Selasa, 12 Maret 2013

(kembali ke) Medan #2


          Setelah kemarin menyempatkan diri liburan dadakan ke Danau Toba, hari Minggu ini, kami berencana untuk berjalan-jalan di sekitar kota Medan. Kata orang-orang sih di Medan pun banyak kawasan sejarah yang wajib dikunjungi. Kemanakah kami? Let’s check it out! 
          Kaki masih pegal, badan pun rasanya malas untuk beranjak dari kasur empuk. Namun, rugi sekali apabila hari Minggu ini hanya dihabiskan untuk berleha-leha membuang waktu di hotel. Ya kalau hotelnya bintang 5 sih okelah, kan harga semalamnya saja hampir menginjak angka juta, sayang donk kalau tidak dimanfaatkan. Untungnya, kami menginap di hotel bintang 3, harganya tidak demikian mahal, ya standarlah. Untuk tidur, mandi, dan sarapan sudah cukup. Makanya, untuk mengusir rasa bosan yang menggelayut, kami putuskan untuk mengunjungi 3 destinasi yaitu rumah Tjong A Fie, restoran Tip Top, dan Sun Plaza. Pukul 13.00 WIB kami mulai perjalanan ini. Berbekal informasi dari resepsionis hotel, meluncurlah kami ke rumah Tjong A Fie di Jl Ahmad Yani (Kesawan) dengan naik Becak Motor alias bentor. 10 ribu rupiah saja, sampailah kami di depan gerbangnya yang masih asli rumah etnis Cina dengan 2 patung singa di kiri dan kanan gerbang. Rasanya, seperti berada di dalam adegan film action Cina loh! Hehe.  
         Begitu kami masuk ke dalam, rumah Cina kuno langsung menyambut kami. Di depannya pun terpampang pamflet “Tiket masuk Rp. 35.000” Wow! mahal ternyata, Kebun Raya Bogor saja Cuma Rp. 9000. Namun ternyata beda cerita, kalau Kebun Raya Bogor kan ada dana perawatan dan pemeliharaan dari Pemerintah Kota Bogor, tapi kalau rumah Tjong A Fie ini ibarat handphone jadul yang ditinggalkan pemiliknya karena sudah berpaling ke teknologi anyar, padahal konstruksi bahannya lebih kuat dan desainnya minimalis namun bermakna dalam. Demikianlah, sebuah rumah yang menyimpan kenangan kuat akan kejayaan bisnis pertama di Kota Medan menjadi menua, runtuh, dan tak dikenal lagi. Untungnya ada keturunan Tjong A Fie yang masih peduli. Ia adalah cucu dari anak ke empat Tjong A Fie yang masih merawat peninggalan kakeknya. Beliaulah Fon Prawira. Beliaulah yang menginformasikan mengenai sejarah Tjong A Fie ke berbagai media, hingga kepingan sejarah yang telah terserak sejak dahulu, saat Tjong A Fie wafat di tahun 1920, tak hanya tinggal sejarah yang ditulis di buku dan ditinggalkan generasi masa kini, namun dapat disebarluaskan dan direkam dalam memori tiap generasi, tiap suku, sampai tiap bangsa.  
