Sejarah panjang telah membuktikan kekuatan sebuah peradaban. Glodok.
Keluar gang kecil, menelusuri pasar ke
arah Pancoran, langkah kaki tersendat oleh padatnya para pembeli di dalam
pasar. Voila! Sampailah di Glodok, salah satu denyut nadi perekonomian warga
Jakarta yang mendapat julukan The China Town atau kawasan pecinan. Semasa VOC
masih berjaya, Glodok merupakan kawasan di luar tembok kota. Sejak November
1740, penguasa VOC menjadikan kawasan Glodok sebagai daerah pemukiman Cina.
Jauh sebelum dibangunnya Batavia dan masih bernama Sunda Kelapa, warga Cina
sudah banyak yang tinggal di tepi pantai tidak jauh dari Bandar Sunda Kelapa.
Tapi, ketika Belanda membangun loji di sini, mereka pun diusir. Baru setelah
terjadinya peristiwa Chineezenmoord tahun 1740, yang menelan korban hingga
10.000 jiwa dan dikenal sebagai Tragedi Pembantaian Angke (Kali Merah), mereka
ditempatkan di Kawasan Glodok.
Konon, nama Glodok berasal dari
bunyi air pancuran di sekitar Pancoran yang berbunyi grojok-grojok, lalu
diplesetkan menjadi glodok oleh warga Cina. Bila kita bisa memutar waktu ke
abad silam, di Kawasan Glodok tempo dulu terdapat konglomerat Khouw yang pernah
berjaya, ribuan warga Cina pernah dibantai oleh VOC, serta nostalgia perayaan
Imlek, Cap Go Meh, dan Peh Cun. Jejak tersebut sempat sirna kala
diberlakukannya Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang pelarangan atribut Cina di
Indonesia, namun pada masa pemerintahan Gus Dur melalui Keppres No. 6 tahun
2000, warga Cina bebas untuk beribadah sesuai tradisinya. Imlek dan Cap Go Meh
tidak dilarang lagi. Budaya Cina itu kini telah menjadi khazanah budaya
Indonesia yang makin kuat dan berkarakter karena bersumber dari sejarah panjang
bangsanya.
Melewati jalan-jalan kecil di
Kelurahan Glodok, aroma hio demikian merasuk hingga pangkal hidung. Tak heran
memang, hio bagi masyarakat Cina, bukan saja sebagai pelengkap ibadah, namun
juga disimpan di pojok-pojok pintu rumah. Lagu-lagu mandarin pun sesekali
terdengar merdu dari sepanjang rumah-rumah yang sudah menyatu dengan jalan raya
dan hampir tidak memiliki pekarangan. Rumah-rumah tersebut pada umumnya
berlantai dua atau tiga yang dibentengi pagar tinggi dari besi, seperti tipikal
rumah warga Cina kebanyakan. Menilik gang-gang kecil di sekitar Kawasan Glodok,
memang membuat imajinasi melayang ke beberapa abad silam. Lalu lalang para
lelaki Cina dengan rambut di kepang panjang dan bagian depan kepala dipangkas
habis sebagai tradisi adat penjajahan Manchu terhadap Tiongkok selama 300
tahun. Pemerintah Belanda sendiri mewajibkan warga Cina tinggal di satu tempat
dan melarang mereka berpakaian selayaknya pribumi atau Barat. Mereka yang
melanggar akan dikenakan hukuman denda bahkan kurungan.
Tak terasa sudah lebih dari 3 kilometer
dilalui bersama dengan berjalan kaki. Menyusuri jejak-jejak sejarah memang tak
pernah habis diulik. Selalu ada cerita dibalik peradaban. Pun kini, ternyata,
sehari-hari kita melewati tempat yang menjadi saksi bisu pergulatan
kemanusiaan. Sepakat memang, bahwa untuk menjajah sebuah bangsa, hilangkan saja
ingatan sejarahnya. Ini bukan hanya kata-kata mutiara isapan jempol belaka,
namun dapat menjadi peringatan. Oleh karena itu, sewajarnya apabila kita
bersama-sama bahu membahu mengelola peradaban sejarah ini, agar tidak tersapu
hutan-hutan beton yang makin masif merajalela.
--TAMAT--
*Credit Information : Booklet KHI versi Chinatown Journey