Aku berjalan tergopoh-gopoh turun dari kendaraan umum dan dengan mata siaga serta gerakan tergesa menyebrangi jalan padat di suatu belahan ibukota. Tak ada palang pembatas antara pengguna kendaraan bermotor dengan kaum pejalan kaki. Status mereka disamakan. Sama-sama berpotensi menabrak, tertabrak, atau ditabrak. Hanya tingkat keparahan dan kerugiannya yang berbeda jauh. Kendaraan bermotor baik roda dua, empat, dan enam layaknya raja jalanan. Tak peduli ada pejalan kaki yang melintas didepan atau disebelahnya, mereka hanya ingat bagaimana caranya agar cepat sampai di tempat tujuan. Walaupun harus menonjolkan keegoisan. Akrobat jalanan pun dimulai. Saling menancap gas dan memberikan rem sesekali untuk menghindari tergoresnya kendaraan teranyar mereka pun dijabani. Nyawa pun tergadaikan, bila perhitungan kurang semili. Nurani dipaksa terkikis, melebur bersama asap knalpot pekat dan polusi udara.
Aku berjalan lunglai dengan tempo melambat. Keringat mengucur sebutir-sebutir sebagai manifestasi ketegangan melawan arus kendaraan. Aku bersama salah satu teman sejawat berjalan menuju stasiun. Namun, ternyata ia dijemput teman lelakinya di perempatan jalan. Tahu begitu, aku tak lewat situ. Karena bila tak hati-hati, bisa saja kita tersambar beragam tipe kendaraan yang dipastikan tak ada yang mau tanggung jawab. Semenit kemudian, tiket sudah ada di tangan. Aku mencari jalur kereta dan masuk ke gerbong tiga. Tak ada tempat duduk yang kosong. Menyelip pun rasanya sulit. Karena penasaran aku menyusuri gerbong ke gerbong. Aku perhatikan wajah orang per orang. Jalan terakhir adalah berdiri di depan orang yang menurut feelingku turun di stasiun sebelum Bogor. Aku pun berdiri di hadapannya. Dia adalah bapak setengah baya, dua orang yang saling mengenal. Stasiun demi stasiun aku lalui dan orang pun semakin banyak yang berjejalan masuk ke dalam kereta. Tidak berimbang dengan jumlah orang yang turun. Namun karena kereta yang aku naiki berangkat setelah magrib, maka jumlah jejal orang tiap gerbong masih manusiawi bila dibandingkan dengan kereta yang berangkat sekitar pukul lima sore. Udara ac yang disuguhkan dalam fasilitas gerbong terasa kurang signifikan dengan tiket senilai 7 ribu rupiah. Mungkin, bila ingin nyaman, tarif tiket harus dinaikkan seperti rencana kenaikan tarif kereta yang sedang marak diperdebatkan. Mungkin juga kenaikan tarif tak ada hubungannya dengan pelayanan kenyamanan penumpang kereta. Entahlah. Namun satu yang pasti bahwa hati mana yang tak ingin diperlakukan adil bila kita sudah menukarkan pundi rupiah dengan sehelai kertas bertajuk tiket commuter line?
