawa. "Kalau saja, dirimu mengikuti hukum alam, pasti aku tak kan mengganggumu. Kita akan hidup berdampingan selamanya. Namun, kaummu merusak sistem aliranku. Kau kan tahu pada hukum alam bahwa air mengalir dari dataran tinggi ke dataran rendah serta hutan diciptakan untuk menahan laju alir agar air hujan diserap oleh akar pepohonan. Dua hukum tadi sedikit demi sedikit diingkari oleh manusia. Atas nama uang dan popularitas, dirimu menghalalkan segala cara, membuang semua jenis sampah ke tempat tinggalku yaitu got, sungai, hingga laut sehingga menghalangi jalur aliran alamiahku, melakukan pengurukan laut untuk dijadikan pusat bisnis, tidak memelihara sistem drainase secara benar dan berkala, mengurangi ruang terbuka hijau di kota besar, membangun rumah di bantaran sungai, serta yang paling masif adalah menggalakkan pembalakan liar secara frontal dengan tujuan untuk pembangunan tempat santai hingga wisata para pemangku kekuasaan berduit, memuaskan kehausan akan investasi jangka panjang seribu turunan. Sadarkah dirimu dengan prestasi berbuah sangsi diatas? Sadarkan kau bahwa semua yang telah kaummu lakukan telah berakar menjadi suatu budaya yang sulit hilang bila tak ada gerakan frontal nan komprehensif untuk menyadarkan dan mengubah pola hidup berdampingan antara alam dan manusia? Ketika kondisi aman terkendali inginnya menang sendiri, lupa sama yang lain. Ketika air bah datang melumpuhkan sendi-sendi perekonomian dan mengganggu aktivitas bisnis, barulah menggerutu menyalahkan keadaan. Ini nih gara-gara banjir kiriman dari Bogor, hidup gue terlunta-lunta di jalanan. Mana mobil keluaran teranyar ga bisa gerak, kerendem air. Rumah di bilangan elite juga ikut kebanjiran, masuk rumah pula airnya. Huuh. Pernyataan yang lucu bukan? Sepertinya dia tidak sadar kalau dia pun berkontribusi menyumbang musibah untuk dirinya dan orang lain. Yang punya villa di Puncak siapa? Yang sering buang sampah sembarangan siapa? Yang punya proyek trilliunan sehingga harus mengorbankan ruang hidup hutan untuk diubah menjadi belantara beton siapa?"
           Hukum alam kok dilawan? Kalau hukum alam yang berkorelasi dekat dengan Sang Maha Esa dan diajarkan dalam kitab suci semua agama saja sudah tak dihiraukan, bagaimana hidup dapat sejahtera? Jangan menyalahkan alam saja, introspeksi diri. The more you do, the more responsibility you have. The less you live without caring and saving for sustainability, the less you live wealthy and happy. You request every part of your life, you work for it, then universe will decide what happen it will be based on action-reaction theory. What we get for now is what we have worked yesterday. Be carefull of your plans, watch out your decision. Walk-away with mother-earth, live in harmony.

