Minggu, 18 November 2012

Critic, anyone?

       Ngomongin karakter orang memang tidak ada habisnya karena karakter tiap orang itu unik, tidak dapat disamakan satu dengan lainnya. Nah, kali ini saya akan sedikit share tentang pengalaman menghadapi seorang professional senior dengan watak unik, menarik, sekaligus mencekik dan menggelitik.
     Pada hakikatnya, semua orang di dunia ini sangat menyenangi sebuah pujian. Apalagi pujian tersebut disampaikan oleh orang yang kita hormati dan segani. Sebagian besar setuju bahwa pujian dapat mendatangkan rezeki dan manfaat lebih banyak lagi. Namun, bila berlebihan bisa jadi senjata makan tuan, let say, jadi sombong atau egois. Bagai dua sisi mata uang, selain pujian ada pula yang dinamakan kritik. Biasanya disampaikan oleh senior ke junior, atasan ke bawahan. Namun, itu teori kuno. Di era demokrasi ini, semua orang berhak mengeluarkan opininya tanpa terancam akan di hukum oleh pihak tertentu, apalagi dengan telah diberlakukannya UU no. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan mengeluarkan pendapat di muka umum sehingga setiap warga negara RI berhak mengeluarkan opini, saran, dan kritik yang membangun kepada siapapun tak peduli ia atasan, bawahan, teman, atau lawan. Dalam hal kritik atau saran ini memiliki ciri khas yaitu mudah diucapkan, sulit dilakukan, serta apabila terlalu berlebihan akan mengakibatkan dua pilihan : semakin berkembang dan maju atau semakin terpuruk dan memburuk. Bila tak percaya, silakan dicoba.
      Dalam perjalanan ternyata harus singgah untuk memutar otak bersama menghadapi seseorang yang agak alot lagi ngotot. Entah karena pengalamannya yang lebih banyak atau ilmunya yang lebih tinggi namun cara ia negosiasi dan meyakinkan orang sangatlah terampil. Terbukti, dalam banyak hal yang mau tidak mau bekerja sama dengannya dan memberikan saran untuk perbaikan, pada akhir perbincangan dapat membuat hati memanas dan merusak mood untuk menjalani sisa hari. Itu terjadi apabila kita tak pandai mengendalikan diri. Dalam tiap diskusi mengenai suatu hal, kerap kali diisi dengan berdebat. Banyak sekali alasan yang ia kemukakan yang apabila dipikir lebih dalam, alasan tersebut sebagai tameng agar tak menambah pekerjaannya. Cara penyampaiannya pun selalu menggunakan urat alias ngotot dengan mata melotot tajam, seperti hakim mendakwa tersangka. Apalagi apabila kita yang terbukti salah. Dengan pongahnya, ia merasa sebagai pemenang dalam pertandingan. Hal ini yang membuat orang malas berdiskusi panjang dengannya karena ujung-ujungnya akan berakhir tidak mengenakkan kedua belah pihak. Aneh tapi nyata.
      Sebenarnya saya sering tak habis pikir, dengan levelnya yang berkali lebih tinggi dari saya, mengapa saya belum menemukan sosok pemimpin idaman, sesuai teori yang saya pelajari, dalam dirinya? Mengapa pula seringkali ia tak mau menerima saran dari orang lain? Padahal kita sama-sama tahu bahwa saran tersebut untuk kebaikan bersama walaupun kami beda bidang. Entah apa yang ada di benaknya. Entah kapan pula ia akan berubah sikap menjadi pemimpin yang sesungguhnya. Namun, setiap kejadian baik suka atau duka pasti ada hikmah dibaliknya. Saya jadi mengetahui sifat asli dirinya sehingga untuk bekerja sama harus menggunakan teori dan bukti yang valid. Kemudian, saya pun jadi belajar bagaimana cara meyakinkan orang lain dalam bernegosiasi. Bukan dengan ngotot nan alot sambil melotot, namun dengan sikap yang lebih santun. Pasti akan terlihat lebih elegan dan terpelajar, walaupun mungkin ilmu dan pengalaman tidak lebih tinggi darinya.
    Tiap kapal yang sedang berusaha mengarungi lautan pasti pernah bertemu dengan ombak ganas. Tiap pengusaha sukses pasti pernah bertemu dengan hambatan pelik. Tidak bermaksud menghakimi sepihak, hanya sebagai sarana perenungan. Anggap saja intermezzo yang numpang lewat. Ambil pelajarannya, buang unsur negatifnya. Just remember that you are what you speak. Beware of your attitude, pals. 
      Critic, Anyone?

                         sumber : en.wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?