Ketika hatiku sedang berdebat mengenai tarif tiket dan pelayanan kereta api, aku perhatikan sekeliling. Kebanyakan penumpang adalah pekerja kantoran yang berangkat saat matahari baru berniat untuk bangun dari peraduan dan pulang ketika matahari telah lelah berpijar. Posisi mereka adalah berdiri di depan penumpang yang beruntung mendapat tempat duduk. Untuk menghilangkan kejenuhan, rasa pegal, sekaligus membunuh waktu selama kurang lebih satu setengah jam, mereka sibuk dengan gadget anyar masing-masing. Satu tangan memegang handle, satu lagi berolahraga jari sibuk mengetik pesan dan membuka beragam situs sambil mendengarkan musik. Multi tasking. Demikianlah kebiasaan baru masyarakat urban dewasa ini. Aku pun mau tak mau mengikuti tren tersebut. Karena bapak setengah baya di depanku pun tak jelas kapan turunnya, maka aku menyibukkan diri dengan membaca macam informasi dan status teman di beragam media sosial sambil sesekali mencuri pandang memperhatikan tingkah laku penumpang di hadapanku. Tak sengaja aku memandang papan informasi yang menempel di depanku. Ternyata, lembar informasi tersebut adalah komik ala KAI berwarna menarik yang berisi cerita tentang kenaikan tarif kereta api. Pada komik kecil tersebut diawali dengan cerita tentang penumpang yang mengajukan protes tentang kenaikan tarif tiket sebesar dua ribu rupiah, kemudian muncul petugas baik hati yang meredam amarah penumpang, ia memberitahu bahwa kenaikan tarif kereta ini bukan karena tanpa alasan, namun karena akan adanya penambahan sebanyak 238 kereta karena penumpang yang bertambah setiap tahunnya lalu akan ada rangkaian khusus wanita (bukan hanya gerbong) serta akan ada layar infomasi kereta di tiap gerbongnya. Bayangkan. Rencana yang lumayan fantastis bukan? Entah tahun berapa rencana tersebut dapat benar-benar terwujud. Kita tunggu saja janji manisnya KAI.
Satu jam telah aku lewati dengan berdiri sabar sambil menggenggam gadget di tangan. Ketika gerik sang bapak telah menampakkan rasa gelisah dan sesekali melihat ke arah jendela, aku telah siap untuk bertukar tempat dengannya. Asam laktat memang sudah menjalar ke atas betisku. Dan gayung pun bersambut. Sang bapak dengan kesadaran tinggi bersedia bertukar tempat denganku. Perkiraan aku adalah dia akan turun di stasiun setelah ini, namun ternyata tidak. Ia benar-benar bertukar tempat denganku. Aku duduk dan ia berdiri. Bergiliran duduk, berbagi kenyamanan. Ia turun di tiga stasiun setelah dia berdiri. Aku sangat terapresiasi dengan kebaikannya. Masih ada orang yang mau bergantian duduk dengan orang lain walaupun tak saling kenal. Karena aku pernah memiliki pengalaman pahit seputar posisi duduk dan berdiri yang seolah terkasta di dalam kereta.
Saat itu hari Jumat, hari dimana aku biasa pulang ke Bogor menggunakan transportasi kereta. Ketika aku naik, kondisi kereta sudah sangat penuh. Sebagian besar penumpang pasti naik di stasiun sebelum Kota. Tak adil memang, tapi mau bagaimana lagi. Petugasnya pun tak menghiraukan modus tersebut. Aku masuk ke gerbong yang tak banyak penumpang berdiri karena aku takut terjepit dan sesak di dalam gerbong yang penuh. Posisiku adalah berdiri di depan lelaki yang aku taksir berumur 30-an yang tidur dengan menggunakan masker. Walaupun keadaan gerbong agak panas, dia tetap terlelap nikmat tanpa kekurangan oksigen. Aku berdiri terus sambil menikmati suhu gerbong yang berangsur memanas oleh derasnya penumpang. Maklum memang. Hari Jumat pukul setengah enam pula. Hari dimana jadwal orang mendadak penuh dengan rencana menghabiskan uang bersenang-senang. Agak jenuh memang. Karena baterai gadget sedang sekarat, ditambah posisi berdiri yang agak terjepit oleh penumpang yang berdiri di belakangku dan yang duduk di depanku. Satu jam sudah aku berjibaku dengan keringat dan kejenuhan. Penumpang di depanku pun tak ada tanda-tanda untuk turun. Ia masih sibuk dalam episode bunga tidurnya. Tiba-tiba ia terbangun. Ia menengok perrlahan ke jendela. Setelah terkumpul semua kesadarannya dan kereta berhenti, ia pun bersiap turun. Fiuh, akhirnya tiba saatnya bergantian duduk, pikirku. Namun,ternyata