Sabtu, 28 April 2012

My #1 Blood-Donation

"How to make your life worthy and meaningful is being useful with helping each other"

Salah satu hal yang membuat hidup kita lebih bermakna adalah menjadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain. Demikianlah prinsip hidup yang diajarkan oleh semua ajaran agama. Dalam ajaran agama yang saya anut, hal tersebut tertuang dalam istilah Habluminannas (hubungan dengan manusia), yaitu berbuat baik kepada sesama manusia yang merupakan manifestasi dari tolong menolong dan bersifat vertikal. Perbuatan baik harus didukung oleh perasaan ikhlas, tanpa pamrih. Maka, perbuatan baik yang kita lakukan tidaklah sia-sia dan akan menghasilkan kebahagiaan luar biasa yang secara tidak langsung mempengaruhi mood dalam menjalani aktivitas menantang sekalipun. Hal inilah yang ingin saya share kepada readers sekalian yang mungkin tidak sengaja sedang blog-walking dan membaca tulisan ini.
Hari itu hari Senin, 23 April 2012. Hari dimana saya biasa berangkat dengan berpeluh-peluh sebelum subuh, bercerita dalam kereta, dan berjibaku dalam debu. Tak dinyana ketika saya sampai di meja, saya mendapati adanya pengumuman akan diadakan donor darah di tempat saya bekerja yang diselenggarakan oleh PMI Kramat Raya. Saya pun berpikir sekaligus berniat untuk ikut serta dalam amal tersebut. Namun, saya memiliki trauma masa lampau terhadap adegan tusuk menusuk jarum infus yang saya bayangkan lebih ngeri dibandingkan putus dengan pacar *kidding :) Salah satu cara untuk menghilangkan trauma dari suatu hal adalah dengan terlibat dalam aktivitas traumatik tersebut. Dan saya melakukannya untuk pertama kali dalam catatan histori hidup saya.
24 April 2012 pun datang dengan cepat. Saya menyiapkan diri dan mental agar tidak pingsan ketika donor darah. Setelah mendaftar, peserta donor darah dipanggil satu persatu untuk diperiksa hemoglobin, tekanan darah, dan golongan darahnya. Beberapa peserta banyak yang gugur sebelum berjuang. Kebanyakan karena Hb mereka dibawah 12,5. Akhirnya giliran saya pun datang. Setelah diperiksa ternyata saya lolos seleksi menjadi pendonor yaitu Hb = 14,1 ; tekanan darah = 110/70 ; Golongan darah = AB (jenis golongan darah resipien yang hanya dapat menerima transfusi dari golongan darah lain dan hanya bisa mendonorkan ke sesama AB saja). Perjuangan pun dimulai. Saya berbaring, lengan kiri saya mulai diberi alkohol, dan dicari pembuluh darahnya. Karena pembuluh darah saya kecil dan jarumnya berukuran all-size (sepenglihatan saya, ukuran jarum tersebut sebesar mata pena!), maka petugas PMI harus berusaha keras mencari pembuluh darah yang entah bersembunyi dimana. Semenit kemudian, saya sudah dipasangi selang dan saya saksikan hemoglobin-hemoglobin yang berlari bebas dan mengalir kencang, bagai seseorang yang telah menemukan jati dirinya lalu kabur mencari asa yang tersimpan di tengah jalan. Saya pun berpikir, betapa berharganya setetes darah yang saya sumbangkan mengingat golongan darah saya termasuk langka. Mungkin besok ataupun lusa, hemoglobin ini sudah mengalir di pembuluh darah lain sebagai media untuk bertahan hidup.  15 menit sudah saya menahan perih. Kata petugasnya, darah saya kental karena saya kurang minum air putih sehingga aliran darahnya lambat. Deg. Terbongkar sudahlah kemalasan saya. Saya malas minum air putih dan hal itu berdampak pada kekentalan darah. Petuah dan saran yang dilayangkan seakan menjadi tamparan yang cukup menyadarkan saya akan pentingnya hidup sehat. 8 gelas perhari bukanlah persuasi iklan semata, namun pengingat kita agar tubuh ini tidak aus sebelum waktunya.
Jarum sudah dicabut dan selang pun diikat kuat bersama kantong darah, AB positif, siap disimpan dan didistribusikan. Saya bangkit duduk dan berjalan ke kerumunan. Agak pening dan sempoyongan, namun setelah asupan gula sederhana masuk bersama secangkir teh panas, badan terasa agak segar. Minyak 2 liter bersama susu pasteurisasi dan mie instan kemasan stereofoam pun menjadi hadiah kecil sebagai pejuang hidup orang lain. Dalam perjalanan kembali ke meja kerja, saya berpikir begitu dahsyatnya hari ini. Saya mengalahkan ketakutan satu ketakutan saya pada jarum dan aktivitas ditusuk oleh jarum yang ukurannya lebih besar dari jarum infus ketika harus diopname karena terserang DBD. Sambil tertawa kecil, saya pun bersyukur atas keberanian yang Allah bangkitkan dalam diri saya untuk menjadi pendonor dan saran akan pentingnya kebiasaan hidup sehat dari petugas donor darah. Apabila saya tidak menjadi pendonor, mana peduli saya dengan kebiasaan minum 8 gelas perhari dan saya pun tidak bisa merasakan sensasi bahagia menjadi seseorang yang darahnya akan bermanfaat bagi orang lain. Apalagi darah adalah soal hidup dan mati.  Memang ada harga yang harus dibayar dari sebuah pengorbanan. Pengorbanan menjadi individu bermanfaat bagi orang lain dan peduli akan kesehatan diri sendiri sekaligus menjadi salah satu ladang amal bagi saya kelak di kemudian hari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?