Selasa, 30 Agustus 2016

Tubuh Perempuan Sebagai Bendera

**Artikel ini saya tulis ulang dari Harian Kompas Minggu, 28 Agustus 2016, dalam kolom UDAR RASA

***



                Orang Perancis “lucu’ meski situasinya sama sekali tidak lucu. Yang lucu/tidak lucu itu adalah pengumuman larangan baju renang burkini, yaitu baju senam “islamiah”, setengah burkah, setengah bikini, oleh sejumlah wali kota daerah Riviera, di Perancis Selatan.
                Alasannya menarik : karena tidak sesuai dengan asas sekularisme ala Perancis (laicite), yaitu kenetralan mutlak terhadap agama yang dianut oleh negara Perancis. Jadi, kenetralan agama, serta perilaku sosial “yang wajar” menuntut bahwa perempuan memperlihatkan pahanya!! Seru, kan? Saya pribadi bisa memahami mengapa calon Arjuna setempat merasa frustasi, tidak merasa frustasi, tidak boleh menikmati pemandangan paha perempuan gara-gara, konon, ditabukan memajang paha tersebut oleh tafsir agama yang lagi ngetren. Saya juga bisa memaklumi balikannya, yaitu hasrat para lelaki yang konon “soleh” untuk mempunyai monopoli absolut atas paha perempuannya, baik secara visual maupun keinginan selanjutnya. Ya, saya bisa memahami itu semua, karena mau tidak mau “seksisme” terus menghinggapi diri saya sebagai lelaki. Ehehe.. wow. Namun, alasan bahwa seorang prempuan bisa disuruh membuka burkininya untuk diganti bikini agar sesuai dengan asas kenetralan negara di dalam bidang agama, membuat saya bengong beneran.
                Namun, teman-teman, bukan hanya di Perancis yang “lupa daratan” dalam hal ini. Indonesia tidak kurang menarik. Sekitar dua minggu lalu seorang perempuan Indonesia, yang konon “sopan” karena berjilbab, telah membuat onar karena memasarkan bihun bermerek Bikini dengan tagline “remas aku”. Begitu hal ini diketahui, ramainya bukan kepalang! Dituduh “meresahkan masyarakat”, “berbau pornografi”. “tak beretika”, “tak sesuai dengan nilai-nilai bangsa”, dan lain-lainnya. Ujung-ujungnya, seperti di dalam hal burkini di Perancis di atas, polisi ikut unjuk muka, konon untuk menegakkan kembali norma-norma yang berlaku umum di masyarakat. Seolah-olah bikini memang tidak pantas sebagai baju renang, dan sepertinya istilah “remas aku” –betapa pun vulgarnya- merupakan pelanggaran yang sesungguhnya. Peristiiwa “mi remas” ini pun membuat saya bengong.
                Bila ditilik lebih lanjut, makna dari kedua peristiwa di atas lebih dari sekadar “pelanggaran terhadap nilai-nilai bangsa” : Sejarah menafikan absolutisme dari kedua ragam norma itu. Di Eropa, sebelum Perang Dunia Kedua (1939-1945) semua perempuan memakai baju renang berlengan panjang yang mirip burkini –yang kini ditolak sejumlah walikota Perancis. Adapun di Indonesia, yang perempuannya konon “sopan”, bikini sejak dulu tidak dikenal, dan tidak perlu dikenal, oleh karena pada umumnya kaum perempuannya mandi di sungai setengah telanjang. Di dalam sejarah, apa pun pendapat para juru “moral”, konsep kesopanan memang senantiasa berubah-ubah.
                Yang kini terjadi ialah bahwa tubuh perempuannya telah menjadi ajang, bahkan dikerek bak bendera, dari pertarungan antar budaya. Terutama antara dunia Islam dan dunia Barat. Fenomena ini adalah efek langsung dari globalisasi, yang meluluh-lantakkan semua tatanan lama. Di Eropa, gelombang imigrasi besar-besaran pekerja Magribi, Turki, dan Pakistan berlangsung sepanjang tahun 60-an dan 70-an, sehingga mengubah secara signifikan komposisi etnis masyarakat. Tahu-tahu, bukanlah partai-partai sosialis yang dijadikan sarana perlawanan anti sistem kapitalisnya, melainkan agama. Atas nama demokrasi, dan didukung uang minyak kaum Wahabi, muncullah aneka perjuangan untuk memberikan status sah pada versi hiper-konservatif dari  Islam, dengan pemisahan sosiologis yang terkait. Apa bendera utamanya? Perempuan Islam dengan seragam konsevatif khasnya. Fenomena itu menimbulkan reaksi “anti Islam” atau ultra kanan dari masyarakat setempat, yang merasa kesetaraan jendernya terancam.
                Sebaliknya di Indonesia, dipersepsikan sebagai faktor penyerang adalah “Barat”, yang pengaruhnya merasuki semua pori dari sistem ekonomi dan media. Pengaruh itu tidak terelakkan, tetapi juga dilawan –juga didukung oleh uang kaum Wahabi. Akibatnya (antara lain)? “Perpecahan” bukan antara kelompok religius-etnis seperti di Eropa, tetapi di dalam diri perempuan Islam itu sendiri, melalui penampilannya: Dia diharapkan “soleh”, maka semakin sering berjilbab, tetapi diharapkan juga trendy dan memperlihatkan “kuasa” atas tubuhnya sendiri, maka tak segan bercelana ketat. Skizofrenia benar : tubuhnya dijadikan medan pertarungan antara “arabisasi” di kepala dan “westernisasi” di panggul. Menarik bukan?
                Ini semua bagi saya absurd, karena saya sebagai lelaki, tidak pernah merasa bulu dada saya dicap menjadi bendera budaya apa pun. Gombal!

