Banjir di Jakarta? Ah sudah biasa. Macet hingga
puluhan kilo meter? Ah sudah biasaa. Tidak dapat beraktivitas akibat banjir
sudah seleher orang dewasa? Ah sudah biasaaa.
Demikianlah kondisi miris
ibukota. Semua dianggap santai dan biasa. Memang, santai itu perlu, namun
apakah kita masih santai dalam menghadapi banjir yang sudah menjadi bencana
nasional? Banjir apabila dianalogikan sebagai
film, maka hingga tahun ini sudah mencapai sekuel ke sekian puluh. Banjir telah
menjadi bonus lima tahunan bagi masyarakat ibukota. Tak hanya warga ibukota
yang memang berdomisili di Jakarta, tapi juga warga kota lain yang memiliki
akses dekat dengan Jakarta seperti Bogor, Depok, Bandung, dan sekitarnya.
Seakan telah mati rasa, para warga pun sudah terbiasa dengan banjir yang
membudaya. Entah tak peduli lagi atau sudah tak punya ide lagi, tak ada pihak
yang berani unjuk diri, berkontribusi membenahi sistem yang semakin carut
marut. Banjir ini adalah pesanan bukan kiriman. Pesanan siapa? Ya, semua kaum
urban yang pernah menyambangi ibukota, untuk mengadu nasib, siapa tahu nasib
mujur berpihak kepadanya. Sayangnya, kebanyakan dari mereka tak merasa memiliki
ibukota, hanya numpang lewat selama puluhan tahun melahirkan banyak generasi,
menyumbang angka di sensus penduduk hingga menjadi pionir urbanisasi massal
yang terpengaruh dengan magnet lapangan pekerjaan bergaji lumayan. Dari membuat
rumah di bantaran sungai hingga membudayakan diri untuk membuang sampah apapun
dimanapun tak kenal tempat, got dan sungai pun sering jadi sasaran. Belum lagi
budaya yang punya duit dengan membangun properti dengan cara menggilas hutan
jadi bangunan, villa dan teman-temannya. Resapan air pun ditutup secara sempurna.
Ya pantaslah kita merasakan banjir, lha
wong kita yang jadi biang keroknya. Kita?
Lu aja kali.
Hari ini, 17 Januari 2013 adalah
hari bersejarah untuk saya dalam menghadapi banjir. Saya tergolong pendatang
baru yang merasakan kost di Jakarta selama setahun dan ketika banjir datang
menjenguk saya berada didalamnya. Alhasil dengan berjibaku saya mengepel kamar
dan mengemasi barang, pindah ke kamar lain yang lebih aman. Kost saya terletak
di daerah rawan banjir. Jalanan depan kompleks kost memang lebih rendah.
Kondisinya pun memprihatinkan. Sampai pukul 10 pagi, air sudah naik hingga
sepinggang pria dewasa. Banyak yang meliburkan diri, termasuk saya. Namun
berkat adanya pompa banjir, maka kost saya pun bebas dari genangan air. Tenang?
Belum tentu. Buktinya, kamar saya kebanjiran. Selidik punya selidik, ada
retakan di bagian temboknya sehingga air merembes masuk ke dalam kamar. Ada dua
kamar dengan kondisi seperti itu, kami pun dinobatkan jadi korban genangan air
pertama dalam sejarah hidup. Kami? Yup, saya dan teman sebelah kamar. Sebelum
kejadian ini saya tak kenal siapa-siapa. Individualiskah saya? Not at all! Namun, saya pernah punya
pengalaman buruk dikost ini hingga saya men-judge
bahwa penghuni kost ini mengidap individualistis akut. Ceritanya adalah ketika
itu, saya masih baru menjadi penghuni kost, saya memposisikan diri membaur
dengan yang lain. Suatu hari, saya iseng berkenalan dengan 2 kamar di sebelah
saya, namun bukan senyuman persabahatan yang saya dapat, malahan tatapan sinis
nan sadis dari kamar sebelah. Saya coba kamar lain, sama juga. Siapa yang tak
kapok mendapat perlakuan pahit semu kecut seperti itu? Saya pun
menggeneralisasi. Oh mungkin, penghuni
yang mayoritas mahasiswa kedokteran tak sudi berteman dengan seorang karyawan seperti
saya. But, condition has been
changing. Ada penghuni baru kamar sebelah yang jauh lebih baik. Dan kami
pun berkenalan gara-gara kamar kebanjiran.
