Minggu, 26 Januari 2014

Anda hamil, koq saya yang repot?

     Debar mendebur menunggu kereta yang tak pasti datang karena gangguan. Penumpang telah membludak di pinggiran, berharap dapat terangkut sampai tujuan. Diantara mereka, terselip seseorang berjaket parasut memanggul tas ransel kecil sebanding dengan tubuhnya. Kerut wajahnya semakin berlipat melihat lalu lalang orang yang tak kunjung padam. Dalam hatinya tersita sebuah tanya tentang perjalanan ini, tersiksa atau terlena.
       Sayu menggenapi pertemuannya dengan besi tua panjang laksana ular sawah yang diburu peladang. Degup jantung berderap kencang tatkala pintu gerbong menganga tepat dihadapan. Hanya ada satu fokus yang terlintas, mencari sebundar tempat yang pas dengan badan untuk bersemayan santai sepanjang perjalanan. Harapannya terpenuhi. Seolah nakhoda, ia putuskan untuk membunuh waktu dengan bermimpi untuk mengelabui, seperti yang kebanyakan dilakukan. Sang besi tua terus melaju di lintasan dengan kecepatan konstan. Dua, empat stasiun terlewati, hingga saatnya sampailah di stasiun yang terkenal paling sibuk dan padat. Apalagi di jam-jam pulang. Manusia bagai air bah yang datang menerjang, menenggelamkan dengan sekejap tubuh mungil dalam dekapan dan jepitan, mirip pisang coklat yang diapit oleh dua lembar roti bakar. Disini, hukum rimba berlaku. Egosentris manusia makin menjadi. Saya pun hanyut dalam aliran. Sejenak membutakan mata, menulikan telinga, dan menutup hati. Demi kenyamanan diri yang telah dibeli. 
       Tak sampai setengah jam, panggung sandiwara yang telah susah payah dibangun, hancur sudah. Sejurus kemudian, saya dibangunkan oleh teriakan norak khas perempuan. "Woy..ada ibu hamil nih, bangun donk! Yang pada duduk hamil semua bukan?!" Masih dengan setengah tertidur, saya dibangunkan paksa oleh seratus pasang mata, layaknya terdakwa, saya dihakimi massa. Menutup mata dan singgah sejenak di dunia maya membuat siapapun dipaksa mengaku dosa. Dengan wajah tak rela, saya terpaksa mengalah. Diawali gumaman skeptis, "Kan bisa duduk di bangku prioritas!". Bukan hanya kata dosa yang saya dapatkan namun cacian hina membabi buta dilayangkan dengan sadisnya dari mulut seorang harimau. Tak mau membuang energi lebih banyak hanya untuk mendidihkan kepala dan membuang asap emosi ke sekitar, saya pun berdiri, diikuti dengan kata sinis sang ibu hamil, "Gila ya orang-orang, saya minta duduk dari tadi gak dikasih!". Tak ada ucapan terima kasih, ia duduk seolah ratu. Dalam hati saya simpan sebuah kalimat kritis, 'Udah tahu lagi hamil, masih aja maksain naek kereta. Loe kira gampang apa dapet duduk. Perlu perjuangan tauk! Emang gue rela kasih tempat buat loe?! Taik!' 
      Berbekal ponsel pintar, saya curahkan kalimat sakti penghapus pilu sementara. 'Gila deh kereta! Gerbong wanita, sial banget, cuy! Perjuangan gue nunggu kereta sampe dapet duduk sirna tiba-tiba gara-gara sebuah istilah : mengalah, ikhlas, dan lapang dada' Lama pesan dibalas, sampai saya disadarkan oleh hilir mudik manusia badak yang tak ada habis-habisnya. Posisi tersebut memaksa saya untuk berpegangan gantungan, menahan derasnya aktivitas dorong mendorong di belakang saya, ditambah ada saja manusia yang menyender di punggung dengan alasan tak dapat pegangan. Hati mana yang tak tersulut amarah dengan kondisi seperti itu? Apakah diam ikhlas menyelesaikan masalah? Faktanya, tidak sama sekali. Malah, menimbulkan problem baru, otot kaki yang menegang hebat hingga menimbulkan sensasi tambang yang ditarik regang. Detik itu, saya tak percaya teori di buku pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, bahwa ciri warga Indonesia adalah ramah dan sopan. Entah Indonesia bagian mana yang memiliki ciri seperti itu. Kalau boleh saya merevisi teori, ciri warga Indonesia kecuali warga ibukota dan Jabotabek adalah ramah dan sopan. Silakan rasakan dan tengok bila tak setuju.
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?