Minggu, 22 Mei 2016

Promo J.CO : 4 Jam Mengantri, 4 Menit Menghabiskan



                Bila menuruti pakem para blogger  yang mempublikasikan tulisan secepat mungkin, kalau bisa di hari yang sama dengan kejadiannya, maka saya adalah anomali diantara mereka. Bahwa tulisan ini ditayangkan, memiliki maksud untuk memenuhi kepuasan hati penulis sekaligus pelaku dalam lakon ini.
****
4 Lusin Donat Dengan Harga Kurang Dari 200 Ribu - Dok. Pribadi
                Promo donat merk internasional menyisakan banyak cerita, baik untuk pelakunya maupun untuk para pengunjung lain. Salah satunya adalah saya. Pada tanggal 15-18 Mei 2016, donat merk internasional sebut saja J.Co merayakan ulang tahunnya dengan memberikan diskon 50% untuk para konsumennya, yaitu orang-orang yang selalu tergoda dengan wangi donat J.Co tatkala melintas di depan gerainya namun seringkali mengurungkan niatnya dengan berbagai alasan, mungkin harganya yang terlampau mahal untuk donat yang kempes ketika digigit, atau memang tidak lapar saja. Demikian pula dengan saya. Saya termasuk orang yang menahan diri ketika melintas di depan gerai J.Co. Alasan pertama menjadi jawabannya. Kalau sesekali sih, gak masalah. Kalau sering-sering ya bangkrut juga. Nah, ketika J.Co mengumumkan harga promo donat J.Co dari 100K++ untuk 1 lusin, kini diskon menjadi 99K untuk 2 lusin. Saya pikir, layak di coba nih, apalagi hari diskonnya pun dipilih saat hari kerja sehingga saya membayangkan tidak terlalu panjang antriannya seperti akhir pekan. Dengan pertimbangan tersebut, saya pun bertolak ke gerai J.Co terdekat yaitu di Botani Square, Bogor.
                Suasana Botani Square saat itu, yaitu Rabu, 18 Mei 2016 terbilang lengang. Tak banyak orang lalu lalang keluar masuk mall. Namun, berbeda cerita saat saya berjalan ke arah gerai J.Co. Antrian pun sudah mulai mengular. Dengar-dengar, ada yang dari jam 7 pagi mengantri. Niat banget! Pikir saya. Saya pun memutuskan untuk ikut mengantri. Alasan pertama, pastinya ingin mencicipi donat promo. Alasan kedua, ingin tahu seberapa lama saya mengantri sehingga secara langsung dapat disimpulkan  cara kerja manajemen J.Co untuk memenuhi pangsa pasar yang membludak. Setengah jam, saya maju tiga langkah. Lumayan, pikir saya. Satu setengah jam, saya maju lima langkah. Hmm, saya pun membatin,  seperti ada yang kurang beres. Lalu, usut punya usut ternyata J.Co membuka dua antrian. Pertama, antrian dari jam 7 pagi. Kedua, antrian dari jam 9.30 pagi ketika mall baru buka. Antrian pertama diutamakan untuk dihabiskan terlebih dahulu, lalu barulah antrian kedua yang mengular ini mendapat giliran berikutnya. Saya pun membatin, kalau seperti ini, kapan beresnya? Saya sudah berdiri dua jam pula. Huwaaa..Apalagi, pada antrian pertama jumlah orangnya jadi makin banyak. Setelah diperhatikan, pihak J.Co tidak mengawasi antrian pertama yang, pastinya lebih pendek dari yang kedua, sehingga banyak orang baru yang ikut-ikutan mengantri biar lebih cepat. Saya bersama orang-orang yang mengantri pun mulai naik pitam.
                Tiga jam sudah saya mengantri. Memang, antriannya sudah maju, tapi mulai dari sinilah, antrian ini berhenti total. Saya pun penasaran dengan bagaimana pihak J.Co mengatur para calon konsumen sehingga tertib dan adil. Selain itu, saya pun penasaran dengan cara kerja waitress J.Co karena kalau saya perhatikan, satu konsumen dilayani sekitar 5-10 menit. Coba kalau kita iseng menghitung probabilitas waktu tunggu calon konsumen yang masih mengantri dengan menjumlahkan waktu tunggu calon konsumen yang menunggu donatnya dimasukkan ke dalam boks dan yang mengantri untuk membayar donatnya. Maka, sekian jam-lah yang dihabiskan percuma hanya untuk berdiri dan menelan ludah karena menonton para pejuang donat yang tertawa riang membawa minimal dua boks donat. Mau pulang, sayang karena tinggal dua meter lagi sampai di depan waitress J.Co. Akhirnya, bertahan menjadi satu-satunya jalan. Paling tidak agar perjuangan tiga jam terbayar walau hanya dengan dua lusin donat.