Lucu memang. Kami cepat klop
karena ternyata kami sama-sama senang mengobrol dan bercerita ngalor ngidul.
Perkenalan pertama pastinya tentang asal muasal kami masing-masing dilanjutkan
ke topik hangat yaitu banjir. Mulai dari kondisi kamar masing-masing yang jadi
korban, komplain ke penjaga kost yang dijawab dengan sekenanya, terus kalo banjir mau apa? What?? Namun,
hati harus bertengger di atas kepala, jangan mengedepankan emosi karena akan
berakhir tanpa solusi. Sang penjaga hanya menyarankan untuk menelpon nyonya
pemilik kost. Sempat terselip curhat-colongan dari dia bahwa sang nyonya ini
tak mau peduli dengan kondisi infrastruktur kost. Mau retak kek, lampu mati
kek, atau rembes karena hujan, semua ditanggapi dengan santai seperti tidak ada
apa-apa, Oh ya sudah. Terus mau apa, Heh?
Ketika saya menelpon sang pemilik, Dewi
Fortuna sedang tak memihak, si nyonya sedang ke pasar. Oke, next time I’ll phone you, maam. Obrolan
berlanjut sampai waktu makan siang tiba, makan bersama sambil bercerita, tak
terasa badan remuk redam minta balas dendam. Tidur siang menjelang sore pun
jadi obat mujarab setelah kerja bakti dadakan pagi tadi.
Banjir untuk saya membawa
pelajaran berharga. Saya diingatkan untuk kembali bersyukur bahwa berawal dari
banjir, saya dapat teman baru yang menghapuskan generalisasi saya tentang
karakter penghuni kost ini. The art of
communication saya lumayan diuji saat ini. Dengan komunikasi, saya dapat
pindah ke kamar yang baru direnovasi. Mungkin harganya dua kali lipat kamar
saya. Ya jelas, lha wong double bed-big
cabinet-toilet inside. Ya, itung-itung test drive kalau diibaratkan sebagai
mobil sampai kamar asli saya sudah normal kembali. Terakhir, tentang petikan
hikmah banjir yang saya lihat di depan jalan kompleks kost dan resapi di
televisi. Ketika banjir, mobil semahal apapun tak dapat berkutik sedikit pun di
jalanan. Pemilik mobil mahal sekalipun akan memilih perahu karet atau gerobak
dorong untuk menyebrangi lautan kota, mencari tempat aman. Pemilik rumah mewah
pun akan memilih tinggal di tenda pengungsian korban banjir dibandingkan dengan
mengawasi rumah mewah dan harta benda dari banjir yang entah kapan surutnya. Sungguh
keterlaluan apabila saya mengeluh karena dalam kondisi banjir dimana banyak
yang terendam hingga 2 meter, listrik mati, dan air bersih sulit didapat, saya
masih dapat merasakan fasilitas listrik dan air bersih. Mall pun dekat dengan
kost namun memang akses ke mall-nya harus naik gerobak dorong atau berjalan
menembus arus banjir. Tapi itu tak berlangsung lama. Jalanan dekat mall kering
karena bangunannya lebih tinggi. Semua kemudahan masih tersedia. Apabila kita
masih tidak bersyukur, mungkin lirik Ebiet G. Ade ada benarnya juga. Mungkin Tuhan sudah bosan, melihat tingkah
kita, yang selalu salah dan bangga dengan
dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita
bertanya pada rumput yang bergoyang.