(Penulis : Jean Couteau)

Minggu, 28 Agustus 2016

GOR Pajajaran Bogor : Riwayatmu Kini



 
Batu Peresmian GOR Pajajaran (Sumber : foto pribadi)
Dua anak perempuan itu berlari dengan gembira, saling susul menyusul. Tak ada raut wajah kecewa, walau sepatu mulus mereka lengket oleh tanah lumpur bekas hujan semalam.
 
GOR Pajajaran Bogor, 14/08/2016. (Sumber : foto pribadi, didokumentasikan saat Car Free Day)
                Seperti biasa, Hari Minggu pagi merupakan jadwal sebagian besar warga untuk berolahraga. Hal ini didukung oleh program Car Free Day (CFD) di Kawasan Jendral Soedirman, Bogor, dari pukul 06.00-09.00 WIB. Namun, nyatanya, banyak juga orang-orang yang beralih ke lapangan agar dapat berolahraga nyaman tanpa pedagang. Salah satu lapangan yang banyak digunakan oleh warga Bogor untuk berolahraga adalah Gelanggang Olah Raga (GOR) Pajajaran. Warga Bogor yang mengenyam pendidikannya di Kota Bogor pasti pernah mencicipi olahraga di GOR Pajajaran ini. Tak terkecuali saya. Di benak saya, masih terekam jelas suasana saat saya berolahraga di GOR Pajajaran 10-15 tahun silam. Saat itu, GOR Pajajaran tak hanya digunakan untuk kegiatan pendidikan olahraga sebagai mata pelajaran di sekolah, namun juga sebagai tempat para atlet berlatih olahraga. Cabang olahraga sepakbola, basket, karate, renang, dan atletik menghidupkan semangat GOR Pajajaran agar tetap berguna. Kiprahnya dapat terdengar hingga saat ini. GOR Pajajaran pun akan digunakan sebagai rute awal Kirab Api Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX September mendatang.
                Kenangan indah akan kenyamanan berolahraga di GOR Pajajaran satu dekade lalu membawa saya kembali menjadi pelanggan setia GOR Pajajaran. Karena olahraga murah meriah yang tak membutuhkan banyak properti adalah lari, maka saya pun bergegas pada Minggu pagi untuk mencoba lari dengan aplikasi NikeRun+ sebagai pelatih virtual saya. Saat sampai di depan gerbang GOR Pajajaran, saya terkejut dan hampir tak mengenali. Bau tak sedap dan sampah plastik berceceran di depan pintu masuk. Belum lagi coretan vandalisme mencederai tiap sudut dinding. Pelapis dinding pun sudah banyak yang berjamur dan terkelupas. Oh, inikah GOR Pajajaran yang saya gunakan satu dekade lalu untuk berolahraga? Saya pun masuk lebih dalam. Tampak kamar mandi dan ruang ganti yang sangat tak terawat. Lantai dan kondisi toilet kotor, berbau sangat tak sedap, pintu rusak, banyak sarang laba-laba, dan lumayan gelap. Oh! Saya sangat tak mengenali. 
Kamar Mandi dan Kamar Ganti di GOR Pajajaran (Sumber : foto pribadi)