Minggu, 11 Agustus 2013

Aleph : a review

         Novel Paulo Coelho yang kedua bertajuk Aleph. Berbeda dengan novel The Alchemist yang saya baca sebelumnya, Aleph memiliki kandungan makna yang lebih filosofis, dengan bahasa yang lumayan berat, membuat saya mengernyitkan dahi ketika membacanya. Aleph menceritakan tentang pergulatan batin seorang Paulo Coelho dalam mencari makna hidup. Perjalanan panjang yang dilakukannya sebagai wujud kontemplasi, mencari pengalaman baru, dan perasaan baru selalu dilakukan di tiap novelnya. Aleph, perjalanan dari Moscow menuju ke Vladivostok sejauh 9,288 Km menggunakan Trans-Siberian Railway. Sebelum ia memutuskan melakukan perjalanan, ia kerapkali berkonsultasi dengan psikolog hatinya, J.
        “In magic-and in life- there’s only the present moment, the now. You can’t measure time the way you measure the distance between two points. “Time” doesn’t pass. We human beings have enormous difficulty in focusing on the present; we’re always thinking about what we did, about how we could have done it better, about consequences of our actions, and about why we didn’t act as we should have. Or else we think about the future, about what we’re going to do tomorrow, what precautions we should take, what dangers awaits us around the next corner, how to avoid what we don’t want and how to get what we have always dreamed of”
        “Right here and now, you are beginning to wonder : is there really something wrong? Yes, there’s. But at this precise moment, you also realize that you can change your future by bringing the past into the present. Past and future exist only in our memory. It isn’t what you did in the past that will affect the present. It’s what you do in the present that will redeem the past and thereby change the future”
       “Wherever you are committed to going, find out what you have left unfinished, and complete the task. God will guide you, because everything you ever experienced or will experience is in the here and now. The world isbeing created and destroyed in this very moment. Whoever you met will reappear, whoever you lost will return. Don’t betray the grace that was bestowed on you. Understand what is going on inside you and you’ll understand what’s going on inside everyone else”
         Dalam perjalanannya, ia bertemu banyak hal yang baru. Salah satu yang mencuri perhatiannya sejak awal adalah seorang gadis, 21 tahun bernama Hilal. Hilal adalah seorang violinist yang memiliki masa lalu kelam, menjadi objek sexual-abuse oleh ayahnya sendiri. Suara hatinya makin nyaring mengumandangkan banyak sekali asumsi. “That’s what marks out the warrior : the knowledge that willpower and courage are not the same thing. Courage can attract fear and adulation, but willpower requires patience and commitment. Men and women with immense willpower are generally solitary types and give off a kind of coolness”. Hingga ketika ia tak sengaja membaca sebuah artikel mengenai Chinese bamboo, ia pun tertegun. “Chinese bamboo : it apparently spends 5 years as a little shoot, using the time to develop its root system. And then, from one moment to the next, it puts on a spurt and grows up to 25 meters high. That’s what I wanted.  If I believe I will win, then victory will believe in me. No life is complete without a touch of madness, or what I need to do is to re-conquer my kingdom. If I can understand what’s going on in the world, I can understand what’s going on inside myself”.
          Ia adalah penulis dengan karya membumi yang dinikmati oleh hampir jutaan pembaca. Perjalanan yang ia lakukan tak hanya untuk mendapatkan kembali kerajaan kehidupannya, namun juga untuk bertemu dengan para pembacanya. “No one can learn to love by following a manual, and no one can learn to write by following a course. I’m not telling you to seek out other writers but to find people with different skills from yourself, because writing is no different from any other activity done with joy and enthusiasm.
         Salah satu kata mutiara yang membuat saya bergidik adalah : “Writing is, above all, about discovering myself. If I had to give you one piece of advice, it would be this : don’t be intimidated by other people’s opinions. Only mediocrity is sure of itself, so take risks and do what you really want to do. Seek out people who aren’t afraid of making mistakes and who, therefore, do make mistakes. Because of that, their work often isn’t recognized, but they are precisely the kind of people who change the world and, after many mistakes, do something that will transform their own community completely” It’s all true. I am about to implement what I am dreamed of. And this quote arouse my mood to the sky.
