Ditinggal kucing untuk selamanya
itu rasanya seperti diputusin pacar, menyita waktu panjang untuk merenung akan
takdir yang tidak diharapkan, menguras air mata, memeras tenaga dan pikiran,
menghentikan sementara rasa lapar yang biasanya melanda, dan mengubur harapan
untuk mengulang masa indah bersama.
2 minggu sudah saya
vakum dari kegiatan tulis menulis per-blog-an. Bukan karena sok sibuk, tapi
otak dan jari ini rasanya malas diajak kerjasama. Mungkin pengaruh energi
negatif yang tetiba suka menampakkan diri tanpa mau berlalu pergi. Demikianlah.
Sedikit kisah sedih di Hari Minggu yang masih membekas dalam hingga pangkalan
hati.
4 November 2012
adalah hari bersejarah untuk saya. Sejarah yang berakhir dengan sad-ending
dimana tokoh utama dalam kisah tersebut mati meninggalkan bekas luka di benak
orang lain, bahkan yang baru mengenalnya lewat dunia maya. Dia adalah sahabat terbaik
saya seumur hidup. Baru kali ini saya punya sahabat yang saling pengertian dan
saling dukung satu sama lain. Kami memang saling membutuhkan. Bila dia tak ada
rasanya ada yang kurang. Layaknya kopi dengan gula, akan terasa manis setelah
bertemu dan melebur menjadi satu.
Perkenalan awal
dengan dia memang tak terduga. Dia datang di pagi buta dan mengiba. Diberi
makan sepiring penuh, kalaplah ia. Kemudian, layaknya anak ayam yang masuk ke
dalam sayap induknya, ia tertidur dengan damai. Tanpa banyak kata apalagi
cerita, tahu-tahu sudah timbul rasa yang luar biasa antara saya dan dia. Niatnya
sih cuma menolong, namun ternyata ikatan batin terlanjur terjalin dan rasa
sayang sudah terpilin. Ia dan saya tak terpisahkan.
Hari-hari bersama
dengannya bagaikan sepasang kekasih yang baru jadian lagi kasmaran. Ia sudah saya
anggap sebagai adik-beda-spesies. Ia selalu menjadi penyemangat kala suka dan
duka. Saya yang saat itu sedang menyusun skripsi dengan penelitian yang tak
kunjung rampung pun sering dibuat terkejut dengan tingkahnya. Saat saya sedang
capek, ia seolah mengaliri energi positif agar saya tetap maju dan pantang
menyerah. Wajahnya yang innocent dengan perawakan yang tinggi sedang, perutnya
yang buncit, dan kalau tidur persis Garfield. Tak seperti kucing lain, ia
sering menghampiri saya saat sedang di kamar dan mengerjakan tugas. Seolah
ingin membantu, ia tidur di atas tumpukan kertas dan buku. Ia belum bangun
kalau saya belum beranjak atau ia merasa lapar. Dialah sahabat satu-satunya di
rumah. Apalagi saya tinggal berdua dengan adik saya dimana dia pun sibuk dengan
tugas kuliahnya dan orang tua saat itu masih tinggal di Bandung.
Selepas kuliah,
saya disibukkan dengan rutinitas baru sebagai junior pencari kerja. Masa-masa
santai dengan penantian yang tak pasti membuat saya sering berada di rumah.
Perhatian saya pun hanya tertuju padanya. Dia menjadi teman di segala suasana.
Bercanda, bercerita, hingga makan bersama pun menjadi rutinitas harian kami. Bisa
dikatakan kami adalah sepaket. Tak lengkap rasanya apabila di rumah tak ada
dia. Demikian halnya dengan saya. Setiap saya pergi, dia selalu menunggu. Saat
saya datang, bagai anak kecil yang menanti buah tangan, senangnya luar biasa.