                Dua pilihan yang dapat saya ambil saat itu, pergi ke kantor administrasi GOR Pajajaran yang terletak persis di depan atau pura-pura tak peduli dan melanjutkan kegiatan olahraga lari. Karena Hari Minggu dan kantor ternyata tak beroperasi, maka saya memillih opsi kedua. Saya pun bergegas menuju ke salah satu bangku kecil yang terletak di pinggir lapangan untuk menaruh tas dan botol minuman. Hal ini yang menjadi kelebihan GOR dibandingkan lapangan lainnya untuk berolahraga, yaitu adanya bangku kecil sebagai tempat istirahat sementara dan/atau menaruh barang saat empunya berolahraga. Karena tidak terlalu banyak orang yang berolahraga, sehingga saya kira barang saya aman-aman saja. Walau, perlu waspada juga dengan tidak menaruh barang berharga di dalamnya. Kondisi bangku tersebut sepertinya masih sama dengan satu dekade lalu. Namun, atap kecil yang menaunginya sudah agak renyot dan mungkin bisa saja roboh sewaktu-waktu bila ada angin kencang menerpa.
                Saya bergegas melakukan pemanasan dengan stretching sebelum berlari. Kebetulan, saat itu ada beberapa orang dewasa dan remaja, memakai kaus bertuliskan kejuaraan salah satu olahraga, yang juga melakukan pemanasan. Saya rasa mereka adalah atlet. Maka, saya pun mengikuti ritme mereka. Lumayan, membuat badan adaptasi dengan hentakan saat berlari. Mulailah saya berlari dengan target 5K sebagai pemula.
                Banyak hal unik yang saya temui saat berlari. Dari mulai tanah berlumpur yang demikian lengket menempel pada sepatu saya dan membuat tak nyaman saat berlari. Lalu, rumput-rumput liar yang tumbuh di hampir sepanjang track lari dan adanya batu-batu ukuran sedang yang menghalangi, membuat beberapa kali saya hampir tersandung. Kubangan air yang menghiasi sepanjang sisi timur track. Hal ini yang membuat saya bertanya, ini sawah atau track lari, sih? Apakah ini akibat hujan deras yang mengguyur Bogor semalam? Selain itu, bentuk-bentuk vandalisme pun banyak ditemukan di sepanjang putaran lapangan, seperti tribun yang kotor dan penuh sampah serta coretan di tiap dinding dan pintu. Sungguh menyedihkan kondisi GOR Pajajaran. Sepanjang saya berlari, terbersit pertanyaan besar, siapakah yang bertanggung jawab terhadap perawatan dan pemeliharaan GOR Pajajaran? Apakah Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Bogor sebagai representasi Pemerintah Kota Bogor? Mengapa kalah jauh dengan GOR milik Kabupaten Bogor? Dan pertanyaan-pertanyaan turunan lainnya yang membuat geregetan. 
Rumput liar di sekitar track lari yang hampir membuat saya tersandung. (Sumber : foto pribadi)

