Selasa, 24 Februari 2015

Sebuah Jejak yang (Hampir) Terlupakan #3

Sejarah panjang telah membuktikan kekuatan sebuah peradaban. Glodok.
Keluar gang kecil, menelusuri pasar ke arah Pancoran, langkah kaki tersendat oleh padatnya para pembeli di dalam pasar. Voila! Sampailah di Glodok, salah satu denyut nadi perekonomian warga Jakarta yang mendapat julukan The China Town atau kawasan pecinan. Semasa VOC masih berjaya, Glodok merupakan kawasan di luar tembok kota. Sejak November 1740, penguasa VOC menjadikan kawasan Glodok sebagai daerah pemukiman Cina. Jauh sebelum dibangunnya Batavia dan masih bernama Sunda Kelapa, warga Cina sudah banyak yang tinggal di tepi pantai tidak jauh dari Bandar Sunda Kelapa. Tapi, ketika Belanda membangun loji di sini, mereka pun diusir. Baru setelah terjadinya peristiwa Chineezenmoord tahun 1740, yang menelan korban hingga 10.000 jiwa dan dikenal sebagai Tragedi Pembantaian Angke (Kali Merah), mereka ditempatkan di Kawasan Glodok.
        Konon, nama Glodok berasal dari bunyi air pancuran di sekitar Pancoran yang berbunyi grojok-grojok, lalu diplesetkan menjadi glodok oleh warga Cina. Bila kita bisa memutar waktu ke abad silam, di Kawasan Glodok tempo dulu terdapat konglomerat Khouw yang pernah berjaya, ribuan warga Cina pernah dibantai oleh VOC, serta nostalgia perayaan Imlek, Cap Go Meh, dan Peh Cun. Jejak tersebut sempat sirna kala diberlakukannya Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang pelarangan atribut Cina di Indonesia, namun pada masa pemerintahan Gus Dur melalui Keppres No. 6 tahun 2000, warga Cina bebas untuk beribadah sesuai tradisinya. Imlek dan Cap Go Meh tidak dilarang lagi. Budaya Cina itu kini telah menjadi khazanah budaya Indonesia yang makin kuat dan berkarakter karena bersumber dari sejarah panjang bangsanya.
       Melewati jalan-jalan kecil di Kelurahan Glodok, aroma hio demikian merasuk hingga pangkal hidung. Tak heran memang, hio bagi masyarakat Cina, bukan saja sebagai pelengkap ibadah, namun juga disimpan di pojok-pojok pintu rumah. Lagu-lagu mandarin pun sesekali terdengar merdu dari sepanjang rumah-rumah yang sudah menyatu dengan jalan raya dan hampir tidak memiliki pekarangan. Rumah-rumah tersebut pada umumnya berlantai dua atau tiga yang dibentengi pagar tinggi dari besi, seperti tipikal rumah warga Cina kebanyakan. Menilik gang-gang kecil di sekitar Kawasan Glodok, memang membuat imajinasi melayang ke beberapa abad silam. Lalu lalang para lelaki Cina dengan rambut di kepang panjang dan bagian depan kepala dipangkas habis sebagai tradisi adat penjajahan Manchu terhadap Tiongkok selama 300 tahun. Pemerintah Belanda sendiri mewajibkan warga Cina tinggal di satu tempat dan melarang mereka berpakaian selayaknya pribumi atau Barat. Mereka yang melanggar akan dikenakan hukuman denda bahkan kurungan.

       Tak terasa sudah lebih dari 3 kilometer dilalui bersama dengan berjalan kaki. Menyusuri jejak-jejak sejarah memang tak pernah habis diulik. Selalu ada cerita dibalik peradaban. Pun kini, ternyata, sehari-hari kita melewati tempat yang menjadi saksi bisu pergulatan kemanusiaan. Sepakat memang, bahwa untuk menjajah sebuah bangsa, hilangkan saja ingatan sejarahnya. Ini bukan hanya kata-kata mutiara isapan jempol belaka, namun dapat menjadi peringatan. Oleh karena itu, sewajarnya apabila kita bersama-sama bahu membahu mengelola peradaban sejarah ini, agar tidak tersapu hutan-hutan beton yang makin masif merajalela.  