semua tidak berjalan sesuai perkiraanku. Sebelum bangkit, ia memanggil ibu yang membawa anak usia lebih dari balita -tapi masih digendong- untuk duduk di tempatnya. Kontan aku kaget setengah mati. Aneh sekali, bukannya ia memberikan tempatnya kepadaku yang ia tahu sudah berdiri di depannya dari stasiun pertama, tapi malah menyuruh ibu yang baru saja naik untuk duduk menggantikannya. Padahal posisi ibu itu sangat jauh darinya. Ketika ia akan bangkit, ia berkata ketus kepadaku, "jangan harap gua bakal kasih tempat ke loe ya. Ga sudi gua. Masih muda sih berdiri aja donk. Gua tau loe kuat!" dengan nada sinis mengejek. Aku yang juga sudah lelah dengan asam laktat hampir sampai puncaknya pun sontak terkejut dan ingin sampai hati untuk menampar mukanya dan menendang mulut harimaunya agar ia merasakan akibat perkataan 'asal-bunyi' yang ia lontarkan tanpa etika. Namun, aku teringat kata mutiara bahwa orang bijak berpendidikan adalah orang yang kepalanya tetap dingin sekalipun hatinya panas. Memang, darahku saat itu mendidih, tenggorokanku tercekat, dan mataku memanas. Itulah tanda bahwa aku sedang dirundung amarah menjadi. Tetapi, aku tak banyak kata, anggap saja orang tidak waras yang naik kereta. Aku tak menghiraukannya, aku duduk saja di tempat yang menjadi hakku. Ibu tadi pun duduk di sebelahku. Perkataan orang tak waras tadi masih terngiang jelas di memoriku, bagai teriris sembilu, air mata tak dapat terbendung lagi. Amarah yang tadi tidak tersalurkan, memuncak dan meleleh dalam aliran air mata di pelupuk mata yang aku biarkan menetes hingga kering dan menyisakan kelegaan dalam rongga dada.
Akhirnya, sampailah aku di stasiun akhir. Aku turun dan bersiap menaikkan endorphin dengan paket value meal ditawarkan sebuah restoran siap saji di tengah kota Bogor. Sambil membalas blackberry messanger, aku tumpahkan semua emosi ke dalam nyanyian angkara murka sebagai wujud manifestasi yang tak tersalurkan. Sang teman hanya menanggapi dengan tertawa renyah untuk mencairkan suasana hati sambil sesekali mengutuki dia yang tak waras. Sungguh pengalaman baru untukku. Bertemu dengan spesies orang macam demikian. Kerasnya zaman memang dapat mengubah orang menjadi berbagai pribadi. Bila tak kuat mental, ia dapat saja jatuh ke dalam lubang emosi tak terkendali dan memberikan ruang lebar untuk beragam penyakit masuk ke dalam jiwa raganya. Ya, seperti lelaki tadi.
Aku berjalan lunglai dengan tempo melambat. Keringat mengucur sebutir-sebutir sebagai manifestasi ketegangan melawan arus kendaraan. Aku bersama salah satu teman sejawat berjalan menuju stasiun. Namun, ternyata ia dijemput teman lelakinya di perempatan jalan. Tahu begitu, aku tak lewat situ. Karena bila tak hati-hati, bisa saja kita tersambar beragam tipe kendaraan yang dipastikan tak ada yang mau tanggung jawab. Semenit kemudian, tiket sudah ada di tangan. Aku mencari jalur kereta dan masuk ke gerbong tiga. Tak ada tempat duduk yang kosong. Menyelip pun rasanya sulit. Karena penasaran aku menyusuri gerbong ke gerbong. Aku perhatikan wajah orang per orang. Jalan terakhir adalah berdiri di depan orang yang menurut feelingku turun di stasiun sebelum Bogor. Aku pun berdiri di hadapannya. Dia adalah bapak setengah baya, dua orang yang saling mengenal. Stasiun demi stasiun aku lalui dan orang pun semakin banyak yang berjejalan masuk ke dalam kereta. Tidak berimbang dengan jumlah orang yang turun. Namun karena kereta yang aku naiki berangkat setelah magrib, maka jumlah jejal orang tiap gerbong masih manusiawi bila dibandingkan dengan kereta yang berangkat sekitar pukul lima sore. Udara ac yang disuguhkan dalam fasilitas gerbong terasa kurang signifikan dengan tiket senilai 7 ribu rupiah. Mungkin, bila ingin nyaman, tarif tiket harus dinaikkan seperti rencana kenaikan tarif kereta yang sedang marak diperdebatkan. Mungkin juga kenaikan tarif tak ada hubungannya dengan pelayanan kenyamanan penumpang kereta. Entahlah. Namun satu yang pasti bahwa hati mana yang tak ingin diperlakukan adil bila kita sudah menukarkan pundi rupiah dengan sehelai kertas bertajuk tiket commuter line?