          Interaksi intens, kedekatan dengan sosok Hilal, membawanya masuk ke dalam memori lama. Energi yang entah datang dari mana, bertemu dan menimbulkan sebuah gejolak dalam diri. Sepertinya, mereka ditakdirkan untuk saling mengisi, mengisyaratkan pertanda, dan berbagi firasat. ItulaH Aleph. “The small aleph always appears by chance. You’re walking down a street or you sit down somewhere and suddenly the whole universe is there. The first thing you feel is a terrible desire to cry, not out of sadness or happiness but out of pure excitement. You know that you are understanding something that you can’t even explain to yourself. The great aleph occurs when 2 or more people with a very strong affinity happen to find themselves in the small aleph. Their 2 different energies complete each other and provoke a chain reaction. Their 2 energies are the positive and negative poles you get in any battery; the power makes the bulb light up. They’re transformed into the same light. Planets that attract each other and end up colliding. Lovers who meet after a long, long time. The second aleph also happens by chance when two people whom destiny has chosen for a specific mission in the right place. The right place means either 2 people can spend their whole life living and working together or they can meet only once and say good bye forever simply because they didn’t pass through the physical point that triggers an outpouring of the thing that brought them together in this world. So they part without ever quite understanding why it was they met. However, if God so wishes, those who once knew love will find each other again”. Aleph terjadi pada siapapun juga, tak peduli ruang dan waktu. Saat dua insan bertemu, kedua energi tersebut bereaksi membentuk sebuah konklusi, apakah dapat dilanjutkan ataukah hanya lewat begitu saja. Bila dua hati mempercayai konklusi timbullah efek tarik menarik sehingga mau tak mau, dua hati berpadu satu. Inilah yang terjadi saat tokoh utama bertemu Hilal. The small Aleph, called love at the first sight happened and the great Aleph, also come irresistible.
         Setelah Aleph terungkap, sang tokoh utama mempertanyakan mengenai makna hidup dalam perjalanannya. Namun, semua berakhir pada satu titik dimana dalam sebuah perjalanan, pastilah ada pengalaman. Inilah yang menjadi ajang pendewasaan kita menghadapi berbagai masalah, baik kecil maupun besar. Tak peduli sedemikian terkenal dan sukses dirimu, saat kau memutuskan untuk melakukan perjalanan, jiwa sahaja akan muncul begitu saja dan memberitahu siapa sesungguhnya dirimu. Let God use your hands. You will be happy, even if right now you feel only despair.  “It takes a huge effort to free yourself from memory, but when you succeed, you start to realize that you’re capable of far more than you imagined. You live in this vast body called the Universe which contains all the solutions and all the problems. Visit your soul, don’t visit your past. The universe goes through many mutation and carries the past with it. We call each of those mutations a “life”, but just as the cells in your body change and yet you remain the same, so time doesn’t pass, it merely changes. Life is a train with many carriages. Sometimes we’re in one, sometimes we’re in another, and sometimes we cross between them. When we dream or allow ourselves to be swept away by the extraordinary”.
          Afterwards, Aleph adalah novel yang sarat muatan filosofis yang kental, penuh warna dalam tiap bab-nya, dan alur cerita yang menawan. Dalam perjalanan, ada saja kejadian yang dapat diambil hikmah, disandingkan dengan makna kebenaran pencarian manusia dalam dimensi hidup. Walaupun demikian, ada beberapa bagian yang membuat saya agak bingung. Tak seperti The Alchemist yang relatif ringan, dalam Aleph, Paulo Coelho memasukkan penjelasan mengenai ritual sekte agama yang sayangnya saya tidak tahu sama sekali sehingga membuat distorsi yang tajam terhadap pemahaman saya. Perlu dua hingga tiga kali, apalagi novel yang saya baca berbahasa inggris, untuk sekedar tahu arti dari diksi sekte yang lumayan njelimet. Ya, anggap saja, seperti menonton film thriller Hollywood dimana sekte selalu dijadikan suatu senjata atau penyimpangan. But, after all, Aleph membawa warna tersendiri dalam koleksi novel saya. Tak sabar rasanya untuk membaca karya kaliber Paulo Coelho berikutnya. Chiayo!
          I present this thought for the one who transformed to be an Aleph of my realm.
          Signs are an extremely personal language that we develop throughout our lives, by trial and error, until we begin to understand that God is guiding
           …Follow the signs! until we meet again for days..

