Selasa, 21 Juli 2015

Pengakuan Eks Parasit Lajang : Membumikan Kesetiaan

“Aku tidak akan setia pada lelaki, aku akan setia pada manusia” – A, 2013
          Suatu kali, saya berkesempatan untuk membaca dan menyelami sebuah novel karya Ayu Utami. Saya mengaku kagum hingga nge-fans oleh pemikiran seorang Ayu Utami. Rasanya, ingin sekali saya berkelindan hingga menikmati ruap hangat yang tercipta, kemudian mengawetkannya ke dalam botol layaknya Sandy Yudha yang menyimpan stoples jari kelingking si Fulan yang putus ketika memanjat tebing bersama. Novel yang saya maksud adalah sambungan dari novel berjudul Si Parasit Lajang, yaitu Pengakuan Eks Parasit Lajang. Judulnya kontroversial? Ah, saya rasa tidak. Sebelum menyebut sesuatu sebagai istilah, maka perlu didefinisikan terlebih dahulu istilah tersebut. Siapa tahu, berbeda sudut pandang sehingga akan berbeda jalan menuju ujung pangkal. Beberapa prinsip khususnya dalam hal spiritual diulas dalam sudut pandang kritis sehingga menghasilkan kesimpulan yang menurut saya logis. Memang, karena Ayu Utami adalah seorang Katolik, dahulunya, maka banyak sekali pembahasan mengenai Alkitab baik perjanjian lama maupun perjanjian baru yang ditulis sehingga saya perlu lebih dari sekali untuk memahaminya. Namun, justru menguatkan alur logisme yang dihasilkan.
          Dalam Pengakuan Eks Parasit Lajang, pembaca diberikan kesempatan untuk mengingat kembali novel sebelumnya yaitu Si Parasit Lajang dan Cerita Cinta Enrico. Tak berbeda dengan sebelumnya, Ayu Utami membagi menjadi 3 bab yaitu seorang gadis yang melepas keperawannya dan menjadi peselingkuh, bocah yang kehilangan imannya, dan seorang wanita di jalan pulang. Kali ini, cerita dimulai dari kehidupan masa kecil di Kota Hujan dengan segala cerita dan intrik. A dibesarkan dalam lingkungan Katolik yang taat. Ibunya pun banyak mengajarkan kelembutan sekaligus kejelasan padanya seperti quote berikut : “jika kamu takut sesuatu, sesuatu itu harus diperjelas, sesuatu itu harus dihadapi”. Kata-kata tersebut menjadi kekuatannya ketika menghadapi hal-hal mistis yang ia alami dan imajinasikan seperti ketakutan akan hantu jerangkong. Ketika A beranjak remaja dan dewasa, berbagai pertanyaan kritis mulai muncul dalam dirinya, seperti ketika ia berpacaran dengan berbagai jenis lelaki hingga mengalami keanehan dalam cara berpikir lelaki tersebut saat dihadapkan pada kenyataan bahwa A berselingkuh dengan lelaki lain. Sebutlah ia Nik yang menjadi kekasih terlamanya hingga A menemukan Rik sebagai kekasih terakhirnya dalam belantara pengembaraan asmara (ah, rasanya seperti judul sinetron saat saya SD sejenis noktah merah perkawinan, :D ). Nik ingin bertanggung jawab terhadap apa yang sudah ia lakukan bersama A yaitu dengan menikahinya dan menjadikan A sebagai istri solehah yang artinya A harus pindah agama. Di titik ini, pendapat Nik pun didebat bahwa terjadi pelekatan nilai terhadap sebuah hubungan yang diteruskan dengan adanya praktik patriarki yang dibalut dalam sistem perkawinan. Pelekatan nilai tersebut maksudnya adalah status atau nilai yang ditempelkan pada seseorang atau sesuatu sehingga dapat diukur, dirangking, hingga dapat ditukar atau dijualbelikan. Sebagai contoh, adanya nilai sukses dan tidak sukses dalam diri seseorang, kaya atau miskin, muda atau tua, pintar atau bodoh, perawan atau sudah pernah bersetubuh, dan kuantifikasi lainnya. Hal ini pun secara tidak sadar melembaga sehingga berlaku dalam suatu hubungan antara lelaki dan wanita. Dalam hal ini, seringkali wanita menjadi korban. Lelaki tidak mau menerima wanita yang sudah tidak perawan, karena dianggap tabu, selaput daranya sudah robek (padahal tahu apa lelaki terhadap selaput itu). Sedangkan lelaki, dia bisa saja sudah tidak perjaka tapi karena sulit melacaknya (perlu kejujuran hakiki), maka lelaki pun lolos begitu saja. Di sinilah letak ketidakadilan yang diusung oleh novel ini.
