Hari Jumat adalah
hari yang istimewa dan mendapat tempat khusus di hati mayoritas individu.
Pertama, untuk umat Muslim, hari Jumat tergolong hari yang utama untuk
beribadah shalat Jumat berjamaah di masjid dan ibadah lain serta doa yang
diijabah oleh Allah SWT. Kedua, untuk mayoritas perusahaan mewajibkan
karyawannya untuk menggunakan pakaian batik, pakaian lain dengan tujuan
tertentu, atau pakaian bebas agar terkesan sersan, serius tapi santai. Demikian
halnya dengan perusahaan tempat saya bekerja. Hari Jumat adalah hari dengan
pakaian bebas, bebas berekspresi sesuka hati, namun masih dalam koridor
tanggung jawab pekerjaan yang harus segera ditunaikan. Contohnya adalah meeting
setelah dilakukan audit internal untuk mengumumkan gap antara
persyaratan audit dengan kondisi riil lapangan. Meeting ini dimulai pada
pukul 10.00 dan berakhir pada pukul 12.00, tepat saat semua orang beristirahat,
shalat Jumat, dan makan siang. Hari Jumat ini adalah hari terakhir saya
bertugas. Saya dan rekan diajak makan siang sebelum pulang. Restoran yang
dipilih adalah restoran seafood bertajuk Kim-Kim yang pastinya terjamin halal
karena mengajak serta saya. Apabila tidak, rekan saya dan teman-teman di Medan
yang mayoritas non-muslim akan menjamu hidangan BPK (Babi Panggang Karo) yang
konon terkenal seantereo Medan.
Setelah selesai
makan, kami berkemas kembali ke pabrik, kemudian sesuai rencana, kami pamit dan
langsung menuju ke Bandara Polonia, Medan. Sambil berlalu, kami menepi sebentar
untuk membeli kue Bika Ambon merk Majestik, Bolu Meranti, dan manisan jambu
madu. Ketiga tempat tersebut jaraknya berdekatan satu sama lain. Selain itu,
karena paket kami yaitu duren dan aksesoris masih ada di rumah teman saya di
Jl. Surabaya, maka kami bermaksud sekalian lewat ambil paket lalu langsung lanjut
ke bandara. Namun, ternyata kondisi jalanan di luar prediksi kami, macet dan
tak bergerak barang sesenti pun. Hal ini karena imbas dari persiapan perayaan
Tahun Baru Imlek yang menjadi tradisi sebagian besar warga Tionghoa di Medan.
Saya yang awam dengan kondisi jalan, hanya bisa tercengang kaget melihat
kendaraan tak mau kalah dan saling mengunci. Jarum jam pun semakin lama semakin
mendekati pukul 16.00 sedangkan jadwal pesawatnya yaitu pukul 16.25. Sang supir
berkata bahwa disini tak ada jalan alternatif lain selain jalan yang sedang
dilewati. Namun, lanjutnya, ketika sampai di persimpangan jalan, kita punya dua
opsi. Pertama, jalan lurus, tetap mengambil paket, dan pasti tertinggal
pesawat. Kedua, tinggalkan paket, kita belok kiri dan langsung tancap gas ke
bandara. Karena tak mau beresiko keluar uang lagi, maka diputuskan langsung
tancap gas ke bandara. Jantung serasa mau copot. Tak ada olahraga yang dapat
memacu jantung semaksimal ini kecuali sport-jantung kala mengejar jadwal
penerbangan. Di tengah jalan menuju bandara, teman kami menelepon, menanyakan
tentang paket kami, apakah mau diantar oleh karyawan tokonya ke bandara, atau
ditinggal saja dan dipaketkan untuk paket aksesoris dan makanan ringan. Untuk
paket duren, ya ikhlaskan sajalah, teman saya berencana membelinya saja. Namun,
saya bilang bahwa tolong ganti sajalah, belikan duren anyar saat dia pulang
kembali ke Jakarta. Keputusan sudah deal, bertepatan dengan kami tiba di
bandara yaitu pukul 16.30. Kami membagi tugas. Saya merapikan barang-barang,
teman saya menuju tempat check-in. Ya siapa tahu, pesawatnya delay,
jadi kami tidak masuk kategori terlambat. Harapan akan selalu ada untuk orang
yang bersabar, walaupun tetap, jantung ini berderu sekencang angin laut yang bertiup
kala senja.
