Salah satu jalan yang harus ditempuh oleh semua orang yang ingin mengukir sukses dalam hidupnya adalah dengan mencoba. Mencoba berbagai hal yang menjadi passion kita dan melakukannya dengan percaya diri. Namun, sebagian besar orang hanya berjalan pada zona aman dan nyaman saja. Bekerja di belakang layar yang tanpa sadar menjebaknya dalam rutinitas belaka, tanpa tantangan untuk mengakselerasi kemampuan. Bila ada ketidaksesuaian sedikit saja dalam sistem, maka ia akan mengeluh dan mengutuki keadaan. Tanpa solusi sedikitpun apalagi perubahan. Demikianlah sedikit gambaran mengenai fakta yang mungkin saja mengintai keseharian saya, mereka, dan kalian.
Aksi coba-mencoba saya yang dilakukan baru-baru ini adalah menjadi seorang guru. Guru? With zero teaching knowledge and experience? Yes! Namun, guru disini bukannya guru sekolah formal atau informal yang muridnya adalah anak-anak tetapi, guru dadakan yang tiba-tiba diminta oleh seorang rekan untuk membawakan sebuah materi dengan murid yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya yaitu bapak-bapak dan ibu-ibu operator. Karena saya mengajar di perusahaan, maka istilah guru diganti menjadi trainer. Sebuah titel yang berat untuk saya yang masih awam dalam hal memberikan training. Memang, saya sudah sering mengikuti training, namun peran saya hanyalah sebagai audience, penerima materi, bukan sebagai subjek yang memberikan materi. Saya yang belum memiliki pengalaman mengajar pun agak kesulitan untuk membayangkan rundown liveshow pertama saya sebagai seorang trainer. Debut saya yang masih nol besar ini pun menjadi momok tersendiri bagi saya, seorang anak ingusan yang sedang merangkak masuk ke dalam belantara profesi.
Saya jadi teringat pengalaman pertama saya menjadi seorang master of ceremony atau pembawa acara. Kala itu, saya masih menjadi mahasiswa yang baru lulus masa orientasi jurusan, awal semester 3. Saya yang sedang menjajaki dunia baru kampus pun seperti tersihir untuk masuk ke dalam organisasi kampus, tempat dimana para aktivis kampus berkumpul dan salah satu kegiatannya adalah mengadakan suatu acara untuk mengenalkan disiplin ilmu kepada masyarakat kampus dan umum, membantu kegiatan sosial, sampai mewadahi minat bakat mahasiswa di dalam dan luar kampus. Saat itu, bersamaan dengan akan diselenggarakannya seminar nasional mengenai agroindustri. Saya yang masih polos, tiba-tiba dimandati untuk menjadi pembawa acara. Saya yang belum memiliki pengalaman pun secara refleks menggelengkan kepala, tanda tahu diri, takut malahan merusak acara. Namun, dorongan dari para panitia demikian besar sehingga ada keterpaksaan yang sengaja disembunyikan atas nama tanggung jawab sebagai panitia junior. Ketika acara dimulai, penampilan saya pun diuji. Rasa was-was, deg-degan, dan ketakutan akan kesalahan menjadi pengganjal terberat. Komentar audience pun beragam. Dari mulai level terburuk hingga level menengah ke bawah. Setidaknya saya sudah mencoba walaupun kurang memuaskan.
Demikian halnya dengan trainer. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus dijalani juga. Anggap saja sedang melakukan perjalanan menuju lorong waktu ke tahun 2007 saat saya berkenalan dengan dunia public speaking, menjadi MC. Pengalaman memberikan training K3 kepada para bapak dan ibu operator pun dimulai. Agak sedikit kaku saat segmen ice breaking, sikap tubuh yang kurang luwes, materi yang terlalu sulit, tingkat kesulitan soal pre-test dan post-test yang terlalu tinggi, serta kurang terampil menggunakan pointer. Kesalahan yang harus digarisbawahi agar tidak menjadi fenomena gunung es di lain waktu. Namun, setidaknya beberapa kali para audience sedikit tergelak dengan candaan yang saya lontarkan spontan. Satu poin untuk pengalaman pertama.
