Sabtu, 12 Mei 2012

Rumah Cokelat

“Let’s dance in the rain too instead of just surviving the storm.. (Wigraha Andhito-Rumah Cokelat)

Apa yang terlintas di pikiran ketika mendengar pernyataan : Wanita muda karyawan kantoran di salah satu gedung pencakar langit ibukota yang menyandang predikat ibu muda dengan satu batita? Setiap hari meninggalkan rumah mulai pukul enam pagi hingga sembilan malam sambil berkutat dengan kemacetan dan jalanan yang kian hari kian menggila plus kerjaan super menumpuk hingga sering mencekik leher serta hobi yang belum terealisasi membuat keakraban semu tersebut lebih pantas dijadikan sebagai ‘anak’ dalam kehidupan sehari-harinya. Yep. Inilah realitas yang disuguhkan dengan bahasa yang biasa namun sarat akan makna yang luar biasa.  Unik dan dinamis merupakan tag-line yang saya sematkan dalam setiap karya novel Sitta Karina. Novel pertama Sitta Karina yang saya baca adalah Lukisan Hujan yang bergenre teenlit (teenager-literature) mengisahkan tentang percintaan ala anak muda SMA yang dibalut dengan bahasa ringan, alur dinamis, dan ending yang tidak terduga membuat kecanduan setiap pembaca yang menelaahnya. Tidak hanya ditujukan kepada kelompok Anak-Baru-Gede alias ABG untuk sasaran pembacanya, namun kalangan dewasa pun akan tergelitik dan tersentuh memori masa lalu dengan kejutan-kejutan kecil yang disuguhkan dalam tiap babnya. Namun, kali ini Sitta Karina menyuguhkan bumbu baru dalam menu cerita khasnya yang mengangkat tema keluarga muda metropolis – sebuah tema yang selalu menarik untuk dibahas- yang semula dikira sempurna, nyatanya penuh dengan problematika hidup yang memaksa mereka untuk mengambil jalan tengah yaitu menjalani satu pilihan. Rumah Cokelat.
Sempurna. Pada awalnya Hannah yang merupakan wanita muda masa kini yang fashionable dan seorang assistant brand manager Bliss & Hunter, sebuah advertising agency ternama di Jakarta, merasa sempurna karena telah berhasil memiliki keluarga kecil nan bahagia dengan suami tampan -yang dijuluki Eric Dane-nya Grey’s Anatomy versi Indonesia- Wigraha Andhito, seorang konsultan IT di Progressiv Consulting, sebuah kantor konsultan IT ternama di Jakarta yang merupakan head-to-head dengan Accenture, McKinsey, maupun Bain&Co dan sudah dikaruniai seorang putra pintar nan lucu yang berumur hampir 2 tahun bernama Razsya Andhito. Bahagia karena walaupun hidup mereka masih menumpang di rumah ibunya Hannah, namun mereka sudah memiliki mobil pribadi second-hand yang dijuluki sedan taksi (Hal. 81-82); memiliki baby sitter yang peduli, sayang anak, rajin, dan jujur bernama Upik plus ibu yang mau dititip-asuhkan Razsya oleh mereka saat bekerja ; sambil mereka pun berusaha menabung demi masa depan hidup.
Problematika. Segalanya hancur seketika ketika pada suatu subuh, Hannah dikejutkan oleh suara Razsya yang mengigau dalam tidurnya. “Razsya sayang mbak Upik” (Hal. 13). Dan problematika hidup pun datang bertubi-tubi silih berganti. Antara frustasi dan kecewa bercampur menjadi satu. Apakah kasih sayang dan perhatian yang ia curahkan untuk anak semata wayangnya kurang? Padahal boro-boro menyisihkan waktu ekstra untuk Razsya, waktunya untuk sekedar me-time menjalankan hobi melukisnya pun sangat kurang. Jelas-jelas tiap hari ia bekerja jungkir balik demi menabung untuk mempersiapkan hari esok yang lebih baik. Namun mengapa sungguh sulit dalam perjalanannya? Demikianlah pertanyaan borongan yang menggelayuti pikirannya. Namun, sisi idealis dan pantang menyerah yang dipadu dengan naluri keibuannyalah yang memihak pada Razsya dan melupakan sejenak egonya. Simaklah pernyataan Hannah dalam Keputusan Di Sisa Hari : “Aku nggak ingin Razsya mengenal kita hanya sebagai orang yang ngasih makan dan ngebeliin mainan saja, Wigra. Aku ingin Razsya tahu bahwa kita juga ada disitu karena sayang sama dia, karena ingin bermain bersama dia” (Hal. 41) serta Cat Air Di Hidung (Hal. 55) : “We earn a living simply to live. Tapi seperti apa sih dibilang ‘hidup’ itu? cukup makan sehari 3 kali? cukup ngopi-ngopi seminggu 3 kali? apakah harus bekerja kita –demi bisa hidup ini- sampai harus mengorbankan waktu main sama anak kita?”
