Gelegar suara di pagi hari, yang mirip
rentetan senapan pasukan Jepang kala membantai prajurit militer Indonesia pada
peristiwa Palagan, membangunkanku dari kebebasan bermimpi sesuka hati. Bukan
untuk menceracaui perkara bangun pagi yang membuat tubuh bugar atau kewajiban
menunaikan ibadah pagi, namun persoalan hidup. Kira-kira begini bunyinya :
“Selamat ulang tahun, Ka! Semoga cepat dapat jodoh yang seiman, setia, baik,
tanggung jawab, bla bla bla bla. Pokoknya yang penting cepet nikah aja. Udah
dua puluh lima tahun, loh. Jangan ketuaan nikahnya, nanti kasihan anaknya, udah
pensiun tapi belum lulus anaknya. Bla bla bla bla” Sudah? Belum ternyata. Masih
ada wejangan berlebihan lainnya. “Kamu tuh cepet kenalin pacarmu ke Ibu dan
Bapak, biar nanti bisa ditimbang-timbang bibit, bebet dan bobot (sekalian saja
babat dan bubut, biar lengkap, Bu!)” Menghela nafas dan mendinginkan kepala
sambil meringis menahan asam lambung yang ikut memuai. Itu reaksiku. Memadamkan
api memang harus dengan air, tapi daripada mencari air yang nun jauh di kamar
mandi, alangkah lebih praktisnya kalau diberi gas saja. Duuuuut. Ritual pribadi
pagi dimulai, diselingi nasihat yang lebih terdengar sebagai makian.
Sadar
atau tidak, dari kecil kita sudah dibiasakan untuk menjadi tertekan dalam
kenyataan. Sebagai contoh, penekanan terhadap kata “nilai” atau “pahala”
menjadi poin utama dalam memerintah kaum yang lebih rendah, baik dari segi usia
maupun status, untuk menurutinya. Misalnya saja, seorang anak diperintahkan
oleh sang guru untuk belajar rajin di rumah agar besok bisa mendapat nilai
tinggi dan lulus ujian dengan baik, lalu masuk ke sekolah dengan ranking
tinggi, lalu bisa melanjutkan kuliah ke universitas ternama dan kalau perlu
hingga luar negeri, lalu bisa diterima di perusahaan bonafid agar mendapatkan
jabatan dan gaji tinggi, lalu bisa berkarir hingga top management, dan masih banyak lalu lainnya. Di satu sisi, terdapat
santri yang diperintah oleh ustadz untuk menunaikan shalat tepat waktu dan
mengaji banyak-banyak dengan alasan agar mendapat pahala berlimpah ruah serta
jaminan masuk surga. Bila dielaborasi, terdapat irisan antara keduanya, yaitu
kuantifikasi dari nilai serta pahala yang diutamakan di atas tujuan aktivitas
itu sendiri. Bila demikian, maka kesimpulannya, kita harus rajin belajar agar
mendapatkan jabatan dan gaji tinggi ; kita wajib melakukan shalat tepat waktu
dan rajin mengaji agar masuk surga. Joki, praktik sogok, hingga iuran wajib
majelis pun terpaksa dilakukan untuk menunaikan warisan ajaran tersebut. Nah,
akhirnya permukaan saja yang dipikirkan, kedalamannya malah dilupakan. Terang
saja banyak orang yang mendewakan angka daripada makna, lha wong dari kecil sudah dibiasakan meneropong dari sudut materi
dibandingkan esensi.
Saya
ingat perbincangan saya dengan seorang teman mengenai fase kehidupan. Kala kita
sudah lulus dari universitas dan mulai meniti karir, di saat itulah kita
dihadapkan pada kenyataan bahwa fase kehidupan harus dilakukan sesuai pakemnya,
masa bermain – masa belajar hingga lulus
– masa bekerja – masa menikah – masa tua – masa kematian. Semua fase tersebut
berhubungan dengan usia manusia. Seolah-olah, kita sebagai manusia harus dengan patuh
menaati semua fase tersebut tanpa jeda. Bila berbeda, maka kau akan
diintimidasi dan dipaksa untuk kembali ke jalan yang –menurut kebanyakan- lurus.
Tanpa disadari, alam bawah sadar kita telah ditekan untuk meyakini dan menjalani
fase tersebut dengan sebenar-benarnya, tanpa tahu esensi yang terkandung di
tiap prosesnya. Buat saya itu mengerikan. Maka, saya pribadi tidak sepenuhnya
sepakat dengan fase tersebut, sampai saya menemukan esensi dibaliknya.
Setali
tiga uang dengan kritik tentang perkawinan yang ditulis dengan apik oleh Mbak
Ayu Utami. Dalam salah satu bab pada novel Si Parasit Lajang, terdapat paragraf
: Namun, di negeri ini dan di gerbong ini perkawinan masih merupakan angka nol,
sebuah titik netral. Tidak kawin adalah minus. Tak ada satu pun di sini yang
akan bertanya kepada seorang usia tigapuluh yang kawin, “Lho! Kenapa sudah menikah?”
