Minggu, 08 Mei 2016

Dewi Dee Lestari : 15 Tahun Perjalanan Mencari Jati Diri



Siang itu, panas Jakarta makin membara, layaknya percikan api yang disiram dengan bensin. Demikian pula suasana di kerumunan itu. Riuh dan penuh dengan para pecinta literatur dan seni, dengan harapan dapat menyapa sang pujaan, mendapatkan tanda tangan, hingga koneksi untuk masa depan. Lalu, saat sang idola muncul di depan mata, seketika sadar bahwa jurang penghalang tak lagi terbentang. Kita duduk berhadapan. Yang tadinya tak terbayang, kini jadi kenyataan. Akhirnya. – Taman Ismail Marzuki, 7 Mei 2016
***
Dee Lestari dalam acara In Conversation with Dee Lestari : 15 Years Journey, TIM, 7 Mei 2016- Dok. Devina


                Demikian. Itulah yang kira-kira dirasakan oleh pengagum karya Dewi Dee Lestari. Saya salah satunya, yang demikian menikmati setiap paragraf yang terangkai cantik dalam Supernova, Madre, Filosofi Kopi, Perahu Kertas, dan Recto Verso. Nah, dalam rangkaian acara ASEAN Literary Festival 2016 di Taman Ismail Marzuki, penggemar Dewi Dee Lestari disuguhkan menu bincang-bincang dengan tajuk In Conversation with Dee Lestari : The 15 Year Journey dengan moderator Nathalie Indry. Perbincangan ini dibuka dengan pertanyaan : apa arti 15 tahun bagi Dee Lestari?  
                Bagi Dee, 15 tahun adalah sebuah proses untuk menempa diri sebagai seorang manusia. Menulis adalah medium yang secara konsisten dilakukan oleh Dee. Dalam kurun waktu itu, 5 karya Supernova lahir. Dari mulai prekuel : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh ; lalu disusul dengan Akar, Petir, Partikel, Gelombang, dan terakhir Intelegensi Embun Pagi. Di sela-sela itu, lahir pula novel lainnya seperti Perahu Kertas, Madre, Filosofi Kopi, dan Rectoverso. Dee pun ingat saat-saat pertama kali Supernova hadir dalam hidupnya. Berawal dari kegemarananya dalam membaca buku sains, roman, sastra, komik, dan berbagai genre bacaan, membuat Dee senang berimajinasi tentang berbagai karakter yang hadir dalam benaknya. Selain itu, menurut Dee, ada suatu sensasi penasaran yang muncul ketika ia membaca berbagai serial dan cerita bersambung di majalah atau buku fiksi. Ditambah juga dengan kegelisahan tentang hidup dan semesta yang membuka gerbang pikirannya untuk bertanya, mencoba mencari tahu jawabannya, muncul pertanyaan lanjutan, dan seterusnya. Hal tersebut pun menjadi cikal bakal Dee untuk berpikir luas dan lebar serta menyalurkannya melalui karya berbentuk tulisan. Dengan seabreg karya yang sudah dihasilkan, Dee yang sebelumnya tidak berpikir untuk menjadi seorang penulis pun menyadari akan minat dan medium untuk penyalurannya. Oleh karena itu, Dee membayangkan apabila suatu saat nanti ia bisa membaca buku yang ditulis sendiri dari karakter yang ia ciptakan dalam ruang imajinasinya, maka itu dapat menjadi hadiah terindah dalam hidupnya. Hadiah itu akan ia berikan pada diri sendiri pada saat ia berulang tahun ke-25 karena Dee melihat temannya mendaki Gunung Kilimanjaro sebagai hadiah bagi dirinya saat itu. Memang agak kompetitif sih, tapi ternyata motivasi itulah yang membuat Dee menargetkan dirinya untuk menyelesaikan serial Supernova yang pertama, yaitu Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (KPBJ). Alasan itu juga yang menjadikan KPBJ diterbitkan secara mandiri atau self-publishing.
