“Aku tidak akan setia pada lelaki, aku akan setia pada
manusia” – A, 2013
Suatu
kali, saya berkesempatan untuk membaca dan menyelami sebuah novel karya Ayu Utami. Saya mengaku kagum hingga nge-fans
oleh pemikiran seorang Ayu Utami. Rasanya, ingin sekali saya berkelindan hingga
menikmati ruap hangat yang tercipta, kemudian mengawetkannya ke dalam botol
layaknya Sandy Yudha yang menyimpan stoples jari kelingking si Fulan yang putus
ketika memanjat tebing bersama. Novel yang saya maksud adalah sambungan dari
novel berjudul Si Parasit Lajang, yaitu Pengakuan Eks Parasit Lajang. Judulnya
kontroversial? Ah, saya rasa tidak. Sebelum menyebut sesuatu sebagai istilah,
maka perlu didefinisikan terlebih dahulu istilah tersebut. Siapa tahu, berbeda
sudut pandang sehingga akan berbeda jalan menuju ujung pangkal. Beberapa prinsip
khususnya dalam hal spiritual diulas dalam sudut pandang kritis sehingga
menghasilkan kesimpulan yang menurut saya logis. Memang, karena Ayu Utami
adalah seorang Katolik, dahulunya, maka banyak sekali pembahasan mengenai
Alkitab baik perjanjian lama maupun perjanjian baru yang ditulis sehingga saya
perlu lebih dari sekali untuk memahaminya. Namun, justru menguatkan alur
logisme yang dihasilkan.
Dalam
Pengakuan Eks Parasit Lajang, pembaca diberikan kesempatan untuk mengingat
kembali novel sebelumnya yaitu Si Parasit Lajang dan Cerita Cinta Enrico. Tak
berbeda dengan sebelumnya, Ayu Utami membagi menjadi 3 bab yaitu seorang gadis
yang melepas keperawannya dan menjadi peselingkuh, bocah yang kehilangan
imannya, dan seorang wanita di jalan pulang. Kali ini, cerita dimulai dari
kehidupan masa kecil di Kota Hujan dengan segala cerita dan intrik. A
dibesarkan dalam lingkungan Katolik yang taat. Ibunya pun banyak mengajarkan
kelembutan sekaligus kejelasan padanya seperti quote berikut : “jika kamu takut sesuatu, sesuatu itu harus
diperjelas, sesuatu itu harus dihadapi”. Kata-kata tersebut menjadi kekuatannya
ketika menghadapi hal-hal mistis yang ia alami dan imajinasikan seperti
ketakutan akan hantu jerangkong. Ketika A beranjak remaja dan dewasa, berbagai
pertanyaan kritis mulai muncul dalam dirinya, seperti ketika ia berpacaran
dengan berbagai jenis lelaki hingga mengalami keanehan dalam cara berpikir
lelaki tersebut saat dihadapkan pada kenyataan bahwa A berselingkuh dengan
lelaki lain. Sebutlah ia Nik yang menjadi kekasih terlamanya hingga A menemukan
Rik sebagai kekasih terakhirnya dalam belantara pengembaraan asmara (ah,
rasanya seperti judul sinetron saat saya SD sejenis noktah merah perkawinan, :D
). Nik ingin bertanggung jawab terhadap apa yang sudah ia lakukan bersama A
yaitu dengan menikahinya dan menjadikan A sebagai istri solehah yang artinya A
harus pindah agama. Di titik ini, pendapat Nik pun didebat bahwa terjadi
pelekatan nilai terhadap sebuah hubungan yang diteruskan dengan adanya praktik
patriarki yang dibalut dalam sistem perkawinan. Pelekatan nilai tersebut
maksudnya adalah status atau nilai yang ditempelkan pada seseorang atau sesuatu
sehingga dapat diukur, dirangking, hingga dapat ditukar atau dijualbelikan.
Sebagai contoh, adanya nilai sukses dan tidak sukses dalam diri seseorang, kaya
atau miskin, muda atau tua, pintar atau bodoh, perawan atau sudah pernah
bersetubuh, dan kuantifikasi lainnya. Hal ini pun secara tidak sadar melembaga
sehingga berlaku dalam suatu hubungan antara lelaki dan wanita. Dalam hal ini,
seringkali wanita menjadi korban. Lelaki tidak mau menerima wanita yang sudah
tidak perawan, karena dianggap tabu, selaput daranya sudah robek (padahal tahu
apa lelaki terhadap selaput itu). Sedangkan lelaki, dia bisa saja sudah tidak
perjaka tapi karena sulit melacaknya (perlu kejujuran hakiki), maka lelaki pun
lolos begitu saja. Di sinilah letak ketidakadilan yang diusung oleh novel ini.
