Minggu, 27 Januari 2013

Belajar dari Banjir

          Banjir  di Jakarta? Ah sudah biasa. Macet hingga puluhan kilo meter? Ah sudah biasaa. Tidak dapat beraktivitas akibat banjir sudah seleher orang dewasa? Ah sudah biasaaa.
          Demikianlah kondisi miris ibukota. Semua dianggap santai dan biasa. Memang, santai itu perlu, namun apakah kita masih santai dalam menghadapi banjir yang sudah menjadi bencana nasional?  Banjir apabila dianalogikan sebagai film, maka hingga tahun ini sudah mencapai sekuel ke sekian puluh. Banjir telah menjadi bonus lima tahunan bagi masyarakat ibukota. Tak hanya warga ibukota yang memang berdomisili di Jakarta, tapi juga warga kota lain yang memiliki akses dekat dengan Jakarta seperti Bogor, Depok, Bandung, dan sekitarnya. Seakan telah mati rasa, para warga pun sudah terbiasa dengan banjir yang membudaya. Entah tak peduli lagi atau sudah tak punya ide lagi, tak ada pihak yang berani unjuk diri, berkontribusi membenahi sistem yang semakin carut marut. Banjir ini adalah pesanan bukan kiriman. Pesanan siapa? Ya, semua kaum urban yang pernah menyambangi ibukota, untuk mengadu nasib, siapa tahu nasib mujur berpihak kepadanya. Sayangnya, kebanyakan dari mereka tak merasa memiliki ibukota, hanya numpang lewat selama puluhan tahun melahirkan banyak generasi, menyumbang angka di sensus penduduk hingga menjadi pionir urbanisasi massal yang terpengaruh dengan magnet lapangan pekerjaan bergaji lumayan. Dari membuat rumah di bantaran sungai hingga membudayakan diri untuk membuang sampah apapun dimanapun tak kenal tempat, got dan sungai pun sering jadi sasaran. Belum lagi budaya yang punya duit dengan membangun properti dengan cara menggilas hutan jadi bangunan, villa dan teman-temannya. Resapan air pun ditutup secara sempurna. Ya pantaslah kita merasakan banjir, lha wong kita yang jadi biang keroknya. Kita? Lu aja kali.
        Hari ini, 17 Januari 2013 adalah hari bersejarah untuk saya dalam menghadapi banjir. Saya tergolong pendatang baru yang merasakan kost di Jakarta selama setahun dan ketika banjir datang menjenguk saya berada didalamnya. Alhasil dengan berjibaku saya mengepel kamar dan mengemasi barang, pindah ke kamar lain yang lebih aman. Kost saya terletak di daerah rawan banjir. Jalanan depan kompleks kost memang lebih rendah. Kondisinya pun memprihatinkan. Sampai pukul 10 pagi, air sudah naik hingga sepinggang pria dewasa. Banyak yang meliburkan diri, termasuk saya. Namun berkat adanya pompa banjir, maka kost saya pun bebas dari genangan air. Tenang? Belum tentu. Buktinya, kamar saya kebanjiran. Selidik punya selidik, ada retakan di bagian temboknya sehingga air merembes masuk ke dalam kamar. Ada dua kamar dengan kondisi seperti itu, kami pun dinobatkan jadi korban genangan air pertama dalam sejarah hidup. Kami? Yup, saya dan teman sebelah kamar. Sebelum kejadian ini saya tak kenal siapa-siapa. Individualiskah saya? Not at all! Namun, saya pernah punya pengalaman buruk dikost ini hingga saya men-judge bahwa penghuni kost ini mengidap individualistis akut. Ceritanya adalah ketika itu, saya masih baru menjadi penghuni kost, saya memposisikan diri membaur dengan yang lain. Suatu hari, saya iseng berkenalan dengan 2 kamar di sebelah saya, namun bukan senyuman persabahatan yang saya dapat, malahan tatapan sinis nan sadis dari kamar sebelah. Saya coba kamar lain, sama juga. Siapa yang tak kapok mendapat perlakuan pahit semu kecut seperti itu? Saya pun menggeneralisasi. Oh mungkin, penghuni yang mayoritas mahasiswa kedokteran tak sudi berteman dengan seorang karyawan seperti saya. But, condition has been changing. Ada penghuni baru kamar sebelah yang jauh lebih baik. Dan kami pun berkenalan gara-gara kamar kebanjiran.
