Selasa, 30 Agustus 2016

Tubuh Perempuan Sebagai Bendera

**Artikel ini saya tulis ulang dari Harian Kompas Minggu, 28 Agustus 2016, dalam kolom UDAR RASA

***



                Orang Perancis “lucu’ meski situasinya sama sekali tidak lucu. Yang lucu/tidak lucu itu adalah pengumuman larangan baju renang burkini, yaitu baju senam “islamiah”, setengah burkah, setengah bikini, oleh sejumlah wali kota daerah Riviera, di Perancis Selatan.
                Alasannya menarik : karena tidak sesuai dengan asas sekularisme ala Perancis (laicite), yaitu kenetralan mutlak terhadap agama yang dianut oleh negara Perancis. Jadi, kenetralan agama, serta perilaku sosial “yang wajar” menuntut bahwa perempuan memperlihatkan pahanya!! Seru, kan? Saya pribadi bisa memahami mengapa calon Arjuna setempat merasa frustasi, tidak merasa frustasi, tidak boleh menikmati pemandangan paha perempuan gara-gara, konon, ditabukan memajang paha tersebut oleh tafsir agama yang lagi ngetren. Saya juga bisa memaklumi balikannya, yaitu hasrat para lelaki yang konon “soleh” untuk mempunyai monopoli absolut atas paha perempuannya, baik secara visual maupun keinginan selanjutnya. Ya, saya bisa memahami itu semua, karena mau tidak mau “seksisme” terus menghinggapi diri saya sebagai lelaki. Ehehe.. wow. Namun, alasan bahwa seorang prempuan bisa disuruh membuka burkininya untuk diganti bikini agar sesuai dengan asas kenetralan negara di dalam bidang agama, membuat saya bengong beneran.
                Namun, teman-teman, bukan hanya di Perancis yang “lupa daratan” dalam hal ini. Indonesia tidak kurang menarik. Sekitar dua minggu lalu seorang perempuan Indonesia, yang konon “sopan” karena berjilbab, telah membuat onar karena memasarkan bihun bermerek Bikini dengan tagline “remas aku”. Begitu hal ini diketahui, ramainya bukan kepalang! Dituduh “meresahkan masyarakat”, “berbau pornografi”. “tak beretika”, “tak sesuai dengan nilai-nilai bangsa”, dan lain-lainnya. Ujung-ujungnya, seperti di dalam hal burkini di Perancis di atas, polisi ikut unjuk muka, konon untuk menegakkan kembali norma-norma yang berlaku umum di masyarakat. Seolah-olah bikini memang tidak pantas sebagai baju renang, dan sepertinya istilah “remas aku” –betapa pun vulgarnya- merupakan pelanggaran yang sesungguhnya. Peristiiwa “mi remas” ini pun membuat saya bengong.
                Bila ditilik lebih lanjut, makna dari kedua peristiwa di atas lebih dari sekadar “pelanggaran terhadap nilai-nilai bangsa” : Sejarah menafikan absolutisme dari kedua ragam norma itu. Di Eropa, sebelum Perang Dunia Kedua (1939-1945) semua perempuan memakai baju renang berlengan panjang yang mirip burkini –yang kini ditolak sejumlah walikota Perancis. Adapun di Indonesia, yang perempuannya konon “sopan”, bikini sejak dulu tidak dikenal, dan tidak perlu dikenal, oleh karena pada umumnya kaum perempuannya mandi di sungai setengah telanjang. Di dalam sejarah, apa pun pendapat para juru “moral”, konsep kesopanan memang senantiasa berubah-ubah.
                Yang kini terjadi ialah bahwa tubuh perempuannya telah menjadi ajang, bahkan dikerek bak bendera, dari pertarungan antar budaya. Terutama antara dunia Islam dan dunia Barat. Fenomena ini adalah efek langsung dari globalisasi, yang meluluh-lantakkan semua tatanan lama. Di Eropa, gelombang imigrasi besar-besaran pekerja Magribi, Turki, dan Pakistan berlangsung sepanjang tahun 60-an dan 70-an, sehingga mengubah secara signifikan komposisi etnis masyarakat. Tahu-tahu, bukanlah partai-partai sosialis yang dijadikan sarana perlawanan anti sistem kapitalisnya, melainkan agama. Atas nama demokrasi, dan didukung uang minyak kaum Wahabi, muncullah aneka perjuangan untuk memberikan status sah pada versi hiper-konservatif dari  Islam, dengan pemisahan sosiologis yang terkait. Apa bendera utamanya? Perempuan Islam dengan seragam konsevatif khasnya. Fenomena itu menimbulkan reaksi “anti Islam” atau ultra kanan dari masyarakat setempat, yang merasa kesetaraan jendernya terancam.
                Sebaliknya di Indonesia, dipersepsikan sebagai faktor penyerang adalah “Barat”, yang pengaruhnya merasuki semua pori dari sistem ekonomi dan media. Pengaruh itu tidak terelakkan, tetapi juga dilawan –juga didukung oleh uang kaum Wahabi. Akibatnya (antara lain)? “Perpecahan” bukan antara kelompok religius-etnis seperti di Eropa, tetapi di dalam diri perempuan Islam itu sendiri, melalui penampilannya: Dia diharapkan “soleh”, maka semakin sering berjilbab, tetapi diharapkan juga trendy dan memperlihatkan “kuasa” atas tubuhnya sendiri, maka tak segan bercelana ketat. Skizofrenia benar : tubuhnya dijadikan medan pertarungan antara “arabisasi” di kepala dan “westernisasi” di panggul. Menarik bukan?
                Ini semua bagi saya absurd, karena saya sebagai lelaki, tidak pernah merasa bulu dada saya dicap menjadi bendera budaya apa pun. Gombal!

(Penulis : Jean Couteau)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?