The alcemist : a review

        Filosofis dan elegan dalam penyampaian. Demikianlah, Paulo Coelho, dengan banyak karya fenomenalnya mampu menyihir para pembaca dengan ide, imajinasi, dan plot cerita yang menawan. Dari belasan novel karyanya, baru dua novel yang saya baca. Pertama, The Alchemist yang merupakan novel terlaris dengan gaya bahasa metafora. Kedua adalah Aleph, masih dengan gaya bahasa filosofis yang sarat akan muatan moral dan bumbu imajinasi. Dua novel tersebut memiliki perbedaan baik ide cerita maupun plot, namun tetap memiliki benang merah yang sama yaitu sebuah perjalanan mencari makna kehidupan dengan perang batin yang menggelora di tiap babnya.
        The Alchemist, menceritakan perjalanan sang tokoh utama bernama Santiago, seorang penggembala domba, dari Andalusia menuju ke Mesir, tempat Pyramid dibangun. Awalnya, Ia sangat bingung dengan kehidupannya. Ia adalah seorang penggembala yang senang berkelana. Namun, bila Tuhan tak mengizinkan ia menjadi pengelana, ia akan terus hidup bersama domba-dombanya. Toh, ia sudah senang. Keinginan melakukan perjalanan panjang kian membuncah ruah tatkala ia bertemu dengan Raja Tua. Dengan arif dan bijak, beliau membisikkan kalimat-kalimat penyemangat :
        “Satu-satunya kewajiban sejati manusia adalah mewujudkan takdirnya. Semuanya satu adanya. Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya. Takdir adalah apa yang selalu ingin kau capai. Semua orang, ketika masih muda, tahu takdir mereka. Pada titik kehidupan itu, segalanya jelas, segalanya mungkin. Mereka tidak takut bermimpi, mendambakan segala yang mereka inginkan terwujud dalam hidup mereka. Tapi dengan berlalunya waktu, ada daya misterius yang mulai menyakinkan mereka bahwa mustahil mereka bisa mewujudkan takdir itu. Daya ini adalah kekuatan yang kelihatannya negatif tapi sebenarnya menunjukkan padamu cara mewujudka takdirmu. Daya ini mempersiapkan rohmu dan kehendakmu sebab ada satu kebenaran mahabesar di planet ini, siapa dirimu, apapun yang kamu lakukan, kalau engkau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, itu karena hasrat tersebut bersumber dari jiwa jagat daya. Itulah misimu di dunia ini”
Dan beliau pun memberikan dua batu, Urim dan Tumim. Dimulailah pergulatan dalam pencarian takdir diri. Ia menyebutnya harta karun. “Supaya menemukan harta karun itu, kau harus mengikuti pertanda-pertanda yang diberikan. Tuhan telah menyiapkan jalan yang mesti dilalui masing-masing orang. Kau tinggal membaca pertanda-pertanda yang ditinggalkan-nya untukmu. Dan teruslah memperhatikan pertanda-pertanda. Hatimu masih bisa menunjukkan padamu dimana harta karunmu berada. Yang masih perlu kau ketahui adalah sebelum mimpi bisa terwujud, Jiwa Dunia menguji segala sesuatu yang telah kita pelajari sepanjang jalan. Bukan karena dia jahat, melainkan agar selain mewujudkan impian kita, kita juga menguasai pelajaran-pelajaran yang kita peroleh dalam proses mewujudkan impian itu. Dan di titik inilah kebanyakan orang biasanya menyerah. Seperti biasa kita katakana dalam bahasa padang pasir, di titik inilah orang biasanya mati kehausan, padahal dia sudah melihat pohon-pohon kurma di kejauhan. Setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi si pemula. Dan setiap pencarian, diakhiri dengan ujian berat bagi si pemenang”
         Perjalanan panjang nan pelik membuahkan pertanyaan sepanjang jalan. Dari mulai bertemu dengan penipu ulung hingga keberuntungan yang tak kunjung padam. Dari pemuda yang tidak memiliki harta sepeser pun hingga menjadi saudagar-wanna-be dengan tabungan melimpah ruah. Seringkali ia merenungi takdirnya. Hingga ia pun bertemu dengan banyak orang yang tanpa sadar mempengaruhi pola pikirnya. Simak saja tuturan dari suara hatinya sendiri yang terinspirasi dari perkataan Raja Tua, guru bijaknya, serta ketika ia akhirnya bertemu dengan The Alchemist, sahabat setengah perjalanan mencari harta karun abadinya : “Manusia tidak perlu takut akan hal-hal yang tidak diketahui, kalau mereka sanggup meraih  apa yang mereka butuhkan dan inginkan”. Pula ketika ia ragu mengenai masa depan yang ia ingin raih : “Masa depan adalah milik Tuhan dan hanya Dia-lah yang bisa mengungkapkannya dalam keadaan-keadaan tertentu. Bagaimana caraku menebak masa depan? Berdasarkan pertanda-pertanda yang ada sekarang ini. Rahasianya ada pada saat sekarang ini. Kalau kau menaruh perhatian pada saat sekarang, kau bisa memperbaikinya. Dan kalau kau memperbaiki saat sekarang ini, apa yang akan datang juga akan lebih baik”
       “Apapun yang kita amati, kita bisa menemukan kaitannya dengan pengalaman kita sendiri pada saat itu. Sebenarnya bukan hal-hal yang kita lihat itu yang menjadi pengungkap sesuatu, melainkan karena manusia, saat melihat apa-apa yang terjadi di sekitar mereka, bisa menemukan cara untuk menembus Jiwa Dunia. Kalau kau menginginkan sesuatu sepenuh hatimu, saat itulah  kau berada amat dekat dengan Jiwa Dunia. Dan ini selalu merupakan daya positif”
Ketika ia tersadar mengenai sebuah firasat yang ia dapat dari suara hati, ia pun bertanya pada diri. Disitulah gejolak perang batin muncul kembali dan Sang Alkemis pun berperan penting dalam pengambilan keputusan : “Intuisi sebenarnya adalah peleburan jiwa dengan begitu saja ke dalam arus kehidupan universal, dimana sejarah semua manusia saling terkait dan kita bsia mengetahui segalanya, sebab segalanya telah tertulis disana. Maktub. Mengambil keputusan barulah permulaannya. Saat orang mengambil keputusan berarti dia menceburkan diri dalam arus deras yang akan membawanya ke tempat-tempat yang tak pernah dibayangkannya ketika dia pertama-tama mengambil keputusan tersebut”. Dan Santiago akhirnya sampai pada harta karunnya, pada takdirnya.
         Banyak hal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran di tiap bab-nya. The Alchemist memiliki plot cerita yang mudah dimengerti sekalipun oleh pembaca pemula yang awam pada novel filosofis sekaliber Paulo Coelho. Ceritanya mengalir apa adanya dengan fluktuasi emosi yang tak terlalu menggebu, namun terasa syahdu dalam hati;   bahasa metafora nan menawan, simpel namun tetap elegan, tak meninggalkan ciri khas dari tiap karya Paulo Coelho. Tokoh Sang Penggembala, Santiago, pun digambarkan dengan lugas walau tak terlalu detil, Raja Tua dengan arif bijaksana, dan Sang Alkemis dengan penggambaran yang kuat membawa pembaca terhanyut dalam jalinan frasa bermakna. Kata-kata mutiara, seperti yang saya tuliskan di atas, adalah kekuatan terbesar dalam novel ini. Paulo Coelho dengan sukses memasukkan pemahaman budi pekerti yang juga terdapat di agama Islam dalam tiap nafas cerita. Tak terlalu dalam memang, namun tak dangkal pula. Beberapa kali saya termenung, saat Santiago ditipu dalam perjalanan, kemudian ia memasrahkan diri, mengikhlaskan, dan sibuk bekerja keras, tak pula menabung. Perjuangannya dibalas dengan tabungan yang berlipat ganda sehingga membuka kesempatan emas untuk melanjutkan perjalanan menuju harta karunnya. Menuju Pyramid. Apa yang kau tanam, itu pula yang kau tuai. Tawakal dan bersyukur adalah kunci kesuksesan hakiki. And The Alchemist has explained it very well.