                Tiga jam tiga puluh menit sudah saya berdiri. Jujur, saya gemas dengan manajemen J.Co yang kurang sigap dalam melayani para calon konsumen dan tidak tegas dengan orang-orang –baru-yang-mengaku-datang jam-tujuh-padahal-jam-dua-belas-siang, mengantri di antrian pertama, dan dapat giliran lebih dahulu dibandingkan kami yang sudah mengantri lebih dari tiga jam. Sampai-sampai ada seorang bapak yang berteriak dan memarahi salah satu karyawan J.Co karena kesal. Mas-mas karyawan J.Co dengan santai menanggapi bahwa dia baru datang dan mendapati antrian sudah demikian panjang, jadi sabar ya Pak, harap maklum, ujarnya. Spontan, Sang Bapak tidak terima diperlakukan tidak adil seperti itu dan menyulut amarah dari orang-orang yang juga mengantri bersamanya. Saya pun angkat bicara untuk berpendapat dengan maksud untuk memberi masukan kepada pihak manajemen J.Co, yaitu agar lebih tegas dalam mengatur dan mengawasi antrian sehingga adil serta meminimalisasi tindakan kecurangan. Mas-mas J.Co menyatakan permohonan maafnya dan berjanji akan mencatat masukan tersebut. Tadinya saya sangsi kalau hal itu dilakukan hanya untuk memenuhi prosedur perusahaan semata, namun saya berusaha positive thinking, karena toh marah atau diam pun sama saja, tidak mengubah situasi apapun.
                Melihat fenomena promo J.Co ini, saya menganalogikan seperti sebuah kue yang dikerumuni semut-semut yang entah dari mana asalnya. Saya pun berefleksi, seharusnya, J.Co sudah bisa menduga bahwa dengan promo 50% akan mendatangkan konsumen sangat banyak sehingga J.Co pun memiliki strategi untuk mengaturnya. Pertanyaannya, apa saja strategi J.Co untuk memenuhi permintaan pasar yang demikian membludak? Berdasarkan pengamatan, saya menduga antrian mengular dengan waktu tunggu sangat panjang adalah imbas dari beberapa faktor :
a). Tidak adanya sistem antrian yang jelas dan tegas
                Iklan promo J.Co yang demikian viral melalui sosial media membuat kebanyakan orang penasaran dan memanfaatkan momen ini, kapan lagi dapat donat 2 lusin senilai 99 ribu saja? Hal ini pun membuat orang-orang berlomba-lomba untuk datang ke gerai J.Co sepagi mungkin dan menimbulkan antrian panjang. J.Co belum mengantisipasi hal ini dengan membuat sistem yang jelas dan tegas. Misalnya, memasang garis jalur antrian atau bila gerainya tergolong sempit, membuka beberapa antrian dan mengawasinya dengan tegas untuk mengurangi kecurangan. Hal lain yang logis dilakukan adalah dengan memberi nomor bagi siapa saja yang mengantri berurutan sesuai jam kedatangan. Jadi, orang yang datang lebih awal akan memegang nomor antrian pertama dan seterusnya hingga orang terakhir. Kemudian, pihak J.Co pun mengatur alur bergeraknya antrian hingga konsumen dilayani dan pulang dengan bahagia. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh pihak J.Co khususnya J.Co Botani Square, Bogor. 
Para Pejuang Donat 4 Jam - Dok. Pribadi
b). Kecepatan pelayanan tidak seimbang dengan jumlah antrian
                Saya perhatikan, J.Co Botani Square, Bogor tidak menambah jumlah waitress yang melayani konsumen sehingga ibarat bottle-neck, mandeg di satu sampai dua konsumen. Hal ini menyebabkan waktu tunggu yang lumayan lama bagi konsumen setelahnya. Imbasnya pun merambat seperti efek domino ke antrian yang mengular di belakang-belakangnya. Seyogyanya, J.Co menambah beberapa waitress selama promo  ini berlangsung sehingga mereduksi waktu tunggu yang terlalu panjang bagi konsumen lainnya. Masih ingin memberikan citra positif ke konsumennya, kan? 
