Minggu, 11 Agustus 2013

The alcemist : a review

        Filosofis dan elegan dalam penyampaian. Demikianlah, Paulo Coelho, dengan banyak karya fenomenalnya mampu menyihir para pembaca dengan ide, imajinasi, dan plot cerita yang menawan. Dari belasan novel karyanya, baru dua novel yang saya baca. Pertama, The Alchemist yang merupakan novel terlaris dengan gaya bahasa metafora. Kedua adalah Aleph, masih dengan gaya bahasa filosofis yang sarat akan muatan moral dan bumbu imajinasi. Dua novel tersebut memiliki perbedaan baik ide cerita maupun plot, namun tetap memiliki benang merah yang sama yaitu sebuah perjalanan mencari makna kehidupan dengan perang batin yang menggelora di tiap babnya.
        The Alchemist, menceritakan perjalanan sang tokoh utama bernama Santiago, seorang penggembala domba, dari Andalusia menuju ke Mesir, tempat Pyramid dibangun. Awalnya, Ia sangat bingung dengan kehidupannya. Ia adalah seorang penggembala yang senang berkelana. Namun, bila Tuhan tak mengizinkan ia menjadi pengelana, ia akan terus hidup bersama domba-dombanya. Toh, ia sudah senang. Keinginan melakukan perjalanan panjang kian membuncah ruah tatkala ia bertemu dengan Raja Tua. Dengan arif dan bijak, beliau membisikkan kalimat-kalimat penyemangat :
        “Satu-satunya kewajiban sejati manusia adalah mewujudkan takdirnya. Semuanya satu adanya. Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya. Takdir adalah apa yang selalu ingin kau capai. Semua orang, ketika masih muda, tahu takdir mereka. Pada titik kehidupan itu, segalanya jelas, segalanya mungkin. Mereka tidak takut bermimpi, mendambakan segala yang mereka inginkan terwujud dalam hidup mereka. Tapi dengan berlalunya waktu, ada daya misterius yang mulai menyakinkan mereka bahwa mustahil mereka bisa mewujudkan takdir itu. Daya ini adalah kekuatan yang kelihatannya negatif tapi sebenarnya menunjukkan padamu cara mewujudka takdirmu. Daya ini mempersiapkan rohmu dan kehendakmu sebab ada satu kebenaran mahabesar di planet ini, siapa dirimu, apapun yang kamu lakukan, kalau engkau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, itu karena hasrat tersebut bersumber dari jiwa jagat daya. Itulah misimu di dunia ini”
Dan beliau pun memberikan dua batu, Urim dan Tumim. Dimulailah pergulatan dalam pencarian takdir diri. Ia menyebutnya harta karun. “Supaya menemukan harta karun itu, kau harus mengikuti pertanda-pertanda yang diberikan. Tuhan telah menyiapkan jalan yang mesti dilalui masing-masing orang. Kau tinggal membaca pertanda-pertanda yang ditinggalkan-nya untukmu. Dan teruslah memperhatikan pertanda-pertanda. Hatimu masih bisa menunjukkan padamu dimana harta karunmu berada. Yang masih perlu kau ketahui adalah sebelum mimpi bisa terwujud, Jiwa Dunia menguji segala sesuatu yang telah kita pelajari sepanjang jalan. Bukan karena dia jahat, melainkan agar selain mewujudkan impian kita, kita juga menguasai pelajaran-pelajaran yang kita peroleh dalam proses mewujudkan impian itu. Dan di titik inilah kebanyakan orang biasanya menyerah. Seperti biasa kita katakana dalam bahasa padang pasir, di titik inilah orang biasanya mati kehausan, padahal dia sudah melihat pohon-pohon kurma di kejauhan. Setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi si pemula. Dan setiap pencarian, diakhiri dengan ujian berat bagi si pemenang”
