Minggu, 29 September 2013

Accidentally Travelling (2)



 (continue #1) ... Apabila akan makan malam, ada fasilitas delivery to cottage. Namun, karena kami penasaran dengan restonya, maka kami pun berduyun-duyun makan disana. Menu yang ditawarkan terbilang biasa saja. Rasanya pun apalagi, sangat jauh dari kata ‘recommended’. Tapi, harganya, jangan ditanya deh, mahal sekali. Bayangkan saja, untuk satu porsi udang dan cumi goreng tepung, dibanderol dengan harga 58 ribuan. Satu porsi berisi 10 potong kecil udang / cumi dengan tepung bumbu instan sebagai tepungnya. Yaelah, plis deh. Ga sesuai banget antara harga, penampilan, dan rasanya. Kemudian untuk minumnya, kami pesan lemon tea panas dan yang tersaji adalah secangkir kecil teh hitam merk lokal plus potongan jeruk nipis disampingnya. Harganya 18 ribu rupiah per cangkirnya. Benar-benar membuat kami sebagai pengunjung kapok untuk balik lagi. Apalagi merekomendasikan. Hehe. Satu hal yang belum saya nilai adalah keindahan pantainya. Tunggulah hingga esok tiba, baru saya dapat menyimpulkan.
          Fajar menyingsing, pagi pun telah datang. Setelah menunaikan shalat Subuh, kami bergegas ke pantai, memburu panorama dan keindahan sunrise yang muncul malu-malu. Cuaca pagi memang agak mendung, hawa pun dingin menggigit. Bila tidak dipaksakan bergerak keluar, bisa-bisa cuma numpang tidur saja di dalam cottage. Kalau pasangan baru yang sedang berbulan madu sih masih dapat dimaklumi, lah kalau murni mau liburan ke pantai, masa disamakan? Hehe. Kami adalah orang pertama yang menyambangi pantai ini. Saat kami menginjakkan kaki masuk ke dalam dinginnya pasir, tiba-tiba angin laut berhembus keras. Mungkin Dewa Neptunus dan penunggu pantai selatan sedang menyambut kedatangan pengunjung baru. Rencananya sih, saya ingin mengabadikan sunrise, tapi cuaca berkata lain. Sunrise pagi ini tak tampak, namun panorama pantai dengan karang berserakan, ombak yang berkejaran, dan pasir yang masih putih bersih menghapuskan segala kekecewaan. Pantai ini terlihat masih perawan. Tak banyak orang yang bermain-main disini. Alasan klasiknya karena biaya yang relatif mahal untuk menginap disini. Namun, untuk pantai seindah dan seprivat ini, saya rela membayar lebih, asalkan kepuasan hati terlunasi dengan hasil jepretan nan memukau serta mencicipi isi pantai yang masih perawan. Rasanya jadi ingin punya pantai pribadi. Hehe. Setelah puas main di pantai, kami rehat sejenak untuk sarapan ala hotel sebagai complementary penyewaan cottage. Menu sarapan yang disajikan tak mengecewakan, ya sebandinglah dengan harga cottagenya. Setelah itu, kami beranjak ke acara berikutnya, yaitu mencoba water sport. Untuk mencapai arena water sport, kami harus berjalan kaki kira-kira 1 km. Disana ditawarkan banyak varian dengan harga beragam seperti jet sky, banana boat, glass bottom  boat, snorkeling, hingga diving. Pertama saya mencoba glass bottom boat yaitu boat yang dilengkapi dengan kaca ditengahnya sehingga pengunjung dapat dengan jelas melihat keindahan bawah laut dengan kedalaman 5-10 meter tanpa perlu snorkeling atau diving. Tarif yang dipatok adalah 75 ribu perorang. Konon, menurut petugasnya, keindahan laut di pantai Tanjung Lesung ini lebih eksotis dibandingkan pantai lain seperti Carita atau Anyer. Hal ini disinyalir karena laut disini masih terjaga kebersihannya. Nelayan yang mengambil ikan pun dibatasi aksesnya. Memang benar sih. Terumbu karang dan ikan warna-warninya jelas terlihat. Jadi ketagihan ingin mencoba snorkeling atau diving. Yang pasti tidak sekarang. Kapan-kapan. Hehe. Water sport kedua yang saya coba adalah banana boat, per setengah jam dibanderol dengan harga yang sama yaitu 75 ribu perorang. Karena saya bermain bersama sepupu yang masih berusia awal belasan tahun, jadi tidak ada adegan pembalikan banana boat di tengah laut. Ya adrenalin kurang terpacu sih, but it’s okay for beginner =) Next, mari coba water sport yang sedikit lebih ekstrim, hoho.
         Matahari sudah tepat berada di atas kepala. Adzan Zuhur pun sudah berkumandang di kejauhan. Kulit sudah nampak gosong. Ini pertanda untuk harus segera kembali dan bersiap check-out. Dua jam kemudian, kami selesai berkemas dan duduk manis di dalam mobil. Satu hari setengah adalah waktu yang sangat singkat untuk kami coba mengeksplor salah satu kawasan pantai selatan Jawa Barat. Walau dengan segala kekurangan yang dihadapi, ternyata tersimpan sebuah rasa yang mungkin pertanda. Bahwa saya rindu berada kembali disini, di sebuah pantai privat nan eksotis, berbekal kamera dan pena, bersama dia yang entah siapa, menjangkau kedalaman laut beratapkan langit, mencipta sebuah cerita walau harus mengubur berjuta kenangan lama yang perlahan sirna ditelan ombak dan karang. Untuk kita, bersama.
So, what does the travelling means to you? #2 (End)
see you!

