Genggaman jarimu menjadi saksi sebuah pertemuan yang berkembang menjadi sebuah ikatan
Sejenak
hening mengisyaratkan adanya sebuah penantian. Tak seberapa lama, terasa
hembusan lembut mengusap wajahku seraya perlahan mengganti semburat jingga
menjadi pekat malam. Sebelum senja terlanjur habis, maka segera kupotong
bagianku dan kumasukkan ke dalam kotak kecil, untuk dinikmati nanti. Ada yang
sedang berbaik hati memberiku sesuatu. Ya, Tuhan sedang berulang tahun.
Hallo!
Selamat pagi, kamu. Apakah masih sendu? Atau sedang malu-malu? Ah, aku
berharap kamu masih seperti yang dulu, menggebu namun kadang tersipu. Aku punya
sesuatu untukmu. Tidak mahal sih, malah aku tidak mengeluarkan sepeser pun
untuk mendapatkannya. Sengaja aku memberikannya kepadamu karena aku tahu bahwa
kamu adalah penikmat senja yang jingga. Pesanku, simpan di tempat khusus ya,
sebab ia akan selalu memancar, membawa sebagian relung hatimu jauh ke sana, ke
ujung penantian kita bertemu.
Apakah
sebuah rasa dapat tetap sama dan menjadi abadi? Aku pikir tidak, sebab seperti
halnya nyawa yang bisa tercerabut dari raga, demikian halnya rasa yang bisa hilang
dari hati yang sama. Bedanya, rasa bisa mengganti, diganti, atau terganti oleh
rasa yang lain, namun tidak pada nyawa. Bagaimana untuk mempertahankan sebuah
rasa? Mudah saja, rasa itu seperti bibit tanaman yang harus dirawat agar
bertumbuh dan bertambah hingga menghasilkan buah kepercayaan untuk pergi
sejenak, mencari pupuk di tempat lain. Apakah kita sudah memenuhi kaidah rasa
tersebut? Aku pikir sudah, hanya karena kamu pergi terlalu lama untuk mencari
entah pupuk atau apapun itu namanya, sehingga rasaku mulai layu dan mungkin
bisa terganti dengan rasa yang lain. Uh, kamu merengut. Oh, jadi tidak bisa
abadi rasamu untukku? Tidak ada sesuatu yang abadi, adanya sejati. Oh, kamu setengah
setuju.
Aku
ingat pada sebuah senja di pinggir kota. Kala kamu berceracau tentang kegemaran
mengoleksi foto senja di berbagai tempat. Katamu, senja itu mahal. Aku tak
percaya. Katamu, senja yang sempurna itu hanya bisa didapat di tempat dan waktu
yang tepat. Aku tak setuju. Katamu, suatu saat nanti, kamu akan membuktikannya
dengan berkunjung ke ujung Barat untuk mendapatkan senja sempurna yang dimaksud.
Aku tak sepakat. Untukku, senja yang sempurna bisa didapat di manapun saat suasana hati
gembira dan suka cita. Apalagi ditemani oleh kamu. Kata sempurna saja tidaklah
cukup untuk menggambarkan makna kesempurnaan itu sendiri. Katamu, aku berlebihan.
Tak
berapa lama, aku bertanya padamu tentang sebuah rasa. Kamu linglung dan balik
bertanya tentang ritual yang jamak. Katamu, aku kurang menyimak pergaulan masa
kini, pergaulan anak kota yang kamu anggap modern. Padahal, menurutku, itu
terlalu umum, hanya menggapai yang permukaan bukan kedalaman, hanya menjadi
konsensus yang diimani sebagian besar insan muda. Seperti halnya pernyataan cinta
dalam acara Katakan Cinta di awal tahun 2000-an, itulah yang kamu harapkan.
Boneka di tangan kiri untuk penolakan dan sebuket bunga mawar merah di tangan
kanan untuk persetujuan. Saat itu pula, kamu harus memilih. Bayangkan,
seseorang yang tidak kamu kenal dekat secara tiba-tiba menyatakan perasaannya
kepadamu dan saat itu juga kamu wajib menjawabnya, tanpa opsi pertimbangan
terlebih dahulu. Sadarkah kamu, kalau alam bawah sadar sedang diintimidasi
secara sengaja dan dipaksa untuk mempertaruhkan hak hati untuk bersuara? Seperti
sesuatu yang biasa, perasaan dan hati dijadikan objek permainan untuk
menghasilkan materi. Lalu, kamu meninggalkan sebuah tanda tanya besar, menyuruhku
untuk berpikir tentang jawabannya. Kataku, kamu berubah. Katamu, aku kampungan.
Jingga
senja mulai meredup, laksana pelita yang kehabisan sumbu dan minyak, menyisakan
bau dan abu kehitaman. Katamu, kau akan datang di ujung jalan paling Barat sesuai
janji yang sudah disepakati. Kutunggu sambil berjalan lamat-lamat. Tuhan sudah
akan menutup petang. Namun, kau tak kunjung muncul jua. Mana janjimu tentang
senja yang sempurna? Perlahan tapi pasti, gradasi langit telah berganti. Demikian
pula dengan rasaku yang kini mencelat entah kemana, tersapu ombak dan
terombang-ambing tak tentu arah.
Genggaman
itu kulepaskan dengan segera. Rasa ini terpaksa kuhapus dari memori hati. Mungkin,
akan kutunggu beberapa waktu lagi hingga Tuhan berulang tahun dan meminta potongan
senja yang sempurna, untuk diberikan bagi kamu yang lain.
DVS. 8 Maret 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?