Duh, Mbak, Kosong Banget Etalasenya? - Dok. Pribadi
c). Konsumen boleh pilih donat sesukanya, berapa pun jumlahnya
                Hal yang membuat saya kaget adalah konsumen boleh memilih donat yang disuka tanpa batasan! Karena promonya adalah pembelian 2 lusin donat senilai 99 ribu, maka bisa berlaku kelipatannya. Pada awalnya, konsumen tidak dibatasi mau membeli sebanyak apapun, namun di hari terakhir, J.Co membatasi pembelian maksimal 4 lusin per konsumen. Logikanya adalah apabila permintaan semakin banyak, maka persediaan pun minimal dapat memenuhinya. Namun, ketika saya lihat, etalase donat kosong dan sebagian besar donat masih dibakar dalam oven sehingga konsumen pun harus menunggu hingga donat matang. Bila donat yang baru matang tidak sesuai seleranya, maka dia harus menunggu lagi. Coba bayangkan, apabila setiap konsumen bebas memilih, berapa lama waktu tunggu antrian belakang-belakangnya? Alangkah lebih efektifnya, apabila J.Co telah memasukkan donat-donat tersebut ke dalam boks untuk langsung didistribusikan ke konsumen dan konsumen tidak diberikan opsi untuk memilih seperti biasanya. Saya yakin, proses pelayanannya pun jauh lebih efektif dan efisien dari sisi waktu dan tenaga. 
 
Ini Dia Penampakan Donat 4 Jam - Dok. Pribadi
                Menjadi peserta promo J.Co ini memang penuh perjuangan dan pengalaman. Kesabaran dan kejujuran di uji dalam setiap gerak dan waktu yang dihabiskan untuk mengantri. Saya yakin, pelajaran berharga ini tidak hanya bisa dirasakan oleh para konsumen-dadakan J.Co, tapi juga oleh pihak J.Co sendiri sehingga ke depannya tidak terulang kembali. Kalau saya ditanya, apakah saya ingin mencoba untuk kali kedua? Hmm, nope! Kecuali kalau J.Co sudah membenahi sistem yang implementasinya di luar kendali saya. Kalau kamu?

Minggu, 08 Mei 2016

Dewi Dee Lestari : 15 Tahun Perjalanan Mencari Jati Diri



Siang itu, panas Jakarta makin membara, layaknya percikan api yang disiram dengan bensin. Demikian pula suasana di kerumunan itu. Riuh dan penuh dengan para pecinta literatur dan seni, dengan harapan dapat menyapa sang pujaan, mendapatkan tanda tangan, hingga koneksi untuk masa depan. Lalu, saat sang idola muncul di depan mata, seketika sadar bahwa jurang penghalang tak lagi terbentang. Kita duduk berhadapan. Yang tadinya tak terbayang, kini jadi kenyataan. Akhirnya. – Taman Ismail Marzuki, 7 Mei 2016
***
Dee Lestari dalam acara In Conversation with Dee Lestari : 15 Years Journey, TIM, 7 Mei 2016- Dok. Devina


                Demikian. Itulah yang kira-kira dirasakan oleh pengagum karya Dewi Dee Lestari. Saya salah satunya, yang demikian menikmati setiap paragraf yang terangkai cantik dalam Supernova, Madre, Filosofi Kopi, Perahu Kertas, dan Recto Verso. Nah, dalam rangkaian acara ASEAN Literary Festival 2016 di Taman Ismail Marzuki, penggemar Dewi Dee Lestari disuguhkan menu bincang-bincang dengan tajuk In Conversation with Dee Lestari : The 15 Year Journey dengan moderator Nathalie Indry. Perbincangan ini dibuka dengan pertanyaan : apa arti 15 tahun bagi Dee Lestari?  