Accidentally Travelling (1)


“What does the travelling means to you?” 

Welcome!

         Seperti biasa, setiap jumat sore, saya selalu sumringah pulang ke rumah. Kali ini, ada alasan tambahan untuk bertambah sumringah. Keluarga mengajak saya untuk berlibur sekaligus berziarah ke makam mbah buyut di Pandeglang. Yeay! Walaupun tanpa persiapan matang karena saya baru saja pulang dari Medan, namun tak sedikitpun menyurutkan semangat saya untuk mengabadikan tiap momen berharga selama perjalanan. And the journey have begun!
         Sudah lama rasanya kami tak berlibur bersama, bercengkrama dengan keluarga walau sempat terbersit rasa kasihan karena papalah yang harus menyetir non stop hingga ke tujuan. Sebenarnya, pengen sih bantu papa nyetir, cuma karena kondisinya saya memang tidak bisa nyetir dan kalau pun bisa papa pasti tidak mengizinkan, alhasil saya pun hanya duduk manis mengemil selama perjalanan. Hehe. *Pardon me, Dad =)* Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 6 jam dengan convoy 4 mobil. Itu pun berbonus nyasar di tengah jalan. Ya biasalah, kurang peka satu sama lain, akhirnya satu nyasar repot yang lain. Hehe. Pukul 15.00 sampailah kami di kompleks pemakaman mbah buyut yang ternyata adalah Kapolwil Banten pertama , Kombes. Pol. Yoesoep Martadilaga. Memasuki kompleks pemakaman, hawa pun terasa beda. Sunyi sepi melingkupi bersama semilir angin yang membelai mesra kulit ini, seolah mengirimkan sebuah pesan kepada yang masih bernyawa. Persiapkanlah bekalmu sedini mungkin karena kita tak tahu kapan akan dipanggil menghadap Sang Maha. Bila sudah tiba waktunya, hanya doa yang menjadi teman kita. Harta duniawi yang dikumpulkan pun tak bermanfaat lagi. Renungan singkat, syarat makna dalam, khususnya untuk saya pribadi yang masih jauh dari kata cukup apalagi sempurna. Ketika perkenalan akan silsilah keluarga telah dipahami dan doa telah selesai dilantunkan, kami pun pamit. Ziarah menjadi salah satu pengingat yang nyata bahwa hidup adalah persinggahan fana untuk menyiapkan perbekalan menuju keabadian disana. Mudah-mudahan kami sekeluarga dapat bertemu di akhirat, berkumpul dalam surga-Mu ya Rabb. Amin.
        Perjalanan dilanjutkan ke sebuah private resort di selatan Jawa Barat. Tanjung Lesung Resort, memakan waktu 4 jam berkendara untuk dapat mencicipi salah satu keindahan alam Jawa Barat. Sepanjang jalan, kami disuguhkan dengan panorama pepohonan, rumah penduduk, serta pasir putih yang telah terlihat dari kejauhan. Angin laut pun mulai terasa bersemilir lembut. Dipadu dengan mentari senja yang bergradasi kemerah-merahan, rasanya tak sabar untuk segera sampai di tujuan. Tepat pukul 18.00, akhirnya, kami pun sampai di Tanjung Lesung. Sayang, karena sudah malam, kami tak sempat melihat mentari terbenam di ufuk barat. Namun, tak mengurangi rasa penasaran untuk segera menjejakkan kaki di pasir putih. Kami menginap di cottage tak jauh dari pantai. Kesan privat pun langsung terlintas tatkala masuk ke dalam kompleks cottage tersebut. Tak banyak orang yang berlibur disini. Hanya orang-orang tertentu saja yang menyambangi tempat ini. Tak seperti pantai Carita atau Anyer yang penuh dengan pengunjung. Usut punya usut, karena cottage ini permalamnya lumayan mahal, namun setelah ditilik lebih jauh ke dalam cottage, fasilitas yang ditawarkan pun tak sebanding. Misalnya, walau satu cottage terdiri dari 2 kamar, lantai atas dan bawah, namun ukurannya kecil untuk ukuran keluarga; kamar mandinya hanya 1 saja padahal kamarnya ada 2 dengan kondisi agak kotor dan terkesan biasa banget apalagi konsepnya yang mengusung naturalis kurang mendukung seperti selot kunci kamar mandi hanya menggunakan potongan kayu besar, ya jadi seperti pintu-pintu shaolin gitu deh, tidak praktis dan kurang elegan; tidak ada dapur untuk aktivitas masak memasak apalagi restonya lumayan jauh; serta kurangnya stop kontak untuk charge gadget pengunjung. Mungkin, desain cottagenya ini untuk pasangan yang bulan madu sehingga sangat minimalis. Untuk harga permalam sekitar 3 jutaan, terbilang sangat mahal. Ya, buat pengalaman sajalah. Yang penting sudah pernah mencicipi. Hehe. #1 (continue..)

