Empati sering disebut-sebut sebagai resonansi dari perasaan. Secara fisika berarti ikut bergetarnya suatu benda karena persamaan frekuensi. Dengan empati, seseorang akan membuat frekuensi perasaan dalam dirinya sama dengan frekuensi perasaan yang dirasakan orang lain sehingga ia turut bergetar, turut memahami, sekaligus merasakan apa yang dirasakan orang lain (Dhamas, Kompasiana 24 Oktober 2009).
Pertengahan Februari 2012
…Sejenak ku hirup nafas dalam-dalam berharap lelahnya hari dapat digantikan oleh manisnya red velvet layer cake yang telah tersedia dihadapanku. Ditemani dengan secangkir teh hitam pekat, aku menikmati suap demi suap dan seruput demi seruput kuliner khas barat tersebut sambil tetap mendengarkan curhatan tanteku mengenai seseorang.
Akhir Januari 2012
Tersebutlah seseorang yang ditempatkan sebagai subjek dalam cerita tanteku. Sebutlah namanya Apel Washington (meminjam istilah dari persidangan kasus korupsi wisma atlet). Dia memang memiliki segalanya. Rumah, mobil, dan segala tetek bengek keglamoran dunia dia miliki atas namanya sendiri. Tak dinyana, semua teman-temannya pun dekat dengannya, bahkan teman-temannya pun menganggapnya sebagai bos-nya geng ibu-ibu sosialita alias ibu-ibu gaoel. Walaupun terkesan jetset dan royal, dia tidak melupakan ibadahnya. Ia selalu berbagi kepada keluarga, teman-teman, dan orang-orang kurang beruntung di sekitarnya. Namun, manusia tetaplah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan didalamnya. Ada satu sifatnya yang secara tidak sadar telah dengan sukses menyakiti hati orang lain yang notabene adalah seseorang yang masih memiliki hubungan darah.
Suatu hari, ia hendak membayar pajak mobilnya yang berjumlah 4. Karena di Indonesia telah diterapkan peraturan baru yaitu apabila satu orang memiliki lebih dari 2 mobil atas namanya, maka ia akan dikenakan pajak progresif. Hal inilah yang membuat ia, sang Apel Washington, meminjam KTP dan Kartu Keluarga milik saudaranya untuk dimasukkan dalam nama pemilik mobil keduanya. Dengan niat dan itikad baik untuk menolong, saudaranya pun meminjamkan KTP dan Kartu Keluarga dalam keadaan terbungkus rapi di dalam amplop coklat kemudian ia melancarkan aksi pembayaran pajak mobil. Setelah semua urusan pembayaran selesai, ia pun mengembalikan KTP dan Kartu Keluarga ke tempat kerja saudaranya. Namun, ia khilaf dan teledor. Ia mengembalikan melalui supirnya dan supirnya pun meng-estafet-kan kepada staf saudaranya dalam keadaan KTP dan Kartu Keluarga tidak terbungkus amplop. Ketika KTP dan kartu keluarga sampai ke tangan saudaranya, kontan saudaranya kaget dan tidak terima dengan sikap tidak menghargai identitas pribadi orang lain. Saudaranya pun mengejar supir sang Apel Washington dan menginterogasi perihal ketidaknyamanan tersebut. Supirnya hanya menjawab bahwa ia diperintah majikan a.k.a Apel Washington yang notabene ada di dalam mobil, tidak mau keluar menemui langsung saudaranya. Ketika dikonfirmasi, sang Apel Washington hanya menjawab dengan enteng bahwa amplopnya hilang, tanpa permintaan maaf dan tanpa rasa bersalah.
....
....
Etika dan empati, bagaikan pinang dibelah dua, terlihat mudah diaplikasikan sehingga banyak orang yang menyepelekannya bahkan melupakannya. Hal ini merupakan salah satu norma tak tertulis yang wajib kita patuhi dalam kehidupan sosial. Seringkali, karena ketidakpekaan kita terhadap perasaan orang lain, kita menyepelekan peran etika dan empati ketika sedang bercengkarama hingga meminta bantuan orang lain. Hal tersebut terjadi karena adanya ketidaksinkronan antara ego pribadi dan kepedulian atas perasaan orang lain. Mungkin untuk sebagian orang, KTP adalah kartu biasa layaknya kartu nama, kartu diskon, atau simcard handphone yang dapat dipindah tangankan secara mudah ke orang lain tanpa adanya privasi didalamnya. Namun, perlu diingat bahwa untuk orang yang umurnya tidak muda lagi namun belum diberi rizki pasangan hidup hingga detik ini, informasi tempat/tanggal lahir yang tercantum di KTP dan Kartu Keluarga adalah hal tabu untuk diketahui orang lain apalagi rekan kerja yang tidak terlalu dekat ataupun anak buah di tempat kerjanya.
Cara mudah untuk mengaplikasikan rasa empati dan beretika adalah dengan berpikir sebelum bertindak dan melihat masalah dari sudut pandang yang lain. Tanpa maksud menggurui, coba kita introspeksi ke sekeliling, apakah kita termasuk orang yang merokok di dalam angkutan umum? atau apakah kita merupakan pengendara motor yang dengan santainya menggunakan trotoar untuk menghindari kemacetan? atau apakah ketika berkendara, kita tetap melaju dengan kencang di area zebra cross? Empati dan etika menunjukkan salah satu karakter dalam diri kita yang akan dinilai oleh orang lain. Tidak ada kebaikan yang tidak akan mendapatkan balasannya. Layaknya bercermin, bayangannya pun akan sama dengan aslinya. Ketika kita berempati kepada orang lain dengan peduli dan menghargai perasaannya, maka orang lain akan menilai plus terhadap etika kita. Ketika kita terus menerus menabung kebaikan dengan berempati dan beretika baik, just wait and see, other benevolences will come and help you up.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?