A message from heaven

         Idul Fitri. Ya, kali ini sedang santer-santernya saya berceloteh tentang Idul Fitri. Bukan karena saya dikejar deadline nan mencekik atau karena target yang harus ditepati, namun karena otak ini membutuhkan suatu ruang kreasi yang luas untuk memuntahkan diksi-diksi ke dalam jalinan kalimat dan paragraph.
                                                                                  …
        “Mintalah fatwa pada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya, dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkanmu (HR. Muslim)”
          Hadist ini menjadi pembuka celotehan saya kali ini. Ya, tentang hati nurani. Tanyakan pada hatimu, apakah kau sudah ikhlas memaafkan kebatilan yang terjadi antara dirimu dan orang lain? Semua permasalahan pada dasarnya bersumber dari hati. Ada pepatah mengatakan, dalamnya lautan dapat dikira, dalam hati siapa yang tahu? Hati pun menjadi benang merah tema ceramah Salat Ied tahun ini. Seorang ustadz muda , yang saya taksir berumur 30an, mengantarkan materi ke khalayak ramai. Dengan bahasa santun dan membumi, beliau menuturkan sedikit banyak mengenai pemahaman sikap perbuatan umat yang belakangan mulai ditinggalkan. Konsisten dan Ikhlas dalam Kebaikan.
          Ada 3 poin penting yang dapat digarisbawahi dari ceramah singkat Idul Fitri. Pertama adalah Istiqomah dalam menjalani kebajikan. Satu kebajikan yang kita tanam, ribuan manfaat yang akan dituai. The bad seeds you plant, the worst you harvest! Sang ustadz mencontohkan kita sebagai muslim yang taat, berpuasa penuh, tiap jejak langkah diiringi dengan lantunan ayat suci dalam hatinya. Tak cukup jempol ini teracung akan ketaatannya pada Allah. Ramadhan telah usai, inilah waktu terberat, perjuangan terdahsyat melawan segala godaan. Melewati 11 bulan berikutnya dengan tetap istiqomah. Kedua adalah Jauhi perbuatan sia-sia. Alkisah, ada seorang wanita sebut saja bernama Fulan yang berprofesi sebagai pemintal benang. Setiap hari dengan rajinnya, ia pergi dari rumah dan menjalani sepanjang hari dengan pekerjaan rutin memintal benang. Entah karena terlalu rajin atau tak ada pilihan kegiatan lain, setiap kali ia selesai memintal dan menghasilkan gulungan benang, ia buka kembali gulungannya dan ia acak-acak untuk kemudian dipintal kembali. Pekerjaan sia-sia, stagnan dan tak ada hasilnya. Padahal, hidup yang hanya sekali ini apabila tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, tak akan ada prestasi dan perubahan dalam tiap fase. Waktu terbuang percuma, menyisakan penyesalan tak berperi. Sesungguhnya, seburuk-buruknya manusia adalah yang menyia-nyiakan waktu. Ketiga adalah menyangkut 5 pelajaran Ramadhan yang harus kita camkan dalam hati dan direalisasikan dalam sikap.
           Pelajaran pertama : hindari mencari sampai mengonsumsi harta haram. Ketika kita dihadapkan dalam dua pilihan sulit, yang wajib dipilih guna mempertahankan salah satu hingga salah empat-Ta anda, Harta, Tahta, Cinta, atau Wanita. Opsi jalan yang ditawarkan bukan main peliknya. Haruskah mempertahankan idealisme nurani atau berjalan dalam realitas hidup nan fana? Kebenaran adanya dalam kalbu, jadi jangan salahkan air ketika nasi bertransformasi menjadi bubur. (http://m.youtube.com:80/watch?v=GKOdvrBoHvc)
           Pelajaran kedua : Jauhi nafsu. Nafsu itu macam-macam. Ada nafsu baik ada juga nafsu buruk, walaupun kebanyakan nafsu berujung pada perbuatan negatif. Nafsu baik seperti sebuah passion yang membara untuk bekerja keras demi mengamini satu kata, sukses! Nafsu yang buruk, banyak contohnya, adalah nafsu kebinatangan. Nafsu baik bisa berubah menjadi buruk ketika caranya salah. Mau sukses, tikung kiri, sodok kanan. Mau mencapai 3-Ta, main belakang. Saat Ramadhan, saat malam, kita bersimpuh tersungkur di hadapan Allah. Siangnya, masih tetap maksiat terselubung. Apakah sikap tadi mencerminkan pribadi taat pada agama?
Pelajaran ketiga dan keempat : Ikuti kata-kata Allah dan tunduk pada perintah-Nya. Demi Masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran (QS : Al-Asr 1-3). Saat manusia dalam kekalutan akan cobaan dari Allah yang seperti tak hentinya mengalir, ia berdoa dengan khusyuk mengalahkan kantuk di sepertiga malam terakhir. Dekat sekali, sehingga para bidadari pun tak kuasa cemburu padanya. Setelah badai usai, ia seakan tak kenal Tuhannya. Berfoya menikmati kegembiraan yang seakan tak berperi. Tiap detik ingin dihabiskan dengan riak tawa, lupa awal apalagi akhir. Buku manual umat karya agung Allah digantikan oleh katalog-katalog  duniawi yang tak ada habisnya. Saat tiba waktunya, ia pun kembali bersimpuh, kini tersungkur, meminta ampunan, berharap tak ada kata terlambat. Sesungguhnya, Allah Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.
              Pelajaran terakhir adalah jauhi perbuatan dosa. Lagi-lagi soal waktu. Manusia hidup di dunia hanya sementara, dikendalikan oleh waktu yang semakin menyempit. Apapun profesi kita. Apapun aktivitas kita. Semua akan diminta pertanggungjawabannya. Hidup bagaikan perusahaan pribadi. Raga kita adalah mesin produksi, hati kita adalah staf ahli, dan sukma kita adalah direktur utama. Saat salah satu diantaranya tak berfungsi, maka bagian lain akan menggantikan tanggung jawabnya. Kunci adalah satu : Konsisten dan Ikhlas. Niscaya, produk yang dihasilkan akan baik, dinikmati oleh market, dan poin kekayaan pahala pun berlipat ganda. Hukum tersebut berlaku sebaliknya. Bila produk yang dihasilkan dicap sebagai produk gagal, maka prosedurnya harus dimusnahkan, tak dapat dilempar ke pasaran. Kerugian pun menyelimuti perusahaan. Bila terus menerus merugi, perusahaan akan bangkrut. Demikian pula tubuh kita. Makin menggunung dosa, makin celaka pula kita, keputusasaan datang mendera, calon siksa neraka. Astagfirullahal’adzim.
             Demikianlah. Sejatinya, kita sebagai makhluk Allah yang Esa memiliki prinsip untuk dapat selalu konsisten dan ikhlas dalam menjalani hidup ini. Tak lupa bergerilya menggenapi 3S, syukur, sadaqah, dan silaturahmi. Niscaya, 11 bulan perjuangan berbuah manis, bermuara di Ramadhan tahun depan, Insya Allah.