           Rumah Tjong A Fie ini buka dari pukul 08.00 hingga 17.00 WIB. Saat saya menyambangi Tjong A Fie Mansion, saya berkesempatan bertemu muka dengan Bp. Fon Prawira. Beliau kemudian yang menjadi guide kami selama di dalam rumah Tjong A Fie. Namun, di tengah perjalanan, beliau pamit dan kami digantikan oleh guide lain yang juga paham seluk beluk rumah Tjong A Fie.  Rumah Tjong A Fie atau dikenal dengan Tjong A Fie Mansion adalah rumah pertama Tjong A Fie sejak beliau hijrah dari Cina ke Medan. Didirikan sejak tahun 1894, rumah dua lantai dengan luas 6000 m2, berhiaskan ornamen yang berasal dari seluruh dunia seperti lukisan, perabot rumah tangga, kursi dan meja tamu, rak buku, hingga altar tempat sembahyang ini menyimpan kenangan tentang bisnis Tjong A Fie yang tersebar hingga ke penjuru Medan. Beliau berjaya dengan berbagai bisnis yang menjadi cikal bakal perdagangan kota Medan. Pantas saja, di sepanjang mata memandang, yang terlihat adalah toko dan toko. Penjualnya pun dari etnis keturunan Tionghoa. Mencari cuan –uang dalam bahasa Tionghoa- tujuannya. Bila menilik sejarah, maka wajar banyak etnis keturunan Tionghoa yang bermukin di Medan selain Melayu, Batak, dan suku lain seperti Jawa. Bisnis Tjong A Fie berkembang sangat pesat. Seiring dengan itu, banyak pula orang yang iri dan berniat jahat untuk meruntuhkan tembok kerajaan bisnisnya. Ternyata, berhasil. Setelah berpuluh tahun mengelola bisnis, karena beliau tertipu oleh niat baik orang Belanda yang mengelola salah satu perkebunannya, maka sedikit demi sedikit bisnisnya bangkrut. Nah, setelah bangkrut, pemerintah Belanda membeli bisnis tersebut. Maka timbullah politik konspirasi yang diprovokatori oleh pihak Belanda itu sendiri. Tjong A Fie pun lama kelamaan stress dibuatnya. Bagaimana tidak? usaha yang kita bangun dari nol, tiba-tiba mengalami kerugian besar dan harus pailit akibat ulah rekan sendiri. Namun, demikianlah bisnis, siapa kuat dia yang berjaya. Hukum rimba pun menjadi berlaku. Dan Tjong A Fie adalah korban politik bisnis nakal yang tak kan membuat kekal.  Tjong A Fie telah 3 kali menikah. Istri pertamanya adalah orang Cina asli, Madam Lee hasil perjodohan orang tuanya, namun ketika Tjong A Fie hijrah ke Indonesia, mereka berpisah dan mereka tidak memiliki anak. Istri keduanya, Madam Chew, dikaruniai 3 anak yaitu Kong-Liong, Song Jin, dan Kwei Jin. Istri ketiganya, yaitu Lim Koei Yap, merupakan keturunan Tionghoa peranakan Binjai, dikaruniai 7 anak yaitu Tjong Foek Yin atau Queeny Chang yang kini bermukim di Singapura dan telah menelurkan buku kisahnya berjudul Memories Of Nonya, Tjong Fa Liong, Tjong Kian Liong, Tjong Kwet Liong, Tjong Sze Yin, Tjong Lie Liong, dan Tjong Tsoeng Liong. Dari keluarga inilah, Tjong A Fie berada di puncak keemasan bisnisnya yang mendunia. Namun, ibarat roda yang selalu berputar, demikian pula dengan bisnisnya. Hingga beliau meninggal karena sakit pada tahun 1920, hanya tersisa sekitar 25% saham bisnisnya saja. Anak-anaknya pun harus berusaha memulai bisnis dari nol lagi. Namun, hikmah dibalik itu semua adalah majunya kota Medan sebagai pusat perdagangan yang kian berkembang sampai sekarang. Selama hidupnya, Tjong A Fie mendermakan hartanya untuk kemaslahatan warga sebagai bentuk kepedulian sosialnya. Tanpa memandang asal suku, agama, dan ras, beliau mendirikan klenteng, taman pemakaman di Pulo Brayan, mendirikan perkumpulan untuk merawat penyakit lepra di Pulau Sicanang, serta membangun masjid raya Medan sebagai bentuk rasa hormatnya terhadap Sultan Deli, Makmoen AlRasjid dan penduduk Islam Medan. Melihat fakta tersebut, terbersit di hati bahwa ternyata prinsip Shadaqah pun telah terlihat dalam sejarah, semakin dermawan, semakin pesat pula bisnis Tjong A Fie. Lantas, apakah saya masih menimbang-nimbang ketika beramal? Untuk mengetahui sejarah lengkap perjalanan hidup Tjong A Fie, dapat dilihat disini
            Setelah puas mendengarkan kisah hidup dan seluk beluk Tjong A Fie Mansion, kami pun melanjutkan perjalanan ke seberang jalan, yaitu Restoran Tip Top Lunch Room. Konon, es krim dan cake-nya memiliki rasa jadul dan terasa seperti kembali ke era masa lalu ketika softener yang menjadi bahan pelembut kue kebanyakan belum populer seperti masa kini. Rasa es krim-nya mirip dengan es krim Ragusa yang terletak di dekat masjid Istiqlal Jakarta. Rasa cake-nya pun bertekstur padat, ringan, dan lembut. Kami menghabiskan waktu hingga pukul 15.00 WIB dan dilanjutkan ke Sunplaza untuk mencoba dimsum di restoran Nelayan. Setelah sampai, kami mencoba dimsum Hi Sit Kiau dan siomay sapi. Rasanya memang lebih enak dari Bamboo Dimsum yang ada di Jakarta. Terlebih disini tersedia pancake duren yang fenomenal. Konon, pancake duren terlezat yang ada di Medan. Harganya memang sedikit mahal yaitu Rp. 15.000 perbuah. Benar saja, ketika digigit, hemm..membuat lidah ingin terus bergoyang. Kulit pancakenya tipis, daging buah duren segarnya melimpah, dan agak terasa gurih dari whip cream yang dicampur di dalamnya. Satu pun rasanya tak cukup. Saya makan dua buah pancake sekaligus. Rasa penasaran pun terbayar sudah.  
