Kamis, 13 Maret 2014

Padamu

Teruntukmu, duhai sahabat malam yang selalu mengontaminasiku dengan jutaan hipotesis dan postulasi liar di tengah keteraturan yang kian menunjukkan kuasanya. 

..Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal hidup. Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam cinta tak bermuara. Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara. Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian. Gerakmu tiada pasti. Namun, aku terus disini. Mencintaimu. Entah kenapa..
(Ksatria, putri, dan bintang jatuh - Dewi Lestari)

Rabu, 05 Maret 2014

Biru.

Pagi ini mentari bernyanyi lirih dengan lirik yang sinis. Seakan menyuarakan pertanda yang entah bermakna apa. Lalu lalang orang memaksaku untuk berhenti berderap. Angin datang membawa pesan. Ia menyergap kesadaranku sehingga aku hanya dapat diam membisu dan membeku. Biru. 

Satu menit yang lalu, seorang ibu paruh baya bersama pengikutnya melantangkan makian kepadaku, anak muda yang sedang berasyik masyuk melanglang ke dunia mimpi, di kereta. "Hey! Masih muda berdiri donk! Tuh kita-kita butuh duduk. Gak kasian apa?!" Ada pula yang bertingkah menyindir. "Biasa deh, di kereta semua pada pura-pura pingsan". Tetap tak bergeming. Aku di pihak yang benar karena tidak memakai fasilitas tempat duduk prioritas. Namun tetap, aku salah. Dipukulnya bahuku dengan segenap raga. Aku diarak dan dipermalukan dengan penuh kebencian. Aku dosa? Aku hina? Lalu dia? Kamu? Mereka?

Satu jam yang lalu, beberapa gadis cantik dengan bulu mata lentik tergopoh datang ke arahku. Mereka mengambil tempat tepat di sebelahku. Alasannya, karena kami mahasiswi, intelek muda dan calon pengabdi masyarakat, butuh stop kontak untuk menyalakan laptop teranyar, demi mengerjakan tugas busuk itu. Saat kursi ditarik dengan ganas, saat itu pula dua kursi beradu dadu. Kain pakaian yang aku biarkan terurai ke belakang menjadi korban egosentris megapolis. Kesantunan telah memudar, hilang, dan terkubur dalam-dalam. Layaknya, priyayi dan pribumi saat kolonialisasi, disitulah aku. Menjadi saksi roda dunia yang berputar kembali untuk dijajah-menjajah. Lagi. Aku tak peduli, tetap pada posisi. Ini reformasi. Liberalisasi. Lepaskan status sosial dan atribut yang carut marut. Ayo berdiri, hadapi dengan aksi. Hitam adalah hitam. Putih adalah putih. Aku tak peduli, tetap pada posisi. Geram telah karam, merubah terang jadi padam dengan teriakan kecil nan suram. Bergegas ku menghilang dalam sapuan malam ditemani geliat cahaya nan kelam. 

Satu hari yang lalu, aku berjalan pelan menuju restoran melewati pintu gerbang. Di kiri dan kanan, para pria berseragam pembela kebenaran dan keadilan berkumpul, saling merangkul. Tak berapa lama, terdengar suara yang terlalu keras untuk disebut sebagai bisikan menghampiri gendang telinga. "Gue pikir, orang berkerudung pasti jaminan alim, ternyata sama aja bejatnya. Hahaha!" Puas membuas. "Liat aja tingkahnya. Parah banget. Pantesan dia kos, balik malem terus" Kejam merajam. Angkara membara. Emosi meninggi, namun hati tetap merendah tapi tak kalah. Sejurus kemudian, pria necis datang menghampiri. Dengan lidah menari kata basa-basi, lalu mengantongi amplop beserta minuman tutup mulut. "Gue pikir orang berseragam dengan titel sekuriti bersih semua, ternyata bisa dibeli sama duit. Hahaha." Perang diakhiri. Menang secara nurani. 

Mentari digiring dengan paksa oleh angin yang mengusung awan hitam menguasai langit. Layaknya seorang tahanan yang diperlakukan tak hormat, ia menitikkan tetes demi tetes air mata dunia ke permukaan. Makin lama, kian deras. Hingga semua tenggelam. Hilang bersama jutaan goresan luka yang tak kan pernah pupus. Selamanya, membiru.

Jakarta, Maret 2014
di tengah gejolak emosi yang (akhirnya) dapat damai diakhiri. 

Selasa, 04 Maret 2014

Teritori yang sendiri

Ketika teritori dicabut dengan paksa, jutaan mata menghakimimu dengan gila, seolah kau satu-satunya manusia yang melakukan dosa nan nista. Pikiranmu berkecamuk, mengamuk. Hatimu bergejolak, menggolak. Jiwamu ingin menumpas kesah, marah. Matamu nanar mengular, sangar. Tapi, tubuhmu malah dingin, menahan ingin. Lalu membeku, diam bersekutu. Entah apa yang bisa memuaskan rasa buas para hakim pembela keadilan di depan sana. Entah apa yang bisa menyumpal seringai buruk perangai di belakang sana. Entah apa yang bisa menghentikan langkah serakah di belahan kiri dan kanan sana. Bila batin ini ibarat bensin, mungkin sudah sedari tadi membara dan membakar raga karena terpercik api angkara. Bila jasmani ini bagaikan kayu bakar, mungkin sudah menjelma menjadi sang rahwana yang menjilat tiap jengkal ragawi, menjadi arang untuk menggerang. Ah. Sudahlah. Semua hanyalah asa semu yang dibungkus dengan kertas koran kumal bekas penadah gorengan. Pun bila manusia dapat membelah diri, minoritas selalu ada di bawah. Kecuali jika deret ukur diberi kesempatan yang sama dengan deret hitung dan hukum adat dibangunkan untuk kembali berjaya.

Jakarta, Maret 2014
di tengah kultur modern yang makin mencekik dan komunitas yang mengusung homogenitas.

         (dicomot dari : techfly.co.uk)

Senin, 03 Maret 2014

Sepi. Sendiri. Mati.

Senja menua di sudut kota. Mengantarkan hari menuju gerbang sepi hingga sendiri. Bersandiwara dengan warna. Membujuk tanpa merajuk, mengajak tanpa bisa ditolak. Ia mainkan gradasi menawan hati sampai menghipnotis diri sendiri. Ia kuncupkan tunas yang telah layu, ia rekahkan tunas yang akan berbunga. Kemudian, perlahan ia hapus menjadi pupus. Ia hilangkan ketertarikan menjadi keterpurukan. Ia tutup suka, ia hidupkan duka. Ia bawa cahaya dan menggantinya dengan marabahaya. Ia selimuti dengan kegelapan. Kelindan dengan malam. Menipu tiap penipu dengan nafsu yang tak kan bisa beku. Hingga mereka kaku dan biru. Kembali pada sepi sampai sendiri.