        Lucu memang. Kami cepat klop karena ternyata kami sama-sama senang mengobrol dan bercerita ngalor ngidul. Perkenalan pertama pastinya tentang asal muasal kami masing-masing dilanjutkan ke topik hangat yaitu banjir. Mulai dari kondisi kamar masing-masing yang jadi korban, komplain ke penjaga kost yang dijawab dengan sekenanya, terus kalo banjir mau apa? What?? Namun, hati harus bertengger di atas kepala, jangan mengedepankan emosi karena akan berakhir tanpa solusi. Sang penjaga hanya menyarankan untuk menelpon nyonya pemilik kost. Sempat terselip curhat-colongan dari dia bahwa sang nyonya ini tak mau peduli dengan kondisi infrastruktur kost. Mau retak kek, lampu mati kek, atau rembes karena hujan, semua ditanggapi dengan santai seperti tidak ada apa-apa, Oh ya sudah. Terus mau apa, Heh?  Ketika saya menelpon sang pemilik, Dewi Fortuna sedang tak memihak, si nyonya sedang ke pasar. Oke, next time I’ll phone you, maam. Obrolan berlanjut sampai waktu makan siang tiba, makan bersama sambil bercerita, tak terasa badan remuk redam minta balas dendam. Tidur siang menjelang sore pun jadi obat mujarab setelah kerja bakti dadakan pagi tadi.
        Banjir untuk saya membawa pelajaran berharga. Saya diingatkan untuk kembali bersyukur bahwa berawal dari banjir, saya dapat teman baru yang menghapuskan generalisasi saya tentang karakter penghuni kost ini. The art of communication saya lumayan diuji saat ini. Dengan komunikasi, saya dapat pindah ke kamar yang baru direnovasi. Mungkin harganya dua kali lipat kamar saya. Ya jelas, lha wong double bed-big cabinet-toilet inside. Ya, itung-itung test drive kalau diibaratkan sebagai mobil sampai kamar asli saya sudah normal kembali. Terakhir, tentang petikan hikmah banjir yang saya lihat di depan jalan kompleks kost dan resapi di televisi. Ketika banjir, mobil semahal apapun tak dapat berkutik sedikit pun di jalanan. Pemilik mobil mahal sekalipun akan memilih perahu karet atau gerobak dorong untuk menyebrangi lautan kota, mencari tempat aman. Pemilik rumah mewah pun akan memilih tinggal di tenda pengungsian korban banjir dibandingkan dengan mengawasi rumah mewah dan harta benda dari banjir yang entah kapan surutnya. Sungguh keterlaluan apabila saya mengeluh karena dalam kondisi banjir dimana banyak yang terendam hingga 2 meter, listrik mati, dan air bersih sulit didapat, saya masih dapat merasakan fasilitas listrik dan air bersih. Mall pun dekat dengan kost namun memang akses ke mall-nya harus naik gerobak dorong atau berjalan menembus arus banjir. Tapi itu tak berlangsung lama. Jalanan dekat mall kering karena bangunannya lebih tinggi. Semua kemudahan masih tersedia. Apabila kita masih tidak bersyukur, mungkin lirik Ebiet G. Ade ada benarnya juga. Mungkin Tuhan sudah bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Instanisasi, do you?


