Minggu, 18 November 2012

Minggu Kelabu (In Memoriam 14 days)

Ditinggal kucing untuk selamanya itu rasanya seperti diputusin pacar, menyita waktu panjang untuk merenung akan takdir yang tidak diharapkan, menguras air mata, memeras tenaga dan pikiran, menghentikan sementara rasa lapar yang biasanya melanda, dan mengubur harapan untuk mengulang masa indah bersama.

2 minggu sudah saya vakum dari kegiatan tulis menulis per-blog-an. Bukan karena sok sibuk, tapi otak dan jari ini rasanya malas diajak kerjasama. Mungkin pengaruh energi negatif yang tetiba suka menampakkan diri tanpa mau berlalu pergi. Demikianlah. Sedikit kisah sedih di Hari Minggu yang masih membekas dalam hingga pangkalan hati.
4 November 2012 adalah hari bersejarah untuk saya. Sejarah yang berakhir dengan sad-ending dimana tokoh utama dalam kisah tersebut mati meninggalkan bekas luka di benak orang lain, bahkan yang baru mengenalnya lewat dunia maya. Dia adalah sahabat terbaik saya seumur hidup. Baru kali ini saya punya sahabat yang saling pengertian dan saling dukung satu sama lain. Kami memang saling membutuhkan. Bila dia tak ada rasanya ada yang kurang. Layaknya kopi dengan gula, akan terasa manis setelah bertemu dan melebur menjadi satu.
Perkenalan awal dengan dia memang tak terduga. Dia datang di pagi buta dan mengiba. Diberi makan sepiring penuh, kalaplah ia. Kemudian, layaknya anak ayam yang masuk ke dalam sayap induknya, ia tertidur dengan damai. Tanpa banyak kata apalagi cerita, tahu-tahu sudah timbul rasa yang luar biasa antara saya dan dia. Niatnya sih cuma menolong, namun ternyata ikatan batin terlanjur terjalin dan rasa sayang sudah terpilin. Ia dan saya tak terpisahkan.
Hari-hari bersama dengannya bagaikan sepasang kekasih yang baru jadian lagi kasmaran. Ia sudah saya anggap sebagai adik-beda-spesies. Ia selalu menjadi penyemangat kala suka dan duka. Saya yang saat itu sedang menyusun skripsi dengan penelitian yang tak kunjung rampung pun sering dibuat terkejut dengan tingkahnya. Saat saya sedang capek, ia seolah mengaliri energi positif agar saya tetap maju dan pantang menyerah. Wajahnya yang innocent dengan perawakan yang tinggi sedang, perutnya yang buncit, dan kalau tidur persis Garfield. Tak seperti kucing lain, ia sering menghampiri saya saat sedang di kamar dan mengerjakan tugas. Seolah ingin membantu, ia tidur di atas tumpukan kertas dan buku. Ia belum bangun kalau saya belum beranjak atau ia merasa lapar. Dialah sahabat satu-satunya di rumah. Apalagi saya tinggal berdua dengan adik saya dimana dia pun sibuk dengan tugas kuliahnya dan orang tua saat itu masih tinggal di Bandung.
Selepas kuliah, saya disibukkan dengan rutinitas baru sebagai junior pencari kerja. Masa-masa santai dengan penantian yang tak pasti membuat saya sering berada di rumah. Perhatian saya pun hanya tertuju padanya. Dia menjadi teman di segala suasana. Bercanda, bercerita, hingga makan bersama pun menjadi rutinitas harian kami. Bisa dikatakan kami adalah sepaket. Tak lengkap rasanya apabila di rumah tak ada dia. Demikian halnya dengan saya. Setiap saya pergi, dia selalu menunggu. Saat saya datang, bagai anak kecil yang menanti buah tangan, senangnya luar biasa. HIngga akhirnya masa penantian itu terbayar sudah. Saya pun memulai pengalaman baru sebagai seorang junior professional. Kos dan meninggalkan rumah untuk seminggu adalah pilihan yang harus dijalani. Apa boleh buat, dia saya tinggalkan. Ikatan batin diantara kami ternyata tak main-main. Menurut pengakuan adik saya, tiap malam dia selalu menunggu saya pulang. Pintu kamar saya selalu ia buka dan ia memanggil saya setiap hari. Hati mana yang tak terenyuh dengan hal itu. Alhasil ketika akhir pekan tiba dan saya pulang, ia langsung naik dipangkuan dan mendengkur manja. Saya pun memeluknya erat, tanda permohonan maaf telah membuatnya menanti.
