Minggu, 27 Mei 2012

Finally itu Akhirnya

Hari ini di tahun 2011 adalah salah satu tahun yang revolusioner bagi saya. Saya bertransformasi menjadi seorang muslim yang sesungguhnya dengan mengubah penampilan saya secara bertahap. Pertama, saya buka lemari baju ibu saya dan mencoba menggunakan penutup kepala. Kedua, saya bentangkan kain membentuk kerudung di kepala saya sambil mengancingkannya dengan beberapa peniti, jarum pentul, dan bros. Saya mematut-matut wajah di cermin. Dan Voila! Terlihat lebih segar dan berwarna. Semenit kemudian saya mulai bernarsis ala artis dengan ponsel pintar sebagai alatnya. Tak bermaksud riya, hanya untuk mengekspresikan kepuasan batin karena telah meletakkan hati diatas kepala. Berhijab.
      Banyak wanita yang sulit sekali memulai untuk berhijab. Padahal, kain kerudung bukan terbuat dari besi baja, tidak memiliki massa signifikan yang dapat memberatkan kepala sehingga membuat kepala menjadi pusing dan pingsan. Dari segi harga, kain kerudung pun tidak mahal. Hanya seharga 15 ribu rupiah, para wanita sudah dapat menutup auratnya. Apabila kita bandingkan dengan harga baju, tas, sepatu, kosmetik, dan parfum bermerk terkenal yang setiap hari melekat di tubuh menemani tiap langkah aktivitas, kain kerudung sangatlah murah. Namun, mengapa tiap wanita yang bertitel ‘Islam’ merasa enggan dan berat untuk memakainya? Jawaban dari pertanyaan mendasar tersebut adalah karena mereka belum mendapatkan hidayah. Ya. Hidayah datang secara tiba-tiba, tanpa prediksi dan tanpa rencana sebelumnya. Seorang wanita yang mengaku muslim bisa saja belum menggunakan kerudung dalam kesehariannya, namun ia tetap melaksanakan shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, dan pergi berhaji. Sang wanita tersebut belum mendapatkan hidayah untuk menggunakan kerudung atau dikenal juga dengan sebutan jilbab atau hijab. Ia belum mendalami hukum wajibnya menggunakan jilbab bagi wanita seperti yang tercantum dalam firman Allah, Surat Al-Ahzab ayat 59 yang artinya sebagai berikut. : “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isteri engkau, anak-anak perempuan engkau dan isteri-isteri orang mu’min, supaya mereka menutup kepala dan badan mereka dengan jilbabnya supaya mereka dapat dikenal orang, maka tentulah mereka tidak diganggu (disakiti) oleh laki-laki yang jahat. Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”.
      Semua hasil yang baik membutuhkan suatu proses dalam perwujudannya. Demikian halnya dengan saya. Ketika remaja, saya sudah dikenalkan dengan jilbab. Sekolah di lingkungan yang islami dengan pergaulan yang mengedepankan syariat islamiyah dalam setiap nafasnya membuat saya lebih rajin dalam beribadah kepada Allah, mulai dari ibadah wajib hingga sunnah. Dalam tiap ceramah agama, saya pun seringkali diingatkan oleh guru agama, mentor, maupun teman untuk menggunakan jilbab. Namun, entah mengapa, terdapat penolakan dalam hati saya. Sebagai remaja yang masih labil, saya banyak terpengaruh dengan dasyatnya teknologi, media, dan mode. Ditambah, cerita dan pengalaman rekrutmen gelap untuk masuk ke dalam zona Islam garis keras yang sangat jauh dan bertolak belakang dengan paham Islam sebenarnya. Pengalaman tersebut hampir membawa saya masuk ke dalam aliran sesat tersebut dengan teman dekat semasa SMA yang notabene berjilbab sebagai perantaranya. Pikiran saya pun dibuat kacau balau antara kebenaran Islam yang hakiki dengan kesesatan Qur’an ciptaan mereka. Saya pun linglung dibuatnya. Great job for you, Miss.
        Pengalaman tak menyenangkan membuat saya berpikir seratus kali untuk berhijab. Memang, itu adalah masa lalu, namun sangat membekas di dalam lubuk hati saya. Saya pun menjadi agak antipati dan beralasan bahwa prinsip hidup saya demokratis dan liberal. Jadi terserah saya donk, mau berpakaian seperti apa, yang penting tidak merugikan orang lain. Titik. Empat tahun sudah saya memendam prinsip seperti itu. Titik baliknya adalah ketika saya mengerjakan penelitian akhir untuk menuntaskan perkuliahan. Rintangan dan hambatan datang menerjang. Penyakit datang bertubi-tubi bagaikan serangan beruntun di Perang Dunia III. Saya hampir kehilangan semangat. Namun, Allah selalu tahu saat hamba-Nya dalam kesulitan. Puji syukur, sedikit demi sedikit pintu hati saya mulai terbuka. Allah memberi hidayah kepada saya agar menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Hidayah Allah memang datang tanpa terduga. Minggu terakhir di Bulan Mei adalah hari yang paling berkesan dalam hidup saya. Saya mengenakan hijab untuk pertama kalinya. Disapa ibu haji oleh beberapa pedagang di sepanjang jalan. Saya mengamini saja. Tiap ucapan adalah doa. Ucapan dan nasehat semua orang kala remaja merupakan doa yang terkabul saat ini.
        Berhijab bukan berarti kehilangan gegap gempita fashion terbaru abad ini. Bukan pula dengan berhijab pakaian-pakaian zaman dahulu kita mubadzir, tidak terpakai. Dengan sedikit sentuhan padu padan, kita dapat tampil fashionable dengan balutan hijab berwarna-warni. Toh, dalam Islam tidak diharamkan untuk bereksperimen dengan mode, asalkan mode tersebut dapat membantu kita menutup aurat.
       This topic is made by my opinion. No offenses for those who are being disagree with my thought. Nevertheless, corruptors are free to hoodwink then grab money smoothly. Let us be free to express our ideas.  Because, we are human being, living in the same atmosphere.