“..Ketika dunia ini telah berubah menjadi instan, maka kemustahilan sekejap menjelma jadi kemungkinan
         Topik tentang Instan memang paling pas dibahas di senja hari menjelang malam ketika perut sedang keroncongan atau di pagi hari ketika tubuh perlu asupan zat pembangkit energi untuk menghadapi panjangnya hari. Mie Instan. Kopi Instan. Kebiasaan kaum urban, ya seperti saya ini. Hidup dipacu dengan waktu yang disekat dengan target yang padat. Makanan dan minuman instan yang diperkaya oleh gula sederhana, vitamin, mineral, perasa, pewarna, dan zat tambahan lainnya menjadi jalan keluar dalam pemenuhan asupan gizi tubuh. Tanpa sadar, makanan dan minuman instan yang sedang menjadi trend dunia modern tersebut layaknya musuh dalam selimut, manis di bibir, meringis di akhir. Apalagi apabila dikonsumsi terlalu sering bisa mengakibatkan penyakit kronis seperti kanker. Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Kalau belum kejadian, ya tak henti mulut ini mengecap mie instan di sela-sela makan siang.
        Disadari atau tidak, kita, kaum yang hidup di era teknologi modern dan perdagangan bebas, dikelilingi oleh segala kemudahan dalam memenuhi kebutuhan dari primer hingga tersier. Setiap hari kita dimanjakan oleh berbagai produk instan yang dijual baik di pasar tradisional hingga supermarket ternama. Tak hanya makanan dan minuman, produk perawatan tubuh hingga kendaraan pun dapat dimiliki dengan mudah dan cepat. Instanisasi telah menyebar bagai virus, menelusup ke sendi-sendi kehidupan, mengalir hingga ke nadi. Instanisasi adalah sebuah proses perubahan dari sistem manual ke sesuatu yang mudah/instan. Dalam pembentukan proses untuk menjadi instan, setidaknya diperlukan beberapa langkah yang membentuk suatu lingkaran berkesinambungan yang saya sebut sebagai cyclo-instant. Ada 5 hal yang mendasari terbentuknya cyclo-instant :
Input adalah asupan, baik kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Input ini merupakan cikal bakal terjadinya instanisasi. Input dimulai ketika adanya persuasi dari pihak eksternal seperti produsen brand product tertentu yang mempenetrasi pasar sehingga mau tak mau mempengaruhi dan memikat pola pikir konsumen. Dari sini, konsumen mulai memilih akan tertarik atau tidak dengan produk tersebut yang didasari oleh selera/kesukaan, kelebihan produk tersebut dari berbagai sisi, inovasi baik komposisi maupun kemasan yang ditawarkan, serta harganya. Setelah pola pikir terbentuk, maka konsumen pun penasaran ingin mencobanya. Trial dan Error pun dilakukan untuk menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap keseluruhan produk tersebut. Hasilnya bisa baik, bisa pula sebaliknya, tergantung penilaian konsumen secara subjektif. Apabila konsumen tertarik untuk kenal lebih jauh dengan produk tersebut, maka dapat dikatakan konsumen sudah menggantungkan pilihannya. Pada tahap tersebut, terdapat kecenderungan untuk membeli berkali-kali hingga membentuk suatu kebiasaan tersendiri. Sepertinya ada yang kurang apabila tidak membeli produk tersebut. Kebiasaan pun semakin berkembang menjadi suatu sistem yang konsisten dijalankan. Pada tahap terakhir ini, produk sudah dapat dikatakan stabil melekat di kehidupan konsumen. Konsumsi produk instan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari siklus hidup tiap individu. Instanisasi sukses terbentuk.  
 Cyclo-instant yang telah diulas diatas merupakan buah teori saya tentang instanisasi produk dari berbagai bidang. Siklus tersebut saya adaptasi dari siklus Plan-Do-Check-Action. Apabila ditarik garis antara teori dan fakta, bahwa input yang ada pada tahap pertama adalah kebutuhan primer, sekunder, dan tersier yang tersebar membentuk banyak pilihan di sekitar kita. Misalnya saja makanan dan minuman instan seperti mie, kopi, serta makanan dan minuman ringan yang banyak diiklankan. Dari iklan tersebut kita berpikir produk dengan merk apakah yang sesuai selera kita? Pola pun terbentuk dan saatnya mencoba. Apabila kita lidah kita cocok dengan produk tersebut, misal makanan merk A dan minuman merk B, maka  kita akan penasaran, ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Maka kita membeli merk A dan B dengan jumlah yang agak banyak dan membentuk suatu kebiasaan. Tiap bulan, kita canangkan dana kita untuk membeli merk A dan B. Terus menerus hingga membentuk suatu sistem yang mengakar di kehidupan kita.
