Hari ini di tahun 2011 adalah salah satu tahun yang revolusioner bagi saya. Saya bertransformasi menjadi seorang muslim yang sesungguhnya dengan mengubah penampilan saya secara bertahap. Pertama, saya buka lemari baju ibu saya dan mencoba menggunakan penutup kepala. Kedua, saya bentangkan kain membentuk kerudung di kepala saya sambil mengancingkannya dengan beberapa peniti, jarum pentul, dan bros. Saya mematut-matut wajah di cermin. Dan Voila! Terlihat lebih segar dan berwarna. Semenit kemudian saya mulai bernarsis ala artis dengan ponsel pintar sebagai alatnya. Tak bermaksud riya, hanya untuk mengekspresikan kepuasan batin karena telah meletakkan hati diatas kepala. Berhijab.
Banyak wanita yang sulit sekali memulai untuk berhijab. Padahal, kain kerudung bukan terbuat dari besi baja, tidak memiliki massa signifikan yang dapat memberatkan kepala sehingga membuat kepala menjadi pusing dan pingsan. Dari segi harga, kain kerudung pun tidak mahal. Hanya seharga 15 ribu rupiah, para wanita sudah dapat menutup auratnya. Apabila kita bandingkan dengan harga baju, tas, sepatu, kosmetik, dan parfum bermerk terkenal yang setiap hari melekat di tubuh menemani tiap langkah aktivitas, kain kerudung sangatlah murah. Namun, mengapa tiap wanita yang bertitel ‘Islam’ merasa enggan dan berat untuk memakainya? Jawaban dari pertanyaan mendasar tersebut adalah karena mereka belum mendapatkan hidayah. Ya. Hidayah datang secara tiba-tiba, tanpa prediksi dan tanpa rencana sebelumnya. Seorang wanita yang mengaku muslim bisa saja belum menggunakan kerudung dalam kesehariannya, namun ia tetap melaksanakan shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, dan pergi berhaji. Sang wanita tersebut belum mendapatkan hidayah untuk menggunakan kerudung atau dikenal juga dengan sebutan jilbab atau hijab. Ia belum mendalami hukum wajibnya menggunakan jilbab bagi wanita seperti yang tercantum dalam firman Allah, Surat Al-Ahzab ayat 59 yang artinya sebagai berikut. : “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isteri engkau, anak-anak perempuan engkau dan isteri-isteri orang mu’min, supaya mereka menutup kepala dan badan mereka dengan jilbabnya supaya mereka dapat dikenal orang, maka tentulah mereka tidak diganggu (disakiti) oleh laki-laki yang jahat. Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”.
Semua hasil yang baik membutuhkan suatu proses dalam perwujudannya. Demikian halnya dengan saya. Ketika remaja, saya sudah dikenalkan dengan jilbab. Sekolah di lingkungan yang islami dengan pergaulan yang mengedepankan syariat islamiyah dalam setiap nafasnya membuat saya lebih rajin dalam beribadah kepada Allah, mulai dari ibadah wajib hingga sunnah. Dalam tiap ceramah agama, saya pun seringkali diingatkan oleh guru agama, mentor, maupun teman untuk menggunakan jilbab. Namun, entah mengapa, terdapat penolakan dalam hati saya. Sebagai remaja yang masih labil, saya banyak terpengaruh dengan dasyatnya teknologi, media, dan mode. Ditambah, cerita dan pengalaman rekrutmen gelap untuk masuk ke dalam zona Islam garis keras yang sangat jauh dan bertolak belakang dengan paham Islam sebenarnya. Pengalaman tersebut hampir membawa saya masuk ke dalam aliran sesat tersebut dengan teman dekat semasa SMA yang notabene berjilbab sebagai perantaranya. Pikiran saya pun dibuat kacau balau antara kebenaran Islam yang hakiki dengan kesesatan Qur’an ciptaan mereka. Saya pun linglung dibuatnya. Great job for you, Miss.