ke MEDAN (ku kembali) #3



“..Lonely travelling might collect positive energy to affected your creativity”
         Hari ketiga menumpang hidup di Medan membuahkan banyak pengalaman. Kesendirian tak sedikitpun mengalirkan perasaan sepi di hati. Mungkin inilah yang saya sebut sebagai reformasi hati dimana kebebasan bertransformasi menjadi sebuah energi dan mengalirkan semangat berkreasi lebih luas dibandingkan ketika bersama orang lain disisi yang ternyata belakangan diketahui kurang menikmati. Sensasi perjalanan sendiri membuahkan cerita sederhana bermakna dalam yang melingkupi rasa puas hati, membuat ketagihan. Mungkin, untuk selanjutnya, saya mau begini lagi atau kalau ada yang berminat menemani, saya siap berbagi. =)
        Malam hari terakhir saya di Medan, disuguhi dengan rintik hujan yang kian membesar. Sebelum saya pulang ke hotel, saya putuskan untuk membeli oleh-oleh andalan yaitu Bolu Meranti rasa blueberry, capucinno, dan abon ayam plus bika ambon merk Rika. Semuanya berlokasi di jalan Sekip. Dalam perjalanan tersebut, saya diantar oleh supir yang sok tahu tapi tak tahu jalan. Oh, plis deh! Untung saja, saya bisa mencurahkan kekesalan saya pada seorang teman melalui sosial media. Kalau tidak, habislah dia. Hehe. Sesampai di hotel, teman saya mengirim pesan untuk mengajak makan duren di tempat terkenal di Medan, Duren Ucok :
I want MORE!!
Tanpa banyak ba bi bu, langsung saya iya-kan ajakannya. Pas sekali. Pas ngidam duren, pas ada teman. Lengkap sudah! Sebelum menuju ke Ucok Duren, saya mengisi perut dengan nasi goreng Jalan Pemuda yang berlokasi tepat di depan hotel. Nasi goreng plus sate kerang adalah perpaduan seru saat bertemu. Bila dibandingkan dengan nasi goreng dekat hotel Soechi Medan, rasanya memang kalah enak. Namun, lumayanlah untuk memproteksi perut sebelum dihajar habis-habisan dengan duren, hehe.
             Pukul 21.00, saya berangkat ke Duren Ucok dan bertemu dengan teman lama disana. Ia membawa serta teman kerjanya yang hobi makan duren. Kalau dihitung-hitung, saya menghabiskan 2 buah duren full. Perut saya memang dihajar habis-habisan dengan buah duren ini. Abisnya, ga bisa nolak sih. Bayangkan saja :
best durian in town!
"Ketika cangkang dibuka, aroma daging buah langsung memenuhi rongga penciuman. Daging buah yang tebal dan bertekstur kering di luar, juicy di dalam membuat saliva tak bisa berhenti untuk keluar. Saat daging buah perlahan dicecap, serasa hidup dalam taman sriwedari, surga dunia hadir tiba-tiba di tengah kita"

