Sebuah peristiwa pasti akan mengristal menjadi sejarah, apapun itu.
Jejak sejarah warga Cina di Jakarta
kami lanjutkan ke kawasan niaga Pasar Pagi Asemka. Tempat ini dahulunya adalah
kawasan pecinan seperti halnya Glodok. Banyak rumah langgam Cina dengan ciri
toko di lantai bawah dan rumah tinggal di lantai atas. Biasanya, terdapat
cermin yang digantung di depan bagian depan bangunan. Fungsinya adalah sebagai
penolak bala dan pengusir roh jahat. Atap rumah bergaya Cina pun memiliki dua
tipe sesuai strata sosialnya, yaitu tipe tapal kuda di ujung kiri dan kanan
atap dan tipe ekor burung phoenix yang lancip di kedua ujung atapnya. Kami
menemukan satu rumah bergaya atap tapal kuda dan satu rumah yang lebih mirip
kuil bergaya atap ekor burung phoenix. Usut punya usut, tipe bangunan kedua itu
adalah milik keluarga Souw yang beralamat di Jl. Patekoan (kini Jl.
Perniagaan). Konon, nama Patekoan berarti 8 buah teko/poci (pat te-koan) atau
versi lain mengatakan delapan orang pendekar. Di daerah ini pernah tinggal
seorang Kapiten Cina Gan Djie (1663-1675). Istrinya yang berjiwa sosial karena
setiap hari menyediakan 8 buah teko berisi air teh untuk diminum untuk khalayak
ramai yang keletihan dan kehausan di perjalanan. Angka 8 sengaja dipilih sebab
angka ini memiliki konotasi baik/hoki. Jl. Patekoan ini kemudian berubah
menjadi Jl. Perniagaan karena dianggap oleh rezim Orde Baru sebagai kawasan
bisnis/niaga.
Tipikal Rumah Cina (dua-tiga lantai dengan cermin di bagian depan) |
Bangunan keluarga Souw masih
dipertahankan keasliannya. Konon, keluarga Souw merupakan keluarga kaya raya.
Salah satu yang terkenal adalah kakak beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw
Keng. Mereka tak hanya kaya, namun berjiwa sosial. Tjong mendirikan sekolah
bagi anak-anak bumiputera di tanah miliknya, membantu orang miskin,
menyumbangkan makanan dan bahan bangunan ketika terjadi kebakaran di daerah
sekitarnya. Karena jasanya, pemerintah Belanda memberikan gelar Luitenant Titulair (kehormatan) pada Mei
1877. Namanya juga tercantum sebagai donor pada pemugaran Kelenteng Boen Tek
Bio Tangerang pada tahun 1875 dan Kelenteng Kim Tek le Batavia pada tahun 1890.
Adiknya, Keng, diangkat menjadi Luitenant
der Chineezen di Tangerang pada tahun 1884.
Bangunan Keluarga Souw di Jl. Patekoan (kini Jl. Perniagaan) |
Menyusuri Jl. Perniagaan, terdapat
sebuah gedung sekolah bertitelkan SMAN 19 Jakarta. Dahulu, gedung ini bernama
Gedung Tiong Hoa Hwee Koan yang menjadi saksi berdirinya organisasi Tionghoa
‘modern’ di Batavia yaitu Tiong Hoa Hwee Koan/THHK (Perhimpunan Tionghoa) pada
17 Maret 1900. Pada tahun berikutnya, THHK mendirikan sekolah modern pertama
yang disebut Tiong Hoa Hak Tong/THHT, disusul dengan pembukaan cabang lain di
seluruh Hindia Belanda. Berdirinya sekolah-sekolah ini merupakan reaksi masyarakat
Tionghoa di Batavia terhadap pemerintah Belanda yang selama itu tidak pernah
memberikan pendidikan kepada anak-anak Tionghoa. Akibat perkembangan THHK yang
sangat pesat, pemerintah Belanda yang khawatir anak-anak Tionghoa akan tersedot
semua ke THHK, mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS) yaitu sekolah
berbahasa Belanda bagi anak-anak Tionghoa. Pada tahun 1965, THHK ditutup oleh
rezim Orde Baru dan diambil alih pemerintah menjadi SMAN 19 Jakarta.