                Bagi Dee, 15 tahun adalah sebuah proses untuk menempa diri sebagai seorang manusia. Menulis adalah medium yang secara konsisten dilakukan oleh Dee. Dalam kurun waktu itu, 5 karya Supernova lahir. Dari mulai prekuel : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh ; lalu disusul dengan Akar, Petir, Partikel, Gelombang, dan terakhir Intelegensi Embun Pagi. Di sela-sela itu, lahir pula novel lainnya seperti Perahu Kertas, Madre, Filosofi Kopi, dan Rectoverso. Dee pun ingat saat-saat pertama kali Supernova hadir dalam hidupnya. Berawal dari kegemarananya dalam membaca buku sains, roman, sastra, komik, dan berbagai genre bacaan, membuat Dee senang berimajinasi tentang berbagai karakter yang hadir dalam benaknya. Selain itu, menurut Dee, ada suatu sensasi penasaran yang muncul ketika ia membaca berbagai serial dan cerita bersambung di majalah atau buku fiksi. Ditambah juga dengan kegelisahan tentang hidup dan semesta yang membuka gerbang pikirannya untuk bertanya, mencoba mencari tahu jawabannya, muncul pertanyaan lanjutan, dan seterusnya. Hal tersebut pun menjadi cikal bakal Dee untuk berpikir luas dan lebar serta menyalurkannya melalui karya berbentuk tulisan. Dengan seabreg karya yang sudah dihasilkan, Dee yang sebelumnya tidak berpikir untuk menjadi seorang penulis pun menyadari akan minat dan medium untuk penyalurannya. Oleh karena itu, Dee membayangkan apabila suatu saat nanti ia bisa membaca buku yang ditulis sendiri dari karakter yang ia ciptakan dalam ruang imajinasinya, maka itu dapat menjadi hadiah terindah dalam hidupnya. Hadiah itu akan ia berikan pada diri sendiri pada saat ia berulang tahun ke-25 karena Dee melihat temannya mendaki Gunung Kilimanjaro sebagai hadiah bagi dirinya saat itu. Memang agak kompetitif sih, tapi ternyata motivasi itulah yang membuat Dee menargetkan dirinya untuk menyelesaikan serial Supernova yang pertama, yaitu Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (KPBJ). Alasan itu juga yang menjadikan KPBJ diterbitkan secara mandiri atau self-publishing.
                Dalam proses menulis, apalagi selama 15 tahun berproses, Dee memegang prinsip dasar yaitu menulislah dari hal yang disukai sehingga apabila di tengah prosesnya mengalami kendala, kecintaan terhadap tujuannyalah yang akan membantu membakar semangat kembali. Hal ini membuat Dee tetap setia pada ide yang diusung dalam berbagai karyanya walau pada awalnya ia pun bertanya-tanya apakah buku yang ia tulis dan publikasikan dapat diterima pembaca dan membentuk pasarnya sendiri? Jawabannya pun ia dapatkan ketika bukunya sudah dipublikasikan secara nasional dan mendapat beragam kritikan. Ada yang memuji, banyak pula yang mengoreksi. Banyak yang menjadikan karyanya sebagai referensi, ada pula yang mencaci karena dianggap sok-sok-an dikategorikan sebagai karya sastra. Padahal, waktu itu belum ada buku fiksi ilmiah yang juga mengandung unsur puisi didalamnya sehingga seringkali toko buku salah menempatkan KPBJ di deretan kategori Ilmu Alam atau Psikologi. Pada awalnya Dee kaget karena tidak menyangka respon publik sedemikian dahsyatnya. Namun, ada hal yang mencengangkan dan menjadi titik balik Dee dari kejadian tersebut. Ternyata, setelah Dee menghitung jumlah kritik dan pujian, ternyata hasilnya fifty-fifty atau seimbang. Dee pun merenung. Pada dasarnya, keseimbanganlah yang dicari dalam hidup dan itu terjadi dalam karyanya. Dari titik itu, Dee mengobservasi dan berefleksi, bahwa dari segala sudut pandang yang mengomentari karyanya, ia menyadari tidak semua pendapat orang harus ia dengar dan pikirkan. Ada pendapat yang objektif, hal ini bisa diambil pembelajarannya, namun tak sedikit juga yang subjektif. Dee pun sadar bahwa ia tidak bisa membahagiakan semua orang melalui karyanya sehingga jalan bijak yang bisa Dee ambil adalah memperbaiki setiap karya yang ia ciptakan dan publikasikan. Dee menyebutnya sebagai momen break-through atau terobosan.
                Dee menjelaskan pandangannya tentang definisi seorang penulis. Menurutnya, seseorang belum dikatakan sebagai penulis apabila ia belum merasakan kesulitan dalam mencurahkan ide dan waktunya untuk membuat sebuah karya. Jadi, kesulitan adalah bagian yang harus dialami dalam proses menulis. Maka dari itu, setiap penulis perlu waktu rehat sejenak dari rutinitas. Idealnya, waktu bekerja itu sama dengan waktu istirahat sehingga pikiran kita bisa lebih jernih dan menemukan kembali ritmenya. Hal ini dilakukan Dee ketika selama 15 tahun mengalami berbagai fase kehidupan. Di mulai saat masih single sehingga dapat menulis kapan pun. Lalu, beranjak ke fase berikutnya yaitu menikah, hamil, dan melahirkan sehingga otomatis mengubah ritme waktu menulisnya. Kala itu, dapat dikatakan menjadi salah satu titik tersulit dalam hidupnya karena ia harus beradaptasi dengan semua perubahan. Perencanaan dan target waktu menjadi mercusuar untuk memacu dirinya menyelesaikan Supernova dan karya-karya lainnya.