          Pukul 18.00 WIB, kami tiba di hotel. Kebetulan, malam itu, teman satu perusahaan akan datang ke Medan. Dia menawarkan untuk makan malam bersama. Walaupun perut terasa sudah kenyang, namun karena diajak makan, ya siapa yang tidak menolak. Kami pun bertemu dan langsung bergegas menjemput teman kuliahnya tak jauh dari Istana Maimoon (sayang saya tidak sempat mampir karena sudah sore). Pertama kami bingung mau makan apa, tapi atas usulan saya yang belum pernah makan mie aceh khas Sumatera secara langsung, maka kami pun singgah di Mie Aceh Titibobrok di Jl. Setia Budi yaitu jalan menuju ke kampus USU. Suasana disana sangat ramai. Kami pun memesan mie aceh goreng dan teh kosong/teh tong. Rasanya sangat pas dilidah. Perpaduan antara pedas, gurih, asin dengan aroma rempah yang kuat, membuat saya mendadak lupa akan kata kenyang. Perjalanan malam pun dilanjutkan ke Duren Ucok yang juga terkenal. Musim duren telah lewat, namun persediaan duren yang ada di Ucok ini seakan tak pernah habis. Kami pun memesan 2 buah. Setelah di coba, ternyata kurang manis, maka kami pun minta ditukar (disini kalau durennya tidak enak, bisa ditukar lho!). 3 kali dibuka, semua pun sama. Ada yang kurang manis, ada pula yang sudah lewat masa matangnya sehingga rasanya pahit beralkohol. Well, entah karena musimnya sudah lewat atau sedang apes, kami merasa kurang puas dengan duren yang disajikan. Namun, ya sudahlah. Pulang saja.  
            Senin pun telah datang menjelang. Rutinitas kembali seperti semula. Jadwal kepulangan kami adalah hari Selasa sore dengan pesawat pukul 16.25 WIB. Sebelum pulang, kami sempatkan untuk membeli oleh-oleh yaitu manisan jambu madu dengan daging buah yang tebal seharga Rp. 18.000 perkilo dan Bolu Meranti di Jl. Kruing, Lempok duren di Durian House Jl. Sekip, Bika Ambon Ahun di depan Alfa-Inn, serta Bolu C&F di dekat Hotel Hermes. Pesawat pun sudah siap tinggal landas, kami segera check-in dan masuk ke pesawat. Perjalanan ke Medan kali ini lebih berkesan dari kemarin, karena sempat bertandang ke beberapa tempat wisata nan eksotis. Kalau ada kesempatan, suatu saat, ingin sekali bisa kembali kesana. Travelling and photo-shooting, many places to go before getting older! =)

(kembali ke) Medan #1


            Seperti gerhana yang terjadi sesekali, demikian pula perjalanan ini. Tak diduga, tak dikira, tiba-tiba menyapa dan memberi warna. Sebuah kesempatan yang tak pernah diimpikan, mendadak menorehkan pengalaman dan kenangan, dalam sebuah perjalanan
            Pagi itu, saat mentari sedang malu-malu keluar dari peraduannya, saya sudah berkemas untuk melangsungkan sebuah perjalanan. Sebenarnya, perjalanan ini dalam rangka dinas, namun karena baru dimulai hari Kamis dan berakhir hari Selasa, maka mau tak mau, saya harus menghabiskan akhir pekan yang kejepit disana pula. Entah harus senang atau sedih, yang pasti sih kalau kocek agak tebal, waktu pun dapat ter-barter hingga sulit untuk kembali di-starter, hehe.  Seperti perjalanan sebelumnya, kali ini pun saya menemani rekan untuk kembali bertugas di Medan. Pesawat kami take-off pukul 07.55 WIB dan landing pada pukul 09.55 WIB. Bandara Polonia, we’re met up again! Kami dijemput oleh supir dan langsung meluncur ke Lubuk Pakam. Seperti biasa, pekerjaan telah menanti, tenaga pun siap untuk habis dicuri, namun sejalan dengan itu, rencana wisata untuk membayar segala kepenatan pun telah ditata sedemikian rapi. Work hard, play harder!  
