Minggu, 08 Maret 2015

Sepotong Senja

Genggaman jarimu menjadi saksi sebuah pertemuan yang berkembang menjadi sebuah ikatan
Sejenak hening mengisyaratkan adanya sebuah penantian. Tak seberapa lama, terasa hembusan lembut mengusap wajahku seraya perlahan mengganti semburat jingga menjadi pekat malam. Sebelum senja terlanjur habis, maka segera kupotong bagianku dan kumasukkan ke dalam kotak kecil, untuk dinikmati nanti. Ada yang sedang berbaik hati memberiku sesuatu. Ya, Tuhan sedang berulang tahun.

                Hallo! Selamat pagi, kamu. Apakah masih sendu? Atau sedang malu-malu? Ah, aku berharap kamu masih seperti yang dulu, menggebu namun kadang tersipu. Aku punya sesuatu untukmu. Tidak mahal sih, malah aku tidak mengeluarkan sepeser pun untuk mendapatkannya. Sengaja aku memberikannya kepadamu karena aku tahu bahwa kamu adalah penikmat senja yang jingga. Pesanku, simpan di tempat khusus ya, sebab ia akan selalu memancar, membawa sebagian relung hatimu jauh ke sana, ke ujung penantian kita bertemu.

                Apakah sebuah rasa dapat tetap sama dan menjadi abadi? Aku pikir tidak, sebab seperti halnya nyawa yang bisa tercerabut dari raga, demikian halnya rasa yang bisa hilang dari hati yang sama. Bedanya, rasa bisa mengganti, diganti, atau terganti oleh rasa yang lain, namun tidak pada nyawa. Bagaimana untuk mempertahankan sebuah rasa? Mudah saja, rasa itu seperti bibit tanaman yang harus dirawat agar bertumbuh dan bertambah hingga menghasilkan buah kepercayaan untuk pergi sejenak, mencari pupuk di tempat lain. Apakah kita sudah memenuhi kaidah rasa tersebut? Aku pikir sudah, hanya karena kamu pergi terlalu lama untuk mencari entah pupuk atau apapun itu namanya, sehingga rasaku mulai layu dan mungkin bisa terganti dengan rasa yang lain. Uh, kamu merengut. Oh, jadi tidak bisa abadi rasamu untukku? Tidak ada sesuatu yang abadi, adanya sejati. Oh, kamu setengah setuju.

                Aku ingat pada sebuah senja di pinggir kota. Kala kamu berceracau tentang kegemaran mengoleksi foto senja di berbagai tempat. Katamu, senja itu mahal. Aku tak percaya. Katamu, senja yang sempurna itu hanya bisa didapat di tempat dan waktu yang tepat. Aku tak setuju. Katamu, suatu saat nanti, kamu akan membuktikannya dengan berkunjung ke ujung Barat untuk mendapatkan senja sempurna yang dimaksud. Aku tak sepakat. Untukku, senja yang sempurna bisa didapat di manapun saat suasana hati gembira dan suka cita. Apalagi ditemani oleh kamu. Kata sempurna saja tidaklah cukup untuk menggambarkan makna kesempurnaan itu sendiri. Katamu, aku berlebihan.

                Tak berapa lama, aku bertanya padamu tentang sebuah rasa. Kamu linglung dan balik bertanya tentang ritual yang jamak. Katamu, aku kurang menyimak pergaulan masa kini, pergaulan anak kota yang kamu anggap modern. Padahal, menurutku, itu terlalu umum, hanya menggapai yang permukaan bukan kedalaman, hanya menjadi konsensus yang diimani sebagian besar insan muda. Seperti halnya pernyataan cinta dalam acara Katakan Cinta di awal tahun 2000-an, itulah yang kamu harapkan. Boneka di tangan kiri untuk penolakan dan sebuket bunga mawar merah di tangan kanan untuk persetujuan. Saat itu pula, kamu harus memilih. Bayangkan, seseorang yang tidak kamu kenal dekat secara tiba-tiba menyatakan perasaannya kepadamu dan saat itu juga kamu wajib menjawabnya, tanpa opsi pertimbangan terlebih dahulu. Sadarkah kamu, kalau alam bawah sadar sedang diintimidasi secara sengaja dan dipaksa untuk mempertaruhkan hak hati untuk bersuara? Seperti sesuatu yang biasa, perasaan dan hati dijadikan objek permainan untuk menghasilkan materi. Lalu, kamu meninggalkan sebuah tanda tanya besar, menyuruhku untuk berpikir tentang jawabannya. Kataku, kamu berubah. Katamu, aku kampungan.

                Jingga senja mulai meredup, laksana pelita yang kehabisan sumbu dan minyak, menyisakan bau dan abu kehitaman. Katamu, kau akan datang di ujung jalan paling Barat sesuai janji yang sudah disepakati. Kutunggu sambil berjalan lamat-lamat. Tuhan sudah akan menutup petang. Namun, kau tak kunjung muncul jua. Mana janjimu tentang senja yang sempurna? Perlahan tapi pasti, gradasi langit telah berganti. Demikian pula dengan rasaku yang kini mencelat entah kemana, tersapu ombak dan terombang-ambing tak tentu arah.



                Genggaman itu kulepaskan dengan segera. Rasa ini terpaksa kuhapus dari memori hati. Mungkin, akan kutunggu beberapa waktu lagi hingga Tuhan berulang tahun dan meminta potongan senja yang sempurna, untuk diberikan bagi kamu yang lain. 


DVS. 8 Maret 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?