Ketika hatiku sedang berdebat mengenai tarif tiket dan pelayanan kereta api, aku perhatikan sekeliling. Kebanyakan penumpang adalah pekerja kantoran yang berangkat saat matahari baru berniat untuk bangun dari peraduan dan pulang ketika matahari telah lelah berpijar. Posisi mereka adalah berdiri di depan penumpang yang beruntung mendapat tempat duduk. Untuk menghilangkan kejenuhan, rasa pegal, sekaligus membunuh waktu selama kurang lebih satu setengah jam, mereka sibuk dengan gadget anyar masing-masing. Satu tangan memegang handle, satu lagi berolahraga jari sibuk mengetik pesan dan membuka beragam situs sambil mendengarkan musik. Multi tasking. Demikianlah kebiasaan baru masyarakat urban dewasa ini. Aku pun mau tak mau mengikuti tren tersebut. Karena bapak setengah baya di depanku pun tak jelas kapan turunnya, maka aku menyibukkan diri dengan membaca macam informasi dan status teman di beragam media sosial sambil sesekali mencuri pandang memperhatikan tingkah laku penumpang di hadapanku. Tak sengaja aku memandang papan informasi yang menempel di depanku. Ternyata, lembar informasi tersebut adalah komik ala KAI berwarna menarik yang berisi cerita tentang kenaikan tarif kereta api. Pada komik kecil tersebut diawali dengan cerita tentang penumpang yang mengajukan protes tentang kenaikan tarif tiket sebesar dua ribu rupiah, kemudian muncul petugas baik hati yang meredam amarah penumpang, ia memberitahu bahwa kenaikan tarif kereta ini bukan karena tanpa alasan, namun karena akan adanya penambahan sebanyak 238 kereta karena penumpang yang bertambah setiap tahunnya lalu akan ada rangkaian khusus wanita (bukan hanya gerbong) serta akan ada layar infomasi kereta di tiap gerbongnya. Bayangkan. Rencana yang lumayan fantastis bukan? Entah tahun berapa rencana tersebut dapat benar-benar terwujud. Kita tunggu saja janji manisnya KAI.
Satu jam telah aku lewati dengan berdiri sabar sambil menggenggam gadget di tangan. Ketika gerik sang bapak telah menampakkan rasa gelisah dan sesekali melihat ke arah jendela, aku telah siap untuk bertukar tempat dengannya. Asam laktat memang sudah menjalar ke atas betisku. Dan gayung pun bersambut. Sang bapak dengan kesadaran tinggi bersedia bertukar tempat denganku. Perkiraan aku adalah dia akan turun di stasiun setelah ini, namun ternyata tidak. Ia benar-benar bertukar tempat denganku. Aku duduk dan ia berdiri. Bergiliran duduk, berbagi kenyamanan. Ia turun di tiga stasiun setelah dia berdiri. Aku sangat terapresiasi dengan kebaikannya. Masih ada orang yang mau bergantian duduk dengan orang lain walaupun tak saling kenal. Karena aku pernah memiliki pengalaman pahit seputar posisi duduk dan berdiri yang seolah terkasta di dalam kereta.