Kala Senja di Tepi Kereta


Jumat sore tepatnya menjelang pukul 5 adalah hari yang memacu jantung bekerja lebih keras dari biasanya sekaligus memicu adrenalin dan asam laktat untuk keluar bersama bulir-bulir keringat. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang istimewa untuk dikerjakan. Hanya saja lokasi yang jauh dari hingar bingar kota dengan intensitas debu yang berpotensi menimbulkan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), membuat tiap orang berusaha mencari mobil tumpangan untuk mencapai jalan utama dan mencari angkutan umum. Demikian halnya dengan saya. Tiap hari tak ihwalnya menjadi orang yang sangat tepat waktu dengan kedatangan tepat pukul 8 pagi dan pulang pukul 5 sore. Setali tiga uang dengan yang lain. Petuah manusia adalah makhluk sosial sangat berlaku disini, di bagian utara kota Jakarta.
Senja itu, saya bersama seorang wanita paruh baya yang menjadi teman pulang kala Jumat tiba, mempercepat langkah kaki setengah berlari mengejar kereta. Gerbong kereta tua, rel kereta rusak, sungai kecil, ilalang liar, dan jembatan kayu menjadi saksi bisu perjuangan kerasnya hidup mengejar detik-detik berharga di rumah. Hingga sampailah saya di ujung jalan. Saya pun menukarkan uang 7 ribu dengan sehelai tiket kereta yang mengklaim dirinya ber-ac namun nyatanya hanya menggunakan kipas angin kecil setengah layak untuk memenuhi pasokan oksigen dalam gerbong. Sambil duduk di bangku besi bermotifkan cat biru muda yang sudah mengelupas, saya mengeluarkan ponsel pintar untuk sekedar berselancar di dunia maya, membunuh waktu. Tak dinyana, tiba-tiba ada seorang wanita usia 30-an duduk di sebelah saya dan mengajak mengobrol. Mulai dari obrolan basa-basi hingga ke obrolan serius yang lebih pantas disebut sebagai curcol –curhat colongan. Pada awalnya saya tidak terlalu respek dengan caranya berkenalan karena belum apa-apa sudah meminta nomor ponsel. Berbagai spekulasi negatif pun kerap menggelayuti ruang pikiran saya. Alasan aneh pun saya utarakan untuk menyandingkan cara berkenalan yang tidak biasa. Nomor saya akan dinon-aktifkan. Ia tak keberatan dan ia memaksa saya untuk menyimpan nomor ponselnya.
Pembicaraan berkembang menjadi suatu aliran cerita pengalaman hidupnya. Ia, seorang perantauan asli Bumiayu, adalah seorang ibu dengan 3 anak yang sudah ditinggal suaminya lantaran gagal ginjal pada beberapa tahun kebelakang. Jakarta adalah pilihan satu-satunya karena menawarkan sejuta pekerjaan dengan kompensasi yang menggiurkan. Selain itu, figur seorang kakaknya yang dapat dikatakan sukses membuka usaha warung di pinggir stasiun melonjakkan semangatnya untuk menjajakan tenaganya di ibukota. Ditengah pilihan pekerjaan yang mengatasnamakan kemasyuran dan gemerlap kota, teman-teman yang telah lebih dahulu memulai karirnya di Jakarta, menawarkan lowongan di café dan club malam yang menjual kebahagiaan sesaat, permintaan tamu sesat, hingga pergaulan lepas bebas tanpa batas. Beruntung, ia bukanlah tipe pribadi lugu yang baru mengecap manis ibukota. Ia merupakan wanita berprinsip kuat dengan iman yang ia jadikan tolak ukur dalam memutuskan suatu pertimbangan. Akhirnya, menjadi baby sitter adalah pilihannya untuk berkarya. Tanggung jawab menjadi seorang