                Kemudian, apakah Dee akan berhenti setelah Intelegensi Embun Pagi (IEP)? Sambil tersenyum penuh arti, Dee menjawab bahwa baginya tanda tanya yang sengaja diselipkan di akhir halaman IEP merupakan awal mula untuk melanjutkan kisah berikutnya. Tunas kisah tersebut masih satu nafas dengan Supernova yaitu tentang pencarian jati diri dan pertanyaan lainnya seputar kehidupan serta semesta. Hal ini pun dikuatkan dengan pernyataan dari Dee bahwa pada dasarnya Dee selalu mendambakan sebuah karya dengan akhir tanda tanya karena setiap jawaban bersifat temporer sehingga akan ada pertanyaan baru dari setiap jawaban yang diberikan.
                Selama 1,5 jam berbincang bersama Dee, saya banyak belajar tentang seluruh proses panjang perjalanan menuju puncak kesuksesan Supernova dan karya lainnya. Tentunya dengan berbagai tantangan yang silih berganti. Tekad kuat dan kesetiaan pada tujuan merupakan lampu-lampu yang menuntun Dee hingga sekarang ini. Ketika acara ini sedang digelar pun ternyata di luar sana sedang ada demonstrasi dari Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Islam yang menuntut dibubarkannya ASEAN Literary Festival 2016 karena diduga ada unsur komunisme dan separatisme Papua yang dimasukkan ke dalam rangkaian acara ini. Mungkin mereka kurang piknik. Belum juga jadi peserta, sudah main tuduh duluan. Mungkin, kalau mereka hadir sebagai peserta bersama saya, pikirannya bisa lebih terbuka sehingga tahu bagaimana cara untuk mencari jati diri selain dengan demonstrasi.

Jumat, 06 Mei 2016

AADC 2 dan Kita yang Pernah Remaja



         Masih ingat ketika pertama kali menonton film remaja bersama teman se-geng sepulang sekolah? Lalu, kita merasa seolah-olah pernah mengalami cerita yang serupa dengan pemeran yang ada di film tersebut? Kalau dua pertanyaan tersebut jawabannya, ya, maka selamat bernostalgia, wahai para remaja awal tahun 2000. Salah satu yang mengalaminya adalah saya sendiri. Saya masih ingat momen-momen mengantri di bioskop saat premier film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) bersama teman satu geng di sekolah. Rasanya bagai menjadi anak gaul di kalangan ABG (Anak Baru Gede) kala itu. Kemudian, puisi AKU karya Chairil Anwar menjadi topik populer yang diperbincangkan di kalangan remaja. Bahkan, banyak yang sampai hafal seluruh baitnya hingga dijadikan bahan untuk musikalisasi puisi. Ekstrakurikuler majalah dinding (mading) dan basket yang sudah banyak peminatnya dari dahulu, kini menjadi tambah bergengsi. Baju pas di badan, rok pendek di atas lutut, kaus kaki panjang sampai pangkal betis, dan sepatu pantofel menjadi gaya busana paling nge-hits saat itu. Pokoknya, gak gaul deh kalau tampilannya gak seperti geng AADC, gak ikutan ekstrakurikuler mading, suka puisi, dan punya pacar pemain basket. Masa-masa remaja yang terindah tak bisa terulang, kalau kata Melly Goeslaw. 

AADC 1 : Persahabatan dan Kisah Cinta yang Belum Usai
Saat itu, tahun 2000-an, tidak banyak beredar film Indonesia yang berkualitas dari segi cerita. Kebanyakan film Indonesia, ber-genre horor atau drama ala sinetron. Pada saat Mira Lesmana mulai menggarap film remaja bertema cinta dan persahabatan, masyarakat pun seakan mendapatkan jawaban atas kehausan akan film Indonesia yang berkualitas. Dimulai dari Petualangan Sherina yang menyasar penonton anak-anak hingga remaja awal, lalu dilanjutkan dengan AADC yang sukses mencuri perhatian para remaja hingga dewasa. Bahkan, AADC menjadi kiblat pergaulan saat itu. Saya ingat, teman-teman saya (dan mungkin saya juga) menjadi puitis dan banyak kisah cinta yang dimulai dari puisi. Kenangan yang membuat saya terkikik saat mengingatnya. Dari AADC-lah, geliat perfilman Indonesia kian berkibar. Para penonton pun kerap kali memadati antrian film Indonesia. Sebut saja Eiffle I’m In Love, Dealova, Me vs The World, dan lain-lain.
