Sabtu pagi, informasi, dan kopi.
Tiga hal seru yang menyapa otak saya di pagi sendu. Sang surya nampak malu-malu
menampakkan jati dirinya ditengah angin yang menderu. Angin kering semriwing meninggalkan
hawa panas jumawa di sela nyawa. Langit mengharu biru dibalut keteraturan
kenaikan temperatur udara menambah kesyahduan anomali pagi. Sambil sesekali
menyeruput kopi sejumput dan mencicip choco-chip, saya memulai membaca
kolom Kompas dengan lamat-lamat. Ada satu artikel yang menggelitik saya untuk
sedikit berceloteh opini pribadi. Tulisan tersebut ditayangkan dalam sebuah
kolom berukuran 21 x 14 cm bergenre politik-ekonomi oleh seorang Budiarto
Shambazy. Beliau adalah seorang wartawan senior Kompas kaliber yang telah
melanglangbuana dengan jam terbang menulis di berbagai media baik cetak maupun
online dan telah menelurkan buku politik dan hukum berjudul ‘The Victory Is
Yours’. Sebenarnya, saya kurang menyukai dunia perpolitikan karena penuh dengan
intrik dan rekayasa walaupun memang sarat akan makna. Namun, tema artikel kali
ini menyerempet masalah musik dan gaya hidup yang sangat dekat dengan
keseharian saya.
Lady Gaga(l) adalah judul salah
satu kolom Kompas (19/5) halaman 15. Sepintas judul tersebut membuat saya
tergelitik dan tanpa sadar melengkungkan bibir, tersenyum geli. Bagaimana
tidak? Isu yang diangkat tak ihwalnya seperti gosip selebriti di stasiun tv
lokal namun dihomogenisasi dengan pembahasan politik ekonomi khas penulis. Lady
Gaga. Siapa yang tak kenal dengan penyanyi kontroversial asal Amerika yang
menelurkan hits ‘Poker Face’ dan berencana datang ke Indonesia untuk menggelar
konser bertajuk ‘The Born This Way Ball Tour’? Sejak usia balita ia belajar
musik klasik dan sarjana bisnis pertunjukan. Ia ingin menjadi penampil
revolusioner melawan dominasi lelaki dengan aksi panggung dan fashion seronok
(Lady Gaga(l) alinea 19).
Lady Gaga telah menjadi trending
topic dalam percaturan media saat ini mengalahkan popularitas koruptor dan
capres yang menjadi ikon artis narsis republik ini. Penjualan tiket yang telah
dilakukan oleh promotor besar bulan Maret silam membuahkan problematika pelik
antara pihak pelaku bisnis, pencinta musik, golongan ekstrim dan fanatik, serta
pihak pengambil keputusan. Berbagai alasan dijadikan tameng untuk menutup
rapat-rapat pintu legalitas bagi Sang Diva Dunia. Padahal apabila kita runut
kebelakang, ratusan pelaku seni khususnya di bidang tarik suara datang ke
Indonesia untuk menggelar konser ditengah kepercayaan akan kondisi keamanan
yang sudah cukup kondusif. Berbagai lapangan pekerjaan pun spontan bermunculan
secara sporadis, mulai dari bisnis merchandise artis, penjualan kuliner,
hingga tukang parkir pun terkena imbas positifnya.
Lantas, mengapa kemudian Lady Gaga
yang notabene berstatus sama dengan artis lainnya dilarang untuk konser di Indonesia?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia secara implisit didominasi oleh golongan
sayap ekstrimis dengan titel organisasi pembela. Dalam setiap kiprahnya, mereka selalu dicap
sebagai kelompok frontal atas nama agama yang perilakunya berseberangan dengan
nilai suci agama. Atas nama demokrasi dan reformasi, mereka tampil bak pahlawan
untuk membela kebajikan. Penampilan seronok ala Barat dan lirik-lirik kontroversial
Lady Gaga yang tidak sesuai dengan norma ketimuran menjadi tema aksi mereka
saat ini. Apabila kita tilik lebih jauh, bukankah penampilan, lirik lagu, dan
sejumlah film yang dibintangi artis produksi dalam negeri tak ayalnya lebih
kronis dari budaya Barat, bergaya minim transparan dengan nilai sensualitas
yang dijual dalam tiap serinya dan dipertontonkan secara bebas ke semua umur. Cara
mudah merusak moral bangsa adalah dengan penetrasi budaya negatif ke generasi
mudanya. Sekali lagi, atas nama demokrasi dan reformasi.
Kemanakah otorisasi pihak berwajib
dan berwenang sebagai penengah dalam kerusuhan kecil pada bangsa yang besar?
Hingga saat ini, belum ada keputusan legalisasi konser Lady Gaga di Indonesia.
Menunggu pemeriksaan persyaratan perizinan, demikian perkembangannya. Memang,
keputusan diizinkan atau dilarangnya suatu konser terletak ditangan pihak berwenang
yaitu kepolisian yang merupakan alat negara yang dibiayai rakyat, bukan alat
kekuasaan yang dibiayai perorangan (Lady Gaga(l) Alinea 18). Namun,
lagi-lagi suatu teori dapat berbeda nyata dengan fakta. Mari lihat saja
konkritnya.
Kita hidup di era reformasi dalam
negara yang demokratis. Sayangnya, substansi kebebasan bermoral tersebut seakan
tergerus oleh keserampangan perilaku penguasa yang menghasilkan parodi kacau
balau negara. Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua, yang
menjadi kekhasan persatuan Indonesia seperti tertuang dalam sila ketiga Pancasila
telah gagal diaplikasikan.
Betapapun tak ada yang berhak
menggagalkan kita menikmati karya artis-artis pujaan, menyaksikan konser mereka
di mana pun dan kapan pun. Saya justru iba kepada mereka yang gagal menikmati
sekaligus mengapresiasi musik sebagai karya seni abadi (Lady Gaga(l) Alinea
21)
Demi kebhinekaan, konser Lady
Gaga layak jalan terus dengan modifikasi, misalnya dengan kostum yang sopan.
Polisi sebagai alat negara wajib menjaga keamanan konser—bisnis pertunjukan
yang telah mengorbankan dana, tenaga dan waktu (Lady Gaga(l) Alinea 22)
Selamat datang Lady Gaga dan
selamat menikmati konser bagi Anda penggemar semua! (Lady Gaga(l) Alinea
23)
Demikianlah opini pribadi dengan penambahan
sedikit saduran dan review dari tulisan Budiarto Shambazy mengenai pro
dan kontra konser seorang Lady Gaga di negara yang ternyata telah gaga(l)
merefleksikan substansi ‘Bhineka’ di dalam urat nadi bangsanya sendiri. Apabila
diibaratkan negara ini sebagai rumah tangga dengan pemimpin negara sebagai
kepalanya serta masyarakat sebagai anak, istri, dan pengikutnya, maka keluarga
ini sedang mengalami masalah internal yang menyangkut kurangnya toleransi
perbedaan. Bila dibiarkan berlarut-larut akan berbuntut pada perceraian.
Perbedaan pasti ada, pro dan kontra
adalah hal yang biasa. Diferensiasi harus dihargai, kebhinekaan jangan
diperangi. Hanya nuranilah yang dapat
bertindak jernih dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita bangsa dewasa, tidak butuh senjata untuk memusnahkan massa.
Hey lil’monsters,
your mother monsters will rock you on!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?