It was Friday night and I
frightened of something unpredictable before. A transportation mode which
always brings me to my home has been crashed. Suddenly, I hate the system.
Beberapa hari kebelakang
beredar kabar buruk tentang kondisi perkeretaapian Jabodetabek yang menjadi
moda transportasi pilihan warga sipil seperti saya ini. Kondisi buruk tersebut dipicu oleh hujan
lebat disertai petir yang menyambar sistem perlistrikan. Hujan dan petir itu
musuh bebuyutannya kereta. Kalau hujan dan petir datang bersamaan, doa
Rombongan Kereta alias RoKer adalah sama yaitu berharap kereta tidak ada
gangguan sinyal yang menyebabkan jadwal kereta menjadi telat bahkan sampai
dibatalkan. Anehnya, perusahaan tunggal empunya si kereta ini tidak tanggap
sehingga selalu jatuh ke lubang yang sama dan pastinya membuat para RoKer kesal
hingga ubun-ubun.Kejadian ini tak hanya terjadi satu dua kali. Namun, karena
tak ada pilihan lain, para RoKer hanya bisa mengumpat kesal dan protes
sekenanya saja. Toh mau protes hingga mogok naik kereta pun si empunya tidak
rugi. Sikap setengah masa bodo dan setengah tidak peka perusahaan empu kereta
memang membuat sengsara. Salah satu yang
merasa nelangsa adalah saya.
Siang
hari, hati saya sudah ketar-ketir tak karuan. Apalagi kabar yang beredar adalah
jalur kereta api yang putus antara Cilebut dan Bojong Gede akibat longsor.
Entah bagaimana nanti pulang ke Bogor. Satu-satunya kendaraan yang paling cepat
dan nyaman adalah kereta. Saya dapat duduk dengan damai dengan waktu yang
relatif cepat yaitu satu sampai dua jam, saya
sudah bisa bercengkrama dengan keluarga. Memang, ada pilihan lain yaitu
naik bis. Namun, dengan kepadatan jalan yang semakin parah, mustahil dengan
satu hingga dua jam saya bisa sampai rumah. Saya pun agak bergeming tapi
penasaran juga. Antara kereta atau bis, saya pilih kereta saja yang hanya
berhenti hingga Bojong Gede, walaupun saya belum pernah ke Bojong Gede, tapi
modal nekad sajalah. Toh masih ada angkot 07 yang rutenya sampai Bogor. I
think I’ll be safe.
Awan
hitam mulai memekat. Angin menderu, mengadu pohon hingga berguruh. Kilat
menyambar, petir menampar. Hujan dan
angin seakan telah berkonfrontasi untuk berputar ke segala arah hingga sebentuk
uap hujan membasahi baju para RoKer yang menunggu di stasiun. Saya adalah salah
satu RoKer mingguan yang ikut menunggu. Sesuai dugaan, butuh waktu satu jam
untuk bersabar pasrah dan naik kereta. Dan, masuklah kami ke dalam kereta.
Perjalanan dua jam
membawa saya ke stasiun yang asing bagi saya, Bojong Gede. Ini adalah kali
pertama saya turun disana. Setengah Sembilan malam, hujan lebat, dan banjir.
Dengan sangat percaya diri saya ikuti saja kemana orang-orang keluar dari
stasiun. Suasana di luar stasiun sangat mirip dengan stasiun Bogor. Padat
karena pasar tumpah tak terkendali dengan jalan raya yang dilalui banyak
kendaraan. Sangat rawan apabila kita kelihatan seperti orang yang tak tahu
arah. Dengan bawaan tas yang agak repot ditambah satu tangan membawa payung,
saya beranikan diri bertanya ke orang sekitar. “Mbak, Mas, angkot 07 ke
Bogor ada dimana ya? Saya harus jalan ke arah kiri atau kanan?” Itulah
kira-kira pertanyaan yang saya ajukan ke 4 orang secara random. Mereka jawab “Oh,
ikuti saja jalan ini. Ke kanan, Mbak”. Oke, dengan PD saya berjalan terus
menerobos hujan bersama puluhan orang lainnya, berjibaku melawan motor yang tak
mau mengalah. Setelah satu kilometer lebih saya berjalan dan tak menemukan satu
pun angkot 07, saya agak ragu. Sampai sejauh inikah pencarian angkot? Hati saya
agak mencelos, namun karena masih banyak orang yang juga berjalan ke arah yang
sama, maka saya paksakan kaki untuk terus melangkah. Entah sampai mana
ujungnya.