Kalau kita ingat kembali film AADC 1, Cinta bersama gengnya dengan konflik didalamnya serta kisah cinta beda kutub, cewek gaul ibukota dengan cowok pendiam yang suka sastra, menghadirkan alur cerita yang natural khas remaja SMA. Gaya populernya Cinta, ceriwisnya Maura, tomboynya Karmen, apa adanya Milly, hingga dewasanya Alya tergambar demikian menyatu dengan kehidupan kita sehari-hari, pada saat itu. Sejujurnya, saat menonton AADC 1, emosi saya dibawa ke dalam setiap alur ceritanya. Saya yakin, kita semua ketika remaja pernah mengalami perasaan berbunga-bunga seperti yang dialami Cinta saat kasmaran bersama Rangga dan berusaha menghindar dari teman-temannya. Walau tidak paralel seperti cerita AADC, yaitu adanya situasi yang menjadi pelik karena Alya mengalami depresi akibat percobaan bunuh diri yang dilakukannya. Cinta yang sebelumnya ditelepon oleh Alya untuk menemani Alya pun merasa bersalah. Akibat keputusannya untuk berkencan dengan Rangga, dia jadi mengesampingkan sahabat yang saat itu membutuhkannya. Akhirnya, Cinta marah pada diri sendiri dan melampiaskannya kepada Rangga yang tidak tahu duduk persoalan. Saat itu, Rangga marah dan berjanji tidak akan menemui Cinta. Ia yang memang akan pindah ke New York pun mengurungkan niat untuk berpisah dengan Cinta secara langsung. Ia menuliskan perpisahan dan kejujuran akan perasaannya dalam sebuah puisi. Waktu pun semakin mendekati keberangkatan ke New York. Rangga menjadi gundah gulana. Cinta yang akhirnya menyadari bahwa gengsi tidak akan menyelesaikan masalah, berusaha menyusul Rangga ke bandara. Adegan kejar-mengajar antara waktu dan kesempatan pun dimulai. Beruntung, Cinta sempat bertemu Rangga sebelum pesawat boarding dan mengungkapkan kejujuran akan perasaan cintanya kepada Rangga. Dan, akhir AADC 1 diwarnai dengan tangis bahagia walau diasumsikan kisah cinta Rangga dan Cinta akan berlanjut pada hubungan jarak jauh.
Apakah kisah cinta mereka akan bertahan atau hanya dianggap sebagai cinta monyet yang kandas seiring bertambah dewasanya mereka? Itulah hal menarik dari AADC 1. Kita didorong untuk menjawab sendiri sesuai imajinasi masing-masing.

AADC 2: Saat Cinta dan Persahabatan Kian Mendewasakan
                Pertanyaan akan kelanjutan kisah cinta Rangga dan Cinta terjawab di sekuel AADC 2. Walau sebenarnya AADC 2 ini tidak direncanakan dibuat pada saat produksi AADC 1, namun untuk memenuhi permintaan penikmat kenangan, seperti saya dan kita mungkin, maka kisah geng cinta pun dilanjutkan. Terbukti, penayangan perdana AADC 2 yang menyedot perhatian lebih dari 200.000 penonton. Bahkan, antrian penonton AADC di salah satu bioskop di Bogor, dari hari pertama hingga keempat masih panjang. Sampai-sampai XXI menambah 1 studio tambahan sehingga total studio yang menayangkan AADC bejumlah 3 studio. WOW! Seingat saya tidak ada film Indonesia yang menembus rekor seperti ini.