baby sitter memang tak mudah karena ia memegang peranan penting untuk menjaga balita dari mulai bangun hingga tidur kembali, sehari 24 jam, tanpa pengawasan intens dari majikannya, pasangan pengusaha. Kejujuran dan integritas adalah kuncinya. Ia menjalankan peran tersebut dengan sangat baik. Ya, baik untuk dirinya karena dipercaya seratus persen oleh majikan, namun dari sudut pandang keluarga tersebut, seperti bom waktu, ia menjadi momok tersendiri ketika sang balita telah beranjak dewasa. Bagaimana tidak? Sang balita tidak mau dilayani oleh orang tuanya. Bahkan untuk urusan tidur pun, ia tidak mau lepas dari baby sitter. Akhirnya, bila orang tua sang balita rindu memeluk anaknya, mereka tidur berempat. Jadi, jangan salahkan sang anak bila ia tidak dapat akrab dengan orang tuanya. Jangan salahkan suami pula bila akhirnya si suami lebih dekat dengan baby sitter ketimbang istrinya. Anomali kehidupan dasar masyarakat modern yang tanpa sadar menjadi sebuah fenomena gunung es.
Serpihan kisah yang ia tuturkan dengan sangat terbuka kepada saya, orang yang baru semenit ia kenal, terus berlanjut. Kali ini, tentang pendiriannya yang tidak mau mencari lelaki lain pengganti suaminya. Padahal, sudah banyak lelaki mengantri untuk mengisi kekosongan hatinya. Namun, ia memilih untuk mengabdikan dirinya mencari sesuap nasi bagi putra-putrinya untuk bekal menimba ilmu mencapai asa mereka. Kemudian mengenai pengalaman dahulu dimana ia menikah muda saat usia baru 19 tahun. Ia berprinsip apabila sudah jodoh, usia semuda apapun, ya menikah sajalah.  Prinsip yang berbeda seratus lima puluh lima derajat dengan saya, pribumi yang dibesarkan oleh pengaruh lingkungan demokratis.
 Ia berkisah panjang lebar tanpa jeda, bagaikan lokomotif yang berlari di atas rel mengejar waktu ke stasiun berikutnya. Tak terasa pertemuan singkat tersebut menyisakan goresan mata pena dalam sanubari. Lima menit sebelum kereta jurusan Bogor berhenti tepat dihadapan, ia menutup perbincangan dengan kalimat sakti : mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi ya, hati-hati dengan lelaki karena ia bisa saja baik di awalnya namun ternyata ada maksud lain di tengah jalan –(dengan revisi kalimat redaksi). Saya pun tersenyum menyimak bagai murid menerima penjelasan dari dosennya. Pesan berkesan mengakhiri elegi senja, pergi bersama alunan dentangan roda kereta. Sri Sugiarti, cerminan kaum perantauan yang tak lekang dimakan zaman, seorang ekstrovert yang awalnya seolah terbius oleh kemegahan ibukota namun berbalik melawan derasnya keganasan megapolitan berkat junjungan hidup yang kuat.
Sang Surya telah meredupkan sinarnya, senja pun berpamitan pergi ke dimensi lain. Mega jingga terganti oleh kelam malam. Alunan adzan mengantarkan saya pergi berlari mengembalikan energi yang telah dipinjam seharian. Perkenalan singkat melahirkan ikatan pertemanan. Perjumpaan tanpa rencana membuahkan cuplikan pelajaran dari sebuah pengalaman. Sambil merenung saya membuka ponsel pintar dan mengetik : Halo, ini nomor saya. Semoga bertemu lagi. Clear Field Content. Tanpa maksud mengingkari, saya kunci kisah senja sampai disini saja. Biarlah waktu yang menentukan titik singgung dalam putaran roda kehidupan. Saya dan dia.