           Rutinitas telah dijalankan, saatnya menjamu diri dengan wisata makanan. Karena kami menginap di hotel Swiss-Bellin persis sama dengan kemarin, maka untuk jajan dan membeli makan malam pun kami sudah hafal. Saya mencoba Tom Yam Seafood dan rekan menjajal Kari Bihun Ayam. Semuanya halal, walaupun tidak ada sertifikat halalnya, namun karena si penjual meracik masakan tanpa unsur babi-nya, maka saya pun percaya. Bismillah. Tom Yam dan Kari Bihun pun siap dieksekusi. First impression, enak, segar, asam manis-nya menggigit, apalagi ditambah potongan cabe merah. Hemmm. Membuat lidah bergoyang. Apalagi disajikan di dalam mangkok besar dengan kuah yang merah merona. Namun, ternyata itu semua hanya bertahan di menit-menit pertama. Di menit berikutnya, lidah terasa terbakar, perut sudah mulai bergejolak. Entah karena rasa yang terlalu nano-nano atau porsi kuah yang lama-lama pedasnya terlalu nendang, yang pasti, saya menemukan 26 cabai rawit hijau tersebar di sekitar kuahnya. Isi dari Tom Yam pun tak banyak, hanya wortel, kacang kapri, 3 cumi potong cincin, 4 udang kecil, dan 2 butir bakso ikan. Porsi yang cukup untuk satu orang. Untuk kari bihunnya, menurut rekan sih enak banget. Ketagihanlah pokoknya. Selesai makan, kami pun meminta bill dan kami dibuat tercengang oleh harga yang ditulis pada bill. 31 Ribu untuk Tom Yam dan 26 Ribu untuk kari bihun. Serasa makan di restoran ternama saja, padahal letaknya di pinggir jalan. 31 Ribu dengan porsi kecil, kuah membanjir, dan seafood yang minim plus pramusaji yang jutek? It’s not really worth it at all.  
           Wisata kuliner yang kami jajal hampir sama seperti ketika terakhir kami ke Medan. Masih berkutat dengan nasi goreng kari yang lezat, martabak piring yang garing-enak-plus murah mirip crepes namun dengan ukuran lebih kecil –sebesar piring makan- dan harga yang sangat pas di kantong,  serta ayam goreng yang setahu saya adalah satu-satunya makanan halal di dalam kawasan food court pecinan dekat hotel. Karena kami harus berada di Medan selama 4 hari dengan weekend ditengah waktu dinas, maka kami pun melancarkan rencana untuk berwisata ke beberapa tempat wisata. Dengan meminta izin atasan untuk meminjam mobil plus supirnya, maka Danau Toba di hari Sabtu adalah rencana pertama kami.  