                Dalam proses menulis, apalagi selama 15 tahun berproses, Dee memegang prinsip dasar yaitu menulislah dari hal yang disukai sehingga apabila di tengah prosesnya mengalami kendala, kecintaan terhadap tujuannyalah yang akan membantu membakar semangat kembali. Hal ini membuat Dee tetap setia pada ide yang diusung dalam berbagai karyanya walau pada awalnya ia pun bertanya-tanya apakah buku yang ia tulis dan publikasikan dapat diterima pembaca dan membentuk pasarnya sendiri? Jawabannya pun ia dapatkan ketika bukunya sudah dipublikasikan secara nasional dan mendapat beragam kritikan. Ada yang memuji, banyak pula yang mengoreksi. Banyak yang menjadikan karyanya sebagai referensi, ada pula yang mencaci karena dianggap sok-sok-an dikategorikan sebagai karya sastra. Padahal, waktu itu belum ada buku fiksi ilmiah yang juga mengandung unsur puisi didalamnya sehingga seringkali toko buku salah menempatkan KPBJ di deretan kategori Ilmu Alam atau Psikologi. Pada awalnya Dee kaget karena tidak menyangka respon publik sedemikian dahsyatnya. Namun, ada hal yang mencengangkan dan menjadi titik balik Dee dari kejadian tersebut. Ternyata, setelah Dee menghitung jumlah kritik dan pujian, ternyata hasilnya fifty-fifty atau seimbang. Dee pun merenung. Pada dasarnya, keseimbanganlah yang dicari dalam hidup dan itu terjadi dalam karyanya. Dari titik itu, Dee mengobservasi dan berefleksi, bahwa dari segala sudut pandang yang mengomentari karyanya, ia menyadari tidak semua pendapat orang harus ia dengar dan pikirkan. Ada pendapat yang objektif, hal ini bisa diambil pembelajarannya, namun tak sedikit juga yang subjektif. Dee pun sadar bahwa ia tidak bisa membahagiakan semua orang melalui karyanya sehingga jalan bijak yang bisa Dee ambil adalah memperbaiki setiap karya yang ia ciptakan dan publikasikan. Dee menyebutnya sebagai momen break-through atau terobosan.
                Dee menjelaskan pandangannya tentang definisi seorang penulis. Menurutnya, seseorang belum dikatakan sebagai penulis apabila ia belum merasakan kesulitan dalam mencurahkan ide dan waktunya untuk membuat sebuah karya. Jadi, kesulitan adalah bagian yang harus dialami dalam proses menulis. Maka dari itu, setiap penulis perlu waktu rehat sejenak dari rutinitas. Idealnya, waktu bekerja itu sama dengan waktu istirahat sehingga pikiran kita bisa lebih jernih dan menemukan kembali ritmenya. Hal ini dilakukan Dee ketika selama 15 tahun mengalami berbagai fase kehidupan. Di mulai saat masih single sehingga dapat menulis kapan pun. Lalu, beranjak ke fase berikutnya yaitu menikah, hamil, dan melahirkan sehingga otomatis mengubah ritme waktu menulisnya. Kala itu, dapat dikatakan menjadi salah satu titik tersulit dalam hidupnya karena ia harus beradaptasi dengan semua perubahan. Perencanaan dan target waktu menjadi mercusuar untuk memacu dirinya menyelesaikan Supernova dan karya-karya lainnya.
                Kemudian, apakah Dee akan berhenti setelah Intelegensi Embun Pagi (IEP)? Sambil tersenyum penuh arti, Dee menjawab bahwa baginya tanda tanya yang sengaja diselipkan di akhir halaman IEP merupakan awal mula untuk melanjutkan kisah berikutnya. Tunas kisah tersebut masih satu nafas dengan Supernova yaitu tentang pencarian jati diri dan pertanyaan lainnya seputar kehidupan serta semesta. Hal ini pun dikuatkan dengan pernyataan dari Dee bahwa pada dasarnya Dee selalu mendambakan sebuah karya dengan akhir tanda tanya karena setiap jawaban bersifat temporer sehingga akan ada pertanyaan baru dari setiap jawaban yang diberikan.
                Selama 1,5 jam berbincang bersama Dee, saya banyak belajar tentang seluruh proses panjang perjalanan menuju puncak kesuksesan Supernova dan karya lainnya. Tentunya dengan berbagai tantangan yang silih berganti. Tekad kuat dan kesetiaan pada tujuan merupakan lampu-lampu yang menuntun Dee hingga sekarang ini. Ketika acara ini sedang digelar pun ternyata di luar sana sedang ada demonstrasi dari Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Islam yang menuntut dibubarkannya ASEAN Literary Festival 2016 karena diduga ada unsur komunisme dan separatisme Papua yang dimasukkan ke dalam rangkaian acara ini. Mungkin mereka kurang piknik. Belum juga jadi peserta, sudah main tuduh duluan. Mungkin, kalau mereka hadir sebagai peserta bersama saya, pikirannya bisa lebih terbuka sehingga tahu bagaimana cara untuk mencari jati diri selain dengan demonstrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?