Sabtu, 25 Januari 2014

Sekilas Intermezzo tentang Jakarta

     Jumat lalu ketika akan menghadiri sebuah acara di bilangan sudirman, tak sengaja telinga ini bertemu dengar dengan siaran salah satu radio sohor di ibukota. Tujuannya sih sebenarnya hanya ingin mencari info lalu lintas, namun ternyata sang penyiar mengoceh sebuah intermezzo tentang ibukota. Kira-kira begini intermezzonya :
"Hari Jumat begini, emang hari yang ditunggu sama warga ibukota yang bekerja. Soalnya kan besok udah libur. Nah ngomong-ngomong soal pekerjaan,  sebenernya saya gerah dengan kondisi Jakarta ini. Banyak banget pendatang yang ngakunya sih pengen jadi warga Jakarta, tapi kenyataannya cuma numpang hidup doank di Jakarta. Tinggal di tanah Jakarta, menghirup udaranya tiap hari, mencari rezeki, tapi herannya membuang sampah di kali! Mereka tuh kebanyakan, kerja di Jakarta, dapet duit, terus balik ke kampung asalnya, petantang petenteng, ngakunya sih punya tanah di Jakarta, hidup mewah, pokoknya jadi orang modern-lah di Jakarta. Padahal, lebih banyak nyusahin Jakarta daripada kasih manfaatnya. Nah, kita nih warga asli Jakarta yang jadi dirugikan, karena secara ga langsung dijajah sama orang lain yang ga bertanggung jawab.."
Dua hari kemudian, seperti biasa saya memulai aktivitas rutin setelah pulang kantor yaitu hunting makan malam bersama sahabat seperjuangan. Malam itu, gerah, gusar, hingga marah bercampur menjadi satu tatkala melihat kenyataan pahit di depan mata. ABG tanggung bersama puluhan pekerja yang entah penduduk asli atau pendatang, sama-sama menyebrangi jalan menuju ke pangkalan angkot dengan santainya membuang sampah bekas bungkus produk instan sekenanya, sembarangan, seolah jalanan adalah tempat sampah. Belum lagi pedagang kaki lima plus pembelinya yang dengan innocent menabung sampah di selokan yang bermuara ke sungai. Spontan, saya teringat keluhan dari penyiar sohor yang saya dengar kemarin. "Lebih banyak nyusahinnya daripada ngasih manfaatnya, buat Jakarta". Mau tidak mau, suka tidak suka, saya mengamini semua perkataan sang penyiar. Bagai dilempari bogem rasanya. Hati terasa panas berkecamuk, kepala pun ikut-ikutan ingin memuntahkan sepatah dua patah kalimat peringatan. Namun, nurani tak mengizinkan. Daripada mencari masalah yang tak berkesudahan, lebih baik saya melenggang kangkung saja, berpura-pura tak tahu, terpaksa menjadi apatis. 

     Ya, Jakarta dengan kompleksitas problematika panjang yang tak berkesudahan adalah sebuah kehidupan      yang dilakoni oleh berjuta-juta tubuh setiap harinya. Kebanyakan dari mereka adalah pendatang. Namun tak sedikit pula yang telah hidup lama di Jakarta, bereproduksi, menelurkan keturunan, serta turut andil dalam menyebarkan pengaruh asimilarisasi kebudayaan. Banyak diantara mereka yang sukses menjadi pemimpin dan pengusaha, menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang sehingga meningkatkan pendapatan perkapita daerah dan devisa negara. Kondisi tersebut cenderung menjadi magnet bagi para penduduk lain di luar Jakarta untuk berbondong-bondong bekerja dan tinggal di Jakarta. Apapun dapat dibarter dengan uang kalau hidup di Jakarta. Kalau kata mereka, ibaratnya Jakarta itu bagai kota emas. Kilaunya memabukkan, nilainya menggairahkan. Hal ini paradoks dengan kualitas sumberdaya manusianya. Kebanyakan, orang daerah luar melihat Jakarta hanya dari sisi luarnya saja, dari kemewahan gedung pencakar langit, mobil yang berseliweran, eksekutif muda berjas, dan mall yang prestise. Padahal, sisi lain Jakarta pun tak kalah ironisnya. Mereka pun akhirnya masuk ke dalam lubang ironis Jakarta, berkutat dalam pekerjaan yang tak pasti, tanpa keahlian yang menjual, tanpa penghasilan tetap, dan tanpa tempat tinggal yang layak. Mereka terus bertahan, tak gentar sekalipun diusir dari tanah Jakarta yang melenakan di awal, menyengsarakan di akhir, terus beranak pinak dan mewariskan kepiluan yang sayangnya tak mau untuk diubah. 

     Fenomena kaum urban Jakarta yang terlihat miris, tidak sebanding dengan gaya hidup yang jauh dari kata simpati. Perilaku mereka sangat tidak layak untuk diapresiasi. Alasannya simpel sekali, karena keadaan yang memaksa. Apakah untuk sekedar selalu membuang sampah pada tempat sampah, bukan di tempat umum dan di selokan / sungai harus dipaksa dengan jalan militer? Bila mungkin di tempat umum kekurangan tempat sampah, apakah sulit bila sampah bekas pribadi ditaruh terlebih dahulu di tas atau kantong sampai menemukan tempat sampah? Aneh memang. Tapi nyata. Sumbangan sampah dirimu akan menambah panjang daftar bencana yang menunggumu di ujung sana, seperti fenomena gunung es, tiba-tiba hartamu ludes seketika gara-gara perilakumu yang tak kau sadari. Susah memang untuk mengubah perilaku karena sudah mengakar hingga ke dalam sukma. Namun, itulah konsekuensi hidup. Bahwa, kau menumpang di tanah orang. Lalu dengan berani kau kotori, kau sumbang bencana, dan kau lepas tangan, tak mau disalahkan. Mungkin hanya segelintir orang yang tak punya malu, namun tak sedikit pula yang menahan ego. Masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang tak layak disebut mungkin. Walau kemungkinan pun dapat sembunyi dalam mungkin-mungkin yang baru. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?