Anda kurang
beruntung. Demikian jawaban dari mata sang petugas. Kalau kereta atau bus sih
bisa ditunggu, kalau pesawat? Ya sudah kobong-lah tiketnya. Mau dirayu setengah mati pun tak ada
toleransi, telat ya telat. Beli tiket lagi. Ya pasrahlah sambil harap-harap
cemas, ya kali aja ada yang murah, dibawah 500 ribu. Kalau diatas itu, mending
naik pesawat lain saja. Toh tujuannya kan tetap sama. Kami mengantri di depan
loket. Ternyata, tak hanya kami saja korban kemacetan yang membabi buta
tersebut. Ada sekitar 7 orang yang bernasib sama. Orang pertama, dia cerita
bahwa dirinya harus nombok senilai 800 ribu untuk penerbangan
selanjutnya. Orang kedua ketiga keempat kelima keenam sekitar 300-500 ribu-an.
Orang ketujuh, nombok 378 ribu. Wow! Oke, berarti masih ada kesempatan
emas pulang dengan tiket tombokan yang lumayan terjangkau. Dengan
tatapan penuh harap, kami datangi petugasnya, kami diminta untuk menunggu
sebentar, dan hasilnya kami pun bernasib sama dengan orang tadi, walau lebih
mahal sedikit, yaitu 383 ribu untuk jadwal pukul 18.35. Alhamdulillah!!
Allah hears our pray!
Nah, urusan tiket
sudah beres. Sekarang tinggal urusan paketnya nih. Karena tahu bahwa kami
ketinggalan pesawat, teman saya langsung mengutus karyawan tokonya untuk
mengantarkan paket ke bandara via becak-motor alias bentor. Setelah gelisah
selama satu jam, akhirnya, kami dapatkan paket masing-masing walaupun harus
bercapek ria dulu, berjalan kurang lebih 700 meter ke gerbang depan untuk
menjemput paket. Dengan sisa tenaga, saya angkut semua paket hingga check-in
dan masuk ke bagasi. The power of kepepet pun terbukti ampuh
menyelamatkan semua rencana awal kami walaupun dengan jalan berkelok, menyebrangi
sungai kecemasan, dan melewati lembah cobaan. Jalan yang kami tempuh memang
harus seperti ini. Saya harus pulang dengan membawa paket duren titipan orang
tua dan kopi Kok-Tong terkenal di Medan yang saya beli secara tak sengaja,
yaitu saat sedang diam menunggu datangnya paket persis di depan kios kopi Kok-Tong.
Rekan saya pun harus pulang dengan membawa paket berisi aksesoris dari toko
teman untuk dibagikan ke para teman kerja di Jakarta serta oleh-oleh titipan
teman dan saudaranya.
Pukul 18.35.
Pesawat take-off dari Tanah Sumatera. Membawa pelajaran dan pengalaman
tak terhingga serta sedikit buah tangan bagi keluarga dan teman. Mungkin,
karena kami memang niat memberi, walaupun sedikit, ada saja jalan yang Allah
berikan. Tak peduli cara dan jalan yang pelik, namun pada akhirnya akan berbuah
manis, berakhir bahagia. Bagi saya, khususnya, saat pergi kemanapun, oleh-oleh
adalah wujud kenangan nyata terbaik sebagai ungkapan perhatian sekaligus dapat
mempererat tali silaturahmi antar pribadi, walaupun dengan jumlah yang kecil. Tak
bermaksud riya, hanya sebagai sarana
bersuka. This Friday was surprisingly complicated and magnificent. Starting
with a drama-queen, ending with a big-grin.
Thanks and Goodbye,
Medan. See you, later!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?