Minggu, 02 Desember 2012

*K(am)iss*

Kamis, 29 November 2012.
        Hari itu, saya mendapat sebuah undangan menghadiri kunjungan ke salah satu perusahaan yang sudah menerapkan Sistem Jaminan Halal. Perusahaan tersebut berlokasi di kaki Gunung Salak, daerah Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Perusahaan yang memproduksi es krim berbagai rasa dan merk. Indolakto. Namun, fokus cerita kali ini bukan dari kunjungannya, melainkan pelajaran selama perjalanan.
        Pagi ini agak berbeda dari biasanya. Ya, karena biasanya, pukul 7.20 pagi saya sudah siap berseragam ala anak sekolah, menunggu tebengan di seberang rumah kost. Namun, hari ini pengecualian, karena saya diminta datang menggantikan seorang manajer senior untuk menghadiri kunjungan pabrik. Tanpa banyak alasan, datang sajalah. Toh, banyak bonus yang ditawarkan disana. Dari studi banding untuk mencontek ide sistem yang sudah diterapkan disana, mencicipi es krim, hingga goodie-bag. Semua sudah terbayangkan di benak saya. Hari yang indah, I wished.
         Sesuai kesepakatan, saya diminta menunggu di Lobby kantor pusat, untuk ikut serta dalam mobil salah satu pengurus. Pukul 7.40, saya baru keluar dari kost. Raja siang telah menampakkan taringnya. Dengan peluh menetes, saya berusaha mencari taksi dengan simbol burung biru. 5 menit penantian, barulah saya mendapatkannya. Saya pun bergegas naik. Sudirman ya Pak! Dengan sigap, sang supir dengan lincahnya membelah jalanan. Sampai akhirnya, ia pun pasrah mengikuti arus arah. Kemacetan pagi dari Grogol hingga perbatasan Semanggi-Sudirman pun tak terelakkan. Banyak individu yang menghindari 3 in 1 karena ketika kita tilik satu persatu, sebagian besar mobil tersebut berpenumpang satu orang. Yaiyala, macet! Namun, saya tak mau berlarut meratapi keadaan karena saya pun berkontribusi sebagai penyebab kemacetan. Tapi kan saya ga tiap hari kali. Ah, semua orang juga pasti tidak mau disalahkan, termasuk saya. Ya berdoa sajalah. Mudah-mudahan ada mukjizat sehingga saya bisa sampai Sudirman tepat waktu. Begitu kira-kira doanya orang yang saling menzalimi, penyebab kemacetan jalanan.
             8.15. Saya masih terjebak dalam kemacetan panjang dan baru sampai di depan Central Park. Saya berusaha menenangkan diri dengan pertanyaan retoris, “Pak, macetnya masih lama ya?” ‘Mana saya tahu, memangnya saya peramal? ‘ Tapi untung saja, si supir itu tidak menjawab demikian. Dengan tenang ia jawab, “Sebentar lagi koq. Setelah perbatasan Semanggi-Sudirman, jalanan bakal lancar banget Mbak“ Oke. Sedikit tenang. Setelah itu, pembicaraan berkembang menjadi cerita tentang banjir yang melanda rumahnya di daerah Cengkareng. Akibat luapan sungai Pesanggrahan, maka tidak ada hujan deras pun, daerah Cengkareng terkena dampaknya yaitu banjir yang tak berakhir yang merendam semua perabotan rumahnya, lemari pakaian dan peralatan sekolah anaknya sehingga tak bisa sekolah selama seminggu penuh, hingga persediaan makanan yang menipis. Isunya, Jokowi akan membagikan bantuan dana senilai 25 juta ke semua kepala keluarga yang terkena musibah banjir. Namun, isu tinggallah isu, sampai persediaan makanan tinggal 7 buah mie instan pun, tak sepeser pun dana tergulir ke tangannya. Ia bercerita dengan semangatnya, saya membalasnya sekenanya sambil was-was takut telat.
08.25. Kemacetan sudah berakhir dan jalanan sangat lengang. Sang supir pun tancap gas sampai Sudirman. Ia menawarkan opsi agar saya turun di depan jembatan penyebrangan agar lebih cepat. Opsi tersebut saya ambil. Secepat kilat saya tancap gas berlari. Fiuh, untung belum terlambat. Setelah say hello sebentar, kami pun bergegas berangkat. Saya ikut nebeng di mobil ketua pengurus. Karena baru kenal, peran saya di mobil kebanyakan sebagai pengamat. Sedikit banyak belajar juga dari mereka yang sudah menjabat sebagai manajer. Setelah 2 jam perjalanan, kami pun sampai dan bercengkrama mengikuti acara.
