Minggu, 27 Januari 2013

Belajar dari Banjir

          Banjir  di Jakarta? Ah sudah biasa. Macet hingga puluhan kilo meter? Ah sudah biasaa. Tidak dapat beraktivitas akibat banjir sudah seleher orang dewasa? Ah sudah biasaaa.
          Demikianlah kondisi miris ibukota. Semua dianggap santai dan biasa. Memang, santai itu perlu, namun apakah kita masih santai dalam menghadapi banjir yang sudah menjadi bencana nasional?  Banjir apabila dianalogikan sebagai film, maka hingga tahun ini sudah mencapai sekuel ke sekian puluh. Banjir telah menjadi bonus lima tahunan bagi masyarakat ibukota. Tak hanya warga ibukota yang memang berdomisili di Jakarta, tapi juga warga kota lain yang memiliki akses dekat dengan Jakarta seperti Bogor, Depok, Bandung, dan sekitarnya. Seakan telah mati rasa, para warga pun sudah terbiasa dengan banjir yang membudaya. Entah tak peduli lagi atau sudah tak punya ide lagi, tak ada pihak yang berani unjuk diri, berkontribusi membenahi sistem yang semakin carut marut. Banjir ini adalah pesanan bukan kiriman. Pesanan siapa? Ya, semua kaum urban yang pernah menyambangi ibukota, untuk mengadu nasib, siapa tahu nasib mujur berpihak kepadanya. Sayangnya, kebanyakan dari mereka tak merasa memiliki ibukota, hanya numpang lewat selama puluhan tahun melahirkan banyak generasi, menyumbang angka di sensus penduduk hingga menjadi pionir urbanisasi massal yang terpengaruh dengan magnet lapangan pekerjaan bergaji lumayan. Dari membuat rumah di bantaran sungai hingga membudayakan diri untuk membuang sampah apapun dimanapun tak kenal tempat, got dan sungai pun sering jadi sasaran. Belum lagi budaya yang punya duit dengan membangun properti dengan cara menggilas hutan jadi bangunan, villa dan teman-temannya. Resapan air pun ditutup secara sempurna. Ya pantaslah kita merasakan banjir, lha wong kita yang jadi biang keroknya. Kita? Lu aja kali.
        Hari ini, 17 Januari 2013 adalah hari bersejarah untuk saya dalam menghadapi banjir. Saya tergolong pendatang baru yang merasakan kost di Jakarta selama setahun dan ketika banjir datang menjenguk saya berada didalamnya. Alhasil dengan berjibaku saya mengepel kamar dan mengemasi barang, pindah ke kamar lain yang lebih aman. Kost saya terletak di daerah rawan banjir. Jalanan depan kompleks kost memang lebih rendah. Kondisinya pun memprihatinkan. Sampai pukul 10 pagi, air sudah naik hingga sepinggang pria dewasa. Banyak yang meliburkan diri, termasuk saya. Namun berkat adanya pompa banjir, maka kost saya pun bebas dari genangan air. Tenang? Belum tentu. Buktinya, kamar saya kebanjiran. Selidik punya selidik, ada retakan di bagian temboknya sehingga air merembes masuk ke dalam kamar. Ada dua kamar dengan kondisi seperti itu, kami pun dinobatkan jadi korban genangan air pertama dalam sejarah hidup. Kami? Yup, saya dan teman sebelah kamar. Sebelum kejadian ini saya tak kenal siapa-siapa. Individualiskah saya? Not at all! Namun, saya pernah punya pengalaman buruk dikost ini hingga saya men-judge bahwa penghuni kost ini mengidap individualistis akut. Ceritanya adalah ketika itu, saya masih baru menjadi penghuni kost, saya memposisikan diri membaur dengan yang lain. Suatu hari, saya iseng berkenalan dengan 2 kamar di sebelah saya, namun bukan senyuman persabahatan yang saya dapat, malahan tatapan sinis nan sadis dari kamar sebelah. Saya coba kamar lain, sama juga. Siapa yang tak kapok mendapat perlakuan pahit semu kecut seperti itu? Saya pun menggeneralisasi. Oh mungkin, penghuni yang mayoritas mahasiswa kedokteran tak sudi berteman dengan seorang karyawan seperti saya. But, condition has been changing. Ada penghuni baru kamar sebelah yang jauh lebih baik. Dan kami pun berkenalan gara-gara kamar kebanjiran.
        Lucu memang. Kami cepat klop karena ternyata kami sama-sama senang mengobrol dan bercerita ngalor ngidul. Perkenalan pertama pastinya tentang asal muasal kami masing-masing dilanjutkan ke topik hangat yaitu banjir. Mulai dari kondisi kamar masing-masing yang jadi korban, komplain ke penjaga kost yang dijawab dengan sekenanya, terus kalo banjir mau apa? What?? Namun, hati harus bertengger di atas kepala, jangan mengedepankan emosi karena akan berakhir tanpa solusi. Sang penjaga hanya menyarankan untuk menelpon nyonya pemilik kost. Sempat terselip curhat-colongan dari dia bahwa sang nyonya ini tak mau peduli dengan kondisi infrastruktur kost. Mau retak kek, lampu mati kek, atau rembes karena hujan, semua ditanggapi dengan santai seperti tidak ada apa-apa, Oh ya sudah. Terus mau apa, Heh?  Ketika saya menelpon sang pemilik, Dewi Fortuna sedang tak memihak, si nyonya sedang ke pasar. Oke, next time I’ll phone you, maam. Obrolan berlanjut sampai waktu makan siang tiba, makan bersama sambil bercerita, tak terasa badan remuk redam minta balas dendam. Tidur siang menjelang sore pun jadi obat mujarab setelah kerja bakti dadakan pagi tadi.
        Banjir untuk saya membawa pelajaran berharga. Saya diingatkan untuk kembali bersyukur bahwa berawal dari banjir, saya dapat teman baru yang menghapuskan generalisasi saya tentang karakter penghuni kost ini. The art of communication saya lumayan diuji saat ini. Dengan komunikasi, saya dapat pindah ke kamar yang baru direnovasi. Mungkin harganya dua kali lipat kamar saya. Ya jelas, lha wong double bed-big cabinet-toilet inside. Ya, itung-itung test drive kalau diibaratkan sebagai mobil sampai kamar asli saya sudah normal kembali. Terakhir, tentang petikan hikmah banjir yang saya lihat di depan jalan kompleks kost dan resapi di televisi. Ketika banjir, mobil semahal apapun tak dapat berkutik sedikit pun di jalanan. Pemilik mobil mahal sekalipun akan memilih perahu karet atau gerobak dorong untuk menyebrangi lautan kota, mencari tempat aman. Pemilik rumah mewah pun akan memilih tinggal di tenda pengungsian korban banjir dibandingkan dengan mengawasi rumah mewah dan harta benda dari banjir yang entah kapan surutnya. Sungguh keterlaluan apabila saya mengeluh karena dalam kondisi banjir dimana banyak yang terendam hingga 2 meter, listrik mati, dan air bersih sulit didapat, saya masih dapat merasakan fasilitas listrik dan air bersih. Mall pun dekat dengan kost namun memang akses ke mall-nya harus naik gerobak dorong atau berjalan menembus arus banjir. Tapi itu tak berlangsung lama. Jalanan dekat mall kering karena bangunannya lebih tinggi. Semua kemudahan masih tersedia. Apabila kita masih tidak bersyukur, mungkin lirik Ebiet G. Ade ada benarnya juga. Mungkin Tuhan sudah bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?