“..Ketika dunia ini telah berubah menjadi instan, maka kemustahilan sekejap menjelma jadi kemungkinan”
Topik
tentang Instan memang paling pas dibahas di senja hari menjelang malam ketika
perut sedang keroncongan atau di pagi hari ketika tubuh perlu asupan zat
pembangkit energi untuk menghadapi panjangnya hari. Mie Instan. Kopi Instan.
Kebiasaan kaum urban, ya seperti saya ini. Hidup dipacu dengan waktu yang
disekat dengan target yang padat. Makanan dan minuman instan yang diperkaya
oleh gula sederhana, vitamin, mineral, perasa, pewarna, dan zat tambahan
lainnya menjadi jalan keluar dalam pemenuhan asupan gizi tubuh. Tanpa sadar,
makanan dan minuman instan yang sedang menjadi trend dunia modern tersebut
layaknya musuh dalam selimut, manis di bibir, meringis di akhir. Apalagi
apabila dikonsumsi terlalu sering bisa mengakibatkan penyakit kronis seperti
kanker. Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Kalau belum
kejadian, ya tak henti mulut ini mengecap mie instan di sela-sela makan siang.
Disadari
atau tidak, kita, kaum yang hidup di era teknologi modern dan perdagangan
bebas, dikelilingi oleh segala kemudahan dalam memenuhi kebutuhan dari primer
hingga tersier. Setiap hari kita dimanjakan oleh berbagai produk instan yang
dijual baik di pasar tradisional hingga supermarket ternama. Tak hanya makanan
dan minuman, produk perawatan tubuh hingga kendaraan pun dapat dimiliki dengan
mudah dan cepat. Instanisasi telah menyebar bagai virus, menelusup ke
sendi-sendi kehidupan, mengalir hingga ke nadi. Instanisasi adalah sebuah
proses perubahan dari sistem manual ke sesuatu yang mudah/instan. Dalam
pembentukan proses untuk menjadi instan, setidaknya diperlukan beberapa langkah
yang membentuk suatu lingkaran berkesinambungan yang saya sebut sebagai
cyclo-instant. Ada 5 hal yang mendasari terbentuknya cyclo-instant :
Input adalah asupan, baik kebutuhan
primer, sekunder, dan tersier. Input ini merupakan cikal bakal terjadinya
instanisasi. Input dimulai ketika adanya persuasi dari pihak eksternal
seperti produsen brand product tertentu yang mempenetrasi pasar sehingga
mau tak mau mempengaruhi dan memikat pola pikir konsumen. Dari sini,
konsumen mulai memilih akan tertarik atau tidak dengan produk tersebut yang
didasari oleh selera/kesukaan, kelebihan produk tersebut dari berbagai sisi,
inovasi baik komposisi maupun kemasan yang ditawarkan, serta harganya. Setelah
pola pikir terbentuk, maka konsumen pun penasaran ingin mencobanya. Trial
dan Error pun dilakukan untuk menentukan tingkat penerimaan konsumen
terhadap keseluruhan produk tersebut. Hasilnya bisa baik, bisa pula sebaliknya,
tergantung penilaian konsumen secara subjektif. Apabila konsumen tertarik untuk
kenal lebih jauh dengan produk tersebut, maka dapat dikatakan konsumen sudah
menggantungkan pilihannya. Pada tahap tersebut, terdapat kecenderungan untuk
membeli berkali-kali hingga membentuk suatu kebiasaan tersendiri. Sepertinya
ada yang kurang apabila tidak membeli produk tersebut. Kebiasaan pun
semakin berkembang menjadi suatu sistem yang konsisten dijalankan. Pada
tahap terakhir ini, produk sudah dapat dikatakan stabil melekat di kehidupan
konsumen. Konsumsi produk instan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
siklus hidup tiap individu. Instanisasi sukses terbentuk.
Cyclo-instant yang telah diulas diatas
merupakan buah teori saya tentang instanisasi produk dari berbagai bidang.