--TAMAT--

*Credit Information : Booklet KHI versi Chinatown Journey 

Sebuah Jejak yang (Hampir) Terlupakan #2

Sebuah peristiwa pasti akan mengristal menjadi sejarah, apapun itu.
            Jejak sejarah warga Cina di Jakarta kami lanjutkan ke kawasan niaga Pasar Pagi Asemka. Tempat ini dahulunya adalah kawasan pecinan seperti halnya Glodok. Banyak rumah langgam Cina dengan ciri toko di lantai bawah dan rumah tinggal di lantai atas. Biasanya, terdapat cermin yang digantung di depan bagian depan bangunan. Fungsinya adalah sebagai penolak bala dan pengusir roh jahat. Atap rumah bergaya Cina pun memiliki dua tipe sesuai strata sosialnya, yaitu tipe tapal kuda di ujung kiri dan kanan atap dan tipe ekor burung phoenix yang lancip di kedua ujung atapnya. Kami menemukan satu rumah bergaya atap tapal kuda dan satu rumah yang lebih mirip kuil bergaya atap ekor burung phoenix. Usut punya usut, tipe bangunan kedua itu adalah milik keluarga Souw yang beralamat di Jl. Patekoan (kini Jl. Perniagaan). Konon, nama Patekoan berarti 8 buah teko/poci (pat te-koan) atau versi lain mengatakan delapan orang pendekar. Di daerah ini pernah tinggal seorang Kapiten Cina Gan Djie (1663-1675). Istrinya yang berjiwa sosial karena setiap hari menyediakan 8 buah teko berisi air teh untuk diminum untuk khalayak ramai yang keletihan dan kehausan di perjalanan. Angka 8 sengaja dipilih sebab angka ini memiliki konotasi baik/hoki. Jl. Patekoan ini kemudian berubah menjadi Jl. Perniagaan karena dianggap oleh rezim Orde Baru sebagai kawasan bisnis/niaga.
Tipikal Rumah Cina (dua-tiga lantai dengan cermin di bagian depan)
            Bangunan keluarga Souw masih dipertahankan keasliannya. Konon, keluarga Souw merupakan keluarga kaya raya. Salah satu yang terkenal adalah kakak beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng. Mereka tak hanya kaya, namun berjiwa sosial. Tjong mendirikan sekolah bagi anak-anak bumiputera di tanah miliknya, membantu orang miskin, menyumbangkan makanan dan bahan bangunan ketika terjadi kebakaran di daerah sekitarnya. Karena jasanya, pemerintah Belanda memberikan gelar Luitenant Titulair (kehormatan) pada Mei 1877. Namanya juga tercantum sebagai donor pada pemugaran Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang pada tahun 1875 dan Kelenteng Kim Tek le Batavia pada tahun 1890. Adiknya, Keng, diangkat menjadi Luitenant der Chineezen di Tangerang pada tahun 1884.
Bangunan Keluarga Souw di Jl. Patekoan (kini Jl. Perniagaan)
            Menyusuri Jl. Perniagaan, terdapat sebuah gedung sekolah bertitelkan SMAN 19 Jakarta. Dahulu, gedung ini bernama Gedung Tiong Hoa Hwee Koan yang menjadi saksi berdirinya organisasi Tionghoa ‘modern’ di Batavia yaitu Tiong Hoa Hwee Koan/THHK (Perhimpunan Tionghoa) pada 17 Maret 1900. Pada tahun berikutnya, THHK mendirikan sekolah modern pertama yang disebut Tiong Hoa Hak Tong/THHT, disusul dengan pembukaan cabang lain di seluruh Hindia Belanda. Berdirinya sekolah-sekolah ini merupakan reaksi masyarakat Tionghoa di Batavia terhadap pemerintah Belanda yang selama itu tidak pernah memberikan pendidikan kepada anak-anak Tionghoa. Akibat perkembangan THHK yang sangat pesat, pemerintah Belanda yang khawatir anak-anak Tionghoa akan tersedot semua ke THHK, mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS) yaitu sekolah berbahasa Belanda bagi anak-anak Tionghoa. Pada tahun 1965, THHK ditutup oleh rezim Orde Baru dan diambil alih pemerintah menjadi SMAN 19 Jakarta.
Tiong Hoa Hak Tong (kini SMAN 19 Jakarta)
            Beranjak menuju ke sebuah jalan kecil, terpampanglah spanduk bertuliskan Vihara Dharma Bakti di Jl. Kemenangan III (dahulu Jl. Toasebio). Pada jalan ini, terdapat Kelenteng Toa Se Bio yang berarti kelenteng duta besar. Konon, kelenteng ini dibangun oleh orang Hokkian dari Kabupaten Tiotha, Provinsi Hokkian yang dipersembahkan kepada Cheng-Goa Cin-Kun yang merupakan dewata khas daerah tersebut. Hingar bingar Imlek terasa sangat kental di sini. Paduan warna merah dengan aksen naga pun menyambut kami yang penasaran. Wangi hio bercampur api dari lilin melahirkan fatamorgana di udara. Aku pun masuk dan mendapati sebuah hio-louw untuk menancapkan hio atau dupa lidi berangka 1751 pada ruang altar utama. Hio-louw ini merupakan objek berangka tahun tertua kedua setelah meja sembahyang berangka tahun 1724 di Kelenteng Kim Tek Le.