Instanisasi yang terjadi membentuk suatu sifat orientasi hasil dan angka dibandingkan proses. Tak peduli proses awalnya sulit dan berliku, yang penting produk mudah digunakan dan laku dijual. Dengan sistem tersebut, perusahaan pun tak mau rugi menggaji banyak karyawan. Dengan investasi triliunan rupiah, pabrik-pabrik telah mengimplementasikan sistem komputerisasi dan teknologi robotik dalam proses produksinya. Manusia berperan sebagai dalangnya, sedang eksekutornya ya komputer dan robot. Otomatis, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pun semakin sedikit. Dengan pertumbuhan penduduk layaknya deret ukur menjadikan persaingan semakin sengit, hukum rimba beserta seleksi alam pun kembali berlaku, siapa kuat dia dapat. Mereka pun jadi kurang peduli dengan sistem keselamatan dan kesehatan kerja karyawan. Yang penting sudah disediakan. Urusan pemeriksaan rutin serta peran serta manajemen dalam kegiatan yang berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan, itu prioritas nomor sekian. Yang penting produksi lancar, penjualan gencar, dan untung terus memancar. Namun, yang memprihatinkan adalah dari sisi spiritualitas yang cenderung menurun dibandingkan dengan produktivitas. Individu lebih mengutamakan bekerja tanpa kenal lelah dan waktu dibandingkan dengan sholat lima waktu. Mengaji pun kalau sempat saja. Sisanya dihabiskan dengan aktivitas duniawi yang tak pernah ada habisnya. Bila dirunut, memang berpangkal pada instanisasi juga. Bukan menyalahkan, namun mengingatkan diri sendiri bahwa orientasi hasil ini sangat bertentangan dengan prinsip keseimbangan, yin dan yang menurut falsafah Cina, dimana ibadah rohani harus berjalan seimbang dengan pekerjaan duniawi. Memang, duniawi terlihat begitu gemerlap dan menghasilkan dibandingkan ibadah rohani. Namun, apakah investasi jangka panjang kita abaikan demi pundi arta yang dalam sekejap dapat habis? Apakah keuntungan berlipat lebih diutamakan dibandingkan investasi keselamatan dan kesehatan nyawa manusia? Apakah kesehatan kita korbankan demi kemudahan instan dari produk siap saji tiap hari? Kadang kita lupa dengan hari esok karena terlalu kalap dengan kenikmatan hari ini.
Instanisasi, telah membantu kita dalam segala hal, berbagai proses jadi mudah dan cepat, layaknya kredit kendaraan dengan bunga 0% tanpa uang muka. Tanpa instanisasi, mungkin kita tidak bisa mengecap manisnya instant white coffee, merasakan kelembutan pizza dan ayam crispy restoran franchise fast-food, atau menggoyang lidah dengan gurihnya mie instan yang bikin nagih. Namun, berkaca pada cyclo-instant, kita harus pintar memilih dan menentukan. Dari sisi konsumen, berhati-hatilah memilih produk instan yang dimakan. Dari sisi produsen, bijaklah menentukan sistem yang digunakan, sistem yang berorientasi hasil dan mengabaikan proses atau orientasi proses yang mengabaikan hasil? I choose Balancing with no orientation. Result and process thru product margin and people development must walk side by side. They form the system, output of cyclo-instant.

Minggu, 13 Januari 2013

Opinion about : PEMIMPIN

          Every of us has leading factors that conduct our activities and decision we've made. The difference is using it wisely or emotionally.
          Quote diatas adalah salah satu buah pemikiran saya tentang kepemimpinan yang saya alami dewasa ini. Era profesional yang saya hadapi sekarang menggiring saya ke dalam sebuah sistem dalam organisasi dimana pastinya memiliki struktur organisasi dari jabatan tertinggi hingga terendah. Jabatan tertinggi pasti dipegang oleh seseorang yang memiliki kuasa dan kekuatan untuk mempengaruhi, merubah, dan mengambil keputusan terhadap suatu hal atau masalah. Biasanya yang tua yang dipercaya untuk jadi pemimpin karena pengalaman atau yang muda yang punya kekuatan politis yang dapat naik dan memimpin. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa demokrasi pun telah mengubah pandangan tersebut. Everyone, old or young person, is free to being a leader.
