Minggu, 27 Mei 2012

Kala Senja di Tepi Kereta


Jumat sore tepatnya menjelang pukul 5 adalah hari yang memacu jantung bekerja lebih keras dari biasanya sekaligus memicu adrenalin dan asam laktat untuk keluar bersama bulir-bulir keringat. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang istimewa untuk dikerjakan. Hanya saja lokasi yang jauh dari hingar bingar kota dengan intensitas debu yang berpotensi menimbulkan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), membuat tiap orang berusaha mencari mobil tumpangan untuk mencapai jalan utama dan mencari angkutan umum. Demikian halnya dengan saya. Tiap hari tak ihwalnya menjadi orang yang sangat tepat waktu dengan kedatangan tepat pukul 8 pagi dan pulang pukul 5 sore. Setali tiga uang dengan yang lain. Petuah manusia adalah makhluk sosial sangat berlaku disini, di bagian utara kota Jakarta.
Senja itu, saya bersama seorang wanita paruh baya yang menjadi teman pulang kala Jumat tiba, mempercepat langkah kaki setengah berlari mengejar kereta. Gerbong kereta tua, rel kereta rusak, sungai kecil, ilalang liar, dan jembatan kayu menjadi saksi bisu perjuangan kerasnya hidup mengejar detik-detik berharga di rumah. Hingga sampailah saya di ujung jalan. Saya pun menukarkan uang 7 ribu dengan sehelai tiket kereta yang mengklaim dirinya ber-ac namun nyatanya hanya menggunakan kipas angin kecil setengah layak untuk memenuhi pasokan oksigen dalam gerbong. Sambil duduk di bangku besi bermotifkan cat biru muda yang sudah mengelupas, saya mengeluarkan ponsel pintar untuk sekedar berselancar di dunia maya, membunuh waktu. Tak dinyana, tiba-tiba ada seorang wanita usia 30-an duduk di sebelah saya dan mengajak mengobrol. Mulai dari obrolan basa-basi hingga ke obrolan serius yang lebih pantas disebut sebagai curcol –curhat colongan. Pada awalnya saya tidak terlalu respek dengan caranya berkenalan karena belum apa-apa sudah meminta nomor ponsel. Berbagai spekulasi negatif pun kerap menggelayuti ruang pikiran saya. Alasan aneh pun saya utarakan untuk menyandingkan cara berkenalan yang tidak biasa. Nomor saya akan dinon-aktifkan. Ia tak keberatan dan ia memaksa saya untuk menyimpan nomor ponselnya.
Pembicaraan berkembang menjadi suatu aliran cerita pengalaman hidupnya. Ia, seorang perantauan asli Bumiayu, adalah seorang ibu dengan 3 anak yang sudah ditinggal suaminya lantaran gagal ginjal pada beberapa tahun kebelakang. Jakarta adalah pilihan satu-satunya karena menawarkan sejuta pekerjaan dengan kompensasi yang menggiurkan. Selain itu, figur seorang kakaknya yang dapat dikatakan sukses membuka usaha warung di pinggir stasiun melonjakkan semangatnya untuk menjajakan tenaganya di ibukota. Ditengah pilihan pekerjaan yang mengatasnamakan kemasyuran dan gemerlap kota, teman-teman yang telah lebih dahulu memulai karirnya di Jakarta, menawarkan lowongan di café dan club malam yang menjual kebahagiaan sesaat, permintaan tamu sesat, hingga pergaulan lepas bebas tanpa batas. Beruntung, ia bukanlah tipe pribadi lugu yang baru mengecap manis ibukota. Ia merupakan wanita berprinsip kuat dengan iman yang ia jadikan tolak ukur dalam memutuskan suatu pertimbangan. Akhirnya, menjadi baby sitter adalah pilihannya untuk berkarya. Tanggung jawab menjadi seorang baby sitter memang tak mudah karena ia memegang peranan penting untuk menjaga balita dari mulai bangun hingga tidur kembali, sehari 24 jam, tanpa pengawasan intens dari majikannya, pasangan pengusaha. Kejujuran dan integritas adalah kuncinya. Ia menjalankan peran tersebut dengan sangat baik. Ya, baik untuk dirinya karena dipercaya seratus persen oleh majikan, namun dari sudut pandang keluarga tersebut, seperti bom waktu, ia menjadi momok tersendiri ketika sang balita telah beranjak dewasa. Bagaimana tidak? Sang balita tidak mau dilayani oleh orang tuanya. Bahkan untuk urusan tidur pun, ia tidak mau lepas dari baby sitter. Akhirnya, bila orang tua sang balita rindu memeluk anaknya, mereka tidur berempat. Jadi, jangan salahkan sang anak bila ia tidak dapat akrab dengan orang tuanya. Jangan salahkan suami pula bila akhirnya si suami lebih dekat dengan baby sitter ketimbang istrinya. Anomali kehidupan dasar masyarakat modern yang tanpa sadar menjadi sebuah fenomena gunung es.
Serpihan kisah yang ia tuturkan dengan sangat terbuka kepada saya, orang yang baru semenit ia kenal, terus berlanjut. Kali ini, tentang pendiriannya yang tidak mau mencari lelaki lain pengganti suaminya. Padahal, sudah banyak lelaki mengantri untuk mengisi kekosongan hatinya. Namun, ia memilih untuk mengabdikan dirinya mencari sesuap nasi bagi putra-putrinya untuk bekal menimba ilmu mencapai asa mereka. Kemudian mengenai pengalaman dahulu dimana ia menikah muda saat usia baru 19 tahun. Ia berprinsip apabila sudah jodoh, usia semuda apapun, ya menikah sajalah.  Prinsip yang berbeda seratus lima puluh lima derajat dengan saya, pribumi yang dibesarkan oleh pengaruh lingkungan demokratis.
 Ia berkisah panjang lebar tanpa jeda, bagaikan lokomotif yang berlari di atas rel mengejar waktu ke stasiun berikutnya. Tak terasa pertemuan singkat tersebut menyisakan goresan mata pena dalam sanubari. Lima menit sebelum kereta jurusan Bogor berhenti tepat dihadapan, ia menutup perbincangan dengan kalimat sakti : mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi ya, hati-hati dengan lelaki karena ia bisa saja baik di awalnya namun ternyata ada maksud lain di tengah jalan –(dengan revisi kalimat redaksi). Saya pun tersenyum menyimak bagai murid menerima penjelasan dari dosennya. Pesan berkesan mengakhiri elegi senja, pergi bersama alunan dentangan roda kereta. Sri Sugiarti, cerminan kaum perantauan yang tak lekang dimakan zaman, seorang ekstrovert yang awalnya seolah terbius oleh kemegahan ibukota namun berbalik melawan derasnya keganasan megapolitan berkat junjungan hidup yang kuat.
Sang Surya telah meredupkan sinarnya, senja pun berpamitan pergi ke dimensi lain. Mega jingga terganti oleh kelam malam. Alunan adzan mengantarkan saya pergi berlari mengembalikan energi yang telah dipinjam seharian. Perkenalan singkat melahirkan ikatan pertemanan. Perjumpaan tanpa rencana membuahkan cuplikan pelajaran dari sebuah pengalaman. Sambil merenung saya membuka ponsel pintar dan mengetik : Halo, ini nomor saya. Semoga bertemu lagi. Clear Field Content. Tanpa maksud mengingkari, saya kunci kisah senja sampai disini saja. Biarlah waktu yang menentukan titik singgung dalam putaran roda kehidupan. Saya dan dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?