Track lari berlumpur :( (Sumber : foto pribadi)
                 Menilik kondisi GOR Pajajaran yang saya pikir tidak layak, sebagai warga Bogor yang rutin menggunakan GOR sebagai tempat olahraga, jelas merasa dirugikan. Saya pun bingung mengenai media mana yang dapat menaungi aspirasi ini. Saya sudah mencoba media twitter yaitu @KanporaBogor serta alamat daring : kanpora.kotabogor.go.id namun tidak ada tanggapan. Malah, apabila kita buka daringnya dan melihat bagian visi misi-nya, saya merasa ganjil. Visinya adalah terwujudnya kepemudaan dan keolahragaan Kota Bogor yang berdaya saing. Misinya yaitu 1). Mengembangkan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada jasa perdagangan ; 2). Mewujudkan kota yang bersih dengan sarana dan prasarana, transportasi yang berkualitas ; 3). Meningkatkan kualitas SDM dengan pemekaran pada pemutusan Wajib Belajar 12 tahun serta peningkatan kesekatan dan keterampilan masyarakat ; 4). Peningkatan pelayanan publlik dan partisipasi masyarakat. Sedangkan ada beberapa tujuan juga yang disasar seperti : 1). Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat yang unggul ; 2). Meningkatkan kualitas pemuda melalui IPTEK dan ImTaq ; 3). Memfasilitasi sarana dan prasarana olahraga ; 4). Meningkatkan kontribusi terhadap PAD Kota Bogor. Setelah saya baca, malah timbul pertanyaan, mengapa misinya tidak fokus ke bidang keolahragaan sedangkan visinya jelas-jelas tentang pemuda dan olahraga? Lalu, apakah berarti tujuan nomor 3 belum terwujud dengan baik mengingat GOR Pajajaran yang demikian tak terawat?
                Tak adil rasanya apabila komplain tanpa memberi rekomendasi solusi. Dari kacamata saya sebagai warga Bogor, mungkin Kantor Pemuda dan Olahraga (Kanpora) Kota Bogor dapat mencoba mengomunikasikan dan mensosialisasikan program kerja terkait pemuda dan olahraga kepada masyarakat. Dalam hal ini, Kanpora dapat mencontoh pola komunikasi Pemerintah Kota Bogor yang melibatkan komunitas kepemudaan dan masyarakat Bogor untuk bahu membahu memperbaiki kekurangan dan mengoptimalkan potensi yang ada dengan tujuan untuk menciptakan kemajuan ke depannya. Contoh konkritnya semisal revitalisasi GOR Pajajaran sehingga para atlet hingga masyarakarat umum dapat nyaman dan aman dalam berolahraga. Saya kira, revitalisasi GOR pun dapat menjawab tujuan sebagian besar tujuan Kanpora Kota Bogor. Apabila semisal dananya kurang, Kanpora dapat mensosialisasikan hal ini kepada masyarakat untuk ikut iuran, asal transparan. Dengan kolaborasi antara Kanpora sebagai perwakilan pemerintah dan masyarakat sebagai warga Bogor, masalah pun dapat diubah menjadi  kekuatan untuk bersama bergerak ke arah kemajuan kepemudaan dan olahraga Kota Bogor.
                Mungkin, dua anak perempuan di atas akan lebih bahagia saat berlari bersama, karena sepatunya tak lagi lengket akibat menginjak tanah lumpur. Walau senyum tidak menyelesaikan masalah, namun setidaknya dapat menghasilkan rekomendasi solusi dibandingkan mengeluh dalam diam.

Dokumentasi lainnya : 
Perbuatan alay* manakah ini? Tampak depan dari bangunan GOR Pajajaran. (Sumber : foto pribadi)
Vandalisme di sekitar lingkungan GOR Pajajaran. (Sumber : foto pribadi)
 Catatan : *alay : anak layangan

Ada Apa Dengan Cinemaxx Bogor?



