Sabtu, 25 Agustus 2012

Tradisi dan Idul Fitri

          THR. Tunjangan Hari Raya. Tunjangan Hura-Hura. Dan lain sebagainya. Hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh tiap insan menjelang hari raya lebaran. Tak peduli siapa dan apa pekerjaannya, semuanya berbondong-bondong merencanakan harus dihabiskan untuk apa THR tahun ini? Belanja keperluan lebaran dari kebutuhan primer hingga tersier. Tak ketinggalan berbagi kue, pakaian, bingkisan lebaran hingga bagi-bagi angpau ke saudara dan keponakan (meminjam tradisi masyarakat Tionghoa saat merayakan Imlek). Semua dilakukan untuk merayakan hari kemenangan setelah satu bulan penuh mengalahkan hawa nafsu. Namun apabila diresapi dan ditilik jauh ke dalam sukma, apakah kita sudah benar-benar menang sesuai syariat?                                         Tradisi, keyakinan, dan syariat merupakan tiga hal yang sering membuat orang salah kaprah. Sejak kita kecil, sadar ataupun tidak, kita sudah dilenakan oleh hadiah penghargaan diberikan ketika kita menggenapi sebulan ibadah puasa. Hadiah tersebut diberikan sebagai bentuk penghargaan kepada anak kecil yang sudah memulai ibadah puasa. Saya pun demikian. Dengan iming-iming satu hari puasa sampai magrib dibayar seribu rupiah, anak kecil sepantaran saya pun dengan semangat 45 menahan lapar dan haus sejak fajar menyingsing hingga semburat mega menjingga. Aktivitas barter puasa dengan sejumlah uang pun diimbangi dengan pemahaman tentang kewajiban menjalankan ibadah puasa bagi umat muslim yang beriman. Baik di rumah maupun di sekolah, tak henti-hentinya diingatkan tentang kewajiban dan keutamaan puasa di bulan Ramadhan. Hingga ala bisa karena biasa pun serta merta terpatri dalam hidup saya hingga sekarang. Ikhlas karena Allah SWT. Demikianlah sebuah proses transformasi dari pemikiran anak kecil, seiring bertambahnya kedewasaan, pemahaman pun berubah, menjadi lebih syariat sesuai perintah Allah secara kaffah. Tak ada artinya benda duniawi yang fana. Ridho Allah lebih mulia dan berharga. Namun, secara tak sadar, orang dewasa pun ternyata banyak yang tanpa sadar terbuai oleh harta yang ia gunakan ataupun ia bagikan. Mari kita bercermin dan lihat sekeliling ketika lebaran tiba. Pakaian baru dengan padu padan warna yang menawan. Gengsi dan malu rasanya apabila menggunakan pakaian yang sama dengan tahun lalu untuk bersilaturahmi mengunjungi sanak saudara, kerabat, dan tetangga. Pakaian baru pun seolah menjadi barang wajib ketika lebaran. Toko-toko pakaian pun serta merta mendukung gaya hidup tersebut dengan menyelenggarakan diskon besar-besaran hingga mid-night sale di akhir minggu. Orang-orang tak peduli dimana tinggalnya pun berjamaah belanja bersama memburu barang dengan diskon paling besar di toko tersebut. Rasanya seperti menang pertandingan sepakbola mengalahkan tim kelas kakap. Bahagia dan puas merajai hati. Tak hanya orang dewasa berduit yang hobi belanja pakaian baru lebaran, anak-anaknya pun secara tak langsung terdidik di alam bawah sadar mereka bahwa lebaran identik dengan pakaian baru. Padahal, lagu pun tak mengajarkan demikian. Baju baru alhamdulilah tuk dipakai di hari raya, tak punya pun tak apa-apa masih ada baju yang lama. Ya, pakaian boleh baru bila ada uangnya, namun apakah peralatan sholat yang jelas-jelas kita gunakan langsung untuk berinteraksi dengan Sang Maha Segalanya masih layak dan bersih? Apakah aktivitas menghabiskan uang tersebut mengorbankan waktu shalat wajib, sunnah, dan bertadarus? Tradisilah ternyata yang membuat kita khilaf akan tujuan sebenarnya. Selain itu, ketika lebaran kita dihadapkan juga dengan tradisi bagi-bagi angpau kepada saudara dan keponakan. Apabila uangnya ada ya tidak masalah. Namun, bagaimana bila ternyata uang yang ada di kantong pas-pasan dan atas nama gengsi ia paksakan untuk membagikan angpau? Kalang kabut pasti ceritanya. Atas nama tradisi pula yang membuat keikhlasan menjadi saru dan tujuan sedekah menjadi samar.
          Lebaran belum afdol kalau belum bertemu saudara dan bersilaturahmi. Dengan pakaian baru yang senada dengan tas dan sepatunya, berlenggok memamerkan mode pakaian ciptaan sendiri. Tak dinyana, sesi silaturahmi yang seharusnya diisi dengan saling memaafkan kesalahan dan menghapuskan penyakit hati yang terserak, kini berganti menjadi ajang pamer kekayaan. Rencana liburan ke negara ini dan itu, makan di resto kelas jenderal, hingga gadget teranyar dan tercanggih abad ini. Yang bercerita sangat bersemangat tanpa sadar bahwa semua cerita duniawi tersebut hanya titipan Sang Maha Kaya yang sedang menguji tingkat iman orang tersebut. Mungkin esok atau lusa Sang Maha Kaya dapat membalikkan keadaannya dan mencabut semua kepemilikannya tanpa permisi terlebih dahulu. Ia pun tak sadar ditengah diskusi tentang tetek bengek dunia, ia bersuudzan dengan kerabatnya. Di depan manis, di belakang mengiris. Entah berapa penyakit hati yang tanpa sadar terulang kembali. Semenit yang lalu memohon maaf, kini jatuh ke lubang dosa yang sama. Tanpa sadar, pahalanya mengalir berpindah ke objek penderita. Hukum Allah memang adil.
           Idul Ftri atau lebaran adalah hari kemenangan untuk hamba-hamba Allah yang beriman. Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, menahan hawa nafsu yang datang menggoda umat muslim untuk mengikuti ajakan setan, serta beramal sebanyak-banyaknya dengan ikhlas untuk menghadap ridho Allah. Namun, apabila kita bercermin dan merefleksikan keutamaan Ramadhan ke dalam kehidupan kita, apakah kita adalah Sang Pemenang dengan segala sikap yang secara tak sadar telah berbuat riya dan melukai hati orang lain di hari fitri? Hanya hati kecil yang tahu kebenaran hakiki yang menaungi episode hidup kita. Salah atau benar adalah hasil sedangkan hidup adalah proses perjalanan panjang yang dapat mendewasakan kita apabila kita mau berubah. Sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, saya hanyalah manusia yang penuh dengan khilaf dan dosa.
            Happy Idul Fitri, Pals. Keep Ramadhan ways in every activities and be a winner.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do you think, guys?