Saat itu hari Jumat, hari dimana aku biasa pulang ke Bogor menggunakan transportasi kereta. Ketika aku naik, kondisi kereta sudah sangat penuh. Sebagian besar penumpang pasti naik di stasiun sebelum Kota. Tak adil memang, tapi mau bagaimana lagi. Petugasnya pun tak menghiraukan modus tersebut. Aku masuk ke gerbong yang tak banyak penumpang berdiri karena aku takut terjepit dan sesak di dalam gerbong yang penuh. Posisiku adalah berdiri di depan lelaki yang aku taksir berumur 30-an yang tidur dengan menggunakan masker. Walaupun keadaan gerbong agak panas, dia tetap terlelap nikmat tanpa kekurangan oksigen. Aku berdiri terus sambil menikmati suhu gerbong yang berangsur memanas oleh derasnya penumpang. Maklum memang. Hari Jumat pukul setengah enam pula. Hari dimana jadwal orang mendadak penuh dengan rencana menghabiskan uang bersenang-senang. Agak jenuh memang. Karena baterai gadget sedang sekarat, ditambah posisi berdiri yang agak terjepit oleh penumpang yang berdiri di belakangku dan yang duduk di depanku. Satu jam sudah aku berjibaku dengan keringat dan kejenuhan. Penumpang di depanku pun tak ada tanda-tanda untuk turun. Ia masih sibuk dalam episode bunga tidurnya. Tiba-tiba ia terbangun. Ia menengok perrlahan ke jendela. Setelah terkumpul semua kesadarannya dan kereta berhenti, ia pun bersiap turun. Fiuh, akhirnya tiba saatnya bergantian duduk, pikirku. Namun,ternyata semua tidak berjalan sesuai perkiraanku. Sebelum bangkit, ia memanggil ibu yang membawa anak usia lebih dari balita -tapi masih digendong- untuk duduk di tempatnya. Kontan aku kaget setengah mati. Aneh sekali, bukannya ia memberikan tempatnya kepadaku yang ia tahu sudah berdiri di depannya dari stasiun pertama, tapi malah menyuruh ibu yang baru saja naik untuk duduk menggantikannya. Padahal posisi ibu itu sangat jauh darinya. Ketika ia akan bangkit, ia berkata ketus kepadaku, "jangan harap gua bakal kasih tempat ke loe ya. Ga sudi gua. Masih muda sih berdiri aja donk. Gua tau loe kuat!" dengan nada sinis mengejek. Aku yang juga sudah lelah dengan asam laktat hampir sampai puncaknya pun sontak terkejut dan ingin sampai hati untuk menampar mukanya dan menendang mulut harimaunya agar ia merasakan akibat perkataan 'asal-bunyi' yang ia lontarkan tanpa etika. Namun, aku teringat kata mutiara bahwa orang bijak berpendidikan adalah orang yang kepalanya tetap dingin sekalipun hatinya panas. Memang, darahku saat itu mendidih, tenggorokanku tercekat, dan mataku memanas. Itulah tanda bahwa aku sedang dirundung amarah menjadi. Tetapi, aku tak banyak kata, anggap saja orang tidak waras yang naik kereta. Aku tak menghiraukannya, aku duduk saja di tempat yang menjadi hakku. Ibu tadi pun duduk di sebelahku. Perkataan orang tak waras tadi masih terngiang jelas di memoriku, bagai teriris sembilu, air mata tak dapat terbendung lagi. Amarah yang tadi tidak tersalurkan, memuncak dan meleleh dalam aliran air mata di pelupuk mata yang aku biarkan menetes hingga kering dan menyisakan kelegaan dalam rongga dada.
Akhirnya, sampailah aku di stasiun akhir. Aku turun dan bersiap menaikkan endorphin dengan paket value meal ditawarkan sebuah restoran siap saji di tengah kota Bogor. Sambil membalas blackberry messanger, aku tumpahkan semua emosi ke dalam nyanyian angkara murka sebagai wujud manifestasi yang tak tersalurkan. Sang teman hanya menanggapi dengan tertawa renyah untuk mencairkan suasana hati sambil sesekali mengutuki dia yang tak waras. Sungguh pengalaman baru untukku. Bertemu dengan spesies orang macam demikian. Kerasnya zaman memang dapat mengubah orang menjadi berbagai pribadi. Bila tak kuat mental, ia dapat saja jatuh ke dalam lubang emosi tak terkendali dan memberikan ruang lebar untuk beragam penyakit masuk ke dalam jiwa raganya. Ya, seperti lelaki tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?