Memang agak lebay, tapi demikianlah saya mendeskripsikan kecintaan pada buah yang dijuluki king of fruits. I’ll be faith to live with durian around me. Hihi. 6 buah durian seharga 150 ribu telah habis tak bersisa sedikit pun. Memang kalap kita. Maklumlah momen bersama durian adalah momen berharga untuk dilewatkan karena tak setiap hari kita bisa makan durian sampai mabok dengan harga relatif terjangkau. Duren Ucok memang wajib disambangi ketika berkunjung ke Medan. Walaupun, sebenarnya saya punya langganan juga di kawasan kaki lima Jalan Semarang. Bedanya adalah di Duren Ucok ini, durian selalu tersedia berlimpah walaupun belum musim durian walau kadang rasanya sedikit tidak memuaskan tapi kita bisa menggantinya dengan durian lain yang kita suka. Bila kita mau membawa buah durian sebagai oleh-oleh, Duren Ucok menyediakan jasa pengepakan. Per kotak ukuran standar berisi 7 buah duren kecil dan dibanderol dengan harga Rp. 270.000. Bila beli minimal dua kotak, pesanan kita dapat diantar sampai hotel. Harganya memang relatif mahal karena pengepakan durian ini membutuhkan banyak sekali peredam bau seperti kopi, bunga bakung, dan pandan sehingga kita dapat lolos dari regulasi hotel atau pesawat mengenai larangan membawa durian. Nice to try for the next visit. Hehe.
           Pukul 23.00, saya pun sampai di hotel. Perut rasanya agak panas. Namun, tak membuat saya kapok untuk makan duren sampai mabok kembali, hehe. Malam ini adalah malam terakhir saya menginap di Medan. Esok hari pesawat telah menunggu untuk mengantarkan saya kembali ke rutinitas asal. Berat untuk meninggalkan rasa asli kuliner Medan plus durian Medan yang paling ngangenin. Hope to see you again, Medan. I’m sure, I can’t stand to wait ‘till the opportunity for travelling come and beat my life!
               