Pada hakikatnya,
lelaki dan wanita itu sama saja, setara, sejajar. Itulah keadilan. Jadi, dalam
sebuah hubungan antara lelaki dan wanita, perlu adanya relasi kesetaraan, bukan
relasi penguasaan bahwa lelaki berkuasa atas wanita tersebut namun adanya
kesepakatan antara lelaki dan wanita untuk memposisikan diri setara, tidak ada
yang lebih ditinggikan atau direndahkan. Lelaki memandang wanita sebagai
subjek, bukan objek, sehingga saling menghargai lahiriah dan batiniah
diperlukan pada tahap ini. Intinya adalah hubungan yang memanusiakan. A
menganalisa kejadian demi kejadian yang ia alami selama hidupnya yang
direfleksikan melalui sistem internal diri A. Analogi permainan komputasi yang
diawali dengan pertanyaan : dimana batas antara lelaki dan manusia untuk
menghasilkan kesetaraan? Petualangan pencarian jawaban pun dimulai. Ternyata
setelah disimpulkan, terdapat proses yang terdapat dalam kehidupan manusia. Pada
candi Buddha/Hindu, proses tersebut disebut sebagai ‘datu’ yaitu kamadatu/bhurloka
(alam nafsu), rupadatu/bhuwarloka (alam yang merdeka dimana manusia sudah dapat
mengontrol nafsunya dan tidak mendekati alam nafsu lagi), dan arupadatu/swarloka
(alam surga yang suci). 3 proses manusia tersebut adalah pertama pengambilan
bentuk. Di sini, manusia dibedakan menjadi lelaki dan wanita menurut kelaminnya
dan proses reproduksi yang terjadi. Dengan kata lain, dunia biologis-seksual.
Apabila lelaki atau wanita disakiti biologis-seksualnya, maka sama saja
menyakiti manusia. Selain itu, adanya karakteristik biologis-psikologis yang
menyangkut perasaan baik lelaki maupun wanita terhadap sesuatu. Apabila perasaan
lelaki atau wanita disakiti, maka sama halnya dengan manyakiti manusia itu
sendiri. Maka, proses pertama ini berkaitan erat dengan manusia dan tidak bisa
terpisahkan hanya dengan jenis kelamin. Proses kedua, yaitu pelekatan nilai
yaitu dengan dibangunnya nilai-nilai baru terhadap bentuk luar yang bisa saja
tidak berkaitan dengan proses asali serta tidak adil karena hanya melingkupi
kepentingan tertentu saja. Nah, proses kedua ini berkaitan dengan proses ketiga
yaitu sistem patriarki yang juga disebut sebagai aspek kultural/jender seperti
wewenang & kekuasaan yang khasnya ditujukan hanya bagi lelaki. Inilah
masalah utamanya, bahwa pada bagian patriarki ini, lelaki menjadi lebih utama
daripada yang lain. Ini bisa diukur dari kekuasaan dan daya beli yang dipegang
oleh lelaki. Mari kita uji bersama, dengan menyakiti atau tidak mengakui
wewenang dan kekuasaan hanya pada lelaki, maka kita tidak mengorbankan manusia
karena apabila demikian justru wanita yang berada di bawah kuasa lelaki. Berarti
ada makhluk yang tidak mendapatkan keadilan dan kesetaraan.
Kuncinya
sebenarnya adalah hubungan yang memanusiakan, yaitu hubungan antar manusia,
bukan lagi hubungan lelaki perempuan, melainkan antara dua subjek yang setara
sehingga orang tidak akan pergi karena ada yang lebih menggiurkan atau
menjanjikan. Orang mencoba untuk setia. Dengan berpatokan pada kesimpulan
tersebut, A pun menimbang dengan matang keputusannya untuk bersama Rik sebagai
kekasih terakhirnya. A telah melakukan penilaian terhadap kesamaan sistem yang
dibangun antara keduanya, bahwa mereka memiliki prinsip tidak menuntut
pergantian iman, tidak ingin menjadi pemimpin, tidak merasa lebih berwenang,
tidak melepaskan tanggung jawab kontrasepsi pada wanita, dan memberikan
kebebasan sebanyak menginginkannya. Artinya bahwa hubungannya setara antara
lelaki dan wanita. Hubungannya telah melalui tahap seksualitas yang tulus dan
tidak berhenti di sana. Hubungannya telah meningkat menjadi hubungan antar
manusia. A dan Rik akhirnya menikah secara agama, tidak secara sipil karena
hanya agamalah yang tidak memiliki sistem patriarki dalam menjalani kehidupan
pasca pernikahan. A dan Rik melangsungkan upacara pernikahan di kapel
sekolahnya, di Kota Hujan. Upacara tersebut sekaligus menjadi saksi kepulangan
A kepada memori masa kecil yang sempat terputus.
Saya
pribadi setuju dengan konsep “hubungan yang memanusiakan”. Sejatinya, setiap
makhluk baik itu lelaki maupun wanita memilliki hak dan kewajiban yang sama
dalam hidup ini. Apalagi dalam hal sebuah hubungan yang melibatkan dua insan.
Bahwa setiap manusia tidak berhak menghakimi orang lain, memasuki teritorinya,
apalagi menguasainya. Itulah esensi dari setia pada manusia daripada lelaki.