**Ditulis berdasarkan pengalaman dan opini pribadi penulis
               
                Minggu ketiga Bulan Agustus 2016, media dihebohkan dengan berita tentang dwikewarganegaraan yang melanda mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Archandra Tahar, dan Paskibraka Nasional 2016, Gloria Natapradja Hamel. Kedua sosok tersebut disinyalir memiliki dwikewarganegaraan. Archandra diketahui memiliki paspor Amerika Serikat karena beliau sudah lebih dari 20 tahun bekerja di sana dan Gloria yang juga memiliki paspor Prancis karena ayahnya adalah WNA Prancis. Isu ini menjadi ramai lantaran seleksi administrasi di awal yang sangat tidak teliti. Dalam kacamata peraturan yang kaku, mengapa malah pelaksanaannya sangat cair sehingga menimbulkan masalah di akhir? Sayangnya, pertanyaan tersebut belum saya dapatkan jawabannya (atau malah saya yang kurang update?). Dan sayangnya juga, saya tidak akan membahasnya di sini =D. Itu tadi sebagai pembuka tulisan saya yang, menurut saya, ada hubungannya dengan peraturan yang terlihat demikian kaku.
                Cerita saya berawal dari rasa penasaran saya untuk mencoba bioskop yang, katanya, baru di Bogor, yaitu Cinemaxx. Sebenarnya, saya sudah beberapa kali menonton film di Cinemaxx Jakarta dan saya puas dengan servis yang diberikan. Oleh karena itu, saya ingin tahu, seberapa standar servis bioskop Cinemaxx ini?
Bioskop Cinemaxx Bogor terletak di Lippo Plaza Mall atau lebih dikenal dengan nama Ekalokasari Mall, yang merupakan salah satu mall megah di Bogor. Pada tahun 2000-an, tepatnya saat saya masih SMA, Ekalokasari Mall adalah mall kalangan menengah ke atas karena eksistensi merk-merk ternama dengan harga di atas rata-rata. Namun, seiring perkembangan zaman, Ekalokasari Mall pun kalah saing dengan Botani Square. Mungkin karena letaknya yang cukup jauh dari pusat kota. Nah, di akhir tahun 2015, Ekalokasari Mall mengalami renovasi dan berganti nama menjadi Lippo Plaza Mall. Pembaharuan nama pun menyumbang kontribusi pada kehadiran Cinemaxx pertama di Bogor.
Pertama masuk ke Lippo Plaza Mall, terdapat tulisan promosi Cinemaxx. Standar sih, semacam Cinemaxx hadir di Lantai Mezanine hingga informasi teknologi yang dihadirkan. Kemudian saya bingung, dimanakah Lantai Mezanine itu berada? Kebetulan saat itu, saya tidak menemui sekuriti yang seharusnya bertugas. Maka, saya pun mencari tahu sendiri melalui informasi dalam lift. Ternyata, Lantai Mezanine terletak di lantai 3 + ½ lantai berikutnya ditempuh dengan eskalator. Ya, pengetahuan barulah buat saya yang kebetulan bukan anak gaul mall, hehe. Alangkah lebih baiknya bila pihak mall memasang informasi tambahan bahwa Mezanine berada di Lantai 3 + ½ sehingga pengunjung seperti saya ini tidak kebingungan.
Dan..Cinemaxx, I am coming! Saya girang karena tak sabar menikmati suguhan Suicide Squad, film pilihan saya, dalam layar yang sedikit lebih lebar dari XXI, 3D, serta mengusung teknologi Dolby Atmos untuk sound system-nya. Harga yang ditawarkan pun sama dengan Cinemaxx Jakarta, yaitu Rp. 35.000 untuk 3D dan Rp. 30.000 untuk regular/2D pada hari Senin-Jumat sedangkan Sabtu-Minggu harganya ditambah Rp. 20.000 baik untuk 3D maupun reguler. Saya memilih Hari Selasa untuk menonton karena saya pikir pada hari kerja tidak akan seramai akhir pekan serta harganya pun lebih murah. Jadwalnya pun saya pilih yang paling awal, yaitu pukul 14.15 WIB. Namun, perkiraan saya ternyata salah. Tiga perempat kursi diisi oleh para siswa SMP-SMA. Dalam hati saya pun membatin, mungkin standar uang jajan mereka lima sampai sepuluh kali lipat lebih besar daripada zaman saya. Kalau tidak, bisa tekor deh, hehe.
Pukul 14.00 WIB saya sudah siap di depan Teater 1 untuk dipanggil masuk ke dalam bioskop. Lima menit, sepuluh menit, hingga lima belas menit tidak ada pengumuman. Ruang tunggu yang sangat minim, karena berbentuk lorong panjang dengan lebar hanya muat 1 kursi dan 1 orang lalu lalang di depan kursi tersebut, menjadi sangat sesak oleh penonton. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.17 WIB namun tidak ada tanda-tanda petugas bioskop. Barulah kira-kira pukul 14. 20 WIB, penonton dipersilakan masuk dengan antri satu jalur untuk mengambil kacamata 3D. Saya pun komplain kepada petugasnya tentang terlambatnya jadwal bioskop yang tidak profesional. Mas-mas-nya pun berdalih karena belum ada pengumuman dari petugas yang mengurusi film. Hmm.