Sabtu, 26 Mei 2012

Wednesday : We'd Nice Day

Rabu adalah hari ditengah minggu yang tak banyak orang menyukainya. Alasannya simpel, karena weekend masih lama dan pekerjaan semakin menumpuk. Demikian halnya dengan saya. Sebagai seorang kontributor baru –begitu saya menyebutnya—sebuah perusahaan asli Indonesia, tenaga dan pikiran memang harus terforsir untuk menyelesaikan semua tanggung jawab. Namanya saja tanggung jawab, maka kitalah yang harus menanggung dan menjawab apapun secara sekaligus. Namun, spontanitas diperlukan untuk sebuah inovasi, a rechargable passion.
     Rabu ini adalah Rabu yang tidak biasa. Saya menggaransikan hari ini untuk sebuah spontanitas penyegaran bersama teman. Tidak muluk-muluk, hanya sekedar menuntaskan hobi sosialisasi dan menonton film action. Semua keasyikan tersebut berawal dari suatu ide spontan seorang teman. Seperti biasa, di tengah ganasnya angin laut dan bingkai matahari sore yang redup, kami bercengkarama menghabiskan hari menuju ke peraduan masing-masing. Seorang teman bercerita tentang film yang dibintangi oleh artis kaliber, Will Smith dan Tommy Lee Jones, yang baru tayang di bioskop. Spontan ada yang berceletuk untuk menyambangi pertunjukan Sang Agen Rahasia di bioskop terdekat dan tanpa diduga semua menyetujuinya. Pluit Junction kami pilih untuk merehatkan pikiran sejenak dengan melihat aksi-aksi legendaris nan menghibur dengan tarif yang relatif lebih murah. And the show has begun with kinds of fascinating drama. A sophisticated afternoon after all.
        Puas merelaksasikan pikiran, melemaskan otot rahang, dan memicu endorphin untuk menyeruak keluar menerbangkan kebahagiaan hingga puncaknya, kami memutuskan untuk pulang ke tempat singgah masing-masing. Kami mengantarkan salah satu rekan ke rumahnya yang tidak jauh dari pusat perbelanjaan bagian utara ibukota. Udara malam yang menusuk ditambah kelamnya malam yang mencekam tidak menyurutkan semangat kami untuk mengisi perjalanan dengan segudang cerita hidup. Entah bagaimana awal mulanya, kami yang sebenarnya belum terlalu membuka diri untuk saling menyelami cerita hidup masing-masing, pada malam itu semua opini dan pengalaman pribadi terkuak lebar. Keakraban pun tiba-tiba muncul menyelimuti perjalanan. Dimulai dari rahasia hubungan antar dua insan dalam satu departemen yang ternyata bertepuk sebelah tangan. Sang lelaki mengharapkan balasan dari perhatian yang telah bertahun-tahun ia pupuk di hati Sang Gadis pujaan. Namun, Dewi Fortuna belum berpihak padanya. Perasaan Sang Gadis terhadap lelaki tersebut tidak lebih hanya sekedar teman biasa. Sakit memang, namun sebuah perasaan ibarat sebuah gembok dan kuncinya. Tidak dapat dipaksakan apalagi memaksakan. Alur cerita pun berkembang ke arah pengalaman percintaan masa lalu dan masa kini. Tanpa diminta, secara bergantian cerita cinta mengalir keluar dari lubuk hati masing-masing, mulai dari pertanyaan : by the way, kamu udah punya pacar? Dari kapan pacarannya? hingga beranak pinak dengan saling bertukar pikiran, masalah, dan solusi atas hubungan yang pernah dan sedang dijalankan. Acara refreshing tersebut pun beralih menjadi sesi curcol—curhat colongan—versi kawula muda.
     Tersebutlah sebuah gita cinta saat kuliah di sebuah kota yang dijuluki kota pelajar. Sang pemuda ini mendambakan suatu hubungan berkomitmen dengan Sang Gadis impian. Dan cintanya terbalaskan sudah. Mereka menjadi sepasang kekasih dalam balutan kasih sayang dua insan. Waktu terus berlalu dan usia hubungan cinta pun semakin bertambah. Di tengah jalan dalam perjalanan jalinan cinta, kerikil-kerikil kecil mulai berdatangan. Mulai dari pernyataan putus dari Sang Gadis yang berlangsung tiap bulan saat insiden mood-swing terjadi hingga kedekatan Sang Gadis dengan teman laki-lakinya yang notabene teman seperjuangan kuliahnya. Sang pemuda terus berjuang mempertahankan hubungan tersebut dari angin badai yang menghadang. Namun, pada suatu titik, pertahanan Sang Pemuda akhirnya goyah. Mereka bubar di tengah jalan. Ketika Sang Pemuda sadar bahwa kekasihnya telah menjadi milik orang lain, ia pun terus menyakiti dirinya sendiri dengan berbagai cara. Tak mau kehilangan namun tak mau teringat kembali, inilah dilema yang kerap menghantui pikiran dan hidupnya hingga beberapa bulan ke depan. Ia layaknya zombie, hidup segan mati tak mau. Ia meninggalkan kosan dan memutuskan hidup di jalanan dengan bekal serta kondisi seadanya. Kamar kosan seperti neraka baginya karena menyimpan semua memori indah bersama Sang Mantan. Rutinitas terus berjalan dengan semangat yang terbuang entah kemana. Hingga suatu hari ia diganggu oleh lelaki pilihan mantannya. Ia dikirimi pesan singkat bertubi-tubi saat dini hari berisi ancaman agar tidak mengganggu mantannya. What an annoying!! Ia bersikeras untuk menemui lelaki perebut kekasih hatinya dan menuntaskan angkara secara jantan. Dan disitulah titik balik dari semua penyesalan. Ia memang sangat menyayangi Sang Gadis, mantannya hingga sulit melupakan detik demi detik bersamanya. Perasaan cintanya sudah tertancam dalam ke hati Sang Gadis. Namun, sebuah gembok hanya dapat dibuka oleh pasangan kuncinya. Demikian pula dengan perasaan. Sebuah perasaan tidak dapat dipaksakan apalagi memaksakan. Inilah jawaban dari kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dimana ketika suami dengan tega memukul istri dan berselingkuh dengan wanita lain, Sang Istri tidak mau meninggalkan suaminya karena rasa cinta Sang Istri tulus tanpa pamrih.
      Perjalanan membawa kita ke ruang dimensi berbeda yang tanpa sadar turut serta mendewasakan kita. Cinta yang dahulu kita anggap sebagai suatu elemen yang dapat menggetarkan hati dan menggilai jiwa ternyata memiliki substansi lebih dari itu. Cinta adalah penyatuan jiwa yang kekal dengan perasaan sebagai perantaranya. Cinta tak bertepi, berlabuh di dermaga perasaan sejiwa. Tanpa pikir panjang, tanpa pandang bulu, dua hati berbeda latar belakang disatukan oleh rasa cinta. Demikianlah. Cinta tak dapat diukur dengan logika matematika.
      Spontanitas. Keakraban. Persahabatan. Kisah. Cinta. Perasaan. Kami mengakhiri rabu malam dengan indah. Seindah sebuah kisah cinta. Our Wednesday was a phrase of We’d nice day. EVER.
Cinta ini kadang-kadang tak ada logika 
(by Agnes Monica)

