Today is our
first weekend in 2013. What do you feel so far? Hem. Good, but not great. What
happen? Mentally absurd and heart-broken because of neighbor next door who held
marriage-party using public facility, street in front of his/her house. I have
to walk thru long-idle-street which used by them for their business. That’s a problem. Errr. Big Problem for me and
others of course.
Etika.
Satu kata, berjuta makna. Apa yang terlintas dipikiran ketika menemukan kata :
ETIKA? Kesopanan, sikap saling menghargai dan menghormati, tata karma. Yes.
Semua sinomin tersebut menggambarkan makna dibalik kata ETIKA. Mengacu pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia : Eti.ka [n] ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dapat kita simpulkan bahwa etika
ini berhubungan dengan moral dan akhlak kita sebagai manusia dan manusia adalah
makhluk sosial yang hidup bersama orang lain di sisi kiri, kanan, depan, dan
belakang. Moral ini menentukan kepribadian kita sendiri, mau dibawa kemana diri
kita dan bagaimana penilaian orang lain terhadap kita. Intinya, apabila kita
berlaku baik, orang lain pun akan membalas dengan kebaikan pula. Hukum
sebab-akibat.
Lantas,
apabila kita telah berlaku sopan, menghargai orang lain, dan baik kepada semua
orang tapi ternyata kita malahan yang dizhalimi oleh orang lain? Pantaskah kita
membalasnya? Sebagai orang yang konsisten dalam menjalankan etika di kehidupan,
maka pastilah jawabannya adalah tidak. Namun, bukan berarti kita diam saja,
pasrah. Kita patut untuk memberitahunya dengan bahasa halus dan sopan, tanpa
menyakiti hati namun pesannya tersalurkan dengan baik. This is the art of
communication. Demikian dengan kejadian yang baru saja saya alami. Saya
memang tinggal di suatu kawasan pemukiman padat penduduk dengan jalan masuk ke
dalam yang hanya muat untuk satu mobil maksimal selebar mitsubisi pajero sport.
Penghuni rumah pun beragam. Untuk rumah yang ada di lokasi agak dalam,
kebanyakan adalah orang-orang lama yang sudah memiliki tanah dari zaman dahulu,
1970-an sedangkan orang-orang yang menghuni rumah bagian depan termasuk ke
dalam kelompok pendatang baru dan merupakan rumah tumbuh. Sistem kekerabatan
acapkali menjadi sistem yang digunakan oleh warga dalam hal organisasi RT-RW.
Jadi, apabila ada orang yang ingin mengadakan suatu pesta di rumahnya dan
menggunakan fasilitas jalan umum, perizinan RT-RW-lah yang harus dilakukan
terlebih dahulu. Namun, itu dulu, ketika mobil dan motor belum sepopuler
sekarang dan jumlah rumah belum sepadat sekarang.
Seiring
bergulirnya waktu, zaman pun ikut berubah. Kawasan pemukiman berangsur padat,
pendatang memadati blok-blok tanah, hingga kepemilikan kendaraan tiap rumah. Hal
ini memiliki dampak sosial bagi masyarakat dan sistem organisasi masyarakat
paling rendah yaitu RT-RW. Jalan umum pun semakin ramai dan dibuat lebih lebar
agar kendaraan dapat masuk dengan leluasa. Perubahan zaman ini ternyata tidak
berpengaruh terhadap pola pikir penghuninya. Egoisme dan mementingkan
kepentingan diri sendiri dibandingkan kepentingan publik adalah sifat bawaan
tiap individu yang entah mengapa jadi tumbuh subur di kawasan ini. Contoh
konkritnya adalah perayaan pesta pora pernikahan yang menggunakan fasilitas
jalan umum sebagai tempat menaruh kursi tamu dan panggung dangdut. Sang empu
seolah-olah memblokade akses masuk dan keluar orang-orang sekitar dan secara
tidak langsung merusak rencana orang lain yang hendak lewat keluar. Dengan
dalih sudah izin dari RT-RW, mereka dengan seenaknya, tanpa rasa dosa, bercanda
tawa, menghiasi kemeriahan pesta. Hal ini sudah ± 7 kali terjadi sejak tahun
2000-an. Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah sudah tahu jalan utama adalah
vital bagi warga, namun mengapa tetap diizinkan oleh RT-RW? Apakah the power
of money politic berperan penting disini? Apakah ini adalah peraturan
sekaligus hukuman tak tertulis bagi pengendara mobil bahwa ada larangan
melintas ketika ada perayaan pesta? Prinsip yang lucu menurut saya karena
sistem tidak dibuat fleksibel dengan perkembangan zaman.
Dari
kejadian pahit yang saya alami tadi, saya menarik kesimpulan bahwa hidup
bermasyarakat di kawasan padat penduduk dengan latar belakang sosial yang
beragam memang sulit. Ada saja ketidakadilan yang mengatasnamakan harta dan
tahta sehingga orang lain mau tak mau tunduk khidmat dihadapan yang punya
kuasa. Saya memang sedang tidak mengendarai kendaraan saat kejadian diatas
berlangsung. Saya hanya pejalan kaki biasa. Namun, apabila saya berada di
posisi sang tetangga yang sedang mengalami kejadian tersebut, menceloslah hati
ini. Kalau saja, penyelenggara pesta itu berkomunikasi terlebih dahulu ke tiap
penghuni rumah di kawasan ini bahwa dia memohon izin menggunakan fasilitas
jalan umum karena keterbatasan biaya untuk pesta pernikahan, pasti hati ini
lebih ikhlas menerima. Masalahnya, tak ada izin, komunikasi sepihak,
menggunakan jalan publik pula. Kemanakah etika itu pergi, wahai penyelenggara
pesta?
Indonesia,
negara yang dikenal dengan masyarakat yang ramah tamah, berbudi pekerti luhur,
dan sopan-santun yang tinggi. Namun, semua sudah terkikis sedikit demi sedikit
karena kesalahpahaman dalam menyikapi fleksibilitas perubahan zaman. Etika dan
budaya melahirkan kebiasaan. Seberapa besarkah etika yang luhur, ciri khas
Indonesia bersemayam dalam nurani kita? Dalamnya lautan dapat dijangkau,
dalamnya hati siapa yang tau?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?