Minggu, 10 Februari 2013

MEDAN #Part 2 : Welcome to Medan, North Sumatera! (1)

Matahari sudah agak tinggi, udara panas langsung menyergap ketika saya dan rekan saya keluar dari pesawat dan melintasi landasan. Bandara Polonia adalah awal mula perjalanan dinas sekaligus wisata ke Medan. Tiba di bandara, kami langsung dijemput oleh supir kantor, Pak Narto, panggilannya. Setelah mengemasi barang ke dalam mobil, kami melaju satu jam menuju ke Lubuk Pakam, pabrik cabang di Medan. Tiba di pabrik, kami langsung masuk ke dalam ruangan rekan sejawat. Disana kami berkumpul terlebih dahulu berdiskusi akan rencana yang akan kami lakukan selama seminggu di Lubuk Pakam. Setelah istirahat, kami langsung mengeksekusi pekerjaan hingga selesai.
Pukul 17.00. Dengan diantar oleh sang supir, kami menuju ke Medan untuk check-in hotel. Hotel Swiss-Bellin yang berlokasi di Jl. Surabaya adalah tempat kami menginap selama 4 malam. Mengapa kami pilih hotel tersebut? Alasan pertama karena hotel tersebut sesuai budget perusahaan untuk karyawan junior seperti kami. Alasan kedua adalah dekat dengan ruko tempat teman kami, yang dahulunya bekerja diperusahaan dan  sekarang sudah resign untuk merintis usaha toko aksesoris, sehingga kami dapat bercengkrama dengannya. Alasan ketiga adalah karena dekat dengan penjual makanan dan relatif dekat juga dengan toko oleh-oleh. Ya, semua alasan yang sangat menguntungkan kami karena dapat istirahat sambil berwisata. Hehehe.
Setelah mandi dan merapikan barang-barang, kami langsung janjian berwisata kuliner di Medan bersama seorang teman yang telah 9 bulan tinggal di Medan. Destinasi pertama kami adalah penjual nasi goreng kaki lima. Penyajiannya unik, tak biasa. Satu piring nasi goreng lengkap dengan telur dadar serta ditaburi daging bumbu kari yang diiris kecil-kecil. Satu piring kecil disajikan bersamaan berisi nasi goreng dan satu piring lagi terdapat sate kerang. Penyajiannya mirip dengan nasi padang di restoran padang. Bumbu nasi gorengnya mengandung kari sehingga terasa berbeda di lidah. Dipadu dengan sate kerang yang manis dan lagi-lagi berbumbu kari, kami makan dengan lahapnya. Sayangnya, kari yang ada di nasi goreng tersebut terasa agak hambar. Mungkin itu alasannya kaki lima ini agak sepi bila dibandingkan dengan penjual nasi goreng di seberangnya. Kami pun berencana untuk mencicipi nasi goreng yang ramai tersebut lusa hari. Malam itu, ditutup dengan rencana-rencana wisata kuliner yang membuat air liur tak berhenti menetes.
Tiap pagi, kami mendapat sarapan di hotel. Menu sarapan yang ditawarkan pun beragam. Selama seminggu kami selalu mencicipi hampir semua menu yang ditawarkan. Tentu saja sesuai kapasitas perut, yaitu jumlahnya sedikit tapi beragam. Dari keseluruhan, menu yang membuat saya rindu untuk sarapan adalah pancake dengan topping olesan coklat, taburan kacang mete, sirup maple, dan keju melimpah di piring. Pancake-nya pas, tak terlalu manis. Bila dimakan saat masih hangat, luarnya garing dan dalamnya lembut. Namun, sayang, kejunya kurang gurih. Bila keju yang digunakan keju sekelas Kraft, saya yakin, satu piring tak akan cukup untuk membuat saya ingat akan kelezatan pancake ala hotel Swiss Bellin. Selain itu, omelet yang disajikan tak terlalu asin, juicy sekali, dipadu dengan saus sambal membuat lidah ini tak berhenti mengeluarkan saliva. Kemudian, nasi goreng, pasta, ikan asam manis, ayam mentega, dan mie goreng/soun goreng yang saya cicipi rasanya lumayan. Pas, sesuai ekspektasi dan selera.
Pada malam kedua dan ketiga, kami ditawari untuk menginap di ruko teman saya tinggal. Karena sudah lama tak bertemu, kami pun menyetujuinya. Pada malam kedua, kami pergi ke kawasan kaki lima. Sepanjang mata memandang, sebagian besar memiliki menu babi dan turunannya. Bukan menjebak, tapi saya toleransi saja dengan rekan kerja saya. Toh, teman tersebut menjamin ada satu makanan halal disitu. Penjualnya muslim sehingga saya tak perlu berpusing ria takut dosa karena terkontaminasi. Saya mencoba menu nasi campur yaitu nasi putih dicampur dengan sayur labu, singkong rebus, kering kentang-kacang, serta ayam goreng yang dipisah dipiring kecil dengan kecap yang rasanya seperti cuko pempek dan sambal cabe rawit yang menggoyang lidah. Teman saya memesan kwetiau ayam di tempat menjual babi yang jelas tak halal bagi saya, dan rekan kerja memesan ca sio, yaitu nasi campur daging babi merah lengkap dengan sayur asin dan sambal hijau. Sang penjual yang saya sambangi, menjual lonting cap gomeh pula. Menu itu saya coba di malam terakhir saya menginap.