Tiong Hoa Hak Tong (kini SMAN 19 Jakarta) |
Beranjak menuju ke sebuah jalan
kecil, terpampanglah spanduk bertuliskan Vihara Dharma Bakti di Jl. Kemenangan
III (dahulu Jl. Toasebio). Pada jalan ini, terdapat Kelenteng Toa Se Bio yang
berarti kelenteng duta besar. Konon, kelenteng ini dibangun oleh orang Hokkian
dari Kabupaten Tiotha, Provinsi Hokkian yang dipersembahkan kepada Cheng-Goa
Cin-Kun yang merupakan dewata khas daerah tersebut. Hingar bingar Imlek terasa
sangat kental di sini. Paduan warna merah dengan aksen naga pun menyambut kami
yang penasaran. Wangi hio bercampur api dari lilin melahirkan fatamorgana di
udara. Aku pun masuk dan mendapati sebuah hio-louw untuk menancapkan hio atau
dupa lidi berangka 1751 pada ruang altar utama. Hio-louw ini merupakan objek
berangka tahun tertua kedua setelah meja sembahyang berangka tahun 1724 di Kelenteng
Kim Tek Le.
Tampak Depan Kelenteng Toa Se Bio |
Tak jauh dari Kelenteng Tao Se Bio,
terdapat Gereja Santa Maria de Fatima yang merupakan gereja katolik. Konon,
gedung ini pernah menjadi kediaman Letnan Tionghoa yang bernama Tjioe. Setelah
Tiongkok jatuh ke Partai Komunis tahun 1949, serombongan rohaniawan katolik
ordo Jesuit terpaksa meninggalkan Tiongkok. Sebagian pindah ke Jakarta. Gedung
ini kebetulan dijual oleh pemiliknya dan dibeli oleh mereka yang selanjutnya
dijadikan gereja. Salah satu keistimewaan gedung ini adalah adanya inskripsi
dalam aksara Tionghoa. Di bagian bubungan atap tertera daerah asal pemiliknya
tang terdahulu yaitu Kabupaten Lam-oa, Karesidenan Coan-ciu. Inskripsi lain di
bagian atap adalah bok siu khong leng yang artinya rezeki, umur panjang,
kesehatan, dan ketentraman yang merpakan dambaan setiap orang. Pada altar
gereja, terdapat asimiliasi budaya Cina yang tergambar dari warna, tulisan, dan
bentuk furnitur. Menurut Pastur, karena sebagian besar umat yang beribadah
adalah warga keturunan Cina sehingga ibadah dwi-bahasa Mandarin dan
Indonesia-lah yang digunakan. Gereja ini tampak terawat dengan baik tanpa
menghilangkan keasliannya. Dari sini, bisa terlihat bahwa kepedulian dalam
melestarikan sejarah sebanding dengan usaha yang dilakukan agar tetap
mempertahankan kekunoan dari kekinian.
Tampak Depan Gereja Santa Maria de Fatima |
Perjalanan dilanjutkan menuju Kelenteng Kim
Tek Le yang merupakan kelenteng tertua di Jakarta. Didirikan pada tahun 1650
oleh Letnan Tionghoa Kwee Hoean dan diberi nama Koan-Im Teng atau Paviliun
Koan-Im (Dewi Welas Asih). Konon dari istilah Koan-Im Teng inilah kemudian
timbul istilah kelenteng yang berarti “kuil Tionghoa”. Pada tahun 1740,
kelenteng ini turut dirusak dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa oleh
orang Belanda. Hanya sebuah meja sembahyang berangka tahun 1724 yang tersisa
dari peristiwa tahun 1740 dan merupakan objek tertua yang diketemukan di
Jakarta saat itu. Pada tahun 1755, Kapitein der Chineezen Oeij Tjhie (menduduki
jabatan tersebut 1750-1756) menamakan kelenteng yang dirusak dan kemudian
dipugar kembali dengan nama Kim Tek Le atau Kelenteng Kebajikan Mas. Kim Tek Le
telah dua kali mengalami pemugaran besar pada tahun 1846 dan 1890, sebagaimana
tertera pada dua prasasti di dinding kiri dan kanan bangunan utama kelenteng
ini. Pada pemugaran tahun 1890, atap kelenteng yang sebelumnya terdiri dari
tiga petak diubah menjadi seperti sekarang ini, yakni tiga petak menyambung
menjadi satu.
(Lanjut
Ke Bagian Tiga)
*Credit Information : Booklet KHI versi Chinatown Journey
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?