HIngga akhirnya masa penantian itu terbayar sudah. Saya pun memulai pengalaman
baru sebagai seorang junior professional. Kos dan meninggalkan rumah untuk
seminggu adalah pilihan yang harus dijalani. Apa boleh buat, dia saya
tinggalkan. Ikatan batin diantara kami ternyata tak main-main. Menurut
pengakuan adik saya, tiap malam dia selalu menunggu saya pulang. Pintu kamar
saya selalu ia buka dan ia memanggil saya setiap hari. Hati mana yang tak
terenyuh dengan hal itu. Alhasil ketika akhir pekan tiba dan saya pulang, ia
langsung naik dipangkuan dan mendengkur manja. Saya pun memeluknya erat, tanda
permohonan maaf telah membuatnya menanti.
Dia termasuk kucing
yang paling ramah. Ketika ada tamu siapa pun itu, tak segan ia berkenalan
dengan tamu tersebut. Mulai dari menyambut dari pintu, menggeliat manja, hingga
duduk di sebelah tamu tersebut sambil kepalanya disandarkan ke tubuh tamu. Dia
memiliki insting yang kuat. Apabila sang pacar datang, seakan cemburu, ia duduk
diantara kami dan mencuri perhatian kami. Tingkah inilah yang selalu membuat
saya heran sekaligus geli sendiri.
Tiba akhirnya pada
hari itu, akhir pekan yang tak saya bayangkan menjadi akhir pekan terakhir
bersama dengannya. Saya pulang dan mendapati bahwa dia sakit demam dan tak mau
makan. Dengan tekun, ibu saya merawatnya dengan susu kambing, kaldu ayam, dan
vitamin. Ia pasrah, tak bersuara, seakan tahu penyakit ini akan membuatnya
menderita. Saya dan ibu berusaha untuk merawatnya. Kami pun menghubungi dokter
hewan terdekat, ternyata tidak praktek. Karena pada hari itu saya dan ibu harus
pergi untuk e-KTP, maka kami meninggalkannya dirumah selama beberapa jam.
Pencarian pertolongan pun ternyata bermuara di klinik dokter hewan Taman
Cimanggu. Namun, karena sudah tutup, dia baru bisa dibawa keesokan paginya.
Kami pulang. Mendapati ia tidur di lantai dan selalu mencari tempat dingin
untuk berdiam. Ciri-ciri penyakit yang sebenarnya saya pun masih awam.
Pertolongan pertama dan perawatan standar pun kami lakukan demi meghalau
penyakitnya sambil berdoa mudah-mudahan dia kuat, kuat, dan kuat. Semalaman
saya dan ibu tak dapat tidur. Kondisi tubuhnya semakin turun walaupun setiap
sejam sekali kami telah berikhtiar dengan memberinya susu kambing dan kaldu
ayam, berharap susu kambing dengan partikel yang lebih kecil dari susu sapi
dapat cepat diserap tubuh dan berangsur pulih. Namun, kenyataan berkata lain.
Tubuhnya dingin. Kami berusaha membuatnya hangat dengan memyelimutinya dengan seprai
kesayangan. Berharap akan ada aliran energi hangat menjalari tubuhnya. Pukul 2
pagi. Ibuku menggendongnya masuk ke dalam kamar. Tubuhnya lemas tak berdaya.
Kami peluk dia, mengajaknya berbincang. Dia menatap penuh harap kepada saya.
