Minggu, 20 Mei 2012

Kicau Syair Seorang Peninjau Amatir

Sabtu pagi, informasi, dan kopi. Tiga hal seru yang menyapa otak saya di pagi sendu. Sang surya nampak malu-malu menampakkan jati dirinya ditengah angin yang menderu. Angin kering semriwing meninggalkan hawa panas jumawa di sela nyawa. Langit mengharu biru dibalut keteraturan kenaikan temperatur udara menambah kesyahduan anomali pagi. Sambil sesekali menyeruput kopi sejumput dan mencicip choco-chip, saya memulai membaca kolom Kompas dengan lamat-lamat. Ada satu artikel yang menggelitik saya untuk sedikit berceloteh opini pribadi. Tulisan tersebut ditayangkan dalam sebuah kolom berukuran 21 x 14 cm bergenre politik-ekonomi oleh seorang Budiarto Shambazy. Beliau adalah seorang wartawan senior Kompas kaliber yang telah melanglangbuana dengan jam terbang menulis di berbagai media baik cetak maupun online dan telah menelurkan buku politik dan hukum berjudul ‘The Victory Is Yours’. Sebenarnya, saya kurang menyukai dunia perpolitikan karena penuh dengan intrik dan rekayasa walaupun memang sarat akan makna. Namun, tema artikel kali ini menyerempet masalah musik dan gaya hidup yang sangat dekat dengan keseharian saya.
Lady Gaga(l) adalah judul salah satu kolom Kompas (19/5) halaman 15. Sepintas judul tersebut membuat saya tergelitik dan tanpa sadar melengkungkan bibir, tersenyum geli. Bagaimana tidak? Isu yang diangkat tak ihwalnya seperti gosip selebriti di stasiun tv lokal namun dihomogenisasi dengan pembahasan politik ekonomi khas penulis. Lady Gaga. Siapa yang tak kenal dengan penyanyi kontroversial asal Amerika yang menelurkan hits ‘Poker Face’ dan berencana datang ke Indonesia untuk menggelar konser bertajuk ‘The Born This Way Ball Tour’? Sejak usia balita ia belajar musik klasik dan sarjana bisnis pertunjukan. Ia ingin menjadi penampil revolusioner melawan dominasi lelaki dengan aksi panggung dan fashion seronok (Lady Gaga(l) alinea 19).
Lady Gaga telah menjadi trending topic dalam percaturan media saat ini mengalahkan popularitas koruptor dan capres yang menjadi ikon artis narsis republik ini. Penjualan tiket yang telah dilakukan oleh promotor besar bulan Maret silam membuahkan problematika pelik antara pihak pelaku bisnis, pencinta musik, golongan ekstrim dan fanatik, serta pihak pengambil keputusan. Berbagai alasan dijadikan tameng untuk menutup rapat-rapat pintu legalitas bagi Sang Diva Dunia. Padahal apabila kita runut kebelakang, ratusan pelaku seni khususnya di bidang tarik suara datang ke Indonesia untuk menggelar konser ditengah kepercayaan akan kondisi keamanan yang sudah cukup kondusif. Berbagai lapangan pekerjaan pun spontan bermunculan secara sporadis, mulai dari bisnis merchandise artis, penjualan kuliner, hingga tukang parkir pun terkena imbas positifnya.
Lantas, mengapa kemudian Lady Gaga yang notabene berstatus sama dengan artis lainnya dilarang untuk konser di Indonesia? Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia secara implisit didominasi oleh golongan sayap ekstrimis dengan titel organisasi pembela.  Dalam setiap kiprahnya, mereka selalu dicap sebagai kelompok frontal atas nama agama yang perilakunya berseberangan dengan nilai suci agama. Atas nama demokrasi dan reformasi, mereka tampil bak pahlawan untuk membela kebajikan. Penampilan seronok ala Barat dan lirik-lirik kontroversial Lady Gaga yang tidak sesuai dengan norma ketimuran menjadi tema aksi mereka saat ini. Apabila kita tilik lebih jauh, bukankah penampilan, lirik lagu, dan sejumlah film yang dibintangi artis produksi dalam negeri tak ayalnya lebih kronis dari budaya Barat, bergaya minim transparan dengan nilai sensualitas yang dijual dalam tiap serinya dan dipertontonkan secara bebas ke semua umur. Cara mudah merusak moral bangsa adalah dengan penetrasi budaya negatif ke generasi mudanya. Sekali lagi, atas nama demokrasi dan reformasi.
Kemanakah otorisasi pihak berwajib dan berwenang sebagai penengah dalam kerusuhan kecil pada bangsa yang besar? Hingga saat ini, belum ada keputusan legalisasi konser Lady Gaga di Indonesia. Menunggu pemeriksaan persyaratan perizinan, demikian perkembangannya. Memang, keputusan diizinkan atau dilarangnya suatu konser terletak ditangan pihak berwenang yaitu kepolisian yang merupakan alat negara yang dibiayai rakyat, bukan alat kekuasaan yang dibiayai perorangan (Lady Gaga(l) Alinea 18). Namun, lagi-lagi suatu teori dapat berbeda nyata dengan fakta. Mari lihat saja konkritnya.
Kita hidup di era reformasi dalam negara yang demokratis. Sayangnya, substansi kebebasan bermoral tersebut seakan tergerus oleh keserampangan perilaku penguasa yang menghasilkan parodi kacau balau negara. Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua, yang menjadi kekhasan persatuan Indonesia seperti tertuang dalam sila ketiga Pancasila telah gagal diaplikasikan.
Betapapun tak ada yang berhak menggagalkan kita menikmati karya artis-artis pujaan, menyaksikan konser mereka di mana pun dan kapan pun. Saya justru iba kepada mereka yang gagal menikmati sekaligus mengapresiasi musik sebagai karya seni abadi (Lady Gaga(l) Alinea 21)
Demi kebhinekaan, konser Lady Gaga layak jalan terus dengan modifikasi, misalnya dengan kostum yang sopan. Polisi sebagai alat negara wajib menjaga keamanan konser—bisnis pertunjukan yang telah mengorbankan dana, tenaga dan waktu (Lady Gaga(l) Alinea 22)
Selamat datang Lady Gaga dan selamat menikmati konser bagi Anda penggemar semua! (Lady Gaga(l) Alinea 23)
Demikianlah opini pribadi dengan penambahan sedikit saduran dan review dari tulisan Budiarto Shambazy mengenai pro dan kontra konser seorang Lady Gaga di negara yang ternyata telah gaga(l) merefleksikan substansi ‘Bhineka’ di dalam urat nadi bangsanya sendiri. Apabila diibaratkan negara ini sebagai rumah tangga dengan pemimpin negara sebagai kepalanya serta masyarakat sebagai anak, istri, dan pengikutnya, maka keluarga ini sedang mengalami masalah internal yang menyangkut kurangnya toleransi perbedaan. Bila dibiarkan berlarut-larut akan berbuntut pada perceraian. Perbedaan pasti ada, pro dan kontra adalah hal yang biasa. Diferensiasi harus dihargai, kebhinekaan jangan diperangi. Hanya nuranilah yang dapat bertindak jernih dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita bangsa dewasa, tidak butuh senjata untuk memusnahkan massa. 
Hey lil’monsters, your mother monsters will rock you on!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?