Tampak Depan Kelenteng Toa Se Bio 
            Tak jauh dari Kelenteng Tao Se Bio, terdapat Gereja Santa Maria de Fatima yang merupakan gereja katolik. Konon, gedung ini pernah menjadi kediaman Letnan Tionghoa yang bernama Tjioe. Setelah Tiongkok jatuh ke Partai Komunis tahun 1949, serombongan rohaniawan katolik ordo Jesuit terpaksa meninggalkan Tiongkok. Sebagian pindah ke Jakarta. Gedung ini kebetulan dijual oleh pemiliknya dan dibeli oleh mereka yang selanjutnya dijadikan gereja. Salah satu keistimewaan gedung ini adalah adanya inskripsi dalam aksara Tionghoa. Di bagian bubungan atap tertera daerah asal pemiliknya tang terdahulu yaitu Kabupaten Lam-oa, Karesidenan Coan-ciu. Inskripsi lain di bagian atap adalah bok siu khong leng yang artinya rezeki, umur panjang, kesehatan, dan ketentraman yang merpakan dambaan setiap orang. Pada altar gereja, terdapat asimiliasi budaya Cina yang tergambar dari warna, tulisan, dan bentuk furnitur. Menurut Pastur, karena sebagian besar umat yang beribadah adalah warga keturunan Cina sehingga ibadah dwi-bahasa Mandarin dan Indonesia-lah yang digunakan. Gereja ini tampak terawat dengan baik tanpa menghilangkan keasliannya. Dari sini, bisa terlihat bahwa kepedulian dalam melestarikan sejarah sebanding dengan usaha yang dilakukan agar tetap mempertahankan kekunoan dari kekinian.
Tampak Depan Gereja Santa Maria de Fatima
             Perjalanan dilanjutkan menuju Kelenteng Kim Tek Le yang merupakan kelenteng tertua di Jakarta. Didirikan pada tahun 1650 oleh Letnan Tionghoa Kwee Hoean dan diberi nama Koan-Im Teng atau Paviliun Koan-Im (Dewi Welas Asih). Konon dari istilah Koan-Im Teng inilah kemudian timbul istilah kelenteng yang berarti “kuil Tionghoa”. Pada tahun 1740, kelenteng ini turut dirusak dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa oleh orang Belanda. Hanya sebuah meja sembahyang berangka tahun 1724 yang tersisa dari peristiwa tahun 1740 dan merupakan objek tertua yang diketemukan di Jakarta saat itu. Pada tahun 1755, Kapitein der Chineezen Oeij Tjhie (menduduki jabatan tersebut 1750-1756) menamakan kelenteng yang dirusak dan kemudian dipugar kembali dengan nama Kim Tek Le atau Kelenteng Kebajikan Mas. Kim Tek Le telah dua kali mengalami pemugaran besar pada tahun 1846 dan 1890, sebagaimana tertera pada dua prasasti di dinding kiri dan kanan bangunan utama kelenteng ini. Pada pemugaran tahun 1890, atap kelenteng yang sebelumnya terdiri dari tiga petak diubah menjadi seperti sekarang ini, yakni tiga petak menyambung menjadi satu.