Siklus tersebut saya adaptasi dari siklus Plan-Do-Check-Action. Apabila ditarik
garis antara teori dan fakta, bahwa input yang ada pada tahap pertama adalah kebutuhan
primer, sekunder, dan tersier yang tersebar membentuk banyak pilihan di sekitar
kita. Misalnya saja makanan dan minuman instan seperti mie, kopi, serta makanan
dan minuman ringan yang banyak diiklankan. Dari iklan tersebut kita berpikir
produk dengan merk apakah yang sesuai selera kita? Pola pun terbentuk dan
saatnya mencoba. Apabila kita lidah kita cocok dengan produk tersebut, misal
makanan merk A dan minuman merk B, maka
kita akan penasaran, ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Maka kita
membeli merk A dan B dengan jumlah yang agak banyak dan membentuk suatu
kebiasaan. Tiap bulan, kita canangkan dana kita untuk membeli merk A dan B.
Terus menerus hingga membentuk suatu sistem yang mengakar di kehidupan kita.
Instanisasi yang
terjadi membentuk suatu sifat orientasi hasil dan angka dibandingkan proses.
Tak peduli proses awalnya sulit dan berliku, yang penting produk mudah
digunakan dan laku dijual. Dengan sistem tersebut, perusahaan pun tak mau rugi
menggaji banyak karyawan. Dengan investasi triliunan rupiah, pabrik-pabrik
telah mengimplementasikan sistem komputerisasi dan teknologi robotik dalam
proses produksinya. Manusia berperan sebagai dalangnya, sedang eksekutornya ya
komputer dan robot. Otomatis, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pun semakin
sedikit. Dengan pertumbuhan penduduk layaknya deret ukur menjadikan persaingan
semakin sengit, hukum rimba beserta seleksi alam pun kembali berlaku, siapa
kuat dia dapat. Mereka pun jadi kurang peduli dengan sistem keselamatan dan
kesehatan kerja karyawan. Yang penting sudah disediakan. Urusan pemeriksaan
rutin serta peran serta manajemen dalam kegiatan yang berhubungan dengan
keselamatan dan kesehatan, itu prioritas nomor sekian. Yang penting produksi
lancar, penjualan gencar, dan untung terus memancar. Namun, yang memprihatinkan
adalah dari sisi spiritualitas yang cenderung menurun dibandingkan dengan
produktivitas. Individu lebih mengutamakan bekerja tanpa kenal lelah dan waktu
dibandingkan dengan sholat lima waktu. Mengaji pun kalau sempat saja. Sisanya
dihabiskan dengan aktivitas duniawi yang tak pernah ada habisnya. Bila dirunut,
memang berpangkal pada instanisasi juga. Bukan menyalahkan, namun mengingatkan
diri sendiri bahwa orientasi hasil ini sangat bertentangan dengan prinsip
keseimbangan, yin dan yang menurut falsafah Cina, dimana ibadah rohani harus
berjalan seimbang dengan pekerjaan duniawi. Memang, duniawi terlihat begitu
gemerlap dan menghasilkan dibandingkan ibadah rohani. Namun, apakah investasi
jangka panjang kita abaikan demi pundi arta yang dalam sekejap dapat habis?
Apakah keuntungan berlipat lebih diutamakan dibandingkan investasi keselamatan
dan kesehatan nyawa manusia? Apakah kesehatan kita korbankan demi kemudahan
instan dari produk siap saji tiap hari? Kadang kita lupa dengan hari esok
karena terlalu kalap dengan kenikmatan hari ini.
Instanisasi, telah
membantu kita dalam segala hal, berbagai proses jadi mudah dan cepat, layaknya
kredit kendaraan dengan bunga 0% tanpa uang muka. Tanpa instanisasi, mungkin
kita tidak bisa mengecap manisnya instant white coffee, merasakan
kelembutan pizza dan ayam crispy restoran franchise fast-food,
atau menggoyang lidah dengan gurihnya mie instan yang bikin nagih. Namun,
berkaca pada cyclo-instant, kita harus pintar memilih dan menentukan. Dari sisi
konsumen, berhati-hatilah memilih produk instan yang dimakan. Dari sisi
produsen, bijaklah menentukan sistem yang digunakan, sistem yang berorientasi
hasil dan mengabaikan proses atau orientasi proses yang mengabaikan hasil? I
choose Balancing with no orientation. Result and process thru product
margin and people development must walk side by side. They form the system,
output of cyclo-instant.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?