ke MEDAN (ku kembali) #2



“..Gile ini pemandangan ajib amat!..” –di suatu pagi di roof-top

Menara air Tirtanadi, Medan (from roof top)
         Pagi di Medan tak seperti biasanya. Suhu pagi ini terasa demikian dingin. Mungkin hujan atau ac yang kelewat rendah. Entah, yang pasti adzan subuh di Medan lebih siang dibandingkan Jakarta. Pukul setengah 6, adzan subuh baru berkumandang. Seperti perjanjian sebelumnya, saya harus sudah siap dijemput pukul 7 pagi. Itu artinya saya harus sarapan di awal waktu, yaitu sekitar pukul 6. Dengan langkah gontai saya menuju kamar mandi walau mata sepertinya masih lima watt dan hangatnya selimut menggoda iman untuk beranjak bangun dari peraduan. Tak sampai satu jam, saya sudah siap dengan kupon sarapan yang berlokasi di puncak hotel alias Roof-Top. Saya pernah sekali sarapan di roof-top hotel Hermes ini. Suasananya memang menggiurkan untuk berlama-lama menghirup atmosfer pagi nan segar. Sayangnya, saat itu suasana terlalu ramai sehingga spot tempat duduk yang oke sudah diambil orang. Bagaimana dengan pagi ini? Mari kita lihat.
         Saya adalah tamu pertama yang datang ke Sirocco, nama roof-top restaurant ini, sehingga saya bebas memilih tempat duduk dengan pemandangan yang diinginkan. Sayang, hujan ternyata telah duluan datang. Tempat duduk idaman basah kuyup tersiram derasnya hujan dini hari. Namun, itu tak melunturkan niat saya untuk menyambangi tempat duduk strategis tepat menghadap ke arah pusat kota. Pemandangan setelah hujan memang berbeda dibandingkan dengan cuaca cerah. Terasa lebih segar karena paduan tetesan air yang membias terkena cahaya lampu dan mentari pagi yang perlahan muncul malu-malu. Sambil menghirup aroma teh panas, saya mencoba membayangkan. Apabila malam menjelang, beratapkan langit kelam nan cerah berpadu lampu gedung dan kendaraan lalu lalang, ditemani dengan musik syahdu, menciptakan suasana romantis apalagi ditemani oleh sang pacar. Sungguh, dunia benar-benar milik berdua. =p Menu yang ditawarkan di restoran ini memang terbilang biasa saja. Yang dijual disini adalah suasana hangat dan romantisnya. Walau harganya tak bisa dibilang irit, bila tempatnya membuat hati terbang ke langit, pasangan kasmaran mana yang bisa menolaknya? Hihi.
           Rencananya, malam kedua saya akan dihabiskan dengan wisata kuliner kembali dengan teman lama. Namun, karena kesibukan dia yang memuncak, akhirnya saya memutuskan untuk memenuhi hasrat perut sendiri. Dengan bermodalkan google map dan ingatan sekenanya, saya nekad menyetop taksi dan mengarahkannya ke jalan sekip untuk membeli lempo atau dodol durian favorit keluarga. Kemudian, dengan taksi yang sama, saya pergi ke kedai mie aceh yang menurut orang sih terkenal di kota Medan ini. Namanya Mie Aceh Titi Bobrok yang berlokasi di Jalan Setia Budi. Jaraknya lumayan jauh juga sih, tapi demi menuntaskan nafsu kuliner, sejauh apapun asal masih di Medan, saya jabanin! Hehe. Menu yang saya pesan kali ini adalah mie aceh kepiting dan roti cane kari. Ketika pesanan datang, wow..banyak sekali porsinya. Lupakan diet, bersiap melebarkan usus untuk mencerna suap demi suap hasil kuliner malam ini. Aroma rempah mie aceh sungguh menggoda lidah untuk tak berhenti bergoyang. Penampakan kepiting dan posisi peletakkannya di piring agak sedikit menakutkan untuk saya, namun marilah kita coba mungkin daging yang disajikan berlimpah, who knows? Saya pun mencoba mengeksekusi sang kepiting. Karena tidak disediakan alat pemecah kulit, maka apa boleh buat, dengan bantuan gigi geraham saya coba untuk memecahkan kulit yang sangat keras