(Lanjut Ke Bagian Tiga)

*Credit Information : Booklet KHI versi Chinatown Journey

Sebuah Jejak yang (Hampir) Terlupakan #1

“Suasana pekan itu sangat menegangkan. Puluhan tentara bersiap dengan senjatanya masing-masing, siap menerkam mangsa yang lengah dan lelah. Aku mengintip di balik celah kerai jendela tengah rumahku. Aku baru saja kehilangan saudaraku. Ya, mereka hilang dimangsa predator beringas di luar sana, saat mempertahankan diri dari kekejaman surat perintah : bunuh dan bantai orang Cina. Kalut ini ternyata melahirkan maut. Kata orang, aku ditemukan mengapung tak bernyawa di pinggir sungai. Namun, yang kuingat terakhir adalah tangan-tangan besar yang menarikku dengan paksa untuk menyerahkan raga dan menyaksikan pergulatan merah di depan mata. 1740. “
--------
Rintik hujan seakan merangkai tirai bagi pagi. Aku mempercepat langkah menuju ibukota. Suasana saat itu sedikit sepi. Sepertinya orang-orang urban masih menikmati kelindan hangat selimut di pagi yang dingin ini. Libur di tengah minggu memang membahagiakan bagi sebagian besar kaum urban. Bisa bermimpi lebih panjang sembari tak khawatir akan telat masuk kantor. Ah, bahagia itu sederhana. Ya, sesederhana saat aku masuk ke dalam gerbong commuter line, santai dan tidak ada adegan saling rebut tempat duduk. Pukul 07.45 WIB, aku pun sampai di Stasiun Kota. Hiruk pikuk penumpang kereta jarak jauh berpadu dengan kemegahan stasiun buatan zaman kolonial Belanda, membuat aku membayangkan berada di Batavia pada zaman keemasannya. Tanpa minimarket dan kafe di sepanjang sisi stasiun, terbayang aktivitas individu pada masa itu selama menunggu kereta. Mungkin lebih banyak interaksi di balik pintu art-deco atau malah terjadi diskriminasi strata. Entahlah. Namun, yang nampak adalah kekinian yang kadang memaksa untuk menggantikan kekunoan.
19 Februari 2015, bertepatan dengan Hari Raya Imlek, aku mengagendakan untuk mengikuti kegiatan jelalah kawasan pecinan Jakarta dalam acara bertajuk ‘Chinatown Journey’. Diselenggarakan oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI), acara ini mengambil jalur di sekitar kawasan Kota Tua Jakarta yang merupakan saksi bisu pergolakan politik Belanda dan Cina di abad ke 17. Awal perjalanan tersebut dimulai saat kami berkumpul di depan Museum Sejarah Jakarta yang dikenal dengan sebutan Museum Fatahillah. Dengan menggunakan pakaian merah, kami berkumpul dan mendengarkan penjelasan singkat mengenai cerita dibalik kemegahan beberapa museum di Kawasan Kota Tua.
Plot hari itu dimulai dengan sejarah Museum Sejarah Jakarta yang dulu bernama Stadhuis VOC. Berusia lebih dari 3 abad, bangunan ini selain sebagai kantor Gubernur Jenderal VOC wilayah Asia, juga merupakan kantor Raad Van Justitie (Dewan Pengadilan), Raad Van Indie (Dewan Hindia – Penasihat Gubernur Jenderal), sebagai penjara, serta kantor catatan sipil. Banyak pahlawan yang pernah mendekam di penjara bawah tanah ini, seperti Pangeran Diponegoro, Untung Surapati, serta masyarakat etnis Cina yang dianggap melanggar peraturan. Di depan gedung megah ini, terdapat taman yang cukup luas bermama Stadhuis Plein (kini bernama Taman Fatahillah). Stadhuis Plein merupakan tempat berkumpul penduduk kota saat itu untuk menyaksikan berbagai kegiatan, yaitu hukuman mati/eksekusi penjahat dan pembangkang pemerintah Belanda. Menurut sejarah, tahun 1629, seorang