Minggu, 17 Februari 2013

MEDAN #Part 3 : A Drama Queen

Hari Jumat adalah hari yang istimewa dan mendapat tempat khusus di hati mayoritas individu. Pertama, untuk umat Muslim, hari Jumat tergolong hari yang utama untuk beribadah shalat Jumat berjamaah di masjid dan ibadah lain serta doa yang diijabah oleh Allah SWT. Kedua, untuk mayoritas perusahaan mewajibkan karyawannya untuk menggunakan pakaian batik, pakaian lain dengan tujuan tertentu, atau pakaian bebas agar terkesan sersan, serius tapi santai. Demikian halnya dengan perusahaan tempat saya bekerja. Hari Jumat adalah hari dengan pakaian bebas, bebas berekspresi sesuka hati, namun masih dalam koridor tanggung jawab pekerjaan yang harus segera ditunaikan. Contohnya adalah meeting setelah dilakukan audit internal untuk mengumumkan gap antara persyaratan audit dengan kondisi riil lapangan. Meeting ini dimulai pada pukul 10.00 dan berakhir pada pukul 12.00, tepat saat semua orang beristirahat, shalat Jumat, dan makan siang. Hari Jumat ini adalah hari terakhir saya bertugas. Saya dan rekan diajak makan siang sebelum pulang. Restoran yang dipilih adalah restoran seafood bertajuk Kim-Kim yang pastinya terjamin halal karena mengajak serta saya. Apabila tidak, rekan saya dan teman-teman di Medan yang mayoritas non-muslim akan menjamu hidangan BPK (Babi Panggang Karo) yang konon terkenal seantereo Medan.
Setelah selesai makan, kami berkemas kembali ke pabrik, kemudian sesuai rencana, kami pamit dan langsung menuju ke Bandara Polonia, Medan. Sambil berlalu, kami menepi sebentar untuk membeli kue Bika Ambon merk Majestik, Bolu Meranti, dan manisan jambu madu. Ketiga tempat tersebut jaraknya berdekatan satu sama lain. Selain itu, karena paket kami yaitu duren dan aksesoris masih ada di rumah teman saya di Jl. Surabaya, maka kami bermaksud sekalian lewat ambil paket lalu langsung lanjut ke bandara. Namun, ternyata kondisi jalanan di luar prediksi kami, macet dan tak bergerak barang sesenti pun. Hal ini karena imbas dari persiapan perayaan Tahun Baru Imlek yang menjadi tradisi sebagian besar warga Tionghoa di Medan. Saya yang awam dengan kondisi jalan, hanya bisa tercengang kaget melihat kendaraan tak mau kalah dan saling mengunci. Jarum jam pun semakin lama semakin mendekati pukul 16.00 sedangkan jadwal pesawatnya yaitu pukul 16.25. Sang supir berkata bahwa disini tak ada jalan alternatif lain selain jalan yang sedang dilewati. Namun, lanjutnya, ketika sampai di persimpangan jalan, kita punya dua opsi. Pertama, jalan lurus, tetap mengambil paket, dan pasti tertinggal pesawat. Kedua, tinggalkan paket, kita belok kiri dan langsung tancap gas ke bandara. Karena tak mau beresiko keluar uang lagi, maka diputuskan langsung tancap gas ke bandara. Jantung serasa mau copot. Tak ada olahraga yang dapat memacu jantung semaksimal ini kecuali sport-jantung kala mengejar jadwal penerbangan. Di tengah jalan menuju bandara, teman kami menelepon, menanyakan tentang paket kami, apakah mau diantar oleh karyawan tokonya ke bandara, atau ditinggal saja dan dipaketkan untuk paket aksesoris dan makanan ringan. Untuk paket duren, ya ikhlaskan sajalah, teman saya berencana membelinya saja. Namun, saya bilang bahwa tolong ganti sajalah, belikan duren anyar saat dia pulang kembali ke Jakarta. Keputusan sudah deal, bertepatan dengan kami tiba di bandara yaitu pukul 16.30. Kami membagi tugas. Saya merapikan barang-barang, teman saya menuju tempat check-in. Ya siapa tahu, pesawatnya delay, jadi kami tidak masuk kategori terlambat. Harapan akan selalu ada untuk orang yang bersabar, walaupun tetap, jantung ini berderu sekencang angin laut yang bertiup kala senja.