                Saya sebagai ABG tahun 2000-an pun merasa terpanggil untuk menikmati kenangan AADC. Pada adegan-adegan awal, saya merasa cukup terkejut dengan pembukaannya. 14 tahun berpisah pasti memberikan perbedaan yang signifikan. Demikian dengan para karakter geng Cinta di AADC 2 yang diceritakan sudah mapan dalam kehidupan pribadi masing-masing. Cinta yang sudah dilamar oleh Trian dan akan menikah, Maura yang sudah punya empat anak, Milly dan Mamet yang menjadi pasutri, Karmen yang baru keluar panti rehabilitasi, dan Alya yang ternyata diceritakan meninggal karena kecelakaan. Saya cukup kaget dengan tidak adanya Alya dalam geng Cinta ini, karena  di AADC 1, tokoh Alya-lah yang memberikan kekuatan pada cerita, salah satunya saat Alya mencoba bunuh diri dan Cinta malah berkencan dengan Rangga. Saya pun berspekulasi, untuk membentuk alur cerita yang cantik pada AADC 2, maka setidaknya ada dua hal yang mungkin akan menjadi akhir cerita ini. Pertama, Cinta jadi menikah dengan Trian walau Cinta masih ada sedikit perasaan dengan Rangga (mungkin akan mirip lagunya MLTR : 20 Minutes) atau kedua, Cinta tidak jadi menikah dengan Trian dan memilih Rangga kembali. Mari kita lihat, mana yang benar.
                Alur cerita pun berjalan maju. Mengambil latar liburan ke Yogyakarta karena sudah lama tidak berkumpul satu geng lengkap, mereka pun menyusun rencana dengan matang. Di sisi lain, Rangga didatangi oleh adik tirinya ke kafe tempat ia bekerja untuk meminta Rangga agar menemui ibunya yang tinggal di Yogyakarta. Di sinilah kebetulan itu akan terjadi. Kebetulan yang menurut saya jadi menimbulkan pertanyaan. Apa alasan kuat Rangga akhirnya mau menemui ibunya setelah 25 tahun tidak bertemu? Apakah dengan adik tirinya menemui Rangga, maka Rangga menjadi luluh hatinya untuk menemui ibunya? Tanpa ada penjelasan bahwa ada kejadian darurat, misalnya sakit keras dan diprediksi usianya tidak lama lagi, sehingga Rangga harus menemui ibunya secepatnya. Hal ini ganjil menurut saya. Kemudian, ketika di Yogyakarta, Karmen dan Milly tidak sengaja melihat Rangga ada di Yogyakarta juga. Hal ini membuat Karmen ingin menemui Rangga untuk mendorong Rangga menjelaskan hal-hal yang masih menggantung terhadap hubungannya dengan Cinta. Diceritakan juga, sebelumnya Cinta mendapatkan surat dari Rangga yang menjelaskan bahwa Rangga ingin mereka berpisah karena ia sadar tidak bisa membahagiakan Cinta. Setelah melalui perdebatan dan diskusi di dalam geng, akhirnya Cinta mau juga bertemu dengan Rangga.
Pertemuan di awali dengan penjelasan tentang sudut pandang Cinta tentang surat dari Rangga. Percakapan yang paling diingat oleh sebagian besar penonton adalah ketika Cinta mengucapkan : Rangga, apa yang kamu lakukan ke saya itu, JAHAT! Nah, mulai dari sinilah, mereka saling menjelaskan duduk persoalan hubungan mereka. Hal yang konsisten terlihat dari AADC 1 dan 2 adalah masih adanya gengsi antara Cinta dan Rangga untuk saling terbuka satu sama lain. Kalau saya perhatikan sih, ada yang disembunyikan dalam hubungan pacaran mereka. Betul bahwa mereka saling mengungkapkan sayang dengan tindakan dan ucapan. Namun, hal mendasar seperti definisi kasih sayang dan bahagia sebagai pasangan belum terasa dalam hubungan mereka. Masih ada asumsi di antara mereka. Hal ini tergambar dari percakapan antara Rangga dan Cinta tentang pesan dari ayahnya Cinta, saat Cinta sekeluarga liburan ke New York, bahwa kalau sudah lulus kuliah, cepat pulang ke Jakarta, dan cari kerja di Jakarta agar Cinta tidak kelamaan menunggu. Nah, secara logika, kalau memang Rangga benar-benar serius dengan Cinta, maka seharusnya, Rangga termotivasi untuk menyelesaikan kuliahnya, membuktikan kemandiriannya secara materi, dan memberikan kepastian cintanya kepada Cinta. Hal ini tidak dilakukan oleh Rangga karena Rangga kemudian menjelaskan bahwa kuliahnya malah berantakan dan ia memutuskan untuk main aman : berpisah dengan Cinta karena ia merasa tidak akan bisa membahagiakannya. Rangga pun masih berasumsi bahwa Cinta ingin lelaki yang kaya secara materi, bukan seperti dirinya yang hanya jago bikin puisi. Well, hal itulah yang luput dari kejujuran Rangga kepada Cinta. 14 tahun pacaran, koq belum jujur ya satu sama lain? Agak ganjil kalau menurut saya. Kalau saja Rangga jujur dari awal, tidak berasumsi, dan tidak menilai Cinta hanya dari gaya hidupnya, mungkin alur ceritanya bisa lebih kaya dan dalam serta lebih filosofis, menyambungkannya dengan puisi Rangga yang puitis sehingga karakter Rangga tergambar dalam sosok lelaki mandiri, pantang menyerah, berpendirian kuat, serta puitis.