Ketika kaki telah
lelah melangkah dan hati telah penuh dengan cemas, titik terang pun datang. Terlihat
orang menyerbu angkot 07. Saya tak mau kalah. Basah kuyup dan dingin. Dalam
hati, saya mengumpat sistem perkeretaapian Jabodetabek. Mengapa tidak ada
perubahan sistem yang lebih baik? Mengapa tidak dipikirkan metoda yang efektif
untuk mengatur jadwal agar tidak ada kata telat lagi? Sudah tahu jalur
Jabodetabek sering dilanda hujan lebat dan petir namun mengapa tidak ada sistem
penangkap petir yang mumpuni? Mengapa si empunya kereta tidak mengacuhkan
laporan warga tentang longsor pada rel? Mengapa preventive maintenance
untuk kereta dan rel terlihat tidak efisien karena masih banyak saja kereta
yang mogok dan rel yang rusak? Banyak sekali kata mengapa untuk melampiaskan
bentuk protes yang tak didengarkan. Namun, kata mengapa takkan menemukan
ujungnya bila tidak dipasangkan dengan kata karena. Bukan umpatan dan keluhan
yang diharapkan saat ini. Problem solver-lah yang dibutuhkan. Sistem
penjadwalan, mapping jumlah RoKer versus jumlah kereta dan jalurnya, transmisi
sinyal, perawatan dari kereta-jalur rel-hingga gardu dan jalur listrik yang
aman dari cuaca ekstrim seperti petir, risk management dan prosedur keadaan
darurat apabila terjadi bencana, pengembangan sumber daya manusia, dan saling
menjaga fasilitas umum. Dari kacamata saya, seorang awam, itulah PR yang harus
dikerjakan bersama si empu kereta, pemerintah, serta masyarakat untuk mencapai
misi pemerintah yaitu pengurangan titik kemacetan di Jabodetabek dan
pengendalian jumlah kendaraan yang berlalu lalang di jalanan.
Sambil merenung, tetiba
saya melihat beberapa setengah baya dengan tubuh lelah dan kening berkerut memasuki angkot. Saya yakin, mereka adalah sekelompok masyarakat Bogor yang juga merasakan efek pahit dari rel anjlok. Dari pembicaraannya, mereka adalah RoKer harian yang sangat bergantung pada kereta. Kalau pun tarif kereta naik, mereka rela merogoh kocek untuk membayarnya. Kalau pun kereta telat, mereka rela menunggu berjam-jam. Kalau pun kereta hanya beroperasi mulai dari Stasiun Bojong Gede, mereka akan mengejarnya. Semua demi kereta yang membawa mereka pergi ke kantor dan pulang kembali ke Bogor. Mereka adalah pelanggan setia kereta yang menyukseskan program pemerintah dalam mengurangi kemacetan dengan tidak membawa kendaraan pribadi. Entahlah apakah kereta mendengar semangat mereka atau tidak. Merekalah pejuang hidup yang sebenarnya. Berlelah
dan basah kuyup setiap hari demi sesuap nasi. Membawa raga pergi dan pulang dengan transportasi publik yang seadanya. Dalam hati, saya malu sendiri. Di atas langit masih ada langit. Dibalik kesulitan kita yang dirasa cukup pelik, ternyata terdapat kesulitan orang lain yang jauh lebih besar. Satu kata yang sering saya lupa. Syukur. Inilah obat mujarab penenang hati.
Syukur. Satu kata, sejuta makna. Tak dapat dihitung dengan angka, hanya dapat dirasakan oleh nurani. Sontak, dia langsung memperingatkan. Sudahkah dirimu bersyukur?