Selasa, 24 Februari 2015

Sebuah Jejak yang (Hampir) Terlupakan #1

“Suasana pekan itu sangat menegangkan. Puluhan tentara bersiap dengan senjatanya masing-masing, siap menerkam mangsa yang lengah dan lelah. Aku mengintip di balik celah kerai jendela tengah rumahku. Aku baru saja kehilangan saudaraku. Ya, mereka hilang dimangsa predator beringas di luar sana, saat mempertahankan diri dari kekejaman surat perintah : bunuh dan bantai orang Cina. Kalut ini ternyata melahirkan maut. Kata orang, aku ditemukan mengapung tak bernyawa di pinggir sungai. Namun, yang kuingat terakhir adalah tangan-tangan besar yang menarikku dengan paksa untuk menyerahkan raga dan menyaksikan pergulatan merah di depan mata. 1740. “
--------
Rintik hujan seakan merangkai tirai bagi pagi. Aku mempercepat langkah menuju ibukota. Suasana saat itu sedikit sepi. Sepertinya orang-orang urban masih menikmati kelindan hangat selimut di pagi yang dingin ini. Libur di tengah minggu memang membahagiakan bagi sebagian besar kaum urban. Bisa bermimpi lebih panjang sembari tak khawatir akan telat masuk kantor. Ah, bahagia itu sederhana. Ya, sesederhana saat aku masuk ke dalam gerbong commuter line, santai dan tidak ada adegan saling rebut tempat duduk. Pukul 07.45 WIB, aku pun sampai di Stasiun Kota. Hiruk pikuk penumpang kereta jarak jauh berpadu dengan kemegahan stasiun buatan zaman kolonial Belanda, membuat aku membayangkan berada di Batavia pada zaman keemasannya. Tanpa minimarket dan kafe di sepanjang sisi stasiun, terbayang aktivitas individu pada masa itu selama menunggu kereta. Mungkin lebih banyak interaksi di balik pintu art-deco atau malah terjadi diskriminasi strata. Entahlah. Namun, yang nampak adalah kekinian yang kadang memaksa untuk menggantikan kekunoan.
19 Februari 2015, bertepatan dengan Hari Raya Imlek, aku mengagendakan untuk mengikuti kegiatan jelalah kawasan pecinan Jakarta dalam acara bertajuk ‘Chinatown Journey’. Diselenggarakan oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI), acara ini mengambil jalur di sekitar kawasan Kota Tua Jakarta yang merupakan saksi bisu pergolakan politik Belanda dan Cina di abad ke 17. Awal perjalanan tersebut dimulai saat kami berkumpul di depan Museum Sejarah Jakarta yang dikenal dengan sebutan Museum Fatahillah. Dengan menggunakan pakaian merah, kami berkumpul dan mendengarkan penjelasan singkat mengenai cerita dibalik kemegahan beberapa museum di Kawasan Kota Tua.
Plot hari itu dimulai dengan sejarah Museum Sejarah Jakarta yang dulu bernama Stadhuis VOC. Berusia lebih dari 3 abad, bangunan ini selain sebagai kantor Gubernur Jenderal VOC wilayah Asia, juga merupakan kantor Raad Van Justitie (Dewan Pengadilan), Raad Van Indie (Dewan Hindia – Penasihat Gubernur Jenderal), sebagai penjara, serta kantor catatan sipil. Banyak pahlawan yang pernah mendekam di penjara bawah tanah ini, seperti Pangeran Diponegoro, Untung Surapati, serta masyarakat etnis Cina yang dianggap melanggar peraturan. Di depan gedung megah ini, terdapat taman yang cukup luas bermama Stadhuis Plein (kini bernama Taman Fatahillah). Stadhuis Plein merupakan tempat berkumpul penduduk kota saat itu untuk menyaksikan berbagai kegiatan, yaitu hukuman mati/eksekusi penjahat dan pembangkang pemerintah Belanda. Menurut sejarah, tahun 1629, seorang putri kemenakan Gubernur Jenderal J.P.Coen dihukum cambuk