sampai-sampai timbul suara ‘KRAAK’ lumayan keras. Untuk mencoba menu yang satu ini, saya sarankan untuk tidak makan dengan pacar, karena level jaim akan langsung turun drastis ke level nol atau minus. Ilfil deh, masih mending, coba kalau sampai menyebabkan putus, kan ga elit banget. Hehe. Mie aceh selalu disajikan dengan acar timun, potongan jeruk limo, dan kerupuk singkong. Mungkin sebagai penyeimbang bumbu mie aceh yang hot ‘n spicy. Menu mie aceh telah habis disikat, nah sekarang giliran roti canenya. Rasa roti canenya biasa saja sih. Kuah karinya pun terlalu encer. Yah maklum saja, harganya 6 ribu rupiah, porsinya lumayan jumbo namun karena nafsu lebih besar daripada kapasitas perut, maka saya putuskan untuk membungkusnya untuk teman ngopi besok pagi. Harga yang saya bayar untuk seporsi mie aceh kepiting adalah 9 ribu rupiah saja ditambah roti cane 6 ribu dan teh tong 2 ribu. Makan malam murah meriah, 17 ribu sudah berlimpah ruah, coba kalau dibandingkan Jakarta, mie aceh plus plus mana dapet 17 ribu? Thanks God It’s MEDAN! =D 
          Setelah kenyang berkuliner, saya pun memutuskan untuk mencari taksi untuk pulang. 15 menit sampai hampir 30 menit saya menunggu, tak ada taksi satu pun yang lewat. Akhirnya, setengah nekad, saya menyetop becak motor alias bentor. Tadinya mau langsung ke hotel, tapi takut kejauhan, saya putar haluan ke Supermarket Berastagi yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto seberang hotel Grand Elite, tempat saya menginap tempo hari. Sebenarnya, di kawasan hotel Grand Elite ini banyak yang berjualan mie aceh. Rasanya pun tak jauh dari Mie Aceh Titi Bobrok dan yang pasti harganya lebih murah. Seporsi mie aceh dengan topping daging kambing dibanderol dengan harga 6 ribu saja. Namun, porsinya sih ¾ kali Mie Aceh Titi Bobrok, porsi paling pas untuk perut saya. Nah, perjalanan malam-malam naik bentor adalah pengalaman pertama saya selama ke Medan. Sendiri pula. Untung saja abang pengemudinya termasuk yang jujur dan baik, kalau tidak waduh, bisa terjadi adegan penculikan hingga perampokan apalagi jalanan Medan di atas jam 9 itu termasuk sepi dibandingkan Jabodetabek. Makanya, hati-hati kalau di Medan malam-malam dan sendirian. It’s better for you to go by taxi than Bentor for sure. Sampai di Supermarket Berastagi, saya langsung menuju ke bagian produk jajanan lokal. Saya mencari Keripik Singkong Balado khas Padang merk Christine Hakim. Sayangnya, saya kurang beruntung. Tak ada satu pun stock disana. Supermarket Berastagi ini terkenal dengan buah-buahannya yang beragam dibanding supermarket lain serta produk impor dari Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, hingga Amrik pun berjejer dijajakan. Kalau dari harga sih ya sama sajalah. Sebut saja coklat Hersey’s harganya 90 ribuan hingga 200 ribuan. Relatif mahal, tapi lengkap. Itulah alasannya semakin malam supermarket ini semakin ramai saja.
           Pukul 21.30, saya beranjak pulang. Dengan harap-harap cemas, saya menunggu taksi tepat di depan Supermarket. Masa sih supermarket segede ini ga ada taksi yang ngetem? Eh ternyata pertanyaan hati kecil saya itu salah besar. Setengah jam saya menunggu, tak ada satu pun taksi yang lewat. Akhirnya, ada seorang pria yang berbaik hati untuk mencarikan taksi untuk saya. Lucky me, 10 menit menunggu, taksi bergambar burung biru pun menghampiri. Walaupun Medan di malam hari lumayan sepi dan saya dihantui berita tak sedap tentang kejahatan di malam hari, namun saya bersyukur perjalanan saya tak dinodai kenyataan pahit. Thanks to every nice guy who contibuted my night out =)