Minggu, 20 Mei 2012

Kicau Syair Seorang Peninjau Amatir

Sabtu pagi, informasi, dan kopi. Tiga hal seru yang menyapa otak saya di pagi sendu. Sang surya nampak malu-malu menampakkan jati dirinya ditengah angin yang menderu. Angin kering semriwing meninggalkan hawa panas jumawa di sela nyawa. Langit mengharu biru dibalut keteraturan kenaikan temperatur udara menambah kesyahduan anomali pagi. Sambil sesekali menyeruput kopi sejumput dan mencicip choco-chip, saya memulai membaca kolom Kompas dengan lamat-lamat. Ada satu artikel yang menggelitik saya untuk sedikit berceloteh opini pribadi. Tulisan tersebut ditayangkan dalam sebuah kolom berukuran 21 x 14 cm bergenre politik-ekonomi oleh seorang Budiarto Shambazy. Beliau adalah seorang wartawan senior Kompas kaliber yang telah melanglangbuana dengan jam terbang menulis di berbagai media baik cetak maupun online dan telah menelurkan buku politik dan hukum berjudul ‘The Victory Is Yours’. Sebenarnya, saya kurang menyukai dunia perpolitikan karena penuh dengan intrik dan rekayasa walaupun memang sarat akan makna. Namun, tema artikel kali ini menyerempet masalah musik dan gaya hidup yang sangat dekat dengan keseharian saya.
Lady Gaga(l) adalah judul salah satu kolom Kompas (19/5) halaman 15. Sepintas judul tersebut membuat saya tergelitik dan tanpa sadar melengkungkan bibir, tersenyum geli. Bagaimana tidak? Isu yang diangkat tak ihwalnya seperti gosip selebriti di stasiun tv lokal namun dihomogenisasi dengan pembahasan politik ekonomi khas penulis. Lady Gaga. Siapa yang tak kenal dengan penyanyi kontroversial asal Amerika yang menelurkan hits ‘Poker Face’ dan berencana datang ke Indonesia untuk menggelar konser bertajuk ‘The Born This Way Ball Tour’? Sejak usia balita ia belajar musik klasik dan sarjana bisnis pertunjukan. Ia ingin menjadi penampil revolusioner melawan dominasi lelaki dengan aksi panggung dan fashion seronok (Lady Gaga(l) alinea 19).
Lady Gaga telah menjadi trending topic dalam percaturan media saat ini mengalahkan popularitas koruptor dan capres yang menjadi ikon artis narsis republik ini. Penjualan tiket yang telah dilakukan oleh promotor besar bulan Maret silam membuahkan problematika pelik antara pihak pelaku bisnis, pencinta musik, golongan ekstrim dan fanatik, serta pihak pengambil keputusan. Berbagai alasan dijadikan tameng untuk menutup rapat-rapat pintu legalitas bagi Sang Diva Dunia. Padahal apabila kita runut kebelakang, ratusan pelaku seni khususnya di bidang tarik suara datang ke Indonesia untuk menggelar konser ditengah kepercayaan akan kondisi keamanan yang sudah cukup kondusif. Berbagai lapangan pekerjaan pun spontan bermunculan secara sporadis, mulai dari bisnis merchandise artis, penjualan kuliner, hingga tukang parkir pun terkena imbas positifnya.
Lantas, mengapa kemudian Lady Gaga yang notabene berstatus sama dengan artis lainnya dilarang untuk konser di Indonesia? Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia secara implisit didominasi oleh golongan sayap ekstrimis dengan titel organisasi pembela.  Dalam setiap kiprahnya, mereka selalu dicap sebagai kelompok frontal atas nama agama yang perilakunya berseberangan dengan nilai suci agama. Atas nama demokrasi dan reformasi, mereka tampil bak pahlawan untuk membela kebajikan. Penampilan seronok ala Barat dan lirik-lirik kontroversial Lady Gaga yang tidak sesuai dengan norma ketimuran menjadi tema aksi mereka saat ini. Apabila kita tilik lebih jauh, bukankah penampilan, lirik lagu, dan sejumlah film yang dibintangi artis produksi dalam negeri tak ayalnya lebih kronis dari budaya Barat, bergaya minim transparan dengan nilai sensualitas yang dijual dalam tiap serinya dan dipertontonkan secara bebas ke semua umur. Cara mudah merusak moral bangsa adalah dengan penetrasi budaya negatif ke generasi mudanya. Sekali lagi, atas nama demokrasi dan reformasi.
Kemanakah otorisasi pihak berwajib dan berwenang sebagai penengah dalam kerusuhan kecil pada bangsa yang besar? Hingga saat ini, belum ada keputusan legalisasi konser Lady Gaga di Indonesia. Menunggu pemeriksaan persyaratan perizinan, demikian perkembangannya. Memang, keputusan diizinkan atau dilarangnya suatu konser terletak ditangan pihak berwenang yaitu kepolisian yang merupakan alat negara yang dibiayai rakyat, bukan alat kekuasaan yang dibiayai perorangan (Lady Gaga(l) Alinea 18). Namun, lagi-lagi suatu teori dapat berbeda nyata dengan fakta. Mari lihat saja konkritnya.
Kita hidup di era reformasi dalam negara yang demokratis. Sayangnya, substansi kebebasan bermoral tersebut seakan tergerus oleh keserampangan perilaku penguasa yang menghasilkan parodi kacau balau negara. Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua, yang menjadi kekhasan persatuan Indonesia seperti tertuang dalam sila ketiga Pancasila telah gagal diaplikasikan.
Betapapun tak ada yang berhak menggagalkan kita menikmati karya artis-artis pujaan, menyaksikan konser mereka di mana pun dan kapan pun. Saya justru iba kepada mereka yang gagal menikmati sekaligus mengapresiasi musik sebagai karya seni abadi (Lady Gaga(l) Alinea 21)
Demi kebhinekaan, konser Lady Gaga layak jalan terus dengan modifikasi, misalnya dengan kostum yang sopan. Polisi sebagai alat negara wajib menjaga keamanan konser—bisnis pertunjukan yang telah mengorbankan dana, tenaga dan waktu (Lady Gaga(l) Alinea 22)
Selamat datang Lady Gaga dan selamat menikmati konser bagi Anda penggemar semua! (Lady Gaga(l) Alinea 23)
Demikianlah opini pribadi dengan penambahan sedikit saduran dan review dari tulisan Budiarto Shambazy mengenai pro dan kontra konser seorang Lady Gaga di negara yang ternyata telah gaga(l) merefleksikan substansi ‘Bhineka’ di dalam urat nadi bangsanya sendiri. Apabila diibaratkan negara ini sebagai rumah tangga dengan pemimpin negara sebagai kepalanya serta masyarakat sebagai anak, istri, dan pengikutnya, maka keluarga ini sedang mengalami masalah internal yang menyangkut kurangnya toleransi perbedaan. Bila dibiarkan berlarut-larut akan berbuntut pada perceraian. Perbedaan pasti ada, pro dan kontra adalah hal yang biasa. Diferensiasi harus dihargai, kebhinekaan jangan diperangi. Hanya nuranilah yang dapat bertindak jernih dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita bangsa dewasa, tidak butuh senjata untuk memusnahkan massa. 
Hey lil’monsters, your mother monsters will rock you on!!