Hal unik lainnya adalah ketika akan masuk teater, ada satu sekuriti yang bertugas menyita barang-barang seperti makanan dan minuman baik yang dibeli dari booth snack bioskop maupun dari luar. Ada satu troli penuh berisi popcorn kemasan besar, minuman dingin, botol minum, dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan kalau kita membeli popcorn masih hangat untuk dikonsumsi saat menonton film, eh ternyata di sita. Saya rasa, saat filmnya sudah selesai, keinginan untuk makan popcorn, yang sudah dingin, selesai juga. Sebagai konsumen, rugi donk! =D Lalu, sekuriti menambahkan bahwa kamera tidak boleh di bawa masuk ke dalam teater sambil memeriksa tas yang diminta untuk dibuka dengan senter. Saya yang saat itu ada agenda untuk hunting foto setelah selesai menonton, menjadi korbannya. Sang sekuriti bilang bahwa kameranya harus dititipkan. Saya tanya kenapa, ya karena khawatir saya merekam adegan film. Loh, ini kan 3D? Ya, sudah peraturan. Hmm. Aneh. Saat itu kebetulan saya tidak membawa tas kamera dan saya tidak mau menitipkan kamera dalam kondisi ‘telanjang’. Sekuriti bilang, ya sudah baterenya saja dititipkan. Saya tanya, apa jaminannya? Nanti diambil di sekuriti, begitu jawaban yang tidak menjawab. Tidak ada bukti tanda terima atau loker yang dapat saya gunakan agar saya nyaman dan merasa aman. Daripada saya telat menonton, maka saya serahkan juga batere saya sambil berkata kalau ada apa-apa dengan batere saya, sekuriti harus tanggung jawab. Lalu, 2 jam pun berjalan dengan manis menyaksikan Deadpool yang sentimentil, Flag yang good-looking-man, Diablo yang cool, dan June yang terlalu lugu untuk seorang arkeolog. Untung filmnya lumayan oke, kalau tidak ya jangan salahkan saya kalau tiba-tiba berubah jadi Enchantrees. Hihi.
Mood sudah baik, saya datangi sang sekuriti. Untuk alasan privacy, saya samarkan menjadi XYZ. Beliau memberikan batere saya sambil berkata silakan dicoba. Yes, pastinya. Memang, kondisinya sepertinya baik-baik saja, terlihat dari batere yang masih penuh dan tidak ada masalah saat saya coba ambil foto. Sekuriti pun bertanya bagaimana kondisinya. Saya jawab baik, namun ada beberapa saran untuk manajemen Cinemaxx Bogor, yaitu : 1). Memasang pengumuman di depan pintu masuk atau ada sekuriti yang berjaga untuk menginformasikan peraturan untuk tidak membawa makanan dan minuman ke dalam bioskop serta tidak boleh membawa kamera (walau masih rancu tentang definisi kamera) ; 2). Kalau kamera (misal : DSLR, mirrorless, pocket camera, dll) saja yang tidak boleh, kamera ponsel yang spesifikasinya lebih tinggi, kenapa boleh dibawa masuk ke dalam teater? ; 3). Mengapa aturan penitipan kamera berlaku juga untuk film 3D?  Hal ini membuat saya bingung karena menurut saya, hasil rekaman film 3D tidak dapat ditonton dengan nyaman tanpa kacamata 3D. Itu pun kalau saya ada niat merekam. Nyatanya kan tidak. Sang sekuriti mencoba membela diri. Wajar sih. Tapi, segera saya cegah karena akan berekor panjang dan itu bukan tujuan saya. Maka, saya tegaskan bahwa silakan menyampaikan keluhan pelanggan ini kepada atasannya untuk diteruskan kepada pihak manajemen. Tujuan saya adalah agar standar servis Cinemaxx Bogor sama dengan pusatnya, yang asumsi saya di Jakarta, karena selama saya menonton di Cinemaxx Jakarta, walau saya membawa kamera, minuman, serta popcorn dari booth snack Cinemaxx, namun tidak ada pengecekan tas apalagi penyitaan.
Berkaca dari pengalaman tersebut, saya kira inti dari pemasalahan tersebut sama dengan kasus Archandra dan Gloria, yaitu peraturan yang terlihat demikian kaku namun tidak didukung dengan konsistensi dalam implementasi. Seharusnya, walau cabang baru, Cinemaxx sudah menerapkan standar servis yang terbaik bagi para pelanggannya sehingga tidak ada lagi keterlambatan jadwal film atau kurang profesionalnya servis sekuriti dan petugas saat pelanggan menitipkan barang berharga semacam kamera. Mungkin, ke depannya, Cinemaxx bisa mengevaluasi peraturan yang berlaku agar lebih logis dan ramah pelanggan, seperti meminjamkan loker untuk menyimpan kamera, misalnya.