dan kekasihnya dipenggal di teras gedung ini karena tertangkap basah bermesraan di kamar gadis itu (bayangkan bila kebijakan itu masih berlaku saat ini!). Di tengah alun-alun terdapat air mancur yang dibangun pada awal abad ke-20 yang dimanfaatkan untuk minum penduduk dan kuda yang kelelahan. Selain itu, di sebelah utara, kini terdapat Situs Meriam Sijagur yang konon merupakan simbol keperkasaan pria, seperti halnya lingga pada candi. Sebagian masyarakat percaya bahwa dengan berkunjung ke Meriam Sijagur, pasangan bisa cepat memiliki anak (bagi yang masih berpacaran tidak disarankan kesini ya).  
Stadhuis VOC (kini Museum Sejarah Jakarta) dan Stadhuis Plein (kini Taman Fatahillah)
Alur berjalan maju ke arah Jl. Kali Besar Timur. Tampaklah jembatan panjang yang kini digunakan sebagai pangkalan baik becak maupun ojek. Pedagang kaki lima pun tak malu-malu mendenyutkan nadi perekonomian pribadi. Lazim memang, karena di tempat mereka berpijak yaitu The Groote Kanal, pada zaman pemerintahan Belanda merupakan pusat kegiatan perdagangan yang menghubungkan Pelabuhan Sunda Kelapa melalui Sungai Ciliwung. Di samping kemegahan yang tersurat dalam sejarah, ternyata tempat ini menyisakan kesedihan mendalam bagi etnis Cina akibat peristiwa pembantaian etnis Cina (chineezenmoord) pada 3 abad silam. Bermula dari bisnis gula milik pemerintah Belanda, yang menyerap banyak tenaga kerja etnis Cina di Batavia, mengalami pailit akibat tersaingi dengan gula malabar (India) di pasar internasional sehingga banyak warga Cina yang menganggur, menjadi gelandangan, dan bertindak kriminal. Hal ini membuat VOC memberlakukan peraturan bagi warga Cina. Mereka yang tinggal di Batavia harus memiliki izin tinggal, berusaha atau berdagang. Apabila dilanggar, maka akan terkena razia untuk diberangkatkan secara paksa ke Srilanka yang masih wilayah jajahan Belanda kala itu. Tersiar isu di kalangan warga Cina, bahwa di tengah perjalanan, mereka akan dibuang ke laut. Efeknya, para warga Cina pun bahu membahu mempersenjatai diri dan berkelompok untuk melawan Belanda. Mereka mulai melancarkan serangan pada pasukan VOC yang tengah menuju Tangerang. Pada 8 Oktober 1740, warga Cina mulai menginvasi kota. Perlawanan itu menjadi alasan bagi tentara dan pegawai VOC untuk melakukan tindakan sewenang-wenang bagi warga Cina. Jam malam pun diberlakukan di Batavia. Pada 10 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Adrian Volckanier mengeluarkan surat perintah : bunuh dan bantai orang-orang Cina. Demikian dahsyatnya pembantaian itu, seakan nyawa tak berharga lagi. Tak pandang bulu, para tahanan, pasien, hingga bayi yang tak bersalah pun dihakimi untuk dicabut nyawanya. Raga mereka dibuang semena-mena di sepanjang bentangan Sungai Ciliwung pada jembatan The Groote Kanaal. Amis dan merah meruap di sekitarnya, menandakan duka nestapa yang tak akan lekang dimakan zaman. The Groote Kanaal : Kali Besar, saksi peristiwa chineezenmoord tahun 1740

Ketika peristiwa menakutkan itu terjadi, perkampungan warga Cina berada kira-kira di sekitar The Groote Kanaal yang kini disebut Kali Besar. Kemudian, VOC membangun perkampungan baru untuk mereka sedikit di luar tembok kota, yang kini dikenal dengan nama Glodok.


(Lanjut ke Bagian Dua)

*Credit Information : Booklet KHI versi Chinatown Journey

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?