Sabtu, 19 Mei 2012

Suatu Ketika di Stasiun Kereta


Mataku menatap nanar ke arah jam dinding tua di stasiun. 1 jam sudah aku menunggu kereta jurusan yang aku tuju sambil berharap cemas karena angin malam yang menggigit ditambah serangan nyamuk yang membabi buta mencari kudapan malam. Tepat di sebelahku duduk seorang pemuda bergaya ala kantoran dengan pembawaan santai dan terbuka membawaku menyusuri sepenggal kisah menarik dalam puzzle hidupnya. Bertukar pikiran adalah frase yang tepat untuk menggambarkan aktivitas spontan tersebut. Ibarat perpindahan panas ketika mendidihkan air, informasi yang dituangkan dalam tiap kisah mengalirkan energi yang dapat mentransformasikan suasana kelam mencekam menjadi suatu kehangatan dalam sebuah penantian.
Cinta merupakan sebuah kata dengan sejuta makna yang selalu dapat menjadi tema menarik dalam sesi tukar pikiran. Ada cinta ada pula problema. Namun, problematika adalah bumbu dalam setiap perjalanan asmara, asalkan takaran bumbu yang ditambahkan tidak kelewat batas. Hubungan dua insan dalam balutan asmara bagaikan berlayar ke suatu pulau. Satu orang menjadi juru kemudi sedangkan pasangannya menjadi pendukung untuk mencapai suatu tujuan yang sama. Namun, apabila salah satu sudah melanggar, maka kapal tersebut akan kehilangan kendali dan lama kelamaan akan karam dilekang oleh waktu.
Dua insan yang berbeda latar belakang disatukan oleh sebuah kalimat “aku mau jadi pendamping hidupmu” berharap bahwa hubungan tersebut akan langgeng sampai jenjang pernikahan. Tahun demi tahun telah dilewati dengan penuh suka cita. Namun, sebuah hubungan bagaikan roda kehidupan yang selalu berputar cepat. Kadang, adakalanya semua agenda kencan dan perbincangan tersusun dengan rapi bak detak jarum jam. Di lain waktu, sebuah hubungan pun ibarat fenomena gunung es dimana terlihat baik di luar namun tersimpan masalah pelik di dalamnya.
Persamaan dan perbedaan yang mengawali jejak langkah hubungan tersebut mulai terkuak dengan jelas. Memang, di setiap hubungan dibutuhkan sebuah rasa toleransi untuk menerima baik kelebihan maupun kekurangan pasangan. Persamaan adalah anugerah sedangkan perbedaan adalah tantangan. Demikianlah yang menjadi kekuatannya untuk bertahan hingga saat ini. Perbedaan budaya dan pola asuh masing-masing tak menggetarkan hatinya untuk mempertahankan harapan dan ikhtiarnya. Tak dinyana, banyak pihak yang akan merelakan keputusan tersebut agar berujung pada kebahagiaan. Sebuah keputusan yang sulit berbuah manisnya menapaki kehidupan baru, kehidupan mandiri. Itulah harapan besarnya. Ada harga yang harus dibayar untuk suatu harapan.
Dentangan lokomotif yang bertalu-talu disertai pengumuman dari pengeras suara mengalihkan perhatian kami untuk mengakhiri malam di pinggir kota Jakarta dan melanjutkan perjalanan. Waktu dan kepingan kisah melahirkan hipotesa. Sebuah permasalahan tidak selalu membutuhkan penyelesaian. Namun, sebuah cerita pasti membutuhkan ruang untuk didengar.

Sabtu, 12 Mei 2012

Curhat Tiga Bahasa


Itu kusir bangun ambek-ambek teuing
Turun tina delman
Kuda dipecutan tarik
Teu aya pisan ras-rasan
Teu ngaraskeun bong kena ka sato laip
Padahal mogokna
Lantaran geus cape teuing
Hayang ngaso eureun heula
Coba lamun aya nu neunggeul ka kusir
Geus tangtu karasa
Nyeri moal salah deui
Sato ge kitu sarua
 
Dari kejauhan, terlihat api kemarahan sang kusir meledak-ledak
Dia turun dari delmannya
Kemudian memecut kencang kudanya
Dengan tidak berperikebinatangan dan tanpa belas kasihan 
Mungkin kamu tidak tahu perasaanku, wahai empuku
Bahwa alasan aku mogok kerja adalah
Karena sudah terlalu letih bekerja membantumu
Ingin sekali aku rehat sejenak
Apabila dirimu dipukul orang lain
Pasti kamu menderita
Sakit dan perih terasa
Demikian halnya dengan kuda, abdi setia kusir
A cabby was so angry
He got off his wagon
Whipped his horse tightly
Without feeling of sympathy and sadness for the suffering
Maybe you have never known my feeling, sir
That the reason why I refused to work is
Because I am tired
I really need time to break for a while
If you were hit by others
You will be suffered
You will get a painful of your body
That’s what a horse feels right now, to being your faithful servant
Sincerely yours,
-a horse wagon-

*pupuh maskumambang source : 17pupuhsunda.blogspot.com/

Rumah Cokelat

“Let’s dance in the rain too instead of just surviving the storm.. (Wigraha Andhito-Rumah Cokelat)