#Diary of Unjust for Abyss Recall

         Duaar!! Duaarrr!!!
         Suara yang lebih mirip dengan jeritan, berkumandang dengan khasnya, hampir mengalahkan lantunan ayat suci Alqur’an dari pengeras suara masjid. Aku yang sedang istirahat dalam kamar, tak sedikit pun merasa terganggu. Malah, semakin keras jeritannya, semakin nyenyak tidurku. Entah kenapa, dalam tidur, aku bermimpi mengenai sebentuk surga yang rupawan. Menggoda tiap insan untuk masuk, menjelajah, hingga tinggal lebih lama disana. Dan tetiba, aku terbangun akibat alarm handphone yang berbunyi nyaring nyaris menyerupai jeritan khas di luar sana. Kriiiing!!
                                                                                         ***
           Hari ini adalah hari terakhir umat muslim menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Memang sih keputusan belum bulat, karena sidang ishbat baru dilaksanakan tapi orang-orang sekitar sudah PeDe berasumsi bahwa besok adalah 1 syawal. Hemm, 1 syawal sama dengan Idul Fitri alias lebaran yang disebut-sebut sebagai hari kemenangan. Hari kemenangan? Apa benar kita menang? Apanya yang menang? Ah…
            Ketupat Opor sudah dihadapan. Tinggal menghitung detik menunggu waktunya berbuka. Allahu Akbar Allahu Akbar. Kedua tangan ditengadahkan, meminta keberkahan Ramadhan. Apabila ini Ramadhan terakhirku, begitu sedihnya diriku ya Allah. Glek! Ketupat Opor sudah dikerongkongan. Walaupun belum lebaran, tapi aku sudah mencicipi hidangan khas lebaran ini. Supaya tahu masakannya enak apa nggak, kurang bumbu apa. Itu kata ibuku. Enak juga ya, juru icip-icip. Aku jadi berminat menjadi host acara kuliner sekaliber Pak Bondan. Ups! Terlalu jauh ya mikirnya. Hehe. Buka puasa ala lebaran. Asalkan jangan lebaran sambil kalap aja. Hoho.
Sidang ishbat menyatakan bahwa besok ditetapkan sebagai 1 Syawal 1434 H. Horeee besok lebaran!! Dangkal sekali pikiranmu, hei otak. Rendah sekali kadar ketakwaanmu, hei hati. Malas sekali kepribadianmu, hei jiwa. Aku jadi termenung sendiri di depan jendela. Memandangi malam yang pekat sambil ditemani sepasang burung 'lovebirds' yang saling bercuit entah membicarakan apa. Takbir sudah tersahut-sahutan berkumandang merdu dari surau di balik pohon randu. Tahun ini seperempat abad sudah aku berada di dunia. Banyak sekali target yang belum aku capai sepanjang ini. Aku ingin meneruskan kuliahku yang dahulu sempat tertunda karena kurang biaya. Aku ingin bekerja di perusahaan asing dengan gaji tinggi, pasti tiap hari aku akan bersiul nyaring. Aku ingin mandiri mencari berlian sendiri, tak mau lagi menengadahkan tangan, berharap belas kasih dari orang tua hingga sanak saudara. Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini, ingin itu banyak sekali. Semua semua semua dapat dikabulkan. Dapat dikabulkan dengan kantong ajaib. Helloo? dimana aku bisa mendapatkan kantong ajaib itu? Dimanaaa??
             Klik! Sebuah pesan masuk ke inbox : Hei, Bill! Gue tunggu di depan rumah lu ya! Gue bawa banyak nih. Malem ini kita pesta! “Bu, aku mau ketemuan sama Jo dulu ya. Dia udah nunggu di depan rumah” Setengah teriak aku pamit. Tak ada jawaban pasti. Yang aku dengar cuma suara nyaring TV di lantai atas. Oke, aku pun pergi berbekal handphone. Memang tak jauh sih, cuma di pelataran halaman lima rumah di seberangku dengan halaman super luas dibandingkan rumahku yang hanya dibatasi oleh teras ukuran 2x3 meter antara pintu dengan gerbang tanpa tempat parkir motor apalagi mobil.
            “Kita mulai ya, satu..dua..tigaaaa”