Pengalaman demi pengalaman mengantarkan kita ke gerbang kedewasaan. Dewasa dalam berpikir, dalam bertindak, dan dalam mengambil keputusan. Selain itu, jam terbang yang tinggi pun sangat dibutuhkan untuk menjadi seorang profesional. Seperti Jamil Azzaini, trainer sukses mulia dengan rumus 10.000 jam untuk menjadi seorang yang ahli di bidangnya. Namun, pada setiap kesuksesan pasti memiliki awal mulanya yaitu pengalaman pertama dan kesalahan. Ibarat seorang maestro lukisan bernilai ratusan juta rupiah, pasti diawali dengan pengalaman pertama melukis, kesalahan dalam membuat sketsa dan menggoreskan kuas. Hal ini sesuai dengan salah satu value Young On Top karya Billy Boen yaitu Just Perform yang terinspirasi dari tagline sepatu Nike, Just Do It. Just Perform berarti lakukan terbaik apapun yang dapat dilakukan, tidak hanya terpaku pada job description saja karena itu akan membatasi ruang gerak performa kita, membatasi kesempatan kita untuk belajar lebih banyak. Secara tidak sadar, kita sedang menantang diri kita untuk menunjukkan kapabilitas optimalnya, keluar dari zona nyaman dan aman, menggapai hasil lebih dari orang lain. Walaupun, mungkin berat, namun siapa tahu di dalam sana tersimpan passion yang selama ini kita cari sehingga kita bisa mengakselerasinya menjadi suatu tujuan baru yang lebih brilian. Mengutip salah satu kata mutiara dari T. Roosevelt : It is hard to fail, but it is worse never have to tried to succeed. Melakukan kesalahan itu sangat berat dan memalukan, namun akan menjadi lebih buruk lagi apabila kita tidak mencoba untuk menjadi sukses.
So, between just performing and comfort zone. What's your choice, pals?
"Berikan aku 1000 orang tua niscaya akan aku cabut Semeru dari akarnya, tapi berikan aku 10 pemuda tangguh maka akan aku guncangkan dunia." (Bung Karno). Selamat Hari Sumpah Pemuda!
Aksi coba-mencoba saya yang dilakukan baru-baru ini adalah menjadi seorang guru. Guru? With zero teaching knowledge and experience? Yes! Namun, guru disini bukannya guru sekolah formal atau informal yang muridnya adalah anak-anak tetapi, guru dadakan yang tiba-tiba diminta oleh seorang rekan untuk membawakan sebuah materi dengan murid yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya yaitu bapak-bapak dan ibu-ibu operator. Karena saya mengajar di perusahaan, maka istilah guru diganti menjadi trainer. Sebuah titel yang berat untuk saya yang masih awam dalam hal memberikan training. Memang, saya sudah sering mengikuti training, namun peran saya hanyalah sebagai audience, penerima materi, bukan sebagai subjek yang memberikan materi. Saya yang belum memiliki pengalaman mengajar pun agak kesulitan untuk membayangkan rundown liveshow pertama saya sebagai seorang trainer. Debut saya yang masih nol besar ini pun menjadi momok tersendiri bagi saya, seorang anak ingusan yang sedang merangkak masuk ke dalam belantara profesi.