Apa yang terlintas di pikiran ketika mendengar pernyataan : Wanita muda karyawan kantoran di salah satu gedung pencakar langit ibukota yang menyandang predikat ibu muda dengan satu batita? Setiap hari meninggalkan rumah mulai pukul enam pagi hingga sembilan malam sambil berkutat dengan kemacetan dan jalanan yang kian hari kian menggila plus kerjaan super menumpuk hingga sering mencekik leher serta hobi yang belum terealisasi membuat keakraban semu tersebut lebih pantas dijadikan sebagai ‘anak’ dalam kehidupan sehari-harinya. Yep. Inilah realitas yang disuguhkan dengan bahasa yang biasa namun sarat akan makna yang luar biasa.  Unik dan dinamis merupakan tag-line yang saya sematkan dalam setiap karya novel Sitta Karina. Novel pertama Sitta Karina yang saya baca adalah Lukisan Hujan yang bergenre teenlit (teenager-literature) mengisahkan tentang percintaan ala anak muda SMA yang dibalut dengan bahasa ringan, alur dinamis, dan ending yang tidak terduga membuat kecanduan setiap pembaca yang menelaahnya. Tidak hanya ditujukan kepada kelompok Anak-Baru-Gede alias ABG untuk sasaran pembacanya, namun kalangan dewasa pun akan tergelitik dan tersentuh memori masa lalu dengan kejutan-kejutan kecil yang disuguhkan dalam tiap babnya. Namun, kali ini Sitta Karina menyuguhkan bumbu baru dalam menu cerita khasnya yang mengangkat tema keluarga muda metropolis – sebuah tema yang selalu menarik untuk dibahas- yang semula dikira sempurna, nyatanya penuh dengan problematika hidup yang memaksa mereka untuk mengambil jalan tengah yaitu menjalani satu pilihan. Rumah Cokelat.
Sempurna. Pada awalnya Hannah yang merupakan wanita muda masa kini yang fashionable dan seorang assistant brand manager Bliss & Hunter, sebuah advertising agency ternama di Jakarta, merasa sempurna karena telah berhasil memiliki keluarga kecil nan bahagia dengan suami tampan -yang dijuluki Eric Dane-nya Grey’s Anatomy versi Indonesia- Wigraha Andhito, seorang konsultan IT di Progressiv Consulting, sebuah kantor konsultan IT ternama di Jakarta yang merupakan head-to-head dengan Accenture, McKinsey, maupun Bain&Co dan sudah dikaruniai seorang putra pintar nan lucu yang berumur hampir 2 tahun bernama Razsya Andhito. Bahagia karena walaupun hidup mereka masih menumpang di rumah ibunya Hannah, namun mereka sudah memiliki mobil pribadi second-hand yang dijuluki sedan taksi (Hal. 81-82); memiliki baby sitter yang peduli, sayang anak, rajin, dan jujur bernama Upik plus ibu yang mau dititip-asuhkan Razsya oleh mereka saat bekerja ; sambil mereka pun berusaha menabung demi masa depan hidup.
Problematika. Segalanya hancur seketika ketika pada suatu subuh, Hannah dikejutkan oleh suara Razsya yang mengigau dalam tidurnya. “Razsya sayang mbak Upik” (Hal. 13). Dan problematika hidup pun datang bertubi-tubi silih berganti. Antara frustasi dan kecewa bercampur menjadi satu. Apakah kasih sayang dan perhatian yang ia curahkan untuk anak semata wayangnya kurang? Padahal boro-boro menyisihkan waktu ekstra untuk Razsya, waktunya untuk sekedar me-time menjalankan hobi melukisnya pun sangat kurang. Jelas-jelas tiap hari ia bekerja jungkir balik demi menabung untuk mempersiapkan hari esok yang lebih baik. Namun mengapa sungguh sulit dalam perjalanannya? Demikianlah pertanyaan borongan yang menggelayuti pikirannya. Namun, sisi idealis dan pantang menyerah yang dipadu dengan naluri keibuannyalah yang memihak pada Razsya dan melupakan sejenak egonya. Simaklah pernyataan Hannah dalam Keputusan Di Sisa Hari : “Aku nggak ingin Razsya mengenal kita hanya sebagai orang yang ngasih makan dan ngebeliin mainan saja, Wigra. Aku ingin Razsya tahu bahwa kita juga ada disitu karena sayang sama dia, karena ingin bermain bersama dia” (Hal. 41) serta Cat Air Di Hidung (Hal. 55) : “We earn a living simply to live. Tapi seperti apa sih dibilang ‘hidup’ itu? cukup makan sehari 3 kali? cukup ngopi-ngopi seminggu 3 kali? apakah harus bekerja kita –demi bisa hidup ini- sampai harus mengorbankan waktu main sama anak kita?”
Demikianlah sepenggal pernyataan yang mengantarkan pembaca pada bab-bab awal perjalanan hidup keluarga muda ini. Solusi dan masalah mewarnai tiap lembar novel ini. Alur cerita yang dinamis serta penggambaran karakter yang kuat dengan keterikatan perasaan antara satu tokoh dengan tokoh lain seakan mempermainkan emosi pembaca. Pada bab selanjutnya pembaca, khususnya para wanita, dimanjakan sekaligus dibuat mupeng dan melting oleh sikap bijaknya Wigra atas masalah-masalah kian pelik yang menguji kesabaran dan kegigihan Hannah dan Wigra. Seperti ketika Ria Sugono yang memiliki hobi membanding-bandingkan keluarganya dengan kehidupan Hannah dan Wigra, Smitha –sahabat clubbing-nya Hannah- yang seringkali secara tidak langsung memaksa Hannah untuk kembali ke dunia gemerlap, kehadiran mantan pacar, rekan kerja Wigra, Banyu –sahabat Smitha- yang selalu bermain api dengan berusaha mempengaruhi Hannah dan Wigra untuk berselingkuh, Upik yang memilih keluar karena ibunya sakit keras, serta teman-teman Hannah –ibu-ibu urban- yang serta merta membuat Hannah lebih memilih kongkow daripada menjaga Razsya.
Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya dan apabila kita menanam kebaikan maka kita akan menuai kebaikan pula. Motto itulah yang menjadi salah satu penyadar Hannah akan arti hidup. Seandainya Hidup Itu Indah. Ria Sugono ditinggal mati oleh suaminya meninggalkan banyak hutang dan anak kembar yang masih kecil. “Makanya aku sangat-sangat mensyukuri apa yang kupunya sekarang bersama kamu dan Razsya. Kalau ada kesulitan sedikit coba dijalani dengan ikhlas aja. Kalau ada kebahagiaan walau kecil, sebisa mungkin dinikmatI. Intinya menjalani hidup dengan sabar, tapi tidak terbebani.” “Kalau hidup sesingkat itu, sepertinya semakin bertambah alasan kita untuk menjalani hidup dengan bak dan benar. Kita nggak bisa kembali ke masa lalu; nggak bisa menghapus kesalahan yang pernah kita perbuat, juga nggak bisa mengulang kebahagiaan kecil yang dulu malah kita remehkan” (Hal. 124). Kalimat manis nan indah yang keluar dari mulut seorang Wigra dan Hannah yang menjadi awal dari titik balik kehidupan Hannah menjadi seorang ibu. 
Pilihan. Namun, pada akhirnya, Hannah pun harus dihadapkan pada 2 pilihan hidup yang berat dan dilematis. Masa depan karir yang menanjak dan menjanjikan atau keluarga kecil dengan masa depan besar? Dan..Hannah sempat merenungkan ini semalaman dan sampai pada konklusi bahwa satu-satunya yang dapat mendidik dan mengarahkan seorang anak ya orangtuanya-ya ibunya. Tidak mungkin ia bergantung pada Upik terus menerus atau bahkan pada Eyang Yanni hanya karena ia ibu kandungnya yang hampir dipastikan selalu ada untuk membantunya. Selamat Tinggal Kubikel. Pilihannya jatuh kepada menjadi seorang ibu yang baik bagi Razsya dan seorang freelance illustrator, as her passion. Misi pertamanya adalah mencuri perhatian Razsya dan berhasil. Namun, menjadi ibu ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Ada saja godaan untuk kembali hang-out bersama teman lama hingga bertengkar dengan Wigra karena disinyalir adanya kehadiran Wanita Idaman Lain di hati Wigra. Namun, berkat ketulusan cinta, kelembutan kasih sayang, dan konsistensi Wigra yang memegang teguh nilai-nilai hidup sebagai seorang suami dan pemimpin keluarga –yang ditularkan juga ke Hannah-godaan tersebut dapat dihalau oleh mereka berdua. Tengoklah pesan-pesan sederhana yang disampaikan dalam pernyataan lugas Hannah dalam Kasta-Kasta di Lilac : “Ada pengalaman berharga yang tidak bisa dirasakan pada kejadian apapun kecuali dengan berkeluarga dan punya anak” (Hal. 163) serta pernyataan karismatik-realistis dari Wigra dalam Jus Apel Untuk Banyu : “Sekarang ini kebanyakan pasangan orientasinya menghindar dari masalah, sih. Bukannya menyelesaikan masalah” (Hal. 198). “So, let’s dance in the rain too, Han, instead of just surviving the storm” (Hal. 198). Ketika bertemu dengan masalah, hadapilah dengan berani. Nikmatilah setiap prosesnya. Jangan terlalu ditakutkan karena solusi terbaik akan datang ketika pikiran kita tenang.
Rumah Cokelat, Rumah Yang Hangat. Selagi Hannah menjalani hari-harinya yang penuh dengan passion, Wigra pun membawa kabar gembira yang menyatakan bahwa dirinya akan ditugaskan ke Washington DC oleh kantornya. Dan satu hal yang membuat mereka akhirnya happily ever after adalah they will live together as an independent family in foreign country. What a news!! Ternyata semua ujian hidup yang memaksa Hannah untuk meninggalkan karirnya di perusahaan multinasional dan bertransformasi sepenuhnya menjadi seorang ibu yang baik untuk Razsya serta Wigra yang jungkir balik bekerja dan selalu positive thinking dalam menghadapi semua masalah terbayarkan sudah. Ibarat pohon, keluarga kecil itu telah kokoh berdiri walau diterjang angin sekuat apapun. Mereka telah menemukan jati dirinya sebagai satu keluarga yang utuh. Wigra-Hannah-Razya dari klan Andhito.
Sejenak saya membayangkan diri saya masuk ke dalam alur cerita. Beberapa tahun mendatang, mungkin saya akan menjadi seperti Hannah. Karir cemerlang nan menjanjikan; sahabat dan teman kumpul; gaya hidup modern dengan mall, midnite sale, kedai kopi, dan resto; hingga liburan ke luar negeri. Apabila menikah dan memiliki anak. Apakah semua kebutuhan pemenuhan ego masih dapat terpenuhi? belum lagi urusan kerjaan dengan deadline yang menguras energi otak. Urusan asmara pun terbengkalai. Walaupun jodoh di tangan Tuhan, namun apabila kita keasyikan berkutat dengan pekerjaan hingga tersadar bahwa apabila sudah tua dan keluarga sudah tidak ada, siapa yang mau ngurus saya? Semua pertanyaan tersebut seakan sudah terhapus perlahan-lahan dalam memori saya tatkala menelaah pesan demi pesan dalam Rumah Cokelat. Seakan tersihir oleh tata bahasa yang membumi, cerita yang mengalir apa adanya, dan karakter tokoh idaman membuat saya membayangkan apa jadinya apabila saya memiliki suami seperti sosok Wigra. Buru-buru saya menyusun rencana dan target hidup yang dituangkan ke dalam proposal hidup dengan format saduran dari buku sakti Jamil Azzaini yaitu Tuhan, Inilah Proposal Hidupku. 
Akhir kata, saya sangat merekomendasikan novel Rumah Cokelat ini kepada semua wanita muda Indonesia baik yang belum menikah dan sedang menapaki karirnya di dunia kerja maupun yang sudah menikah dan baru mendapatkan pengalaman baru menjadi seorang ibu. Banyak ilmu baru yang saya dapatkan dari Rumah Cokelat ini khususnya mengenai pilihan hidup bagi wanita karier di kota besar. Untuk wanita yang membacanya, jangan lupa siapkan tissue sebagai persiapan bila hati merajai logika sehingga perasaan menjadi tersentuh dan mengharu biru. Untuk para pria yang ikut membaca karena dipinjami oleh teman wanitanya, mungkin bisa menjadi referensi the future husband versi metropolitan dengan attitude dan karakter yang didambakan oleh tulang rusukmu. Rumah Cokelat, memang rumah yang hangat. 

*image source : www.goodreads.com/rumah-cokelat