              Duar! Ah kecil, batinku. “Lagi donk!” Duaar!! “Eh, sebentar ya. Gue mau ambil yang lebih besar lagi. Kemarin bokap beliin di swalayan baru di ujung kompleks. Mahal loh harganya!” Ah, masa bodo! Mau mahal, mau murah, ga ada urusan sama aku. Toh, dia yang keluarin uang, aku yang menikmati sensasinya. Hehe. Entah suara hati dari mana itu. Sambil menunggu, aku merasa diperhatikan dari atas. Mungkin hanya perasaan semata. Tapi semakin dibiarkan, semakin kuat sorot matanya. Jangan-jangan hantu. Ah mana mungkin, kan hantunya sedang dibelenggu. Eh, tapi bisa juga loh. Kan sekarang malam takbiran. Hantu-hantu sudah bebas, sudah lepas dari jeratan belenggu. Ups! Dua mata, Empat mata, Enam mata menyorot lantang di hadapanku. Memang apa salahku? Koq sampai segitunya melihat aku? Mungkin dia lapar. Aku sodorkan tanganku ke arahnya. Mereka diam saja. Jinak sekali, pikirku. Mungkin ini balasan orang yang cinta makhluk hidup yang tersisihkan seperti kawanan burung 'lovebirds' ini. Mereka bersiul, bercicit, dan bercuit nyaring sekali di telingaku. Seolah mengisyaratkan pertanda antara baik atau buruk kepadaku. Namun, aku biarkan saja. Toh, aku bukan Nabi Sulaiman yang mengerti bahasa binatang. Aku pun menoleh. Sepersekian detik kemudian..DUAAARRR!!! Sebuah mega -sound memekakkan telinga, menimbulkan efek ‘ngik-ngik’ dalam telinga. Pluk! Shhh! Aroma sesuatu yang terbakar memenuhi rongga hidungku. Lama aku mencari. Aku pun menoleh kembali. Sekawanan hilang, entah kemana. Meninggalkan jejak legam yang tak terekam. Aku termenung.  Seingatku, aku sedang dipelototi oleh sekawanan burung 'lovebirds', mereka sedang mengobrol satu sama lain. Tiba-tiba, aku kaget dan mereka hilang. Jangan-jangan..
             “Jo….gue udahan ya. Mau balik dulu” Setengah teriak, aku beringsut jalan kemudian berlari
            “Ha? Kan gue belum pasang semua, Bill!”
            “Gue takut mati, Jo!”
            “Haa??”
             DUAARRR!!
                                                                            ***
           Aku buka pintu membabi buta. Tak ada satu pun yang protes dengan bunyi pintu yang aku banting. Aku langsung menuju ke jendela. Dan..benar saja. Feelingku kali ini benar! Mereka lepas. Tanpa banyak berasumsi, pikiranku langsung tertuju pada Ibu.
           “Bu, Oge sama Ego kok ga ada? Pas aku pulang, mereka udah lepas. Ibu ga ngebuka sangkar, kan? ” Dengan tak sabar, aku bertanya pada Ibu yang sedang sibuk meracik bumbu.
          “Ga tau! Ibu dari tadi di dapur. Kamu sih, bukannya bantuin, malah maen kemana tau!”
          “Please, Bu. Aku cuma memanfaatkan waktu aja ketemu Jo plus cari angin. Besok kan udah mudik”
          “Yah. kali burungnya mau ikutan cari angin juga, mau kumpul sama temennya. Emang kamu doank?!”
          Spontan aku terbius dengan teori Ibu. Benar juga, batinku. Jangan-jangan mereka tidak betah dalam sangkar dan mencari kebebasan, berkumpul dengan teman-temannya. Ah..absurd amat!
                                                                              ***
          Ku terlelap diantara alunan takbir yang bergema. Dan, mimpi itu datang lagi. Awalnya tidak jelas, namun semakin diperhatikan, makin menghampiriku. Aku layaknya seorang sutradara yang sedang melihat scene demi scene adegan film dari balik layar kamera. Seorang pemuda, putih dan tampan, bergaya ala anak muda masa kini, berjalan di jembatan. Di sisi kiri dan kanan, terdapat taman yang terbentang luas, air mancur ala era Victoria, berbagai pohon dan tanaman tumbuh subur di sekeliling, serta kawanan burung bercengkaram mesra satu sama lain. Ia menunduk, ketika sekawanan burung 'lovebirds' menghampirinya. Dua burung 'lovebirds' hinggap di pangkuan tangan. Sorot matanya lembut penuh kasih, mengisyaratkan ketenangan batin nan berseri. Cicit dan siul sambil menggelengkan kepala mengawali perkenalan. Mereka berceloteh panjang lebar. Aku tak mengerti, demikian pula dengan pemuda tampan tadi. Tanpa disangka, dua sejoli menutup pertemuan dengan anggun. “Oge dan Ego. Kami pamit, salam untuk sahabatmu, Bill”
          Kubuka mata dan terhenyak. Belum beres urusan mimpi yang entah berarti apa, aku dikejutkan dengan pesan singkat : Innalilahi wa innailaihi Raji’un. Telah berpulang ke Rahmatullah, sahabat kita tercinta, Putra Joansyah Nagara, tadi malam pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Mawar Biru.