Banyak wanita yang sulit sekali memulai untuk berhijab. Padahal, kain kerudung bukan terbuat dari besi baja, tidak memiliki massa signifikan yang dapat memberatkan kepala sehingga membuat kepala menjadi pusing dan pingsan. Dari segi harga, kain kerudung pun tidak mahal. Hanya seharga 15 ribu rupiah, para wanita sudah dapat menutup auratnya. Apabila kita bandingkan dengan harga baju, tas, sepatu, kosmetik, dan parfum bermerk terkenal yang setiap hari melekat di tubuh menemani tiap langkah aktivitas, kain kerudung sangatlah murah. Namun, mengapa tiap wanita yang bertitel ‘Islam’ merasa enggan dan berat untuk memakainya? Jawaban dari pertanyaan mendasar tersebut adalah karena mereka belum mendapatkan hidayah. Ya. Hidayah datang secara tiba-tiba, tanpa prediksi dan tanpa rencana sebelumnya. Seorang wanita yang mengaku muslim bisa saja belum menggunakan kerudung dalam kesehariannya, namun ia tetap melaksanakan shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, dan pergi berhaji. Sang wanita tersebut belum mendapatkan hidayah untuk menggunakan kerudung atau dikenal juga dengan sebutan jilbab atau hijab. Ia belum mendalami hukum wajibnya menggunakan jilbab bagi wanita seperti yang tercantum dalam firman Allah, Surat Al-Ahzab ayat 59 yang artinya sebagai berikut. : “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isteri engkau, anak-anak perempuan engkau dan isteri-isteri orang mu’min, supaya mereka menutup kepala dan badan mereka dengan jilbabnya supaya mereka dapat dikenal orang, maka tentulah mereka tidak diganggu (disakiti) oleh laki-laki yang jahat. Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”.
Semua hasil yang baik membutuhkan suatu proses dalam perwujudannya. Demikian halnya dengan saya. Ketika remaja, saya sudah dikenalkan dengan jilbab. Sekolah di lingkungan yang islami dengan pergaulan yang mengedepankan syariat islamiyah dalam setiap nafasnya membuat saya lebih rajin dalam beribadah kepada Allah, mulai dari ibadah wajib hingga sunnah. Dalam tiap ceramah agama, saya pun seringkali diingatkan oleh guru agama, mentor, maupun teman untuk menggunakan jilbab. Namun, entah mengapa, terdapat penolakan dalam hati saya. Sebagai remaja yang masih labil, saya banyak terpengaruh dengan dasyatnya teknologi, media, dan mode. Ditambah, cerita dan pengalaman rekrutmen gelap untuk masuk ke dalam zona Islam garis keras yang sangat jauh dan bertolak belakang dengan paham Islam sebenarnya. Pengalaman tersebut hampir membawa saya masuk ke dalam aliran sesat tersebut dengan teman dekat semasa SMA yang notabene berjilbab sebagai perantaranya. Pikiran saya pun dibuat kacau balau antara kebenaran Islam yang hakiki dengan kesesatan Qur’an ciptaan mereka. Saya pun linglung dibuatnya. Great job for you, Miss.
Pengalaman tak menyenangkan membuat saya berpikir seratus kali untuk berhijab. Memang, itu adalah masa lalu, namun sangat membekas di dalam lubuk hati saya. Saya pun menjadi agak antipati dan beralasan bahwa prinsip hidup saya demokratis dan liberal. Jadi terserah saya donk, mau berpakaian seperti apa, yang penting tidak merugikan orang lain. Titik. Empat tahun sudah saya memendam prinsip seperti itu. Titik baliknya adalah ketika saya mengerjakan penelitian akhir untuk menuntaskan perkuliahan. Rintangan dan hambatan datang menerjang. Penyakit datang bertubi-tubi bagaikan serangan beruntun di Perang Dunia III. Saya hampir kehilangan semangat. Namun, Allah selalu tahu saat hamba-Nya dalam kesulitan. Puji syukur, sedikit demi sedikit pintu hati saya mulai terbuka. Allah memberi hidayah kepada saya agar menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Hidayah Allah memang datang tanpa terduga. Minggu terakhir di Bulan Mei adalah hari yang paling berkesan dalam hidup saya. Saya mengenakan hijab untuk pertama kalinya. Disapa ibu haji oleh beberapa pedagang di sepanjang jalan. Saya mengamini saja. Tiap ucapan adalah doa. Ucapan dan nasehat semua orang kala remaja merupakan doa yang terkabul saat ini.
Berhijab bukan berarti kehilangan gegap gempita fashion terbaru abad ini. Bukan pula dengan berhijab pakaian-pakaian zaman dahulu kita mubadzir, tidak terpakai. Dengan sedikit sentuhan padu padan, kita dapat tampil fashionable dengan balutan hijab berwarna-warni. Toh, dalam Islam tidak diharamkan untuk bereksperimen dengan mode, asalkan mode tersebut dapat membantu kita menutup aurat.
This topic is made by my opinion. No offenses for those who are being disagree with my thought. Nevertheless, corruptors are free to hoodwink then grab money smoothly. Let us be free to express our ideas. Because, we are human being, living in the same atmosphere.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?