          Saya mengenal organisasi sejak saya duduk di bangku sekolah menengah. Kala itu, aktivis organisasi sekolah dianggap keren karena dapat berkontribusi langsung dalam perubahan sistem ke arah yang lebih baik, mengimplementasikan ide bertajuk pentas seni yang sarat akan sponsor, kemeriahan, dan bintang tamu, serta tentu saja jadi lebih dikenal oleh semua warga sekolah. Organisasi ini berlanjut hingga di dunia perkuliahan. Organisasi dengan semua problematika didalamnya, pemimpin yang inspiratif dan influencer, serta realisasi idealisme membangun langkah untuk Indonesia yang lebih baik adalah daya pikat mahasiswa untuk turut serta dalam suatu organisasi. Tidak hanya numpang eksis, tapi juga berkontribusi secara masif. Selain itu, teori dasar tentang kepemimpinan pun sering didapatkan di tiap subjek perkuliahan manajemen. Atas dasar teori versus organisasilah saya memulai idealisme saya tentang pemimpin yang saya harapkan didapat ketika saya lulus, memulai kerja profesional.
          Gayung pun bersambut. Karir awal saya dimulai di perusahaan skala nasional. Ekspektasi saya tentang seorang pemimpin ideal masih tertanam di benak bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki LC2 yaitu Leading, Coaching, Controlling. Leading bermakna menjadi seorang pemimpin yang dapat memimpin kelompoknya menuju win-win solution. Coaching berarti bahwa pemimpin dapat membimbing kelompoknya sehingga tiap anggota memiliki visi dan misi yang sama dalam mencapai target yang ditentukan, bukan hanya hasil yang didapat namun tiap anggota memperoleh suatu value dan passion yang secara tak langsung dapat meningkatkan performa dan pengembangan diri ke arah yang lebih baik. Controlling adalah melakukan monitoring dan menjaga agar kinerja anggota stabil di titik tertinggi, apabila ditemukan suatu masalah yang berpotensi menurunkan kinerja, maka pemimpin ini melakukan cross-check dan sharing segala macam uneg-uneg para anggotanya serta selalu menjadi problem solver. Peran pemimpin ini tidak sekedar hubungan profesional saja, namun lebih dari itu. Pemimpin dapat berperan sebagai guru yang tak menggurui, teman, hingga orang tua. Demikianlah idealisme saya tentang pemimpin yang saya sangat harapkan dapat hadir menjawab teori kepemimpinan yang selama ini saya pelajari.
          Seiring berjalannya waktu, ternyata tidak semua yang kita inginkan dapat terwujud dengan mulus di dunia nyata. Idealisme tentang pemimpin pun agak tergerus kenyataan. Dari meeting ke meeting serta kerjasama yang dijalin tenyata membuahkan sebuah kesimpulan. Dua dari sekian banyak manager, memenuhi kriteria pemimpin ideal menurut saya. Beliau seorang yang pintar dengan idealisme yang tinggi, ber-attitude baik, berwibawa, membimbing para staffnya menuju ke arah yang lebih baik, mau berkorban demi kemajuan staffnya, serta membaur dengan semua golongan. Yang lainnya sih kebanyakan main aman saja, yang penting posisi saya aman, tidak ada yang mengganggu dan kondisi organisasi terkendali dengan baik. Beliau-beliau belum sadar tentang siapa yang sedang beliau pimpin. Mereka bukan barang atau mesin yang sekali setting langsung jalan. Mereka itu manusia yang memiliki perasaan dan pikiran. Bimbinglah mereka, perlakukan mereka layaknya memperlakukan diri sendiri, biarkan kreativitas mereka berkembang seiring waktu, serta motivasi mereka untuk maju dan berkembang, jangan seumur hidup dibiarkan monoton saja, galilah potensi mereka untuk capai kinerja yang lebih dan lebih baik dari sebelumnya.
