“Suasana pekan itu sangat
menegangkan. Puluhan tentara bersiap dengan senjatanya masing-masing, siap
menerkam mangsa yang lengah dan lelah. Aku mengintip di balik celah kerai
jendela tengah rumahku. Aku baru saja kehilangan saudaraku. Ya, mereka hilang
dimangsa predator beringas di luar sana, saat mempertahankan diri dari
kekejaman surat perintah : bunuh
dan bantai orang Cina. Kalut ini ternyata
melahirkan maut. Kata orang, aku ditemukan mengapung tak bernyawa di pinggir
sungai. Namun, yang kuingat terakhir adalah tangan-tangan besar yang menarikku
dengan paksa untuk menyerahkan raga dan menyaksikan pergulatan merah di depan
mata. 1740. “
--------
Rintik hujan seakan merangkai tirai bagi
pagi. Aku mempercepat langkah menuju ibukota. Suasana saat itu sedikit sepi.
Sepertinya orang-orang urban masih menikmati kelindan hangat selimut di pagi
yang dingin ini. Libur di tengah minggu memang membahagiakan bagi sebagian
besar kaum urban. Bisa bermimpi lebih panjang sembari tak khawatir akan telat
masuk kantor. Ah, bahagia itu sederhana. Ya, sesederhana saat aku masuk ke
dalam gerbong commuter line, santai
dan tidak ada adegan saling rebut tempat duduk. Pukul 07.45 WIB, aku pun sampai
di Stasiun Kota. Hiruk pikuk penumpang kereta jarak jauh berpadu dengan
kemegahan stasiun buatan zaman kolonial Belanda, membuat aku membayangkan
berada di Batavia pada zaman keemasannya. Tanpa minimarket dan kafe di
sepanjang sisi stasiun, terbayang aktivitas individu pada masa itu selama
menunggu kereta. Mungkin lebih banyak interaksi di balik pintu art-deco atau malah terjadi diskriminasi
strata. Entahlah. Namun, yang nampak adalah kekinian yang kadang memaksa untuk
menggantikan kekunoan.
19 Februari 2015, bertepatan dengan Hari
Raya Imlek, aku mengagendakan untuk mengikuti kegiatan jelalah kawasan pecinan
Jakarta dalam acara bertajuk ‘Chinatown Journey’. Diselenggarakan oleh
Komunitas Historia Indonesia (KHI), acara ini mengambil jalur di sekitar
kawasan Kota Tua Jakarta yang merupakan saksi bisu pergolakan politik Belanda
dan Cina di abad ke 17. Awal perjalanan tersebut dimulai saat kami berkumpul di
depan Museum Sejarah Jakarta yang dikenal dengan sebutan Museum Fatahillah.
Dengan menggunakan pakaian merah, kami berkumpul dan mendengarkan penjelasan
singkat mengenai cerita dibalik kemegahan beberapa museum di Kawasan Kota Tua.
Plot hari itu dimulai dengan sejarah
Museum Sejarah Jakarta yang dulu bernama Stadhuis VOC. Berusia lebih dari 3
abad, bangunan ini selain sebagai kantor Gubernur Jenderal VOC wilayah Asia,
juga merupakan kantor Raad Van Justitie (Dewan Pengadilan), Raad Van Indie
(Dewan Hindia – Penasihat Gubernur Jenderal), sebagai penjara, serta kantor
catatan sipil. Banyak pahlawan yang pernah mendekam di penjara bawah tanah ini,
seperti Pangeran Diponegoro, Untung Surapati, serta masyarakat etnis Cina yang
dianggap melanggar peraturan. Di depan gedung megah ini, terdapat taman yang
cukup luas bermama Stadhuis Plein (kini bernama Taman Fatahillah). Stadhuis
Plein merupakan tempat berkumpul penduduk kota saat itu untuk menyaksikan
berbagai kegiatan, yaitu hukuman mati/eksekusi penjahat dan pembangkang
pemerintah Belanda. Menurut sejarah, tahun 1629, seorang putri kemenakan
Gubernur Jenderal J.P.Coen dihukum cambuk dan kekasihnya dipenggal di teras
gedung ini karena tertangkap basah bermesraan di kamar gadis itu (bayangkan
bila kebijakan itu masih berlaku saat ini!). Di tengah alun-alun terdapat air
mancur yang dibangun pada awal abad ke-20 yang dimanfaatkan untuk minum
penduduk dan kuda yang kelelahan. Selain itu, di sebelah utara, kini terdapat
Situs Meriam Sijagur yang konon merupakan simbol keperkasaan pria, seperti
halnya lingga pada candi. Sebagian masyarakat percaya bahwa dengan berkunjung
ke Meriam Sijagur, pasangan bisa cepat memiliki anak (bagi yang masih
berpacaran tidak disarankan kesini ya).