#hello, Winners!

        Pagi ini tak seperti biasanya. Mentari yang sejatinya muncul dengan gagah mempersiapkan diri menyinari belahan bumi, kini tampak bermuram durja. Kabut awan dan hawa dingin menyesap ke dalam sukma, menyapu lembut kulit dan menggelitiki hidung, menyukseskan alergi yang tiba-tiba datang mendera. Huatchih! Rasanya, ingin sekali tubuh ini berbalut selimut hangat sepanjang pagi. Namun, detak jarum jam semakin keras, bertalu di gendang telinga. Suara alarm masjid pun kian berkumandang. Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilham.
  Aku adalah satu diantara ribuan jiwa yang berjalan demikian gagah dan bangga dengan balutan pakaian muslim, membawa tas berisi mukena wangi hasil kerja keras sabun pencuci pakaian, pelembut, dan pelembut. Memang, sudah ada niatan dalam hati yang direalisasikan beberapa waktu lalu untuk menyengajakan diri mempersiapkan pakaian terindah demi menghadap Sang Pencipta. Terlihat dari kejauhan, orang-orang berbondong-bondong mempercepat langkah menuju lapangan, demi mendapatkan tempat berjejeran dengan sanak saudara, teman, dan tetangga dekat untuk beribadah bersama, merayakan hari kemenangan. Aku pun demikian.
        Niat suci telah dirapalkan dalam hati. Sang imam melafazkan takbir pada kedua rakaat dan melantunkan ayat suci dengan syahdu. Tak lambat, tak pula tergesa sehingga menghasilkan sebuah sensasi perasaan yang berbeda, memang benar adanya, Allah lebih dekat dari nadi. Pujian kepada Sang Maha kerap dikumandangkan lewat ceramah singkat nan bermakna. Ditutupnya dengan alunan doa yang mengalir lembut langsung ke dalam kalbu. Terenyuh dan terasa sebagai makhluk hina, tatkala ingat dosa-dosa yang telah dilakukan. Wahai, manusia, waktu yang Aku berikan sepanjang hidupmu, kau gunakan untuk apa saja? Adakah kau sisihkan waktu khusyuk untuk bercengkaram denganKu? Adakah kau taat dan berbakti kepada kedua orangtuamu? Pilu lidah ini. Seperti teriris sembilu rasanya hati ini. Astagfirullahaladzim.
         Maaf. Satu kata, tak terhingga maknanya, menjadi awal ijab kabul dengan kehidupan sosial. Ciuman tangan, pelukan, dan bisikan maaf tersampaikan tak berperi. Menembus ke dalam luka terdalam, dosa yang tak disengaja. Orang tua pertama, saudara sekandung kedua, sanak saudara dan tetangga selanjutnya. Mengiringi derap langkah suka cita berkeliling meminta keikhlasan untuk dimaafkan. Pun yang jauh disana, tak luput dari permohonan maaf. Lewat sosial media dan teknologi anyar. Berlomba dalam untaian kata, jutaan doa. Taqaballahuminna Waminkum Shiyamana Washiyamakum. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT dan kita dipertemukan pada Ramadhan tahun depan.
         Silaturahmi menjadi suguhan wajib untuk menggenapi fitri. Membuat hati gembira penuh suka cita. Menghilangkan lara, menguapkan iri dengki dan nestapa. Mengubur dalam-dalam lirikan status sosial. Menarik kembali tali silaturahmi. Menabur benih persaudaraan antar insan. Walaupun kemarin tak saling kenal dan sapa ketika bertemu muka. Kini, datang menyapa. Menyiratkan sebuah senyuman, menggelegarkan riak tawa, hingga memupuk bibit sadaqah jariah dalam bingkai tolong menolong. Semoga menjadi amalan yang mendarah daging. Tak ada lagi air muka bangga diri hasil kondensasi ujian kekayaan nan kesuksesan anugerah Tuhan yang disia-siakan. Tak ada pula bisikan gosip murahan saat iri hati merajai hati dan menerbangkan sifat kerendahan hati kepada sesama. Hari ini, dimana kemenangan berpadu dalam jiwa, mengikat setiap hati untuk belajar mengikhlaskan diri, menjaga lisan dan perbuatan dari egosentris yang kian menggoda untuk keluar dari belenggu kenistaan hidup, menjadi pribadi fitri berbalut pakaian suci. Putih, bersih, dan hakiki. Inilah hari kemenangan, bukan pelampiasan. Idul Fitri, sudikah engkau bertahan dalam hati ini seterusnya?

#Cerita Ramadhan

http://devina-sandriati.tumblr.com/post/57922111576/cerita-ramadhan

#Cerita Ramadhan

http://devina-sandriati.tumblr.com/post/57916057038/cerita-ramadhan