Sabtu, 19 Maret 2016

Komunitas : Antara Esensi dan Eksistensi

“Kenapa sih kamu hampir tidak pernah absen untuk hadir rapat di malam hari dan hampir setiap hari?” Tanya saya kepada salah satu relawan yang rajin datang untuk berdiskusi tentang salah satu kegiatan kerelawanan di kantor saya. “Hmm..kenapa ya? Seneng aja. Bisa ketemu dengan sesama teman relawan lain, bisa ketawa bareng, dan saling berjejaring sehingga saya merasa work-life-balance di sini”.

*********

Bukan sekali atau dua kali saya menemukan jawaban yang serupa ketika saya berbincang dengan para relawan. Mereka  datang dari berbagai latar belakang pekerjaan dengan motivasi yang hampir sama yaitu ingin membentuk lingkar pertemanan yang positif serta berkontribusi bagi orang lain melalui kegiatan sosial. Mereka memiliki kepercayaan yang sama yaitu apabila sebuah kegiatan dilakukan secara bersama-sama maka dampaknya akan terasa lebih besar daripada dikerjakan secara sendiri-sendiri.
Maraknya komunitas yang terbentuk di Indonesia, membuat saya bertanya  sendiri. Apa tujuan besar dari perkumpulan individu-individu tersebut? Apakah hanya sekadar mencari kepuasan diri  untuk melesap sebentar dari rutinitas yang menjemukan? Bila kita tengok beberapa komunitas yang sedang marak diperbincangkan di dunia maya, seperti komunitas jalan-jalan, komunitas berkebun, komunitas sastra, komunitas mengajar, komunitas taman baca, komunitas bermusik, komunitas memasak, dan lain sebagainya, kita bisa menemukan berbagai kegiatan sesuai dengan nama komunitas tersebut. Mungkin apabila kita perhatikan, komunitas hobi spesifik yang membutuhkan keahlian antara lain bermusik, fotografi, menyelam, paduan suara, atau profesi tertentu kegiatannya terfokus pada pengembangan dan peningkatan kapasitas anggotanya, baik melalui diskusi sesama anggota maupun terjun langsung di lapangan. Contoh riilnya adalah Komunitas Taman Suropati Chamber yang anggotanya tak hanya memiliki minat tinggi dalam memainkan musik, namun juga secara otomatis harus menguasai salah satu alat musik walau levelnya belum mahir. Pada perjalanannya, para anggota pun menjadi terasah keahlian bermusiknya melalui praktik langsung dari anggota lain yang sudah mahir dan pertunjukkan langsung di Taman Suropati dengan penontonnya yaitu masyarakat umum yang sedang berkunjung ke Taman Suropati. Selain itu, ada pula komunitas fotografi seperti Komunitas Belajar Fotografi (JARI) yang berisi para fotografer baik profesional maupun amatir yang juga memiliki semangat untuk pengembangan kapasitas anggotanya dengan melakukan street hunting photography hingga kompetisi fotografi. Selain menyalurkan minat, berbagai kegiatan dalam komunitas tersebut pun dapat memperluas pertemanan hingga membuka peluang bisnis.
Selain kategori komunitas di atas, tumbuh pula berbagai komunitas lainnya yang menyasar pada masyarakat umum tanpa ada prasyarat apapun sebelum bergabung didalamnya. Biasanya, komunitas ini menjangkau berbagai kalangan tak peduli usia, profesi, bahkan keahlian. Memang, ada komunitas yang hanya menyasar pada level masyarakat tertentu, namun jumlahnya masih kalah besar dengan komunitas yang heterogen. Komunitas-komunitas tersebut kebanyakan dibentuk karena adanya kesenjangan akan aktualisasi diri dan kebutuhan sosial untuk diterima apa adanya oleh orang lain. Mereka pun berinisiatif untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial untuk membantu sesama. Ada yang bergelut dalam kegiatan pendidikan seperti mengajar sehari tentang berbagai profesi di sekolah dasar, mengajar anak jalanan, mendirikan taman baca, atau bermain bersama anak-anak di panti asuhan ; kegiatan yang sifatnya memberi bantuan seperti memberikan buku kepada perpustakaan sekolah, memberikan alat peraga pengajaran kepada sekolah-sekolah, memberikan makanan bergizi kepada panti asuhan, atau mendonasikan sejumlah