         Perjalanan panjang nan pelik membuahkan pertanyaan sepanjang jalan. Dari mulai bertemu dengan penipu ulung hingga keberuntungan yang tak kunjung padam. Dari pemuda yang tidak memiliki harta sepeser pun hingga menjadi saudagar-wanna-be dengan tabungan melimpah ruah. Seringkali ia merenungi takdirnya. Hingga ia pun bertemu dengan banyak orang yang tanpa sadar mempengaruhi pola pikirnya. Simak saja tuturan dari suara hatinya sendiri yang terinspirasi dari perkataan Raja Tua, guru bijaknya, serta ketika ia akhirnya bertemu dengan The Alchemist, sahabat setengah perjalanan mencari harta karun abadinya : “Manusia tidak perlu takut akan hal-hal yang tidak diketahui, kalau mereka sanggup meraih  apa yang mereka butuhkan dan inginkan”. Pula ketika ia ragu mengenai masa depan yang ia ingin raih : “Masa depan adalah milik Tuhan dan hanya Dia-lah yang bisa mengungkapkannya dalam keadaan-keadaan tertentu. Bagaimana caraku menebak masa depan? Berdasarkan pertanda-pertanda yang ada sekarang ini. Rahasianya ada pada saat sekarang ini. Kalau kau menaruh perhatian pada saat sekarang, kau bisa memperbaikinya. Dan kalau kau memperbaiki saat sekarang ini, apa yang akan datang juga akan lebih baik”
       “Apapun yang kita amati, kita bisa menemukan kaitannya dengan pengalaman kita sendiri pada saat itu. Sebenarnya bukan hal-hal yang kita lihat itu yang menjadi pengungkap sesuatu, melainkan karena manusia, saat melihat apa-apa yang terjadi di sekitar mereka, bisa menemukan cara untuk menembus Jiwa Dunia. Kalau kau menginginkan sesuatu sepenuh hatimu, saat itulah  kau berada amat dekat dengan Jiwa Dunia. Dan ini selalu merupakan daya positif”
Ketika ia tersadar mengenai sebuah firasat yang ia dapat dari suara hati, ia pun bertanya pada diri. Disitulah gejolak perang batin muncul kembali dan Sang Alkemis pun berperan penting dalam pengambilan keputusan : “Intuisi sebenarnya adalah peleburan jiwa dengan begitu saja ke dalam arus kehidupan universal, dimana sejarah semua manusia saling terkait dan kita bsia mengetahui segalanya, sebab segalanya telah tertulis disana. Maktub. Mengambil keputusan barulah permulaannya. Saat orang mengambil keputusan berarti dia menceburkan diri dalam arus deras yang akan membawanya ke tempat-tempat yang tak pernah dibayangkannya ketika dia pertama-tama mengambil keputusan tersebut”. Dan Santiago akhirnya sampai pada harta karunnya, pada takdirnya.
         Banyak hal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran di tiap bab-nya. The Alchemist memiliki plot cerita yang mudah dimengerti sekalipun oleh pembaca pemula yang awam pada novel filosofis sekaliber Paulo Coelho. Ceritanya mengalir apa adanya dengan fluktuasi emosi yang tak terlalu menggebu, namun terasa syahdu dalam hati;   bahasa metafora nan menawan, simpel namun tetap elegan, tak meninggalkan ciri khas dari tiap karya Paulo Coelho. Tokoh Sang Penggembala, Santiago, pun digambarkan dengan lugas walau tak terlalu detil, Raja Tua dengan arif bijaksana, dan Sang Alkemis dengan penggambaran yang kuat membawa pembaca terhanyut dalam jalinan frasa bermakna. Kata-kata mutiara, seperti yang saya tuliskan di atas, adalah kekuatan terbesar dalam novel ini. Paulo Coelho dengan sukses memasukkan pemahaman budi pekerti yang juga terdapat di agama Islam dalam tiap nafas cerita. Tak terlalu dalam memang, namun tak dangkal pula. Beberapa kali saya termenung, saat Santiago ditipu dalam perjalanan, kemudian ia memasrahkan diri, mengikhlaskan, dan sibuk bekerja keras, tak pula menabung. Perjuangannya dibalas dengan tabungan yang berlipat ganda sehingga membuka kesempatan emas untuk melanjutkan perjalanan menuju harta karunnya. Menuju Pyramid. Apa yang kau tanam, itu pula yang kau tuai. Tawakal dan bersyukur adalah kunci kesuksesan hakiki. And The Alchemist has explained it very well.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?