Demikianlah sepenggal pernyataan yang mengantarkan pembaca pada bab-bab awal perjalanan hidup keluarga muda ini. Solusi dan masalah mewarnai tiap lembar novel ini. Alur cerita yang dinamis serta penggambaran karakter yang kuat dengan keterikatan perasaan antara satu tokoh dengan tokoh lain seakan mempermainkan emosi pembaca. Pada bab selanjutnya pembaca, khususnya para wanita, dimanjakan sekaligus dibuat mupeng dan melting oleh sikap bijaknya Wigra atas masalah-masalah kian pelik yang menguji kesabaran dan kegigihan Hannah dan Wigra. Seperti ketika Ria Sugono yang memiliki hobi membanding-bandingkan keluarganya dengan kehidupan Hannah dan Wigra, Smitha –sahabat clubbing-nya Hannah- yang seringkali secara tidak langsung memaksa Hannah untuk kembali ke dunia gemerlap, kehadiran mantan pacar, rekan kerja Wigra, Banyu –sahabat Smitha- yang selalu bermain api dengan berusaha mempengaruhi Hannah dan Wigra untuk berselingkuh, Upik yang memilih keluar karena ibunya sakit keras, serta teman-teman Hannah –ibu-ibu urban- yang serta merta membuat Hannah lebih memilih kongkow daripada menjaga Razsya.
Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya dan apabila kita menanam kebaikan maka kita akan menuai kebaikan pula. Motto itulah yang menjadi salah satu penyadar Hannah akan arti hidup. Seandainya Hidup Itu Indah. Ria Sugono ditinggal mati oleh suaminya meninggalkan banyak hutang dan anak kembar yang masih kecil. “Makanya aku sangat-sangat mensyukuri apa yang kupunya sekarang bersama kamu dan Razsya. Kalau ada kesulitan sedikit coba dijalani dengan ikhlas aja. Kalau ada kebahagiaan walau kecil, sebisa mungkin dinikmatI. Intinya menjalani hidup dengan sabar, tapi tidak terbebani.” “Kalau hidup sesingkat itu, sepertinya semakin bertambah alasan kita untuk menjalani hidup dengan bak dan benar. Kita nggak bisa kembali ke masa lalu; nggak bisa menghapus kesalahan yang pernah kita perbuat, juga nggak bisa mengulang kebahagiaan kecil yang dulu malah kita remehkan” (Hal. 124). Kalimat manis nan indah yang keluar dari mulut seorang Wigra dan Hannah yang menjadi awal dari titik balik kehidupan Hannah menjadi seorang ibu. 
Pilihan. Namun, pada akhirnya, Hannah pun harus dihadapkan pada 2 pilihan hidup yang berat dan dilematis. Masa depan karir yang menanjak dan menjanjikan atau keluarga kecil dengan masa depan besar? Dan..Hannah sempat merenungkan ini semalaman dan sampai pada konklusi bahwa satu-satunya yang dapat mendidik dan mengarahkan seorang anak ya orangtuanya-ya ibunya. Tidak mungkin ia bergantung pada Upik terus menerus atau bahkan pada Eyang Yanni hanya karena ia ibu kandungnya yang hampir dipastikan selalu ada untuk membantunya. Selamat Tinggal Kubikel. Pilihannya jatuh kepada menjadi seorang ibu yang baik bagi Razsya dan seorang freelance illustrator, as her passion. Misi pertamanya adalah mencuri perhatian Razsya dan berhasil. Namun, menjadi ibu ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Ada saja godaan untuk kembali hang-out bersama teman lama hingga bertengkar dengan Wigra karena disinyalir adanya kehadiran Wanita Idaman Lain di hati Wigra. Namun, berkat ketulusan cinta, kelembutan kasih sayang, dan konsistensi Wigra yang memegang teguh nilai-nilai hidup sebagai seorang suami dan pemimpin keluarga –yang ditularkan juga ke Hannah-godaan tersebut dapat dihalau oleh mereka berdua. Tengoklah pesan-pesan sederhana yang disampaikan dalam pernyataan lugas Hannah dalam