dana untuk pembuatan rumah ibadah ; kegiatan cinta lingkungan seperti membersihkan pantai, gerakan menanam sejuta pohon, atau kampanye untuk menjaga lingkungan. Kegiatan-kegiatan positif tersebut memang menghasilkan berbagai manfaat baik bagi para relawan sebagai pelaku maupun kelompok yang dibantu. Dari sisi proses, para relawan dapat saling menjalin pertemanan hingga jejaring yang lebih dalam dan saling bertukar ide dalam sebuah diskusi. Ketika kegiatan tersebut diselenggarakan, para relawan dapat memiliki pengalaman berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang dibantu. Demikian pula dengan kelompok yang dibantu, selain menikmati bantuan fisik, mereka pun mendapatkan pengalaman baru berkomunikasi dengan para relawan yang sebagian besar berasal dari kalangan menengah.
Dalam perjalanannya, para relawan tersebut sangat menikmati prosesnya sehingga kadangkala melupakan esensi dari kegiatan yang dilakukan. Sebagai contoh, kegiatan yang bersifat memberikan bantuan fisik (charity) dilakukan tanpa memikirkan adanya potensi ketergantungan yang akan ditimbulkan serta terbentuknya stigma bahwa bantuan itu haruslah berwujud materi karena terlihat, langsung dirasakan, dan mudah didokumentasikan. Contoh lain adalah kegiatan mengajar profesi sehari di sekolah dasar. Tujuannya memang mulia, yaitu ingin menginspirasi anak-anak terhadap berbagai profesi yang eksis di kehidupan dewasa ini. Namun, apakah benar bahwa dengan para relawan memperkenalkan profesi kepada anak-anak, hal tersebut akan serta merta berdampak bagi anak-anak seperti membuat anak-anak menjadi semangat belajar dan  melanjutkan sekolah? Bagaimana memastikannya? Itulah yang kadang terkesan latah dan menjadi trend kaum urban belakangan ini. Contoh lainnya seperti gerakan menanam sejuta pohon atau membersihkan pantai. Ketika para relawan menanam pohon dan membersihkan pantai, terdapat bibit yang ditanam di area tersebut dan pantai pun bersih pada hari itu. Namun, apakah bibit tersebut dirawat dengan baik sehingga tumbuh menjadi pohon sehingga dapat berkontribusi untuk menghijaukan bumi? Apakah kegiatan membersihkan pantai itu dilakukan secara rutin sehingga dipastikan tidak ada lagi sampah yang mencemari pantai? Pertanyaan-pertanyaan reflektif itulah yang menarik untuk didiskusikan bersama di dalam komunitas. Memang, tujuan umumnya sudah baik yaitu ingin menolong orang lain dalam berbagai cara dan berbagai kesempatan. Namun, alangkah lebih baiknya apabila kita pun memikirkan keberlanjutan dari berbagai kegiatan sosial tersebut. Jangan-jangan, komunitas kita hanya fokus pada kepuasan diri untuk bisa mengaktualisasikan kemampuan sekaligus mendapatkan perhargaan dari orang lain akan aksi yang kita lakukan tanpa secara lebih dalam memikirkan dampak keberlanjutan bagi kelompok sasaran. Atau malah berasyik masyuk mencari lingkungan yang nyaman untuk sekadar mencurahkan isi hati melalui perbincangan-perbincangan santai di warung kopi.

Saya menyebut fenomena di atas sebagai pembelajaran. Bahwa refleksi saya saat ini yang juga aktif dalam komunitas dalam bidang pendidikan adalah ketika kita ingin mendirikan komunitas atau bergabung dalam sebuah komunitas, maka hal yang perlu dipikirkan adalah kedalaman esensi dari kegiatan yang akan dilakukan bersama. Hal itulah yang menjadi keunikan komunitas  karena kegiatannya tak hanya berkisar pada mengurangi gap antara permasalahan dan solusi, namun juga memaksimalkan potensi individu/kelompok sasaran sehingga kedepannya mereka dapat mandiri dalam menyelesaikan permasalahannya sendiri. Apabila esensi dari kegiatan tersebut sudah tercapai, maka niscaya eksistensi komunitas tersebut pun dapat terus hidup sehingga tak hanya misi work-life-balanced bagi kaum urban yang tercapai, namun ada jejak yang senantiasa bertahan dan dapat berkembang organik dalam sistem sosial masyarakat.