Anda kurang beruntung. Demikian jawaban dari mata sang petugas. Kalau kereta atau bus sih bisa ditunggu, kalau pesawat? Ya sudah kobong-lah tiketnya.  Mau dirayu setengah mati pun tak ada toleransi, telat ya telat. Beli tiket lagi. Ya pasrahlah sambil harap-harap cemas, ya kali aja ada yang murah, dibawah 500 ribu. Kalau diatas itu, mending naik pesawat lain saja. Toh tujuannya kan tetap sama. Kami mengantri di depan loket. Ternyata, tak hanya kami saja korban kemacetan yang membabi buta tersebut. Ada sekitar 7 orang yang bernasib sama. Orang pertama, dia cerita bahwa dirinya harus nombok senilai 800 ribu untuk penerbangan selanjutnya. Orang kedua ketiga keempat kelima keenam sekitar 300-500 ribu-an. Orang ketujuh, nombok 378 ribu. Wow! Oke, berarti masih ada kesempatan emas pulang dengan tiket tombokan yang lumayan terjangkau. Dengan tatapan penuh harap, kami datangi petugasnya, kami diminta untuk menunggu sebentar, dan hasilnya kami pun bernasib sama dengan orang tadi, walau lebih mahal sedikit, yaitu 383 ribu untuk jadwal pukul 18.35. Alhamdulillah!! Allah hears our pray!
Nah, urusan tiket sudah beres. Sekarang tinggal urusan paketnya nih. Karena tahu bahwa kami ketinggalan pesawat, teman saya langsung mengutus karyawan tokonya untuk mengantarkan paket ke bandara via becak-motor alias bentor. Setelah gelisah selama satu jam, akhirnya, kami dapatkan paket masing-masing walaupun harus bercapek ria dulu, berjalan kurang lebih 700 meter ke gerbang depan untuk menjemput paket. Dengan sisa tenaga, saya angkut semua paket hingga check-in dan masuk ke bagasi. The power of kepepet pun terbukti ampuh menyelamatkan semua rencana awal kami walaupun dengan jalan berkelok, menyebrangi sungai kecemasan, dan melewati lembah cobaan. Jalan yang kami tempuh memang harus seperti ini. Saya harus pulang dengan membawa paket duren titipan orang tua dan kopi Kok-Tong terkenal di Medan yang saya beli secara tak sengaja, yaitu saat sedang diam menunggu datangnya paket persis di depan kios kopi Kok-Tong. Rekan saya pun harus pulang dengan membawa paket berisi aksesoris dari toko teman untuk dibagikan ke para teman kerja di Jakarta serta oleh-oleh titipan teman dan saudaranya.
Pukul 18.35. Pesawat take-off dari Tanah Sumatera. Membawa pelajaran dan pengalaman tak terhingga serta sedikit buah tangan bagi keluarga dan teman. Mungkin, karena kami memang niat memberi, walaupun sedikit, ada saja jalan yang Allah berikan. Tak peduli cara dan jalan yang pelik, namun pada akhirnya akan berbuah manis, berakhir bahagia. Bagi saya, khususnya, saat pergi kemanapun, oleh-oleh adalah wujud kenangan nyata terbaik sebagai ungkapan perhatian sekaligus dapat mempererat tali silaturahmi antar pribadi, walaupun dengan jumlah yang kecil. Tak bermaksud riya, hanya  sebagai sarana bersuka. This Friday was surprisingly complicated and magnificent. Starting with a drama-queen, ending with a big-grin.
Thanks and Goodbye, Medan. See you, later!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?