Kasta-Kasta di Lilac : “Ada pengalaman berharga yang tidak bisa dirasakan pada kejadian apapun kecuali dengan berkeluarga dan punya anak” (Hal. 163) serta pernyataan karismatik-realistis dari Wigra dalam Jus Apel Untuk Banyu : “Sekarang ini kebanyakan pasangan orientasinya menghindar dari masalah, sih. Bukannya menyelesaikan masalah” (Hal. 198). “So, let’s dance in the rain too, Han, instead of just surviving the storm” (Hal. 198). Ketika bertemu dengan masalah, hadapilah dengan berani. Nikmatilah setiap prosesnya. Jangan terlalu ditakutkan karena solusi terbaik akan datang ketika pikiran kita tenang.
Rumah Cokelat, Rumah Yang Hangat. Selagi Hannah menjalani hari-harinya yang penuh dengan passion, Wigra pun membawa kabar gembira yang menyatakan bahwa dirinya akan ditugaskan ke Washington DC oleh kantornya. Dan satu hal yang membuat mereka akhirnya happily ever after adalah they will live together as an independent family in foreign country. What a news!! Ternyata semua ujian hidup yang memaksa Hannah untuk meninggalkan karirnya di perusahaan multinasional dan bertransformasi sepenuhnya menjadi seorang ibu yang baik untuk Razsya serta Wigra yang jungkir balik bekerja dan selalu positive thinking dalam menghadapi semua masalah terbayarkan sudah. Ibarat pohon, keluarga kecil itu telah kokoh berdiri walau diterjang angin sekuat apapun. Mereka telah menemukan jati dirinya sebagai satu keluarga yang utuh. Wigra-Hannah-Razya dari klan Andhito.
Sejenak saya membayangkan diri saya masuk ke dalam alur cerita. Beberapa tahun mendatang, mungkin saya akan menjadi seperti Hannah. Karir cemerlang nan menjanjikan; sahabat dan teman kumpul; gaya hidup modern dengan mall, midnite sale, kedai kopi, dan resto; hingga liburan ke luar negeri. Apabila menikah dan memiliki anak. Apakah semua kebutuhan pemenuhan ego masih dapat terpenuhi? belum lagi urusan kerjaan dengan deadline yang menguras energi otak. Urusan asmara pun terbengkalai. Walaupun jodoh di tangan Tuhan, namun apabila kita keasyikan berkutat dengan pekerjaan hingga tersadar bahwa apabila sudah tua dan keluarga sudah tidak ada, siapa yang mau ngurus saya? Semua pertanyaan tersebut seakan sudah terhapus perlahan-lahan dalam memori saya tatkala menelaah pesan demi pesan dalam Rumah Cokelat. Seakan tersihir oleh tata bahasa yang membumi, cerita yang mengalir apa adanya, dan karakter tokoh idaman membuat saya membayangkan apa jadinya apabila saya memiliki suami seperti sosok Wigra. Buru-buru saya menyusun rencana dan target hidup yang dituangkan ke dalam proposal hidup dengan format saduran dari buku sakti Jamil Azzaini yaitu Tuhan, Inilah Proposal Hidupku. 
Akhir kata, saya sangat merekomendasikan novel Rumah Cokelat ini kepada semua wanita muda Indonesia baik yang belum menikah dan sedang menapaki karirnya di dunia kerja maupun yang sudah menikah dan baru mendapatkan pengalaman baru menjadi seorang ibu. Banyak ilmu baru yang saya dapatkan dari Rumah Cokelat ini khususnya mengenai pilihan hidup bagi wanita karier di kota besar. Untuk wanita yang membacanya, jangan lupa siapkan tissue sebagai persiapan bila hati merajai logika sehingga perasaan menjadi tersentuh dan mengharu biru. Untuk para pria yang ikut membaca karena dipinjami oleh teman wanitanya, mungkin bisa menjadi referensi the future husband versi metropolitan dengan attitude dan karakter yang didambakan oleh tulang rusukmu. Rumah Cokelat, memang rumah yang hangat. 

*image source : www.goodreads.com/rumah-cokelat

2 komentar:

Adriana Dian mengatakan...

Good review and nice blog :)

http://adrianadian.blogspot.com

Devina mengatakan...

tengkyu, adriana! I've read your blog. That's really supercool. If you don't mind, please follow my blog ya adriana.
Nice to meet you :)

Posting Komentar

what do you think, guys?