Saya jadi teringat pengalaman pertama saya menjadi seorang master of ceremony atau pembawa acara. Kala itu, saya masih menjadi mahasiswa yang baru lulus masa orientasi jurusan, awal semester 3. Saya yang sedang menjajaki dunia baru kampus pun seperti tersihir untuk masuk ke dalam organisasi kampus, tempat dimana para aktivis kampus berkumpul dan salah satu kegiatannya adalah mengadakan suatu acara untuk mengenalkan disiplin ilmu kepada masyarakat kampus dan umum, membantu kegiatan sosial, sampai mewadahi minat bakat mahasiswa di dalam dan luar kampus. Saat itu, bersamaan dengan akan diselenggarakannya seminar nasional mengenai agroindustri. Saya yang masih polos, tiba-tiba dimandati untuk menjadi pembawa acara. Saya yang belum memiliki pengalaman pun secara refleks menggelengkan kepala, tanda tahu diri, takut malahan merusak acara. Namun, dorongan dari para panitia demikian besar sehingga ada keterpaksaan yang sengaja disembunyikan atas nama tanggung jawab sebagai panitia junior. Ketika acara dimulai, penampilan saya pun diuji. Rasa was-was, deg-degan, dan ketakutan akan kesalahan menjadi pengganjal terberat. Komentar audience pun beragam. Dari mulai level terburuk hingga level menengah ke bawah. Setidaknya saya sudah mencoba walaupun kurang memuaskan.
Demikian halnya dengan trainer. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus dijalani juga. Anggap saja sedang melakukan perjalanan menuju lorong waktu ke tahun 2007 saat saya berkenalan dengan dunia public speaking, menjadi MC. Pengalaman memberikan training K3 kepada para bapak dan ibu operator pun dimulai. Agak sedikit kaku saat segmen ice breaking, sikap tubuh yang kurang luwes, materi yang terlalu sulit, tingkat kesulitan soal pre-test dan post-test yang terlalu tinggi, serta kurang terampil menggunakan pointer. Kesalahan yang harus digarisbawahi agar tidak menjadi fenomena gunung es di lain waktu. Namun, setidaknya beberapa kali para audience sedikit tergelak dengan candaan yang saya lontarkan spontan. Satu poin untuk pengalaman pertama.
Pengalaman demi pengalaman mengantarkan kita ke gerbang kedewasaan. Dewasa dalam berpikir, dalam bertindak, dan dalam mengambil keputusan. Selain itu, jam terbang yang tinggi pun sangat dibutuhkan untuk menjadi seorang profesional. Seperti Jamil Azzaini, trainer sukses mulia dengan rumus 10.000 jam untuk menjadi seorang yang ahli di bidangnya. Namun, pada setiap kesuksesan pasti memiliki awal mulanya yaitu pengalaman pertama dan kesalahan. Ibarat seorang maestro lukisan bernilai ratusan juta rupiah, pasti diawali dengan pengalaman pertama melukis, kesalahan dalam membuat sketsa dan menggoreskan kuas. Hal ini sesuai dengan salah satu value Young On Top karya Billy Boen yaitu Just Perform yang terinspirasi dari tagline sepatu Nike, Just Do It. Just Perform berarti lakukan terbaik apapun yang dapat dilakukan, tidak hanya terpaku pada job description saja karena itu akan membatasi ruang gerak performa kita, membatasi kesempatan kita untuk belajar lebih banyak. Secara tidak sadar, kita sedang menantang diri kita untuk menunjukkan kapabilitas optimalnya, keluar dari zona nyaman dan aman, menggapai hasil lebih dari orang lain. Walaupun, mungkin berat, namun siapa tahu di dalam sana tersimpan passion yang selama ini kita cari sehingga kita bisa mengakselerasinya menjadi suatu tujuan baru yang lebih brilian. Mengutip salah satu kata mutiara dari T. Roosevelt : It is hard to fail, but it is worse never have to tried to succeed. Melakukan kesalahan itu sangat berat dan memalukan, namun akan menjadi lebih buruk lagi apabila kita tidak mencoba untuk menjadi sukses.
So, between just performing and comfort zone. What's your choice, pals?
"Berikan aku 1000 orang tua niscaya akan aku cabut Semeru dari akarnya, tapi berikan aku 10 pemuda tangguh maka akan aku guncangkan dunia." (Bung Karno). Selamat Hari Sumpah Pemuda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?