Minggu, 06 Januari 2013

You Wear Your HABITS

      Today is our first weekend in 2013. What do you feel so far? Hem. Good, but not great. What happen? Mentally absurd and heart-broken because of neighbor next door who held marriage-party using public facility, street in front of his/her house. I have to walk thru long-idle-street which used by them for their business.  That’s a problem. Errr. Big Problem for me and others of course.
    Etika. Satu kata, berjuta makna. Apa yang terlintas dipikiran ketika menemukan kata : ETIKA? Kesopanan, sikap saling menghargai dan menghormati, tata karma. Yes. Semua sinomin tersebut menggambarkan makna dibalik kata ETIKA. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia : Eti.ka [n] ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dapat kita simpulkan bahwa etika ini berhubungan dengan moral dan akhlak kita sebagai manusia dan manusia adalah makhluk sosial yang hidup bersama orang lain di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang. Moral ini menentukan kepribadian kita sendiri, mau dibawa kemana diri kita dan bagaimana penilaian orang lain terhadap kita. Intinya, apabila kita berlaku baik, orang lain pun akan membalas dengan kebaikan pula. Hukum sebab-akibat.
       Lantas, apabila kita telah berlaku sopan, menghargai orang lain, dan baik kepada semua orang tapi ternyata kita malahan yang dizhalimi oleh orang lain? Pantaskah kita membalasnya? Sebagai orang yang konsisten dalam menjalankan etika di kehidupan, maka pastilah jawabannya adalah tidak. Namun, bukan berarti kita diam saja, pasrah. Kita patut untuk memberitahunya dengan bahasa halus dan sopan, tanpa menyakiti hati namun pesannya tersalurkan dengan baik. This is the art of communication. Demikian dengan kejadian yang baru saja saya alami. Saya memang tinggal di suatu kawasan pemukiman padat penduduk dengan jalan masuk ke dalam yang hanya muat untuk satu mobil maksimal selebar mitsubisi pajero sport. Penghuni rumah pun beragam. Untuk rumah yang ada di lokasi agak dalam, kebanyakan adalah orang-orang lama yang sudah memiliki tanah dari zaman dahulu, 1970-an sedangkan orang-orang yang menghuni rumah bagian depan termasuk ke dalam kelompok pendatang baru dan merupakan rumah tumbuh. Sistem kekerabatan acapkali menjadi sistem yang digunakan oleh warga dalam hal organisasi RT-RW. Jadi, apabila ada orang yang ingin mengadakan suatu pesta di rumahnya dan menggunakan fasilitas jalan umum, perizinan RT-RW-lah yang harus dilakukan terlebih dahulu. Namun, itu dulu, ketika mobil dan motor belum sepopuler sekarang dan jumlah rumah belum sepadat sekarang.
        Seiring bergulirnya waktu, zaman pun ikut berubah. Kawasan pemukiman berangsur padat, pendatang memadati blok-blok tanah, hingga kepemilikan kendaraan tiap rumah. Hal ini memiliki dampak sosial bagi masyarakat dan sistem organisasi masyarakat paling rendah yaitu RT-RW. Jalan umum pun semakin ramai dan dibuat lebih lebar agar kendaraan dapat masuk dengan leluasa. Perubahan zaman ini ternyata tidak berpengaruh terhadap pola pikir penghuninya. Egoisme dan mementingkan kepentingan diri sendiri dibandingkan kepentingan publik adalah sifat bawaan tiap individu yang entah mengapa jadi tumbuh subur di kawasan ini. Contoh konkritnya adalah perayaan pesta pora pernikahan yang menggunakan fasilitas jalan umum sebagai tempat menaruh kursi tamu dan panggung dangdut. Sang empu seolah-olah memblokade akses masuk dan keluar orang-orang sekitar dan secara tidak langsung merusak rencana orang lain yang hendak lewat keluar. Dengan dalih sudah izin dari RT-RW, mereka dengan seenaknya, tanpa rasa dosa, bercanda tawa, menghiasi kemeriahan pesta. Hal ini sudah ± 7 kali terjadi sejak tahun 2000-an. Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah sudah tahu jalan utama adalah vital bagi warga, namun mengapa tetap diizinkan oleh RT-RW? Apakah the power of money politic berperan penting disini? Apakah ini adalah peraturan sekaligus hukuman tak tertulis bagi pengendara mobil bahwa ada larangan melintas ketika ada perayaan pesta? Prinsip yang lucu menurut saya karena sistem tidak dibuat fleksibel dengan perkembangan zaman.
     Dari kejadian pahit yang saya alami tadi, saya menarik kesimpulan bahwa hidup bermasyarakat di kawasan padat penduduk dengan latar belakang sosial yang beragam memang sulit. Ada saja ketidakadilan yang mengatasnamakan harta dan tahta sehingga orang lain mau tak mau tunduk khidmat dihadapan yang punya kuasa. Saya memang sedang tidak mengendarai kendaraan saat kejadian diatas berlangsung. Saya hanya pejalan kaki biasa. Namun, apabila saya berada di posisi sang tetangga yang sedang mengalami kejadian tersebut, menceloslah hati ini. Kalau saja, penyelenggara pesta itu berkomunikasi terlebih dahulu ke tiap penghuni rumah di kawasan ini bahwa dia memohon izin menggunakan fasilitas jalan umum karena keterbatasan biaya untuk pesta pernikahan, pasti hati ini lebih ikhlas menerima. Masalahnya, tak ada izin, komunikasi sepihak, menggunakan jalan publik pula. Kemanakah etika itu pergi, wahai penyelenggara pesta?
      Indonesia, negara yang dikenal dengan masyarakat yang ramah tamah, berbudi pekerti luhur, dan sopan-santun yang tinggi. Namun, semua sudah terkikis sedikit demi sedikit karena kesalahpahaman dalam menyikapi fleksibilitas perubahan zaman. Etika dan budaya melahirkan kebiasaan. Seberapa besarkah etika yang luhur, ciri khas Indonesia bersemayam dalam nurani kita? Dalamnya lautan dapat dijangkau, dalamnya hati siapa yang tau?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?