15.30. Kunjungan sesuai dengan harapan. Hanya saja, ya kurang lama. Tapi cukup untuk pemula seperti saya. Ilmu, ide, dan kudapan telah dicerna. Saatnya kami pulang. Dalam perjalanan, topik yang dibahas adalah chemistry antara karyawan dengan pekerjaannya. Apabila telah timbul suatu chemistry, maka seorang karyawan akan dengan mudahnya menguasai medan dan beradaptasi memimpin lingkungan tersebut. Saya langsung setuju dengan opini tersebut. Bahwa chemistry sangat berkaitan dengan passion seseorang.  Dengan passion, individu akan lebih hidup dan dapat menyalurkan ide kreatifnya dalam menciptakan inovasi, dengan catatan ada lingkungan yang mewadahi dan mendukungnya. Apabila diibaratkan, seperti dua insan, pria dan wanita. Apabila telah timbul chemistry diantara mereka, maka tanpa diperintah, otak akan mengirimkan sinyal asmara yang berujung pada ikatan janji sehidup semati. Ternyata, tidak hanya saya yang berpegangan pada passion diri. Para pemangku jabatan yang saya temui pun menyadari hal itu. Bahwa passion adalah panggilan jiwa untuk bekerja dengan hati sehingga melahirkan komitmen dan loyalitas.
Senja telah menghilang, digantikan oleh malam tanpa bulan. Setelah mengantar para manajer ke Sudirman untuk pulang, saya diajak ikut serta sang supir ke arah Ancol dan mencari taksi untuk pulang ke kost. Dalam perjalanan, sang supir yang bernama Yudi, bercerita mengenai hidupnya. Rumahnya di daerah Padalarang, Bandung. Di Jakarta, ia kost di daerah Ancol. Ia baru bergabung menjadi supir kantor sejak 4 tahun silam. Sebelumnya, ia bekerja di salah satu industri di Bandung. Namun, ia memiliki pengalaman buruk. Disana, ia berprofesi sebagai operator namun di bulan ketiga ia bekerja, sang atasan mengeluarkannya dengan alasan tak jelas. Kontan, ia kaget dan menuntut ketidakadilan tersebut. Namun, bukan jawaban yang ia dapatkan melainkan usiran dari atasan. Belakangan ia baru tahu bahwa ada money politic bermain didalamnya yang berimbas pada trauma untuk bekerja kembali di industri. Tuntutan hidup yang semakin keras, membawanya ke Jakarta. Lagi-lagi ia diterima di industri. Bedanya, industri yang ia masuki saat ini, adalah salah satu industri yang sudah memiliki kepemilikan saham terbuka dan telah tercatat di Bursa Efek Indonesia. Produknya pun tak main-main. Ekspansi ke belahan negara lain telah dilakukan demi membesarkan nama dan bisnisnya. Dengan demikian, ia merasa aman sekarang. Ditambah pekerjaan yang ia rasa enjoy dijalankan. I think, he has found the chemistry to go. Passion leads him, too.
Sesuai janjinya, ia mengantarkan sampai saya menemukan taksi. Setelah mengucapkan terima kasih, saya bergegas naik taksi untuk pulang ke kost. Dalam perjalanan saya merenung. Ada 2 supir dan dua manajer telah mengajarkan saya beberapa hal. Bahwa ternyata, my problem isn’t as bigger as him. Sepatutnya, saya bersyukur, dengan semangatnya sebagai supir taksi, ia membantu saya untuk memenuhi janji agar tidak telat. Apabila ia punya itikad tidak baik, bisa saja ia bawa saya berputar agar argo-nya bertambah besar dan saya telat. Tapi, ia tidak demikian. Saya yakin ia orang baik, may God always bless him and help his problems. Kemudian, tentang chemistry dan passion. Bahwa ada banyak orang yang bekerja untuk uang, namun apabila ditanya apakah kamu bahagia dengan pekerjaanmu? maka, jawabannya dapat ya atau tidak tergantung dari tujuan ia bekerja. Apabila ia hanya bekerja untuk uang, maka pekerjaan apapun yang ia kerjakan, belum tentu ia bahagia. Namun, apabila ia bekerja atas dasar minatnya terhadap pekerjaan tersebut, ia akan terus berusaha maju berkontribusi. Secara otomatis kompensasi pun akan ia dapatkan, tanpa ada perasaan lelah menunggu datangnya upah. Saya melihat wajah-wajah penuh semangat menjalankan passion mereka dengan chemistry yang membuncah dari para manajer dan sang supir. Sejenak saya berkaca kepada diri sendiri. Apakah passion dan chemistry telah saya dapatkan dalam aktivitas saya? Memang hidup itu bukan perlombaan, tapi sebuah perjalanan, apabila kita terlalu lama berpikir dan mencari passion, maka waktu akan habis begitu saja tanpa chemistry yang dapat kita salurkan pada bidang yang kita sukai.
Lautan masih sangat luas. Kapal belum lelah berlayar. Banyak tempat yang belum sempat dikunjungi. Namun tak demikian dengan waktu.
“Your time is limited, so, don’t waste it living someone else’s life. Don’t trap by dogma-which is living with the results of other people’s thinking. Don’t let the noise of other people’s opinions drown out your own inner voice. And the most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary” – Steve Jobs

*Kiss*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?