           Sabtu pun datang dengan terang benderang, cuacanya sangat bersahabat. Mendukung segala derap langkah menuju Danau Toba. Kami berangkat pukul 08.00 WIB. Perjalanan menuju Danau Toba diwarnai dengan belantara sawit dan karet di kiri-kanannya. Dalam hati, saya pun berdendang. Kiri Kanan Kulihat Saja, Banyak Pohon Sawitnya..aa..Kiri Kanan Kulihat Saja, Banyak Pohon Karetnya. Jarak yang ditempuh lumayan membuat P4, Pantat Panas Punggung Pegal, yaitu sama dengan jarak dari Bogor ke perkebunan teh Rancabolang dan Kawah Putih di Bandung Selatan. 4 jam kami tempuh untuk mencapai Danau Toba. 2 jam sebelum sampai, pemandangan pun diwarnai oleh Rumah Adat Ulos khas Suku Batak. Motifnya unik, mirip Tribal Pattern. Sayang, tidak dapat saya abadikan, karena sang supir mengebut dengan kecepatan hampir 100 km/jam. Alamak! Pukul 12.00 kami sampai di gerbang masuk bertuliskan “Selamat Datang di Danau Toba”. Akhirnya sampai juga! pemandangannya memukau! membuat siapa saja yang datang pertama kali tercengang. Eksotisme khas Indonesia. Setelah kami parkir, kami berfoto terlebih dahulu, kemudian kami turun, ingin mencicipi jernihnya air Danau Toba sampai menembus pori. Ini adalah pengalaman pertama saya ke Danau Toba. Kesyahduan Danau Toba, membuat saya terbuai dalam sepoi angin dan sejuknya air. Momen yang langka ini pun tak lupa kami abadikan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi bisa main kesini? Hehe. Tadinya, saya penasaran ingin menyebrang ke Pulau Samosir. Katanya sih, kalau ke Danau Toba tak lengkap bila tak ke Pulau Samosir. Namun, melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB, rasanya tak mungkin bila menyebrang. Butuh 2 jam bolak-balik. Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk mengunjungi beberapa tempat wisata Pulau Samosir seperti Tarian Sigale-gale, Desa Tuk-Tuk, Museum, dan lain-lain. Alhasil, saya hanya bisa termenung saja sambil browsing informasi wisata Pulau Samosir dan mendadak mupeng. Harusnya sih kami menginap disana, pulangnya hari Minggu. Rekan saya pun bukan seseorang yang gila jalan-jalan dan bertualang. Well, belum rejeki mungkin. Untuk mengalihkan pikiran dan menghilangkan perasaan bersalah, kami memutuskan untuk belanja oleh-oleh khas Batak. Dibutuhkan waktu 1,5 jam untuk melakukan adegan tawar-menawar dengan logat di-melayu-melayu-kan. Akhirnya kain ulos motif sadum, tali pendek ulos, gantungan kunci, hiasan rumah adat Batak, dan magnet kulkas bertuliskan “Toba Lake” menjadi buah tangan kami. Lumayan puas, namun harus menahan nafsu untuk memborong semua pernak-pernik khas Batak. Tapi setelah ingat budget yang kian menipis dan banyak titipan yang belum dibeli, maka kami langsung tancap gas pulang. 6 jam perjalanan kami habiskan untuk menyusuri 5 kota Kabupaten yaitu Kabupaten Parapat, Pematang Siantar, Serdang Bedagai (melewati kecamatan Perbaungan yang menjual Dodol Pulut aneka rasa di Pasar Bengkel dan Sei Rampah yaitu Ibukota Kabupaten Serdang Bedagai), Tebing Tinggi, Lubuk Pakam, dan berakhir di Medan. Pukul 21.30 WIB, sampailah kami di hotel. Badan remuk redam, namun perut masih membuat gerakan senam. Ayam goreng plus lontong menjadi teman malam mingguan kami. Walau tanpa pacar, keluarga, atau teman dekat, malam minggu kami sudah cukup berkesan dengan suasana tak biasa. 1 Destinasi, 5 kabupaten, 11 jam perjalanan, tak membuat saya bosan untuk mengulang kembali. Sebenarnya, masih jauh dari kata puas. Pulau Samosir belum disambangi, cerita pengalaman dan foto memori liburan pun masih sangat minim untuk ditayangkan. Mungkin, suatu saat nanti, dapat berkesempatan untuk mengeksplorasi keindahan ciptaan Ilahi bersama teman sejati. Well, who knows?