Pandangannya penuh arti, seolah ia tak mau kami berpisah. Satu jam sudah dia
kami dekap. Tubuhnya agak menggigil. Kami taruh ia didalam kardus dengan lampu
sebagai penghangatnya. Ia tidur dengan gelisah. Ia ingin bangun untuk pindah ke
lantai yang dingin. Kami turuti keinginannya, karena malam itu memang udaranya
sedang panas. Pandangan mata kami tak dapat berpaling darinya. Kami terus
menjaganya. Sampai akhirnya pukul 4 pagi, saya sudah tak kuat. Saya pun
tertidur hingga Adzan Subuh berkumandang, barulah saya bangun. Ia sudah
dipindahkan ke dalam kardus dengan posisi meringkuk menahan sakit. Kami pun
kelimpungan. Apa yang harus kami perbuat? Susu kambing, kaldu ayam, air putih, oralit,
vitamin, dan obat ringan pun sudah diberikan. Rencananya kami akan membawa dia
ke klinik pada pukul 8 pagi, karena percuma saja dibawa ke klinik bila tak ada
dokter yang praktik. Kami berdoa dan membelainya sambil menangis. Kami tahu, ia
kesakitan. Kami tahu, ia menderita. Kami tahu, ia sedang berjuang melawan
penyakitnya. Namun, kami tak tahu hal terbaik untuknya yang Allah sedang
persiapkan. Menit-menit itu adalah menit penuh air mata. Dalam posisi meringkuk,
ia mendengkur dan kejang kesakitan. Aku yakin saat itu Malaikat Izrail sedang
mencabut ruh dari tubuh mungilnya. Entah kalimat apa yang dapat menggambarkan
perasaan saya saat itu. Campur aduk menjadi satu. Seketika flashback
akan memori indah bersama satu persatu bermunculan menyergap. Saat ia datang
pertama, bermanjaan tiap waktu, tingkah lucu dirinya untuk merebut perhatian
saya, bercanda bersama, menyambut kala saya pulang, dan sifat lain yang membuat
air mata menetes bila teringat dirinya. Ketika ia sakaratul maut, kami doakan
ia, sambil menangis, saya bisikkan ucapan terima kasih atas kenangan indah yang
telah diukir bersama serta permohonan maaf karena saya tak bisa merawatnya
dengan baik hingga ia harus menderita seperti ini.
Klik. Saya berinisiatif
untuk membuka Google, mencari penyebab penyakit yang saya putuskan menjadi
musuh terbesar karena telah merenggut nyawanya. Ia adalah Distemper dengan
virus bernama Feline Panleukopenia yang menyebabkan radang usus akut dan
bekerja merobek usus kucing/anjing sehingga tak ada makanan yang bisa diserap
tubuhnya. Kucing/anjing pun mati seketika. Cirinya adalah kucing/anjing tak mau
makan, demam tinggi, ingin berdiam diri di tempat dingin, dan badannya menjadi
kurus kering. Perjalanan si virus jahat ini cepat sekali hingga dalam hitungan
jam, nyawa kucing/anjing kesayangan tercabut dengan ironisnya. (sumber :
kittykrafty.com).
Uraian air mata,
rasa tak percaya, dan hati yang terluka mengantar kepergian dia untuk
selamanya. Seprai kesayangan saya menjadi pakaian terakhir untuknya, berharap ia
tak kedinginan di dalam sana. Lapis demi lapis tanah menyelimuti tubuh kakunya.
Derasnya air mata saya dan ibu membanjiri makamnya. Takdir ini sungguh pahit. Namun,
mungkin ini yang terbaik untuk dirinya. Kita baru akan menyadari besarnya rasa
sayang, apabila kita telah kehilangan. Berat memang, namun ilmu ikhlas dan sabarlah
yang coba ia ajarkan kepada saya. 2,5 tahun bersama terasa seperti baru kemarin
berjumpa. Selamat jalan, Pussy. Dirimu takkan terganti oleh apapun dan
siapapun. Terima kasih atas semua kenangan dan cerita indah yang tergores dalam
lembaran hidup kami. Terima kasih sudah jadi bagian indah dari rumah kami. Maaf
bila kami sering membuatmu menderita bila seharian pergi. Maaf bila suka
memukulmu bila kamu nakal. Maaf bila kami tak bisa merawatmu dengan baik dan
berakhir seperti ini.
Kamu pasti sudah tenang
di Surga. Baik-baik ya disana, Pussy sayang. Walaupun kita takkan pernah
bertemu muka, namun satu hal yang kau harus tahu bahwa kau takkan terganti di
hati. Missing you, my Pussy. We always love you forever and ever.
Pussy and his coffee theory
Day-Dreaming with Big Tummy
A Supermodel
Celebrating Ied together
1 komentar:
kunjungi juga http://www.seriusgue.com/2016/02/kucing-dan-manusia-menurut-islam.html
Posting Komentar
what do you think, guys?