ke MEDAN (ku kembali) #1



Menyadur salah satu lirik lagu lawas yang telah disesuaikan, maka judul diatas pun dipilih untuk mengabadikan salah satu momen berharga dalam hidup, menginjakkan kaki ke sebuah ibukota di pulau seberang. Sebenarnya, sudah beberapa kali dalam sejarah hidup, saya ditugaskan ke unit di Medan, namun ini adalah kali pertama saya pergi sendiri. Awalnya, memang agak takut karena saya belum terlalu familiar dengan lingkungannya yang sangat berbeda dengan keseharian saya, namun dengan modal nekad, semua dapat ditanggulangi dengan baik, bahkan mengguratkan sebuah catatan pribadi baru, unforgettable moment in life.
Seperti biasa, saat matahari belum menampakkan diri, saya sudah bertengger manis dalam bus damri. 2 jam sebelum jadwal boarding, saya sudah menapakkan kaki di bandara kebanggaan ibukota. Ditemani dengan bubur dan sebuah buku, saya menunggu waktu. Lebih baik menunggu daripada terlambat, apalagi ini tidak main-main, bila telat sedikit rusaklah simpanan sebelanga ditambah interogasi kalau tagihannya ingin diganti. Hehe.
Tengah hari, saya pun sampai di bandara terbaru kepunyaan orang Sumatera Utara, Bandara International Kualanamu. Desain yang minimalis dipadu dengan sentuhan arsitektur ala negeri tetangga membuat bandara ini lebih kinclong dibandingkan dengan bandara Soetta. Namun, sayangnya, tidak seperti Polonia, di Kualanamu ini saya belum menemukan motif ukiran-ukiran khas batak di sudut dan gerbang bandaranya. Padahal, motif ukiran batak inilah yang saya nantikan. Ada unsur magis yang menghipnotis tatkala saya memandangnya. Entahlah, mungkin saya jatuh cinta. Mungkin.
Saya menginap di sebuah hotel di Jalan Pemuda no. 22. Namanya Hermes Palace. Lokasinya tepat di depan nasi goreng Jalan Pemuda, di seberang restoran Marimar, di sebelah toko kue C&F, di belakang supermarket Berastagi 2, dan tak jauh dari jalan Wajir yang terkenal dengan kulinernya. Hotel Hermes ini merupakan hotel bintang 3 yang sangat terjangkau harganya. Untuk kamar standar (single bed/double bed – non jendela) harganya berkisar antara Rp. 380.000 – 450.000. Untuk kamar deluxe (single bed/double bed – ada jendela) harganya berkisar antara Rp.550.000 keatas. Untuk lebih jelasnya silakan kunjungi websitenya. Dari namanya saja sudah tergambar sebuah suasana eksklusif ala desain tas berkelas. Namun, ternyata di Medan, penamaan ala barat merupakan sebuah kebiasaan tersendiri. Sebut saja Cambrige atau Karibia. Walaupun kalau saya sih, lebih suka penamaan hotel ala Indonesia. Bukannya sok nasionalis, tapi ya memang begitu kenyataannya, mau gimana lagi? Hehe. Sebelumnya, saya sudah pernah menginap disini, bedanya dulu ada teman, sekarang ya sendirian. Tapi tak mengurangi semangat dalam memaksimalkan kesempatan di Medan, apalagi kalau bukan jalan-jalan dan berkuliner-ria, hehe.
Nah, pada hari pertama ini secara tak sengaja saya menghubungi teman kuliah saya yang sedang ditugaskan di Medan. Dan, voila! Dia ternyata bisa menemani saya berkuliner sekaligus reuni kecil-kecilan. Teman saya ini benama Akbar, seorang konsultan SAP di sebuah perusahaan swasta. Tanpa banyak kata, kami langsung meluncur ke Seafood Wajir yang berada tak jauh dari belakang hotel saya. Ini kali pertama saya mencicipi seafood yang konon terkenal di Medan. Kami memesan ikan kakap cabe ijo, udang telur asin, dan kangkung belacan. Ini dia penampakannya :
Kakap Cabe Ijo

Kangkung Belacan

Udang Telur Asin

Dari segi rasa memang sangat meggugah selera. Ikannya manis, udangnya gurih, dan kangkungnya terasi sekali. Tak kecewa saya menginap di Hermes Palace. Hari pertama saja sudah membuat mood melambung tinggi, apalagi hari berikutnya? Plus, ditemani seorang teman lama, bercerita mengenai kehidupan pasca kuliah. Sebuah pembincangan yang selalu hangat untuk dibicarakan dan disimak. Terlebih karena hidup selalu menawarkan berjuta pilihan dengan akhir yang tak dapat ditebak. Sekali kita melabuhkan sebuah pilihan, ada saja kejutan yang tercipta di dalamnya, tanpa kita meminta apalagi berharap. Seperti Akbar. Karena pekerjaannya bersifat project-based, maka ia pun harus rela hidup jauh dari keluarga dan beradaptasi terus dengan lingkungan baru baik dalam tim maupun perusahaan kliennya. Namun, dari semua konsekuensi tersebut banyak bonus yang terselip di dalamnya. Travelling around Indonesia, exploring new atmosphere, and trying more signature culinaries. Buat saya sih, itu sangat amat cukup. Jalan-jalan, berkuliner, berkenalan dengan teman baru, plus menjepret tiap momen menjadi hal yang sangat indah dalam hidup. Secara tak langsung, membuat kita jadi tambah dewasa dan tambah berpikir simpel namun strategik. Bagaimana beradaptasi dengan hal yang tidak kita bayangkan sebelumnya dengan tetap menuntaskan perjalanan sesuai rencana? Travelling can answer them all.
Seafood Wajir dan teman lama adalah jawaban atas kesendirian di Medan. Maklumlah, untuk saat ini, rekan kerja tak suka bila diajak ngebolang untuk kulineran. Jadi, sendiri adalah bonus takdir yang tak boleh disia-siakan. Hehe.