Sebaliknya, mereka selalu bertanya pada saya kenapa saya masih lajang. Dan jika
saya jawab saya ini memang tidak kawin, mereka menyahut dengan nada kasihan, “Jangan
begitu, ah. Bukan tidak tetapi belum.” Ini pula yang saya (mungkin kalian) alami
saat bercengkrama dengan orang lain baik sebaya atau yang lebih tua. Alih-alih
berbincang tentang sesuatu yang netral seperti kuliner, liburan, atau hiburan,
malah urusan privasi yang digali hingga ke akarnya. Niatnya sih (menurut
mereka) baik. Hanya ingin mengingatkan dan kalau perlu menolong hingga dapat
jodoh (yang mereka harapkan), lalu menikah dan hidup bahagia (versi mereka,
yang dipenuhi muatan materialistis dibanding substansi). Padahal, apa untungnya
bagi mereka kalau saya menikah atau belum atau tidak? Paling hanya makan-makan
di pesta resepsi, foto selfie, dan
souvenir yang didapatkan. Ah, saya jadi ingat perkataan seorang anak kepada ibunya
di sebuah pesta pernikahan, “Bu, pengantinnya udah tua ya? Koq gak kaya yang
kemarin, lebih cantik. Kata Ibu, pengantinnya masih muda.” Lagi-lagi perkara
alam bawah sadar yang sudah ditekan dari sejak dini untuk mengutamakan angka
daripada makna, materi dibandingkan esensi.
Saat
berbicara perihal pernikahan, pasti tidak terlepas dari stigma “berkeluarga”. Jadi,
kalau kita menikah, berarti kita akan beranak, berkeluarga, dan bertambah
banyak. Dalam Si Parasit Lajang, dikatakan begini : “Jadi, apa sebenarnya “berkeluarga”
itu? Kenapa orang-orang begitu kepingin melakukannya , padahal setelahnya
mereka berubah jadi budak “tanggung jawab”? Kecuali para milyarder, orang-orang
akan terjebak pada rutinitas kota yang mengerikan. Bangun di pagi buta. Sarapan
seadanya atau tidak samasekali. Berangkat. Terjerumus dalam kemacetan. Atau
berjejal-jejal dalam kendaraan umum. Menghisap karbonmonoksida dan segala
polusi. Bekerja di kantor atau di manapun. Menjilat bos. Bersabar pada anak
buah yang tolol. Makan siang. Memprospek orang sehingga lupa persahabatan.
Berdesakan lagi dalam perjalanan pulang. Tiba di rumah lewat jam sembilan.
Dapat secuil waktu melihat anak. Terlalu penat untuk bercinta dengan suami atau
istri sendiri. (Lalu sebagian mulai bercinta dengan suami atau istri orang).
Tidur dengan televisi berbunyi. Bangun subuh lagi. Begitu setiap hari kerja.
Pada hari libur, tetap terjerumus dalam kemacetan. Kali ini mereka tidak menuju
kantor melainkan menuju mal. Berduyun-duyun manusia tak punya hiburan selain
membawa anak-anak pergi ke mal. Setelah beberapa tahun, sebagian bercerai.
Betapa mengerikan hidup seperti itu. Tapi semua itu menjadi berharga sebab
orang melakukannya demi tanggung jawab kepada anak-anak. Tapi, kenapa juga
harus membikin anak-anak jika anak-anak itu juga akan terjerumus ke dalam
rutinitas yang semakin mengerikan semakin banyak manusia dan anak-anak? Dan kenapa
kawin kalau berpikir toh bisa bercerai? Mungkin saya terlalu pesimistis. Saya
melihat lingkatan setan. Karena itu, saya mau menepi dari arus lingkaran ini
untuk memiliki waktu bagi diri sendiri merenungkan apa sebetulnya yang terjadi.
Sekarang, di tepi yang tenang saya bisa menonton arus rutinitas manusia sambil
berpikir-pikir. Sebetulnya janji apa yang ditawarkan oleh perkawinan ya? Janji
surga?”
Esensi
yang kerap ditinggalkan menjadi alasan mendasar yang harus dibereskan. Seringkali,
kita terjebak pada kebiasaan orang-orang terdahulu tanpa melihat relevansi pada
zaman sekarang. Alih-alih menjadikan usia sebagai alasan untuk mencari jodoh
dan memutuskan menikah tanpa perencanaan yang matang, lebih bijak apabila kita
memaknai tujuan dari pernikahan itu sendiri, tanpa repot-repot mengurusi privasi
orang lain. Menikah itu, kan pilihan dan hak tiap orang. Seperti (lagi-lagi)
saya kutip paragraf dari Si Parasit Lajang (saya memang fansnya Mbak Ayu :D) : “Jadi,
kita memang tidak bisa melarang orang untuk menikah. Tapi kita juga harus tahu
bahwa ada ada orang-orang yang tidak cocok untuk menikah. Nah. Karena kita
tidak boleh melarang, maka untuk membatasi pernikahan dari orang yang tidak
kapabel, sebaiknya kita juga tidak mewajibkan semua orang menikah. Dengan
demikian, biarlah orang belajar menyadari sendiri apakah dia sanggup atau tidak
mengemban tugas mulia itu. Sementara itu, untuk menjalankan perkawinan
dibutuhkan komitmen seumur hidup dan kapasitas-kapasitas lain yang, jika ditotal,
lebih berat daripada memecahkan masalah logika. Tapi pendek cerita, untuk
menjaga sakralitas perkawinan, sebaiknya perkawinan memang tidak dipaksakan
kepada semua orang.” Saya kira, bila tiap orang bisa memahami bahwa keputusan perkawinan adalah perkara kesetiaan pada manusia, bukan hanya pada lawan jenis, maka keseimbangan antara jiwa dan raga pribadi dan orang lain serta hal-hal eksternal lainnya dapat terjalin dengan harmonis, tanpa ekses atau reduksi.
Pada akhirnya yang kita butuhkan adalah kesadaran. Bukan paksaan. (A, 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?