Dia termasuk kucing yang paling ramah. Ketika ada tamu siapa pun itu, tak segan ia berkenalan dengan tamu tersebut. Mulai dari menyambut dari pintu, menggeliat manja, hingga duduk di sebelah tamu tersebut sambil kepalanya disandarkan ke tubuh tamu. Dia memiliki insting yang kuat. Apabila sang pacar datang, seakan cemburu, ia duduk diantara kami dan mencuri perhatian kami. Tingkah inilah yang selalu membuat saya heran sekaligus geli sendiri.
Tiba akhirnya pada hari itu, akhir pekan yang tak saya bayangkan menjadi akhir pekan terakhir bersama dengannya. Saya pulang dan mendapati bahwa dia sakit demam dan tak mau makan. Dengan tekun, ibu saya merawatnya dengan susu kambing, kaldu ayam, dan vitamin. Ia pasrah, tak bersuara, seakan tahu penyakit ini akan membuatnya menderita. Saya dan ibu berusaha untuk merawatnya. Kami pun menghubungi dokter hewan terdekat, ternyata tidak praktek. Karena pada hari itu saya dan ibu harus pergi untuk e-KTP, maka kami meninggalkannya dirumah selama beberapa jam. Pencarian pertolongan pun ternyata bermuara di klinik dokter hewan Taman Cimanggu. Namun, karena sudah tutup, dia baru bisa dibawa keesokan paginya. Kami pulang. Mendapati ia tidur di lantai dan selalu mencari tempat dingin untuk berdiam. Ciri-ciri penyakit yang sebenarnya saya pun masih awam. Pertolongan pertama dan perawatan standar pun kami lakukan demi meghalau penyakitnya sambil berdoa mudah-mudahan dia kuat, kuat, dan kuat. Semalaman saya dan ibu tak dapat tidur. Kondisi tubuhnya semakin turun walaupun setiap sejam sekali kami telah berikhtiar dengan memberinya susu kambing dan kaldu ayam, berharap susu kambing dengan partikel yang lebih kecil dari susu sapi dapat cepat diserap tubuh dan berangsur pulih. Namun, kenyataan berkata lain. Tubuhnya dingin. Kami berusaha membuatnya hangat dengan memyelimutinya dengan seprai kesayangan. Berharap akan ada aliran energi hangat menjalari tubuhnya. Pukul 2 pagi. Ibuku menggendongnya masuk ke dalam kamar. Tubuhnya lemas tak berdaya. Kami peluk dia, mengajaknya berbincang. Dia menatap penuh harap kepada saya. Pandangannya penuh arti, seolah ia tak mau kami berpisah. Satu jam sudah dia kami dekap. Tubuhnya agak menggigil. Kami taruh ia didalam kardus dengan lampu sebagai penghangatnya. Ia tidur dengan gelisah. Ia ingin bangun untuk pindah ke lantai yang dingin. Kami turuti keinginannya, karena malam itu memang udaranya sedang panas. Pandangan mata kami tak dapat berpaling darinya. Kami terus menjaganya. Sampai akhirnya pukul 4 pagi, saya sudah tak kuat. Saya pun tertidur hingga Adzan Subuh berkumandang, barulah saya bangun. Ia sudah dipindahkan ke dalam kardus dengan posisi meringkuk menahan sakit. Kami pun kelimpungan. Apa yang harus kami perbuat? Susu kambing, kaldu ayam, air putih, oralit, vitamin, dan obat ringan pun sudah diberikan. Rencananya kami akan membawa dia ke klinik pada pukul 8 pagi, karena