          Menyadur tweet @YoungOnTop tentang perbedaan antara manager dan pemimpin, manager get the things right instead of leader get the right things, manager memastikan semua hal berjalan dengan baik sedangkan pemimpin menentukan semua hal berjalan dengan baik. Jadi intinya, manager hanya menyuruh staffnya mengerjakan pekerjaan kemudian memastikannya, apabila ada masalah kebanyakan malah menyalahkan sedang pemimpin membimbing staffnya sesuai pekerjaan yang ia tugaskan kemudian mengontrol perkembangannya, apabila ada masalah ia langsung turun tangan mencari solusi bersama staffnya dengan didasari rasa saling menghargai dan keterbukaan.
            Selain itu, perbedaan lainnya terlihat dari gambar dibawah. Pemimpin, dengan kharismanya dapat menumbuhkan minat dan keinginan anggota kelompoknya untuk terus berkarya, berlomba-lomba merealisasikan ide kreatifnya. Namun, seorang manager hanya membuat seseorang melakukan job descriptionnya saja tanpa mendukung pengembangan diri staffnya sehingga lama kelamaan staffnya pun bekerja tanpa hati, hanya demi uang semata, kreativitasnya perlahan mati tanpa mau tumbuh kembali.
          Lewat goresan suka-suka ini saya hanya menyampaikan pendapat hati tentang pemimpin dimata saya. Bukan bermaksud mencela dan men-judge diri orang lain buruk, namun saya dapat belajar banyak dari orang lain bahwa apabila suatu saat saya, kamu, dan kita menjadi seorang pimpinan di organisasi apapun dan dimanapun, jadilah pemimpin karena pimpinan belum tentu seorang pemimpin sedangkan pemimpin pasti adalah seorang pimpinan.  You decide what you will be laters on. Watch out your steps and be carefull of your position. Happy working!

Minggu, 06 Januari 2013

You Wear Your HABITS

      Today is our first weekend in 2013. What do you feel so far? Hem. Good, but not great. What happen? Mentally absurd and heart-broken because of neighbor next door who held marriage-party using public facility, street in front of his/her house. I have to walk thru long-idle-street which used by them for their business.  That’s a problem. Errr. Big Problem for me and others of course.
    Etika. Satu kata, berjuta makna. Apa yang terlintas dipikiran ketika menemukan kata : ETIKA? Kesopanan, sikap saling menghargai dan menghormati, tata karma. Yes. Semua sinomin tersebut menggambarkan makna dibalik kata ETIKA. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia : Eti.ka [n] ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dapat kita simpulkan bahwa etika ini berhubungan dengan moral dan akhlak kita sebagai manusia dan manusia adalah makhluk sosial yang hidup bersama orang lain di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang. Moral ini menentukan kepribadian kita sendiri, mau dibawa kemana diri kita dan bagaimana penilaian orang lain terhadap kita. Intinya, apabila kita berlaku baik, orang lain pun akan membalas dengan kebaikan pula. Hukum sebab-akibat.
       Lantas, apabila kita telah berlaku sopan, menghargai orang lain, dan baik kepada semua orang tapi ternyata kita malahan yang dizhalimi oleh orang lain? Pantaskah kita membalasnya? Sebagai orang yang konsisten dalam menjalankan etika di kehidupan, maka pastilah jawabannya adalah tidak. Namun, bukan berarti kita diam saja, pasrah. Kita patut untuk memberitahunya dengan bahasa halus dan sopan, tanpa menyakiti hati namun pesannya tersalurkan dengan baik. This is the art of communication. Demikian dengan kejadian yang baru saja saya alami. Saya memang tinggal di suatu kawasan pemukiman padat penduduk dengan jalan masuk ke dalam yang hanya muat untuk satu mobil maksimal selebar mitsubisi pajero sport. Penghuni rumah pun beragam. Untuk rumah yang ada di lokasi agak dalam, kebanyakan adalah orang-orang lama yang sudah memiliki tanah dari zaman dahulu, 1970-an sedangkan orang-orang yang menghuni rumah bagian depan termasuk ke dalam kelompok pendatang baru dan merupakan rumah tumbuh. Sistem kekerabatan acapkali menjadi sistem yang digunakan oleh warga dalam hal organisasi RT-RW. Jadi, apabila ada orang yang ingin mengadakan suatu pesta di rumahnya dan menggunakan fasilitas jalan umum, perizinan RT-RW-lah yang harus dilakukan terlebih dahulu. Namun, itu dulu, ketika mobil dan motor belum sepopuler sekarang dan jumlah rumah belum sepadat sekarang.