putri kemenakan Gubernur Jenderal J.P.Coen dihukum cambuk dan kekasihnya dipenggal di teras gedung ini karena tertangkap basah bermesraan di kamar gadis itu (bayangkan bila kebijakan itu masih berlaku saat ini!). Di tengah alun-alun terdapat air mancur yang dibangun pada awal abad ke-20 yang dimanfaatkan untuk minum penduduk dan kuda yang kelelahan. Selain itu, di sebelah utara, kini terdapat Situs Meriam Sijagur yang konon merupakan simbol keperkasaan pria, seperti halnya lingga pada candi. Sebagian masyarakat percaya bahwa dengan berkunjung ke Meriam Sijagur, pasangan bisa cepat memiliki anak (bagi yang masih berpacaran tidak disarankan kesini ya).  
Stadhuis VOC (kini Museum Sejarah Jakarta) dan Stadhuis Plein (kini Taman Fatahillah)
Alur berjalan maju ke arah Jl. Kali Besar Timur. Tampaklah jembatan panjang yang kini digunakan sebagai pangkalan baik becak maupun ojek. Pedagang kaki lima pun tak malu-malu mendenyutkan nadi perekonomian pribadi. Lazim memang, karena di tempat mereka berpijak yaitu The Groote Kanal, pada zaman pemerintahan Belanda merupakan pusat kegiatan perdagangan yang menghubungkan Pelabuhan Sunda Kelapa melalui Sungai Ciliwung. Di samping kemegahan yang tersurat dalam sejarah, ternyata tempat ini menyisakan kesedihan mendalam bagi etnis Cina akibat peristiwa pembantaian etnis Cina (chineezenmoord) pada 3 abad silam. Bermula dari bisnis gula milik pemerintah Belanda, yang menyerap banyak tenaga kerja etnis Cina di Batavia, mengalami pailit akibat tersaingi dengan gula malabar (India) di pasar internasional sehingga banyak warga Cina yang menganggur, menjadi gelandangan, dan bertindak kriminal. Hal ini membuat VOC memberlakukan peraturan bagi warga Cina. Mereka yang tinggal di Batavia harus memiliki izin tinggal, berusaha atau berdagang. Apabila dilanggar, maka akan terkena razia untuk diberangkatkan secara paksa ke Srilanka yang masih wilayah jajahan Belanda kala itu. Tersiar isu di kalangan warga Cina, bahwa di tengah perjalanan, mereka akan dibuang ke laut. Efeknya, para warga Cina pun bahu membahu mempersenjatai diri dan berkelompok untuk melawan Belanda. Mereka mulai melancarkan serangan pada pasukan VOC yang tengah menuju Tangerang. Pada 8 Oktober 1740, warga Cina mulai menginvasi kota. Perlawanan itu menjadi alasan bagi tentara dan pegawai VOC untuk melakukan tindakan sewenang-wenang bagi warga Cina. Jam malam pun diberlakukan di Batavia. Pada 10 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Adrian Volckanier mengeluarkan surat perintah : bunuh dan bantai orang-orang Cina. Demikian dahsyatnya pembantaian itu, seakan nyawa tak berharga lagi. Tak pandang bulu, para tahanan, pasien, hingga bayi yang tak bersalah pun dihakimi untuk dicabut nyawanya. Raga mereka dibuang semena-mena di sepanjang bentangan Sungai Ciliwung pada jembatan The Groote Kanaal. Amis dan merah meruap di sekitarnya, menandakan duka nestapa yang tak akan lekang dimakan zaman. The Groote Kanaal : Kali Besar, saksi peristiwa chineezenmoord tahun 1740

Ketika peristiwa menakutkan itu terjadi, perkampungan warga Cina berada kira-kira di sekitar The Groote Kanaal yang kini disebut Kali Besar. Kemudian, VOC membangun perkampungan baru untuk mereka sedikit di luar tembok kota, yang kini dikenal dengan nama Glodok.


(Lanjut ke Bagian Dua)

*Credit Information : Booklet KHI versi Chinatown Journey