Stadhuis VOC (kini Museum Sejarah Jakarta) dan Stadhuis Plein (kini Taman Fatahillah) |
Alur berjalan maju ke arah Jl. Kali Besar
Timur. Tampaklah jembatan panjang yang kini digunakan sebagai pangkalan baik
becak maupun ojek. Pedagang kaki lima pun tak malu-malu mendenyutkan nadi
perekonomian pribadi. Lazim memang, karena di tempat mereka berpijak yaitu The
Groote Kanal, pada zaman pemerintahan Belanda merupakan pusat kegiatan
perdagangan yang menghubungkan Pelabuhan Sunda Kelapa melalui Sungai Ciliwung.
Di samping kemegahan yang tersurat dalam sejarah, ternyata tempat ini
menyisakan kesedihan mendalam bagi etnis Cina akibat peristiwa pembantaian
etnis Cina (chineezenmoord) pada 3 abad silam. Bermula dari bisnis gula milik
pemerintah Belanda, yang menyerap banyak tenaga kerja etnis Cina di Batavia,
mengalami pailit akibat tersaingi dengan gula malabar (India) di pasar
internasional sehingga banyak warga Cina yang menganggur, menjadi gelandangan,
dan bertindak kriminal. Hal ini membuat VOC memberlakukan peraturan bagi warga
Cina. Mereka yang tinggal di Batavia harus memiliki izin tinggal, berusaha atau
berdagang. Apabila dilanggar, maka akan terkena razia untuk diberangkatkan
secara paksa ke Srilanka yang masih wilayah jajahan Belanda kala itu. Tersiar
isu di kalangan warga Cina, bahwa di tengah perjalanan, mereka akan dibuang ke
laut. Efeknya, para warga Cina pun bahu membahu mempersenjatai diri dan
berkelompok untuk melawan Belanda. Mereka mulai melancarkan serangan pada
pasukan VOC yang tengah menuju Tangerang. Pada 8 Oktober 1740, warga Cina mulai
menginvasi kota. Perlawanan itu menjadi alasan bagi tentara dan pegawai VOC
untuk melakukan tindakan sewenang-wenang bagi warga Cina. Jam malam pun
diberlakukan di Batavia. Pada 10 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Adrian
Volckanier mengeluarkan surat perintah : bunuh dan bantai orang-orang Cina.
Demikian dahsyatnya pembantaian itu, seakan nyawa tak berharga lagi. Tak
pandang bulu, para tahanan, pasien, hingga bayi yang tak bersalah pun dihakimi
untuk dicabut nyawanya. Raga mereka dibuang semena-mena di sepanjang bentangan
Sungai Ciliwung pada jembatan The Groote Kanaal. Amis dan merah meruap di
sekitarnya, menandakan duka nestapa yang tak akan lekang dimakan zaman. The Groote Kanaal : Kali Besar, saksi peristiwa chineezenmoord tahun 1740
Ketika peristiwa menakutkan itu terjadi,
perkampungan warga Cina berada kira-kira di sekitar The Groote Kanaal yang kini
disebut Kali Besar. Kemudian, VOC membangun perkampungan baru untuk mereka
sedikit di luar tembok kota, yang kini dikenal dengan nama Glodok.
(Lanjut ke Bagian Dua)
*Credit Information : Booklet KHI versi Chinatown Journey
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?