        Seiring bergulirnya waktu, zaman pun ikut berubah. Kawasan pemukiman berangsur padat, pendatang memadati blok-blok tanah, hingga kepemilikan kendaraan tiap rumah. Hal ini memiliki dampak sosial bagi masyarakat dan sistem organisasi masyarakat paling rendah yaitu RT-RW. Jalan umum pun semakin ramai dan dibuat lebih lebar agar kendaraan dapat masuk dengan leluasa. Perubahan zaman ini ternyata tidak berpengaruh terhadap pola pikir penghuninya. Egoisme dan mementingkan kepentingan diri sendiri dibandingkan kepentingan publik adalah sifat bawaan tiap individu yang entah mengapa jadi tumbuh subur di kawasan ini. Contoh konkritnya adalah perayaan pesta pora pernikahan yang menggunakan fasilitas jalan umum sebagai tempat menaruh kursi tamu dan panggung dangdut. Sang empu seolah-olah memblokade akses masuk dan keluar orang-orang sekitar dan secara tidak langsung merusak rencana orang lain yang hendak lewat keluar. Dengan dalih sudah izin dari RT-RW, mereka dengan seenaknya, tanpa rasa dosa, bercanda tawa, menghiasi kemeriahan pesta. Hal ini sudah ± 7 kali terjadi sejak tahun 2000-an. Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah sudah tahu jalan utama adalah vital bagi warga, namun mengapa tetap diizinkan oleh RT-RW? Apakah the power of money politic berperan penting disini? Apakah ini adalah peraturan sekaligus hukuman tak tertulis bagi pengendara mobil bahwa ada larangan melintas ketika ada perayaan pesta? Prinsip yang lucu menurut saya karena sistem tidak dibuat fleksibel dengan perkembangan zaman.
     Dari kejadian pahit yang saya alami tadi, saya menarik kesimpulan bahwa hidup bermasyarakat di kawasan padat penduduk dengan latar belakang sosial yang beragam memang sulit. Ada saja ketidakadilan yang mengatasnamakan harta dan tahta sehingga orang lain mau tak mau tunduk khidmat dihadapan yang punya kuasa. Saya memang sedang tidak mengendarai kendaraan saat kejadian diatas berlangsung. Saya hanya pejalan kaki biasa. Namun, apabila saya berada di posisi sang tetangga yang sedang mengalami kejadian tersebut, menceloslah hati ini. Kalau saja, penyelenggara pesta itu berkomunikasi terlebih dahulu ke tiap penghuni rumah di kawasan ini bahwa dia memohon izin menggunakan fasilitas jalan umum karena keterbatasan biaya untuk pesta pernikahan, pasti hati ini lebih ikhlas menerima. Masalahnya, tak ada izin, komunikasi sepihak, menggunakan jalan publik pula. Kemanakah etika itu pergi, wahai penyelenggara pesta?
      Indonesia, negara yang dikenal dengan masyarakat yang ramah tamah, berbudi pekerti luhur, dan sopan-santun yang tinggi. Namun, semua sudah terkikis sedikit demi sedikit karena kesalahpahaman dalam menyikapi fleksibilitas perubahan zaman. Etika dan budaya melahirkan kebiasaan. Seberapa besarkah etika yang luhur, ciri khas Indonesia bersemayam dalam nurani kita? Dalamnya lautan dapat dijangkau, dalamnya hati siapa yang tau?