                Setting tempat yang digunakan dalam film AADC 2 ini adalah di Jakarta, Yogyakarta, dan New York, namun kebanyakan adegan dilakukan di Yogyakarta. Banyak tempat yang disinggahi oleh Rangga dan Cinta dalam rangka menjelaskan kelanjutan hubungan sekaligus mengekspresikan perasaan mereka menjadi Cinta-Lama-Bersemi-Kembali. Dalam satu hari satu malam, kira-kira mereka datang ke beberapa tempat wisata dan kuliner di Yogyakarta. Sebut saja Sellie Coffee yang sekarang terkenal dengan Kafe Rangga Jahat, Klinik Kopi, Sate Klathak, Padepokan Pak Bagong Kussudiarja, Papermoon Puppet Theatre, Kota Gedhe, Candi Ratu Boko, Rumah Doa Bukit Rhema, dan Punthuk Setumbu. Tempat-tempat itulah yang justru menghibur dan menjadi referensi liburan kekinian para penonton karena dijadikan lokasi syuting AADC 2. Namun, ada hal yang menurut saya agak ganjil, yaitu mengapa dandanan Cinta tidak luntur walau hampir 24 jam jalan-jalan di alam terbuka dan Cinta tidak terlihat berkeringat? Saya berasumsi, mungkin ini adalah trik dagang sponsor make-up yang digunakan Cinta dengan pesan bahwa apabila kita menggunakan make-up merk tersebut, maka dandanan akan tahan 24 jam. Well, bisa jadi, tapi sebagai orang lapangan yang juga menggunakan produk sponsor tersebut, agak aneh saja sih, karena justru make-up saya hanya tahan kira-kira 4-6 jam di luar rumah.
                Walau ada beberapa hal yang agak ganjil dalam alur film AADC 2 ini, namun saya sungguh menikmatinya. Saya menyebut AADC 2 ini sebagai proyek kenangan karena telah sukses membuat saya baper dengan kehidupan masa remaja, puisinya Rangga yang tak kalah puitis, serta keceriaan khas karakter dan kedewasaan berpikir geng Cinta walau tidak ada Alya didalamnya. Mungkin itu menjadi kompensasi dalam alur cerita karena harus menghilangkan satu karakter. Saya juga sangat terhibur dengan kekocakan Milly yang natural dan membumbui hampir tiap adegan. Lalu, dinginnya sosok Rangga yang tanpa ekspresi walau demikian emosionalnya adegan tersebut, membuat saya bergidik sendiri kalau membayangkan jadi Cinta, hehe. Tempat-tempat yang digunakan dalam tiap adegan AADC 2 pun tak kalah menghibur seraya membayangkan akan jadi top-list-bucket para wisatawan saat liburan ke Yogyakarta. Dua percakapan favorit saya di AADC 2 : Pertama, yaitu pertanyaan Karmen ke Cinta : Ta, sebenernya, cinta elu tuh bener-bener buat Trian, gak sih? Pertanyaan ini, menurut saya, mendorong perang batin dalam diri Cinta. Walau dia sebentar lagi akan menikah dengan Trian, tapi apakah benar dia memang cinta kepada Trian? Atau Trian adalah pelampiasan semata? Mungkin hal ini juga pernah terjadi dalam kehidupan kita semua, walau akhirnya bisa jadi beragam. Kedua, tentang perbedaan antara liburan dan travelling menurut Rangga. Kalau liburan, kita pasti membuat rencana yang matang, mau kemana dan sampai kapan. Kalau travelling itu lebih spontan dan penuh dengan resiko, karena hal yang justru kita nikmati adalah prosesnya, bukan hasilnya. The journey, not destination, kalau kata Cinta.
                Well, terima kasih buat Miles Production yang sudah menelurkan karya fenomenal kembali. AADC 2 ini bagai lorong waktu yang mengantar saya ke dalam memori lama ketika masih remaja, ketika masih mencari identitas diri melalui berbagai hal dari yang biasa hingga ajaib. Selamat terombang-ambing dalam kenangan, selamat mencumbui perasaan.