percuma saja dibawa ke klinik bila tak ada dokter yang praktik. Kami berdoa dan membelainya sambil menangis. Kami tahu, ia kesakitan. Kami tahu, ia menderita. Kami tahu, ia sedang berjuang melawan penyakitnya. Namun, kami tak tahu hal terbaik untuknya yang Allah sedang persiapkan. Menit-menit itu adalah menit penuh air mata. Dalam posisi meringkuk, ia mendengkur dan kejang kesakitan. Aku yakin saat itu Malaikat Izrail sedang mencabut ruh dari tubuh mungilnya. Entah kalimat apa yang dapat menggambarkan perasaan saya saat itu. Campur aduk menjadi satu. Seketika flashback akan memori indah bersama satu persatu bermunculan menyergap. Saat ia datang pertama, bermanjaan tiap waktu, tingkah lucu dirinya untuk merebut perhatian saya, bercanda bersama, menyambut kala saya pulang, dan sifat lain yang membuat air mata menetes bila teringat dirinya. Ketika ia sakaratul maut, kami doakan ia, sambil menangis, saya bisikkan ucapan terima kasih atas kenangan indah yang telah diukir bersama serta permohonan maaf karena saya tak bisa merawatnya dengan baik hingga ia harus menderita seperti ini.
Klik. Saya berinisiatif untuk membuka Google, mencari penyebab penyakit yang saya putuskan menjadi musuh terbesar karena telah merenggut nyawanya. Ia adalah Distemper dengan virus bernama Feline Panleukopenia yang menyebabkan radang usus akut dan bekerja merobek usus kucing/anjing sehingga tak ada makanan yang bisa diserap tubuhnya. Kucing/anjing pun mati seketika. Cirinya adalah kucing/anjing tak mau makan, demam tinggi, ingin berdiam diri di tempat dingin, dan badannya menjadi kurus kering. Perjalanan si virus jahat ini cepat sekali hingga dalam hitungan jam, nyawa kucing/anjing kesayangan tercabut dengan ironisnya. (sumber : kittykrafty.com).
Uraian air mata, rasa tak percaya, dan hati yang terluka mengantar kepergian dia untuk selamanya. Seprai kesayangan saya menjadi pakaian terakhir untuknya, berharap ia tak kedinginan di dalam sana. Lapis demi lapis tanah menyelimuti tubuh kakunya. Derasnya air mata saya dan ibu membanjiri makamnya. Takdir ini sungguh pahit. Namun, mungkin ini yang terbaik untuk dirinya. Kita baru akan menyadari besarnya rasa sayang, apabila kita telah kehilangan. Berat memang, namun ilmu ikhlas dan sabarlah yang coba ia ajarkan kepada saya. 2,5 tahun bersama terasa seperti baru kemarin berjumpa. Selamat jalan, Pussy. Dirimu takkan terganti oleh apapun dan siapapun. Terima kasih atas semua kenangan dan cerita indah yang tergores dalam lembaran hidup kami. Terima kasih sudah jadi bagian indah dari rumah kami. Maaf bila kami sering membuatmu menderita bila seharian pergi. Maaf bila suka memukulmu bila kamu nakal. Maaf bila kami tak bisa merawatmu dengan baik dan berakhir seperti ini.
            Kamu pasti sudah tenang di Surga. Baik-baik ya disana, Pussy sayang. Walaupun kita takkan pernah bertemu muka, namun satu hal yang kau harus tahu bahwa kau takkan terganti di hati. Missing you, my Pussy. We always love you forever and ever.
                       Pussy and his coffee theory
                       Day-Dreaming with Big Tummy
                                A Supermodel
                                   Celebrating Ied together

1 komentar:

den mengatakan...

kunjungi juga http://www.seriusgue.com/2016/02/kucing-dan-manusia-menurut-islam.html

Posting Komentar

what do you think, guys?