          Pada hakikatnya, lelaki dan wanita itu sama saja, setara, sejajar. Itulah keadilan. Jadi, dalam sebuah hubungan antara lelaki dan wanita, perlu adanya relasi kesetaraan, bukan relasi penguasaan bahwa lelaki berkuasa atas wanita tersebut namun adanya kesepakatan antara lelaki dan wanita untuk memposisikan diri setara, tidak ada yang lebih ditinggikan atau direndahkan. Lelaki memandang wanita sebagai subjek, bukan objek, sehingga saling menghargai lahiriah dan batiniah diperlukan pada tahap ini. Intinya adalah hubungan yang memanusiakan. A menganalisa kejadian demi kejadian yang ia alami selama hidupnya yang direfleksikan melalui sistem internal diri A. Analogi permainan komputasi yang diawali dengan pertanyaan : dimana batas antara lelaki dan manusia untuk menghasilkan kesetaraan? Petualangan pencarian jawaban pun dimulai. Ternyata setelah disimpulkan, terdapat proses yang terdapat dalam kehidupan manusia. Pada candi Buddha/Hindu, proses tersebut disebut sebagai ‘datu’ yaitu kamadatu/bhurloka (alam nafsu), rupadatu/bhuwarloka (alam yang merdeka dimana manusia sudah dapat mengontrol nafsunya dan tidak mendekati alam nafsu lagi), dan arupadatu/swarloka (alam surga yang suci). 3 proses manusia tersebut adalah pertama pengambilan bentuk. Di sini, manusia dibedakan menjadi lelaki dan wanita menurut kelaminnya dan proses reproduksi yang terjadi. Dengan kata lain, dunia biologis-seksual. Apabila lelaki atau wanita disakiti biologis-seksualnya, maka sama saja menyakiti manusia. Selain itu, adanya karakteristik biologis-psikologis yang menyangkut perasaan baik lelaki maupun wanita terhadap sesuatu. Apabila perasaan lelaki atau wanita disakiti, maka sama halnya dengan manyakiti manusia itu sendiri. Maka, proses pertama ini berkaitan erat dengan manusia dan tidak bisa terpisahkan hanya dengan jenis kelamin. Proses kedua, yaitu pelekatan nilai yaitu dengan dibangunnya nilai-nilai baru terhadap bentuk luar yang bisa saja tidak berkaitan dengan proses asali serta tidak adil karena hanya melingkupi kepentingan tertentu saja. Nah, proses kedua ini berkaitan dengan proses ketiga yaitu sistem patriarki yang juga disebut sebagai aspek kultural/jender seperti wewenang & kekuasaan yang khasnya ditujukan hanya bagi lelaki. Inilah masalah utamanya, bahwa pada bagian patriarki ini, lelaki menjadi lebih utama daripada yang lain. Ini bisa diukur dari kekuasaan dan daya beli yang dipegang oleh lelaki. Mari kita uji bersama, dengan menyakiti atau tidak mengakui wewenang dan kekuasaan hanya pada lelaki, maka kita tidak mengorbankan manusia karena apabila demikian justru wanita yang berada di bawah kuasa lelaki. Berarti ada makhluk yang tidak mendapatkan keadilan dan kesetaraan.
           Kuncinya sebenarnya adalah hubungan yang memanusiakan, yaitu hubungan antar manusia, bukan lagi hubungan lelaki perempuan, melainkan antara dua subjek yang setara sehingga orang tidak akan pergi karena ada yang lebih menggiurkan atau menjanjikan. Orang mencoba untuk setia. Dengan berpatokan pada kesimpulan tersebut, A pun menimbang dengan matang keputusannya untuk bersama Rik sebagai kekasih terakhirnya. A telah melakukan penilaian terhadap kesamaan sistem yang dibangun antara keduanya, bahwa mereka memiliki prinsip tidak menuntut pergantian iman, tidak ingin menjadi pemimpin, tidak merasa lebih berwenang, tidak melepaskan tanggung jawab kontrasepsi pada wanita, dan memberikan kebebasan sebanyak menginginkannya. Artinya bahwa hubungannya setara antara lelaki dan wanita. Hubungannya telah melalui tahap seksualitas yang tulus dan tidak berhenti di sana. Hubungannya telah meningkat menjadi hubungan antar manusia. A dan Rik akhirnya menikah secara agama, tidak secara sipil karena hanya agamalah yang tidak memiliki sistem patriarki dalam menjalani kehidupan pasca pernikahan. A dan Rik melangsungkan upacara pernikahan di kapel sekolahnya, di Kota Hujan. Upacara tersebut sekaligus menjadi saksi kepulangan A kepada memori masa kecil yang sempat terputus.

           Saya pribadi setuju dengan konsep “hubungan yang memanusiakan”. Sejatinya, setiap makhluk baik itu lelaki maupun wanita memilliki hak dan kewajiban yang sama dalam hidup ini. Apalagi dalam hal sebuah hubungan yang melibatkan dua insan. Bahwa setiap manusia tidak berhak menghakimi orang lain, memasuki teritorinya, apalagi menguasainya. Itulah esensi dari setia pada manusia daripada lelaki. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?