Satu hal yang tak biasa bagi saya adalah di kawasan tempat saya menginap, banyak sekali penjual makanan dengan babi dan turunannya. Mulai dari makanan berat seperti nasi, mie, kwetiau, bakso, dan steamboat hingga makanan ringan seperti bakpau, pia, siomay, dan sate. Pembelinya jelas bukan orang melayu. 95% keturunan Chinese makan di daerah ini. Makanya, ketika saya makan di daerah tersebut, semua mata tertuju pada saya. Dapat dikatakan, tiada hari tanpa babi. Itulah tagline orang Medan non-muslim. Bukan hanya di kawasan tersebut, di pinggir jalan, banyak yang menjual BPK (Babi Panggang Karo). Katanya, itulah khasnya. Hal itu didukung oleh ketersediaan peternakan babi yang tersebar dimana-mana, sedangkan untuk ayam, sangatlah jarang. Jadi, janganlah heran apabila harga ayam lebih mahal daripada babi. Mengetahui fenomena tersebut, rekan kerja saya pun bergembira karena dapat makan babi sepuasnya dengan harga miring. Dengan 25 Ribu sudah sepiring daging babi merah melimpah, kalau di Jakarta, mana bisa?
Setelah makan malam, searah dengan jalan pulang ke hotel, terdapat penjual martabak piring yang terkenal karena masuk iklan salah satu produk coklat tabur. Disana saya mencoba martabak tebal dan tipis masing-masing dengan isi keju dan coklat keju. Harganya berkisar 3.500 hingga 6.500 satu buah. Di Medan ini, banyak penjual martabak piring. Dinamakan martabak piring, karena cara membakar adonan martabaknya unik, menggunakan piring kaleng dan tungku untuk membakarnya. Teksturnya pun bisa diatur, tebal atau tipis. Rasanya jangan ditanya. Enak sekali.  Manisnya pas ditambah gurihnya keju yang agak melted. Paling pas, apabila disantap ketika masih panas.
Dihari berikutnya, kami berwisata duren. Ada satu penjual duren yang terkenal karena the taste has never lie in mouth. Penjualnya seorang paruh baya keturunan Tionghoa. Beliau menjual menggunakan gerobak. Namun, karena musim duren sudah lewat, maka sang penjual tidak tiap hari menjajakan duren di kawasan kaki lima tersebut. Hari itu, gayung bersambut, beliau mangkal di tempat biasanya. Saya dan teman langsung kalap memesan. Karena kami pecinta duren, maka kami nikmati bulir demi bulir, daging buahnya sangat tebal, manisnya tiada tara. Medan sungguh surga bagi pecinta duren seperti saya. Rencana saya, ingin membeli oleh-oleh berupa duren. Oleh karena itu, saat itu, saya langsung membeli 3 buah duren dan meminta untuk dikupas serta dimasukkan ke dalam plastik mika. Dengan hanya merogoh kocek 60 ribu rupiah, saya sudah bisa membeli 3 buah duren dengan kualitas super. Kalau di Jakarta/Bogor, 60 ribu hanya dapat 1 buah saja. Itu pun dagingnya kurang tebal. Puas sekali rasanya. Walaupun sepertinya saya ingin membeli segerobak duren untuk memuaskan kehausan saya akan duren enak dan murah. Hahaha.
Ada satu supermarket yang khusus menjual produk Malaysia, Thailand, dan produk Asia lainnya. Namanya Brastagi Supermarket. Kami menyambanginya untuk membeli oleh-oleh teman. Banyak orang Tionghoa yang berbelanja disana untuk persiapan Imlek. Beberapa produk camilan lokal pun dijual disana. Lempok duren pesanan papa ada pula disana. Langsung saya ambil 2 kotak. Saya pun berputar-putar mencari produk makanan lain. Coklat merek Ferrero Rocher kesukaan pun hampir saya beli. Namun, setelah saya melihat harganya, ternyata tak terlalu beda jauh dengan Bogor. Produk lain pun demikian. Mendingan, saya beli produk lain yang tak ada di Bogor. Pilihan saya jatuh pada snack asal Malaysia, kopi Naga Salingahe, dan kue kacang. Semua untuk oleh-oleh. Pulangnya, kami lanjut makan malam di nasi goreng kari dekat hotel Novotel. Ini baru enak. Karinya terasa sekali namun tak meninggalkan rasa eneg dilidah. Kemudian, kami pun mencoba sate padang. Bumbunya sudah dimodifikasi yaitu dengan menggunakan bumbu kacang halus dan sedikit aroma kari. Rasanya manis, gurih, dan wangi. Juara sekali menu malam itu.
Nasi goreng kari, nasi campur, lontong cap gomeh, martabak piring, dan duren asli Medan. 5 destinasi wisata kuliner selama saya di Medan. Karena tak punya waktu untuk berwisata alam dan sejarah, maka wisata kulinerlah tujuannya. Dari keseluruhan kuliner yang saya coba, durenlah jagoannya. Ada 3 alasan yang melatarbelakanginya. Pertama karena kualitas rasa, tekstur, dan ketebalan daging yang sangat super baik. Kedua karena harganya yang berkali lipat lebih murah dari duren kualitas baik di Jakarta/Bogor. Ketiga karena kualitas duren bartendernya adalah Tuhan, manusia mungkin dapat memodifikasinya, namun kualitas akhirnya ditentukan oleh Sang Maha Pencipta, bukan manusia, bukan siapapun. Medan, you rock my mouth so badly. Wholeheartedly, I am in love with your Durian!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?